Buku Tamu



Anda adalah pengunjung ke
View My Stats

Silakan isi
  • Buku Tamu Saya
  • Lihat Buku Tamu




  • Jika anda meninggalkan pesan atau mengajukan pertanyaan yang memerlukan respon,
    respon saya dapat anda baca di
  • Comment




  • Google

    Daftar Isi

  • KESULITAN BELAJAR DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN
  • REORIENTASI PENDIDIKAN KHUSUS/PLB (SPECIAL EDUCATION) KE PENDIDIKAN KEBUTUHAN KHUSUS (SPECIAL NEEDS EDUCATION) USAHA MENCAPAI PENDIDIKAN UNTUK SEMUA
  • Program Master Pendidikan Kebutuhan Khusus SPS
  • MENJANGKAU ANAK-ANAK YANG TERABAIKAN MELALUI PENDEKATAN INKLUSIF DALAM PENDIDIKAN
  • PEMBELAJARAN ANAK BERBAKAT
  • VYGOTSKY IN THE CLASSROOM: MEDIATED LETERACY INTRUCTION AND INTERVENTION
  • SUBJECTIVE PERCEPTIONS OF STRESS & COPING BY MOTHERS OF CHILDREN WITH INTELLECTUAL DISABILITY A NEEDS ASSESSMENT
  • Anak Penyandang Autisme dan Pendidikannya
  • Pendidikan Inklusif Ketika Hanya Ada Sedikit Sumber
  • Orientasi Ulang Pendidikan Tunagrahita dari Pendekatan Formal ke Pendekatan Fungsional
  • Definisi dan Ruang Lingkup Praktek Konseling Rehabilitasi
  • Landasan Filosofis Konseling Rehabilitasi
  • Pertimbangan-pertimbangan dalam Intervensi Konseling Rehabilitasi: Faktor Personal
  • Pertimbangan-pertimbangan dalam Intervensi Konseling Rehabilitasi: Faktor Lingkungan
  • Pertimbangan-pertimbangan dalam Intervensi Konseling Rehabilitasi: Hakikat Kecacatan
  • Bahasa dan Ketunagrahitaan
  • Pernyataan Salamanca
  • HAMBATAN BELAJAR DAN HAMBATAN PERKEMBANGAN PADA ANAK-ANAK TUNAGRAHITA
  • SUBJECTIVE PERCEPTIONS OF STRESS & COPING BY MOTHERS OF CHILDREN WITH INTELLECTUAL DISABILITY A NEED ASSESSMENT
  • HAMBATAN BELAJAR DAN HAMBATAN PERKEMBANGAN PADA ANAK YANG MENGALAMI KEHILANGAN FUNGSI PENDENGARAN
  • MEMAHAMI PERKEMBANGAN,HAMBATAN PERKEMBANGAN DAN HAMBATAN BELAJAR PADA ANAK
  • Orientasi Pendidikan Kebutuhan Khusus
  • PEMAHAMAN KONSEP PENDIDIKAN KEBUTUHAN KHUSUS DAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
  • THE EFFECTS OF PRECISION TEACHING TECHNIQUES AND FUNTIONAL COMMUNICATION TRAINING ON BEHAVIOR PROBLEM FOR 12-YEAR OLD MALE WITH AUTISM
  • Daftar Cek Perkembangan Bahasa Anak Tunagrahita
  • Perkembangan Kognitif Anak Tunagrahita Menurut Teori Piaget
  • Program Master Pendidikan Kebutuhan Khusus
  • Pengajaran Bahasa Bagi Anak Tunagrahita
  • MODEL PEMBELAJARAN ANAK TUNAGRAHITA MELALUI PENDEKATAN KONSELING




  • Kamis, 28 Februari 2008

    Daftar Cek Perkembangan Bahasa

    (Instrumen Asesmen Perkembangan Bahasa Anak Tunagrahita)

    Diadaptasikan oleh Zaenal Alimin dan Didi Tarsidi

    Daftar cek perkembangan bahasa di bawah ini diadaptasikan dari The Development Checklist, bagian bahasa, yang dikembangkan oleh The British Institute of Mental Handicap (Bailey, 1982). Daftar cek ini didasarkan pada perkembangan anak pada umumnya sejak usia 0 hingga 5 tahun. Hasil asesmen dengan daftar cek ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi target intervensi untuk pengembangan pribadi anak. Item-item dalam daftar cek ini disusun dengan asumsi sesuai dengan urutan perkembangan perolehan bahasa anak normal pada umumnya hingga usia lima tahun. Versi aslinya telah terbukti efektif untuk dipergunakan terhadap anak tunagrahita, dan juga dapat dipergunakan terhadap tunagrahita dewasa.

    Pedoman Penggunaan Daftar Cek Perkembangan Bahasa

    1. Berilah tanda cek pada nomor urut item bila anak dtelah menunjukkan perilaku sebagaimana terkandung di dalam item itu.
    2. Amatilah anak secara seksama pada saat anda sedang mengerjakan daftar cek ini.
    3. Bila anak tidak mampu menunjukkan perilaku yang diasesmen karena hambatan fisiknya (misalnya tidak menunjuk ke benda karena penglihatannya kurang baik), berilah tanda "B" (berkelainan) di sebelah kiri nomor urutnya.
    4. Bila anak menunjukkan perilaku yang terkandung di dalam item dengan nomor urut yang lebih lanjut, dalam kebanyakan kasus itu menunjukkan bahwa dia telah menguasai tahap-tahap perkembangan sebelumnya. Misalnya, bila anak mampu berteriak untuk menarik perhatian, maka dapat diasumsikan bahwa dia juga menjerit bila merasa terganggu.
    5. Namun demikian, pengguna daftar cek ini harus tetap bersikap waspada dan kritis, karena dapat terjadi bahwa anak lulus pada item lebih lanjut tetapi belum tentu telah memperoleh perilaku yang terkandung di dalam item-item sebelumnya. Misalnya, anak sudah dapat mengucapkan kalimat yang terdiri dari empat kata tetapi belum tentu dapat mengaitkan dua gagasan.
    6. Hasil asesmen ini akan menjadi dasar program pembelajaran bagi anak yang bersangkutan selama kurun waktu yang ditetapkan (misalnya satu catur wulan) dengan memprioritaskan item-item perilaku yang belum bertanda cek dan tetap mengembangkan item-item perilaku lainnya.
    7. Untuk item-item yang diberi tanda "B", intervensinya sebaiknya dikonsultasikan kepada pihak-pihak yang dipandang lebih ahli (misalnya dokter mata dan guru spesialis tunanetra untuk perilaku yang terkait dengan penglihatan).
    8. Asesmen dilakukan kembali setelah kurun waktu untuk program pembelajaran yang telah ditetapkan itu berakhir.


    Daftar Cek Perkembangan Bahasa

    A. Tingkat Reseptif - Pemahaman

    1. Menatap wajah ibu pada saat ibu sedang berbicara.
    2. Menoleh ke arah suara yang dekat atau suara yang bermakna bagi anak.
    3. Tampak terganggu bila mendengar suara keras.
    4. Gembira bila mendengar langkah kaki orang (anak bersuara dan melakukan gerakan).
    5. Memandang lurus ke arah benda-benda yang dibunyikan.
    6. Merespon terhadap suara ibu yang emosional (misalnya menangis bila ibu marah, tertawa bila terdengar senang).
    8. Menghentikan kegiatan sesaat bila kita berkata "Jangan!"
    9. Mendengarkan bunyi detak jam.
    10. Merespon terhadap kata-kata tertentu (misalnya menoleh atau menunjuk bila kita berkata "Di mana bapak?").
    11. Langsung menoleh bila disebut namanya.
    12. Mengerti dan menuruti perintah verbal sederhana dengan isyarat (misalnya, "Ambilkan ...." "Ke sini." "Bawa ke sana.").
    13. Mengerti dan menuruti perintah verbal sederhana tanpa isyarat (misalnya, "Tutup pintu"; "Ke sinikan bolanya"; "Ambil sepatu").
    14. Menunjuk ke orang yang dikenalnya atau ke mainannya, dsb. bila ditanya. (Misalnya, "Mana mobil?").
    15. Mengikuti arahan (misalnya, "Simpan boneka di atas kursi" ). 16. Menunjuk ke rambutnya sendiri atau ke rambut boneka bila disuruh.
    17. Menunjuk ke benda tertentu, di gambar, yang disuruh tunjuk.
    18. Dapat membedakan dua kata depan (misalnya, "Simpan cangkir di bawah meja"; "Simpan kelereng di dalam kotak").
    19. Menunjuk ke benda yang kita deskripsikan kegunaannya (misalnya, "Kita mengupas mangga pakai apa?").
    20. Jika diminta memberikan satu, tidak memberikan lebih.
    21. Memberikan dua benda dari banyak benda yang ada.
    22. Berminat mendengarkan cerita pendek.
    23. Dapat menunjukkan mana garis yang lebih panjang di antara dua garis.
    24. Dapat menunjukkan benda mana yang lebih besar di antara dua benda. 25. Dapat melaksanakan suruhan dengan rangkaian tiga kata depan (misalnya, "Simpan sendok di dalam cangkir, simpan cangkir di atas meja, lalu duduk di kursi.").

    B. Tingkat Produktif - Bicara

    1. Mengeluarkan suara tenggorokan; "berceloteh" bila merasa senang ("hao hakeng").
    2. Mengucapkan "Ah, eh, oh".
    3. Mengucapkan bunyi-bunyi vokal ("a, e, i, o, u").
    4. Tertawa keras.
    5. Mengucapkan "agu".
    6. Mengorok dan menggeram.
    7. Menjerit bila merasa terganggu.
    8. Mengucapkan "da, ka, ba, ga".
    9. Mengucapkan "dada, baba".
    10. Meraban dengan suku-suku kata (bukan kata-kata).
    11. Berteriak untuk menarik perhatian.
    12. Menggelengkan kepala tanda "tidak".
    13. Meminta benda dengan menunjuk ke benda yang diinginkannya.
    14. Mencoba menyanyi.
    15. Dapat menggunakan 2‑6 kata.
    16. Menggunakan isyarat untuk menyatakan keinginannya.
    17. Menggunakan satu kata untuk mencakup beberapa maksud. (misalnya "papa" untuk semua orang laki-laki).
    18. Dapat menggunakan 6‑20 kata.
    19. Menirukan kata utama atau kata terakhir yang diucapkan orang kepadanya.
    20. Dapat menggunakan lebih dari 50 kata.
    21. Menirukan banyak kata.
    22. Terus berbicara sendiri bila sedang bermain.
    23. Dapat mengucapkan kata-kata yang terkait dengan makanan dan toilet. 24. Mengucapkan kalimat yang terdiri dari dua kata.
    25. Dapat menggunakan lebih dari 200 kata.
    26. Mengaitkan dua gagasan (misalnya, "Ibu belanja," "Dapat coklat lagi.").
    27. Mengucapkan kalimat yang terdiri dari tiga kata.
    28. Melakukan percakapan sederhana.
    29. Bertanya "Apa?" "Di mana?" "Siapa?"
    30. Mengucapkan kalimat empat kata.
    31. Menggunakan kata penghubung seperti: dan, tetapi, jadi, dsb.
    32. Dapat menceritakan hubungan antara dua peristiwa yang telah terjadi pada dirinya.


    Referensi:

    Bailey, R. D.(1982). Therapeutic Nursing for the Mentally Handicapped. Oxford: Oxford University Press

    Label: ,

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google
  • Kembali ke Halaman Depan
  • Kamis, 07 Februari 2008

    Perkembangan Kognitif Anak Tunagrahita Menurut Teori Piaget

    Banyak penelitian dilakukan atas dasar asumsi bahwa proses dasar belajar dan ingatan secara kualitatif tidak berbeda antara anak-anak dari kelompok usia yang berbeda, sehingga paradigma penelitian yang sama dapat dipergunakan untuk berbagai subyek pada setiap tahap perkembangan. Akibatnya, upaya untuk menentukan defisit tertentu pada pikiran anak-anak tunagrahita akan cenderung dilakukan dengan membandingkannya terhadap anak nontunagrahita dengan CA (umur kalender) yang sama daripada terhadap subyek dengan MA (umur mental) yang sama.
    Satu posisi alternatif, yang disebut pendekatan perkembangan (developmental approach), cenderung memandang keberfungsian mental (mental functioning) itu sangat berbeda-beda pada usia yang berbeda. Dengan kata lain, proses mental yang sesungguhnya - belajar, ingatan, komunikasi, persepsi, dsb. - berubah secara kualitatif seiring dengan perubahan usia. Satu contoh yang sangat baik dari pendekatan perkembangan ini adalah karya filosof Swiss Jean Piaget. Makalah ini membahas dasar-dasar teori Piaget dan mengkaji hasil penelitian yang mengaplikasikan teori tersebut serta mengkaji validitas teori perkembangan terhadap perkembangan kognitif anak tunagrahita.

    I. Dasar-dasar Teori Piaget

    Satu fitur penting dari teori Piaget adalah bahwa seorang anak ataupun orang dewasa aktif mengkonstruksikan dunianya sendiri. Perbuatan mempersepsi itu lebih dari sekedar respon pasif terhadap stimuli; di dalam pikiran setiap individu terdapat satu struktur kognitif, satu model relita yang tidak hanya berisikan fakta-fakta tertentu tetapi juga kaidah-kaidah logika yang mengatur realita itu, dan semua peristiwa dialami berdasarkan struktur kognitif tersebut.
    Sebagian besar teori Piaget ditujukan untuk memahami bagaimana struktur kognitif anak berkembang seiring dengan perubahan usianya. Piaget mengemukakan bahwa terdapat empat tahap perkembangan yang masing-masing menggambarkan kualitas fungsi kognitif yang berbeda. Proses-proses yang terjadi dalam belajar, berpikir, dan persepsi anak itu berbeda dalam tahap yang berbeda, meskipun masing-masing tahap dibangun atas dasar tahap sebelumnya. Perbedaan tersebut menjelaskan mengapa sulit untuk menerangkan sesuatu kepada anak usia lima tahun dengan menggunakan logika orang dewasa. Anak bukan hanya tidak dapat memahami kaidah-kaidah logika orang dewasa, tetapi keseluruhan dunia kognitif anak itu berbeda dari dunia orang dewasa. Perbedaan itu lebih dari sekedar karena anak belum belajar sebanyak orang dewasa, tetapi gaya kognitif anak itu memang sangat berbeda.
    Keempat tahap perkembangan kognitif itu adalah: 1) tahap sensorimotor; 2) tahap praoperasional; 3) tahap operasional konkret; 4) tahap operasional formal.
    Yang dimaksud dengan "operation", menurut Piaget, adalah satu tindakan mental yang dapat sepenuhnya dikompensasi dan yang sepenuhnya dapat dikembalikan ke asalnya.

    1.1. Tahap Sensorimotor (usia 0-2 tahun pada anak yang normal)

    Masa perkembangan ini ditandai oleh karakteristik sebagai berikut:
    - Pemikiran anak terbatas pada "saat ini di tempat ini".
    - Cara utama yang dipergunakan anak untuk mempersepsi dan memahami lingkungannya adalah dengan tindakan, bukan melalui pelambangan simbolik.
    - Pada masa ini anak sedikit demi sedikit mengembangkan konsep obyek, yaitu pengetahuan bahwa eksistensi obyek-obyek itu terlepas dari pengalaman dirinya.
    - Anak mulai mengembangkan pemahaman mengenai ruang, waktu, dan hubungan sebab-akibat.

    Tahap sensorimotor dibagi menjadi enam subtahap:
    1) Subtahap perilaku reflex. Di antara perilaku bawaan ini adalah reflex untuk mengisap, reflex untuk memutar kepalanya ke arah benda yang menyentuh pipinya, reflex untuk menggenggam, dan kecenderungan untuk memfokuskan penglihatannya pada stimuli yang tingkat kompleksitasnya cukup tinggi.

    2) Subtahap reaksi sirkuler primer (primary circular reactions), usia 1-4 bulan. Reaksi ini adalah gerakan reflex yang berulang dengan sendirinya karena menimbulkan kesenangan (misalnya mengisap ibu jari).

    3) Subtahap reaksi sirkuler sekunder (secondary circular reactions), usia 4-8 bulan. Ini adalah gerakan berulang seperti reaksi primer tetapi menggunakan benda di luar diri bayi, misalnya memukul-mukulkan mainan ke pinggir tempat tidurnya.

    4) Subtahap koordinasi reaksi sirkuler sekunder, usia 8-12 bulan. Anak memiliki kemampuan untuk mengkombinasikan pola-pola perilaku, dan mulai menggunakan satu kegiatan sebagai cara untuk melakukan kegiatan lain; misalnya mendorong tangan ayah untuk mengambil mainan yang diinginkannya.

    5) Subtahap reaksi sirkuler tersier (tertiary circular reactions), usia 12-15 bulan. Ini adalah tindakan yang diulang-ulang tetapi dengan pola yang bervariasi; misalnya anak berulang-ulang menjatuhkan tempat sabun dengan posisi yang berbeda-beda.

    6) Subtahap penciptaan cara baru melalui kombinasi mental (invention of new means through mental combination), usia 15-24 bulan. Subtahap ini merupakan transisi ke tahap selanjutnya karena pada masa ini anak mengembangkan kemampuan untuk melambangkan obyek dan peristiwa secara simbolik. Untuk pertama kalinya, anak dapat berpikir tentang hal-hal yang tidak dilihatnya, dan dapat memecahkan masalah dengan memikirkan suatu tindakan tertentu. Dengan kata lain, anak sudah mulai belajar berpikir.

    1.2. Tahap Praoperasional (usia 2-7 tahun pada anak normal)

    Pada masa ini anak mampu melambangkan secara simbolik obyek-obyek dan peristiwa-peristiwa yang tidak dilihatnya. Akan tetapi pemikirannya sebagian besar masih tidak logis. Karakteristik lain tahap ini adalah:
    - Persepsinya terbatas/harafiah.
    - Sentris: dia hanya dapat memfokuskan perhatiannya pada satu dimensi stimulus saja pada satu saat.
    - Egosentrik: dia tidak dapat menerima pendapat orang lain.
    - Tidak dapat memahami himpunan atau klasifikasi.
    - Belum memiliki konservasi jumlah, kuantitas, berat, apalagi konservasi volume (yang baru dimiliki anak pada tahap operasional formal). Misalnya, anak tidak dapat memahami bahwa kuantitas air tidak berubah bila dituangkan dari satu bejana ke bejana lain; bahwa jumlah benda akan tetap meskipun konfigurasinya berubah.
    Semua anak memperoleh jenis-jenis konservasi tersebut dengan urutan yang sama: konservasi jumlah, kuantitas, berat, dan volume.

    1.3. Tahap Operasional Konkret

    Pada masa ini pemikiran anak mulai logis. Dia memahami konsep-konsep konservasi kecuali konservasi volume. Keterbatasan utamanya adalah bahwa pemikirannya masih terbatas pada benda-benda konkret, belum dapat berpikir secara abstrak, sehingga dia tidak dapat memikirkan berbagai kemungkinan cara pemecahan masalah dan mengujinya secara sistematis. Sebagian besar anak mulai menunjukkan bukti kemampuan berpikir secara operasional konkret sejak usia 5 atau 6 tetapi baru sepenuhnya mencapai tahap ini antara usia 8 hingga 10 tahun.

    1.4. Tahap Operasional formal

    Piaget mengemukakan bahwa anak mulai menunjukkan kemampuan berpikir secara operasional formal pada usia 11 tahun, dan Stephens (1974) menemukan bahwa banyak anak normal yang belum menyelesaikan tahap ini pada usia 18 tahun. Pada tahap ini, anak mulai melihat realita sebagai suatu subhimpunan dari suatu himpunan kemungkinan. Dia dapat menguji rangkaian hipotesis secara sistematis, dapat memahami konservasi tingkat dua seperti konservasi volume, dan dapat melakukan operasi-operasi atas dasar gagasan-gagasan abstrak.

    Ada beberapa hal yang patut dikemukakan sehubungan dengan tahap-tahap perkembangan di atas.
    Pertama, semua anak melalui tahap-tahap itu dengan urutan yang sama, tetapi kecepatan peralihan dari satu tahap ke tahap berikutnya berbeda-beda, dan tahap tertinggi yang dicapai orang pun berbeda-beda.
    Kedua, masing-masing tahap tersebut bukan merupakan entitas yang terputus antara satu dengan lainnya, sehingga tidak dapat dikatakan bahwa seorang anak sedang berada pada satu tahap tertentu atau tahap lainnya. Melainkan, kebanyakan anak menunjukkan sejumlah karakteristik dari beberapa tahap berpikir pada saat yang sama. Misalnya, anak pada umumnya sudah mulai menunjukkan bukti berpikir operasional konkret pada usia 5 atau 6 tahun tetapi masih memiliki beberapa keterbatasan berpikir praoperasional pada usia 7 atau 8 tahun.
    Ketiga, selalu terdapat masa transisi yang panjang dari satu tahap berpikir ke tahap berikutnya, dan pada saat anak sudah mencapai satu tahap baru, dia mungkin sudah memulai masa transisinya ke tahap yang lebih tinggi.


    1.5. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan KOgnitif

    Piaget (1964) mengemukakan bahwa perkembangan kognitif tergantung pada empat hal: kematangan, pengalaman fisik, pengalaman sosial, dan ekuilibrasi.
    Kematangan adalah perkembangan yang diakibatkan oleh perubahan organik atau biologis pada diri anak. Misalnya, berjalan merupakan contoh perilaku yang berkembang terutama sebagai akibat dari kematangan sistem syaraf.
    Akan tetapi, perkembangan kognitif akan sangat lambat bila anak dibesarkan dalam lingkungan yang miskin stimulasi. Anak membutuhkan banyak pengalaman dengan berbagai obyek agar dapat mengembangkan berbagai konsep seperti konsep jumlah, berat, dsb. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa anak yang dibesarkan di dalam lingkungan yang kaya stimulasi berkembang lebih cepat.
    Daya pendorong ketiga untuk perkembangan kognitif adalah interaksi sosial, tidak hanya dengan orang dewasa, tetapi juga dengan sebayanya. Interaksi sosial bukan hanya merupakan sumber informasi faktual bagi anak, tetapi juga penting sebagai pengembang logika. Bila anak bermain dengan sesamanya dan bertengkar atau berusaha membujuk anak lain untuk melakukan sesuatu, mereka terpaksa mengembangkan argumen yang logis untuk menjustifikasi posisinya, dan hal ini membuat mereka sadar akan proses berpikirnya sendiri maupun proses berpikir orang lain.
    Faktor terpenting yang mempengaruhi perkembangan kognitif menurut Piaget adalah proses ekuilibrasi, yaitu pembentukan ekuilibrium antara pengalaman seseorang dengan struktur kognitifnya. Anak akan mengalami disekuilibrium bila menyadari bahwa terdapat perbedaan antara struktur kognitifnya dengan pengalamannya, dan keadaan tersebut merupakan motivator penting baginya untuk mencapai ekuilibrium baru pada tingkat keberfungsian yang lebih tinggi. Pembenahan kembali struktur kognitif agar sesuai dengan pengalaman baru itu terjadi secara berkesinambungan selama hidup manusia. Jika anak memperoleh pengalaman yang tidak baru baginya, sehingga pengalaman itu sangat sesuai dengan struktur kognitifnya, maka dia tidak akan belajar sesuatu yang baru dan akan merasa bosan. Sebaliknya, bila pengalaman baru yang tengah dihadapinya terlalu berbeda dengan struktur kognitifnya, maka dia tidak akan dapat mengasimilasinya sama sekali atau akan menjalani pengalaman itu dengan cara yang berbeda dari apa yang dilakukan oleh orang dewasa.

    II. Aplikasi Teori Piaget pada Perkembangan KOgnitif Anak Tunagrahita

    Piaget sendiri tidak meneliti perbedaan perkembangan di kalangan anak-anak, mengapa ada anak yang berkembang lebih cepat daripada anak lainnya, dan dia tidak pernah melakukan penelitian terhadap anak-anak terbelakang mental. Akan tetapi, seorang pengikutnya yang paling terkemuka, Barbel Inhelder (1943), untuk disertasi doktoralnya, mengaplikasikan beberapa aspek dari teori Piaget terhadap retardasi mental. Dia melakukan eksperimen terhadap anak-anak tunagrahita pada berbagai tingkatan, termasuk tingkat kemampuan anak-anak ini dalam konservasi jumlah, berat, dan volume. Konsisten dengan teori Piaget, dia menemukan bahwa secara umum respon anak tunagrahita hampir sama dengan anak normal pada usia yang lebih muda, yang memvalidasikan teori perkembangan bahwa anak tunagrahita berkembang melalui tahap-tahap yang sama dengan anak pada umumnya dengan urutan yang sama, tetapi kecepatan perkembangannya lebih lambat. Akan tetapi, Inhelder juga menemukan bahwa anak-anak tunagrahita tertentu sangat berfluktuasi dalam perkembangannya, yang menunjukkan bahwa anak tunagrahita bukan hanya lambat, tetapi perkembangannya juga menunjukkan apa yang disebutnya "viscosity", artinya bahwa meskipun sudah tiba pada tahap di mana mereka mencapai tingkat berpikir yang lebih tinggi, tetapi cenderung menunjukkan jenis keberfungsian yang kurang matang. Inhelder berpendapat bahwa anak tunagrahita ringan tidak dapat berkembang melampaui tahap perkembangan operasional konkret, dan bahwa anak tunagrahita sedang tidak dapat berkembang melampaui tahap perkembangan praoperasional.

    Woodward (1959) membuktikan bahwa keenam subtahap perkembangan sensorimotor menurut teori Piaget itu berlaku bagi perilaku remaja tunagrahita berat seperti pada anak normal di bawah usia dua tahun. Dia melaksanakan sejumlah tes terhadap anak-anak tunagrahita berat untuk meneliti pada subtahap sensorimotor yang mana anak-anak ini berfungsi. Dia menyimpulkan bahwa perilaku anak tunagrahita berat dapat diklasifikasikan ke dalam enam subtahap sensorimotor.

    McManis (1969) melakukan penelitian terhadap 90 subyek tunagrahita, masing-masing 15 subyek dalam enam kelompok MA antara usia 5 hingga 10 tahun, dan 90 anak nontunagrahita dengan MA yang sebanding. Setiap anak dites untuk konservasi kuantitas, berat, dan volume. Ditemukan bahwa urutan tingkat kesulitan yang dihadapi dalam ketiga tugas konservasi itu sesuai dengan prediksi Piaget (kuantitas, berat, volume) untuk kedua kelompok subyek tersebut, kecuali bahwa sejumlah kecil subyek menunjukkan inversi, misalnya mencapai skor yang lebih tinggi pada konservasi volume daripada konservasi berat. Secara keseluruhan, subyek tunagrahita menunjukkan kinerja yang sama baiknya dengan subyek nontunagrahita pada MA yang sebanding sebagaimana diprediksi oleh teori perkembangan, tetapi terdapat perbedaan bila dibandingkan secara individual.
    Sejumlah peneliti lain menemukan hal yang serupa (Brown, 1973; Gruen dan Vore, 1972).

    Wilton dan Boersma (1974) mengkaji hasil berbagai penelitian tentang kemampuan konservasi pada orang tunagrahita dan menarik kesimpulan sebagai berikut:
    1) Orang tunagrahita sedang tidak memperoleh kemampuan konservasi kuantitas. Ini berarti bahwa mereka tidak mencapai tahap operasional konkret.
    2) Secara umum anak tunagrahita ringan menunjukkan kemampuan konservasi tingkat rendah (jumlah, kuantitas dan berat) sebaik anak nontunagrahita pada tingkat MA yang sebanding.
    3) Orang tunagrahita ringan biasanya tidak memiliki kemampuan konservasi volume. Ini berarti bahwa mereka tidak mencapai tahap operasional formal.

    III. Mempercepat Perkembangan Kognitif pada Anak Tunagrahita

    Pertanyaan yang sering muncul adalah sejauh mana perkembangan kognitif dapat dipercepat melalui pengajaran. Piaget (1970) mengemukakan bahwa bodoh dan bahkan berbahaya untuk mencoba mempercepat perkembangan. Anak berkembang dengan kecepatannya sendiri yang kodrati, dan upaya untuk melawan kodrat tersebut kemungkinan akan gagal.
    Akan tetapi, sejumlah pendidik telah berusaha mengembangkan program untuk mempercepat perkembangan, terutama untuk mengajarkan konsep-konsep seperti konsep konservasi. Banyak dari upaya-upaya terdahulu dalam bidang ini terbatas keberhasilannya, dan yang mengkaji hasil-hasil penelitian dalam bidang ini (Flavell, 1963) menyimpulkan bahwa mempercepat perkembangan kemampuan konservasi itu cenderung tidak mungkin.
    Akan tetapi, upaya-upaya yang lebih kini, dengan menggunakan berbagai teknik baru, menunjukkan keberhasilan yang lebih baik. Misalnya, beberapa orang pendidik mencoba mengajarkan konsep konservasi kepada anak tunagrahita dan melaporkan keberhasilan (Brison dan Bereiter, 1967; Lister, 1969, 1970; Kahn, 1975).
    Wilton dan Boersma (1974), sesudah mengkaji sejumlah hasil penelitian dalam masalah tersebut, menyimpulkan bahwa memang terdapat bukti percepatan pemahaman tentang konservasi pada anak-anak tunagrahita setelah diberi latihan, tetapi sama sekali tidak jelas prosedur apa yang terbaik untuk mengajarkan konsep tersebut, dan mengapa prosedur itu dapat berhasil. Di samping itu, sulit untuk memastikan apakah struktur kognitif benar-benar berubah secara signifikan dan anak mengembangkan pemahaman tentang konservasi atau apakah mereka sekedar diajari untuk mengatakan jawaban yang benar tanpa benar-benar mengerti. Untuk menjawab persoalan tersebut, Wilton dan Boersma (1974) melakukan asesmen konservasi dengan mengamati gerakan mata dan reaksi tercengang yang ditunjukkan oleh anak sebagai ganti respon verbal. Setelah melewati masa latihan konservasi benda cair, mereka menemukan bahwa kelompok subyek yang dilatih menunjukkan gerakan mata yang lebih eksploratoris, sedangkan kelompok kontrol yang tidak dilatih cenderung memfokuskan pandangannya pada ketinggian benda cair itu saja. Hal ini memperkuat pendapat bahwa program latihan konservasi itu benar-benar melatih konservasi, tidak sekedar melatih respon yang superfisial.

    IV. Validitas Teori Perkembangan

    Teori perkembangan meyakini bahwa perilaku anak tunagrahita berkembang dengan cara yang sama seperti anak normal kecuali lebih lambat. Teori ini merupakan satu cara untuk menjelaskan perbedaan antara anak tunagrahita dan nontunagrahita dalam kinerja belajar, ingatan dan berbahasa, dan ini merupakan pendirian fundamental para penganut teori Piaget mengenai retardasi mental. Karena demikian pentingnya, teori ini seyogyanya dievaluasi secara lebih rinci.
    Suatu teori perkembangan hanya bermanfaat sejauh menjelaskan bahwa terdapat pola untuk perkembangan yang normal, artinya bahwa semua anak berkembang melalui tahap-tahap yang sama dengan urutan yang sama (Engalls, 1978). Sebagaimana telah kita lihat di muka, asumsi ini jelas valid untuk perkembangan kognitif seperti yang digambarkan oleh teori Piaget, dan juga cukup baik dalam menggambarkan perkembangan bahasa.
    Langkah berikutnya dalam mengases validitas teori perkembangan umum adalah dengan membandingkan kinerja anak tunagrahita dengan anak nontunagrahita yang berada pada tahap perkembangan mental yang sama, untuk memastikan sejauh mana persamaan kedua kelompok anak ini dalam keberfungsian mentalnya. Terdapat beberapa kesulitan untuk melakukan hal tersebut. Pertama, sulit untuk melakukan asesmen yang tepat tentang tingkat perkembangan, baik untuk anak tunagrahita maupun nontunagrahita. Kedua, mungkin terdapat perbedaan yang jelas antara faktor motivasi dan kepribadian anak tunagrahita dan nontunagrahita, dan akibatnya kinerja kedua kelompok ini dalam suatu tugas belajar kemungkinan sangat berbeda sedangkan kompetensi belajar yang sesungguhnya pada kedua kelompok ini kemungkinan hampir sama.
    Namun demikian, teori perkembangan jauh lebih baik daripada berbagai teori kecacatan untuk memahami perbedaan antara kinerja orang tunagrahita dan nontunagrahita. Jika kita ingin mendeskripsikan keberfungsian seorang anak tunagrahita tertentu, MA anak itu hampir selalu merupakan dasar estimasi yang baik tentang kapabilitasnya. Seorang anak dengan MA lima tahun cenderung berkinerja pada tingkat usia lima tahun anak normal dalam semua bidang keberfungsiannya.

    Akan tetapi, hasil analisis yang lebih seksama terhadap data hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat terlalu banyak perbedaan antara anak tunagrahita dan nontunagrahita dengan tingkat MA yang sama, sehingga kita tidak dapat sepenuhnya menerima teori perkembangan. Berikut ini adalah beberapa generalisasi yang dapat dibuat tentang kinerja anak tunagrahita dibanding anak normal dengan MA yang setara (Engalls, 1978):

    1) Anak tunagrahita ketinggalan oleh anak nontunagrahita dalam perkembangan bahasanya, meskipun cara perolehannya sama.
    2) Anak tunagrahita menunjukkan defisiensi tertentu dalam penggunaan konstruksi gramatik tertentu dalam berbahasa.
    3) Anak tunagrahita cenderung kurang menggunakan komunikasi verbal, strategi penghafalan, serta proses-proses kontrol lainnya yang memudahkan belajar dan mengingat.
    4) Anak tunagrahita relatif mengalami kesulitan dalam tugas-tugas belajar dan hafalan yang melibatkan konsep-konsep abstrak dan kompleks, tetapi relatif kurang mengalami kesulitan dalam belajar asosiasi hafalan sederhana.

    Dengan kata lain, teori perkembangan sangat baik dalam memprediksi keberfungsian anak tunagrahita secara umum, tetapi kurang baik bila dipergunakan untuk menelaah keberfungsian secara lebih rinci.

    Label: ,

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google
  • Kembali ke Halaman Depan
  • PROGRAM MASTER PENDIDIKAN KEBUTUHAN KHUSUS

    SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

    A. Latarbelakang

    1. Perubahan Paradigma : Dari Pendidikan Khusus (Special Education)
    Ke Pendidikan Kebutuhan Khusus (Special Needs Education)

    a. Pendidikan Khusus/PLB (Special Education)
    Perkembangan sejarah pendidikan bagi anak penyandang cacat yang yang disebut Pendidikan Luar Biasa (sebagai terjemahan dari Special Education), selama beberapa dekade telah mengalami banyak perubahan. Perubahan itu dipengaruhi oleh sikap dan kesadaran masyarakat terhadap anak penyandang cacat dan pendidikannya, metodologi dan perubahan konsep yang digunakan.
    Sejarah menunjukkan bahwa selama berabad abab di semua Negara di dunia, individu yang keadaannya berbeda dari kebanyakan indivividu pada umumnya (menyandang kecacatan), kehadirannya ditolak oleh masyarakat. Hal ini disebabkan oleh adanya anggapan anggota kelompok yang terlalu lemah (penyanang cacat) tidak mungkin dapat berkontribusi terhadap kelompoknya. Mereka yang berbeda karena menyandang kecacatan disingkirkan, tidak mendapatkan kasih sayang dan kontak sosial yang bermakna, keberadaan penyandang cacat tidak diakui oleh masyarakatnya.
    Di masa lalu, ketidaktahuan orang tua dan masyarakat mengenai hakekat dan penyebab kecacatan menimbulkan rasa takut dan perasaan bersalah, sehingga berkembang macam-macam kepercayaan dan tahayul. Misalnya seorang ibu yang melahirkan anak penyandanc cacat merupakan hukuman baginya atas dosa-dosa nenek moyangnya. Oleh sebab itu di masa lalu, anak-anak penyandang cacat sering disembunyikan oleh orang tuanya, sebab memiliki anak penyandang cacat merupakan aib keluarga.
    Peradaban manusia terus berkembang, pemahaman dan pengetahuan barus mengajarkan kepada manusia bahwa setiap orang memiliki hak yang sama untuk hidup. Pandangan seperti inilah yang berhasil menyelamatkan kehidupan anak-anak penyandang cacat. Menyelatkan hidup anak-anak penyandang cacat menjadi penting karena dipandang sebagai symbol dari sebuah peradaban yang lebih maju dari sari suatu bangsa,
    meskipun anak-anak penyandang cacat memerlukan perhatgian ekstra (Miriam, 2001). Pandangan orang tua dan masyarakat yang menganggap bahwa memelihara dan membesarkan anak merupakan investsi agar kelak anak dapat membalas jasa orang tuanya menjadi tidak dominan.
    Anak penyandang cacat mulai diakui keberadaannya, dan oleh sebab itu mulai bediri sekolah-sekolah khusus, rumah-rumah perawatan, dan panti social yang secara khusus mendidik dan merawat anak penyandang cacat. Mereka yang menyandang kecacatan dipandang memiliki karakteristik yang bebeda dari orang kebanyakan, sehingga dalam pendidikannya mereka memerlukan pendekatan dan metode khusus sesuai dengan karakteristiknya. Oleh sebab itu pendidikan anak-anak penyandang cacat harus dipisahkan (di sekolah khusus) dari pendidikan anak-anak lainnya. Konsep pendidikan sepeti inilah yang disebut dengan Special Education (di Indonesia diterjemahkan menjadi Pendidikan Luar Biasa atau Pendidikan Khusus), yang melahirkan system sekolah segregasi (Sekolah Luar Biasa).
    Di dalam konsep special education (PLB/Pendidikan Khusus) dan system pendidikan segregasi (sekolah khusuus), anak penyandang cacat dilihat dari aspek karakteristik kecacatannya (labeling), sebagai dasar dalam memberikan layanan pendidikan, sehingga setiap kecacatan harus diberikan layanan pendidikan yang khusus yang berbeda dari kecacatan lainnya (dalam prakteknya terdapat sekolah khusus/ Sekolah Luar Biasa untuk anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, dan tunadaksa). Oleh karena itu terdapat dikotomi antara pendidikan khusus/Pendidikan Luar Biasa/ Sekolah Luar Biasa dengan pendidikan biada/ sekolah biasa, dianggap dua hal yang sama sekali berbeda. Dengan kata lain fokus utama dari Special Education adalah label kecacatan bukan anak sebagai indvidu yang unik.
    Bentuk layanan pendidikan (sekolah khusus) bagi anak-anak penyandang cacat yang didasakan pada konsep special education /PLB, telah dimulai di Bandung sejak tahun 1901 yaitu pendidikan bagi anak-anak tunanetra, berikutnya pada tahun 1927 mulai diselenggarakan pendidikan bagi anak tunarungu, tahun 1930 diselenggarakan pendidikakan untuk anak tunagrahita dan pada tahun 1962 diselenggarakan pendidikan untuk anak tunadaksa.
    Sementara itu pendidikan guru untuk sekolah khusus/SLB dimulai sejak tahun 1952 dengan didirikannya SGPLB (Sekolah Guru Pendidikian Luar Biasa) di Bandung (stingkata D2) dan untuk program sarjana (S1) dimulai pada tahun 1964 didirikann jurusan PLB di IKIP Bandung.

    b. Pendidikan Kebutuhan Khusus (Special Needs Education)
    Dalam konsep pendidikan kebutuhan khusus semua anak termasuk anak penyandang cacat dipandang sebagai individu yang unik. Setiap individu anak memiliki perbedaan dalam perkembangan dan memiliki kebutuhan khusus yang berbeda pula. Anak-anak penyandang cacat memiliki hambatan perkembangan dan hambatan belajar akibat dari kecacatan yang dimilinya.Oleh karena itu fokus utama dari pendidikan kebutuhan khusus adalah hambatan belajar dan kebutuhan anak secara individual (Miriam, 2001). Pendidikan kebutuhan khusus (special needs education) memamdang anak termasuk anak penyandang cacat sebagai individu yang khas dan utuh, keragaman dan perbedaan individu sangat dihormati.
    Konsep pendidikan kebutuhan khusus (special needs education) melihat kebutuhan anak dari spektrum yang sangat luas, yaitu bahwa setiap anak memiliki kebutuhan yang bersifat khusus, oleh karena itu anak berkebtuhan khusus meliputi dua kategori yaitu anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementara (temporary special needs) dan anak kebutuhan khusus yang bersifat menetap (permanently special needs).
    Anak berkebutuhan khusus temporer/sementra (temporary special needs) adalah anak-anak yang mengalami hambatan akibat dari faktor-faktor lingkungan seperti: (1) anak mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri akibat sering menerima kekerasan dalam rumah tangga, (2) mengalami kesulitan konsentrasi karena sering diperlakukan kasar oleh orang tuanya, (3) mengalami kesulitan kumulatif dalam membaca dan berhitung akibat kekeliruan guru dalam mengajar atau (4) anak-anak yang mengalami trauma akibat dari bencana alam yang mereka alami. Anak- anak sepeti ini memerlukan bantuan khusus untuk mengatasi hambatan-hambatan yang dialaminya. Apabila mereka tidak mendapatkan layanan pendidikan yang tepat sesuai dengan kebutuhannya, tidak mustahil hambatan-hambatan tersebut akan menjadi permanent.
    Anak berkebutuhan khusus yang bersifat permanen (permanently special needs) adalah anak-anak yang mengalami hambatan dan kebutuhan khusus akibat dari kecacatan tertentu, misalnya kebutuhan khusus akibat dari kehilangan fungsi penglihatan, kehilangan fungsi pendengaran, perkembangan kecerdasan/kognitif yang rendah, ganggauan fungsi gerak/motorik dsb.
    Anak berkebutuhan khusus baik yang bersifat temporer maupun yang bersifat permanen memerlukan layanan pendidikan yang disesuaikan dengan hamabatan belajar dan kebutuhan-kebutuhannya. Bidang studi yang membahas tentang penyesuaian pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus adalah pendidikan kebutuhan khusus (Special Needs Education). Oleh sebab itu cakupan wilayah pendidikan kebutuhan khusus menjadi sangat luas karena tidak dianalogikan dengan lokasi atau tempat layanan yang bersifat khusus (sekolah khusus/sekolah luar biasa seperti pada konsep pendidikn khusus/PLB (special education), tetapi lebih bersifat fungsional yaitu layanan pendidikan bagi semua anak yang membutuhkan layanan khusus akan pendidikan (special educational needs) di manapun mereka berada baik di sekolah biasa, di sekolah khusus, di rumah (home schooling), di rumah sakit (bagi anak yang rawat inap sangat lama dan meningalkan sekolah), maupun mungkin di lembaga-lembaga perawatan anak. Anak-anak dengan diagnosis yang sama (misalnya : tunanetra atau tunagrahita), dalam para digma pendidikan khusus/luar biasa dilayani dengan cara yang sama berdasarkan berdasarkan label kecacatannya. Sekarang disadari bahwa anak dengan diagnosis medis yang sama ternyata dapat belajar dengan cara yang jauh berbeda. Dengan kata lain, mereka dapat mempunyai kebutuhan pendidikan (special educational needs) yang berbeda-beda (Miriam, 2001).
    Diagnosis seperti yang dilakukan pada masa lalu menyebabkan anak-anak diberi label ketunaan yang mengakibatkan gurunya memfokuskan aktivitas layanan pendidikan pada keterbatasan yang disebabkan oleh kecacatanya. Ini mengakibatkan guru tidak menyadari potensi yang ada pada diri anak. Pemberian label dan layanan pendidikan yang terlalu dispesialisasikan menyebabkan banyak guru khusus kehilangan pemahaman yang holistic tentang anak dan, tidak menggunakan pendekatan holistic dalam pembelajaran. Ini mengakibatkan timbulnya anemia pendidikan dan menghambat pengayaan
    Perlu dipahami perbedaan istilah pendidikan kebutuhan khusus (special needs education) dengan istilah kebutuhan khusus akan pendidikan (special educational needs). Seperti telah disebut sebelumnya bahwa pendidikan kebutuhan khusus (special needs education) adalah disiplin ilmu yang membahas tentang layanan pendidikan yang disesuiakan bagi semua anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan pekembangan akibat dari kebutuhan khusus tertertu baik yang bersifat temporer maupun yang besifat permanen. Sementara itu istilah kebutuhan khusus akan pendidikan (special educational needs) adalah kebutuhan, hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang dialami oleh seorang anak secara individual.
    Sejauh ini telah terjadi pergeseran atau pergerakan dalam cara berpikir dari pemahaman yang didasarkan pada pengelompokkan anak menurut identitas atau label kecacatan tertentu menuju ke arah pemahaman anak secara holisstik dan melihat anak sebagai individu yang unik. Untuk melihat proses pergeseran cara pandang seperti itu dapat dilihat pada bagan 1.1 berikut ini.

















    KEBUTUHAN DAN HAMBATAN BEL
    LABEL KECACATAN (DISABILITY)
    TUNANETRA
    TUNARUNGU
    TUNADAKSA
    TUNAGRAHITA
    PERMANEN
    TEMPORER






    \
    Bagan 1.1: Pergerakan Dari Pendidikan Kusus/PLB ke Pendidikan Kebutuhan Khusus


    Pendidikan kebutuhan khusus sebagai disiplin ilmu mempunyai tiga fungsi yaitu: (1) Fungsi preventif, (2) Fungsi kompensasai, (3) Fungsi intervensi,
    1) Fungsi Preventif
    Fungsi preventif adalah upaya pencegahan agar tidak muncul hambatan belajar dan hambatan perkembangan akibat dari kebutuhan khusus tertentu. Hambatan belajar pada anak dapat disebabkan oleh tiga faktor yaitu: (a) akibat faktor lingkungan. Seorang anak dapat mengalami hambatan belajar karena bisa disebabkan oleh kurikulum yang terlalu padat, kesalahan guru dalam mengajar, anak yang terpaksa harus bekerja mencari nafkah, trauma karena bencana alam/perang, anak yang diperlakukan kasar di rumah dsb.
    Fungsi preventif pendidikan kebutuhan khusus adalah mencegah agar faktor-faktor lingkungan tidak menyebabkan munculnya hambatan belajar, (b) akibat faktor dari dalam diri anak itu sendiri. Misalnya seorang anak yang kehilangan fungsi penglihatan atau kehilangan fungsi pendengaran yang dibawa sejak lahir, kondisi seperti itu dipandang sebagai hambatan belajar yang berasal dari dalam diri anak itu sendiri. Fungsi preventif pendidikan kebutuhan khusus dalam hubungannya dengan kondisi seperti ini adalah mencegah agar kehilangan fungsi penglihatan atau pendengaran itu tidak berdampak buruk dan lebih luas kepada aspek-aspek perkembangan dan kepribadian anak, (c) interaksi antara faktor lingkungan dan faktor dari dalam diri anak. Misalnya seorang anak yang kehilangan fungsi pendengaran dan secara bersamaan anak ini hidup dalam lingkungan keluarga yang tidak memberikan kasih sayang yang cukup, sehingga anak ini mengalami hambatan belajar yang disebabkan oleh faktor dirinya sendiri (kehilangan fungsi pendengaran) dan akibat faktor eksternal lingkungan.
    Fungsi preventif pendidikan kebutuhan khusus dalam konteks seperti ini adalah melokalisir dampak dari kehilangan fungsi pendengaran dan secara bersamaan menciptakan lingkungnan yang dapat memenuhi kebutuhan anak akan kasih sayang yang tidak diperoleh di lingkungan keluarganya.

    2) Fungsi Intervensi
    Kata intervensi dapat diartikan sebagai upaya menangani hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang sudah terjadi pada diri anak. Misalnya seorang anak mengalami gangguan dalam perkembangan kecerdasan/kognitif sehingga ia mengalami kesulitan dalam belajar secara akademik. Fungsi intervensi pendidikan kebutuhan khusus adalah upaya menangani anak agar dapat mencapai perkembangan optimum sejalan dengan potensi yang dimilikinya.
    Contoh lain, seorang anak yang mengalami gangguan dalam perkembangan motorik (misalnya: cerebral palsy). Akibat dari gangguan motorik ini anak dapat mengalami kesulitan dalam bergerak dan mobilitas, sehingga akitivitasnya sangat terbatas. Fungsi intervensi pendidikan kebutuhan khusus dalam konteks ini adalah menciptakan lingkungan yang memungkin anak dapat belajar secara efektif, sehingga dapat mencapai perkembangan optimum sejalan dengan potensi yang dimilikinya.
    Dengan kata lain fungsi intervensi tidak dimaksudkan supaya anak yang mengalami kehilangan fungsi pendengaran agar dapat mendengar, tetapi dalam keadaan tidak dapat mendengar mereka tetap dapat belajar, bekerja dan hidup secara wajar bersama dengan orang lain dalam lingkungannya. Inilah yang disebut dengan coping, artinya anak dapat berkembang optimum dengan kondisi yang dimilikinya.
    3) Fungsi Kompensasi
    Pengertian kompensasi dalam kontek pendididikan kebutuhan khusus diartikan sebagai upaya pendidikan untuk menggantikan fungsi yang hilang atau mengalami hambatan dengan fungsi yang lain. Seorang anak yang kehilangan fungsi penglihatan akan sangat kesulitan untuk belajar atau bekerja jika berhubungan dengan penggunaan fungsi penglihatan. Oleh karena itu kehilangan fungsi penglihatan dapat dialihkan/dikompensasikan kepada fungsi lain misalnya perabaan dan pendengaran. Salah satu bentuk kompensasi pada orang yang kehilangan penglihatan adalah pengunaan tulisan braille. Seorang tunanetra akan dapat membaca dan menulis dengan menggunakan fungsi perabaan.
    Seorang yang kehilangan fungsi pendengaran akan mengalami kesulitan dalam perkembangan keteramilan berbahasa, dan oleh sebab itu akan terjadi hambatan dalam interaksi dan komunikasi. Bentuk kompensasi dari adanya hambatan dalam interaksi dan komunikasi pada orang yang kehilangan fungsi pendengaran adalah pengunaan bahasa isyarat. Dalam berkomunikasi dengan menggunakan bahasa isyarat fungsi penglihatan sangat berperan sebagai kompensasi dari fungsi pendengaran
    Contoh lain jika di sekolah ada seorang anak yang mengalami hambatan dalam penggunaan fungsi motorik, ia akan sangat mengalami kesulitan dalam hal menulis. Ketika misalnya anak tersebut akan mengikuti ujian maka dapat dilakukan tindakan kompensasi dengan tidak mengikuti ujian secara tertulis melainkan dengan ujian lisan. Dalam hal aktivitas belajar, anak itu tidak dituntut untuk mencatat apa yang mereka pelajari tetapi dapat menggunakan cara lain misalnya menggunakan tape recorder atau apa yang akan dijelaskan oleh guru diberikan dalam bentuk teks.
    Melalui upaya kompensasi, anak akan tetap dapat mengikuti akitivtas belajar seperti yang dilakukan oleh anak lainya dengan cara-cara yang dimodifikasi dan diseuiakan dengan mengganti fungsi yang hilang/ tidak berkembang dengan fungsi lainnya yang masih utuh..

    2. Anak Berkebutuhan Khusus (Children with Special Needs)
    Istilah anak berkebutuhan khusus memiliki cakupan yang sangat luas. Dalam paradigma pendidikan kebutuhan khusus keberagaman anak sangat dihargai. Setiap anak memiliki latar belakang kehidupan budaya dan perkembangan yang berbeda-beda, dan oleh kaarena itu setiap anak dimungkinkan akan memiliki kebutuhan khusus serta hambatan belajar yang berbeda beda pula, sehingga setiap anak sesungguhnya memerlukan layanan pendidikan yang disesuiakan sejalan dengan hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing anak Anak berkebutuhan khusus dapat diartikan sebagai seorang anak yang memerlukan pendidikan yang disesuiakan dengan hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing anak secara individual.
    Cakupan konsep anak berkebutuhan khusus dapat dikategorikan menjadi dua kelompok besar yaitu anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementra (temporer) dan anak berkebutuhan khusus yang besifat menetap (permanent).

    a) Anak Berkebutuhan Khusus Bersifat Sementra (Temporer)
    Anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementara (temporer) adalah anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan disebabkan oleh faktor-faktor eksternal. Misalnya anak yang yang mengalami gangguan emosi karena trauma akibat diperekosa sehingga anak ini tidak dapat belajar. Pengalaman traumatis seperti itu bersifat sementra tetapi apabila anak ini tidak memperoleh intervensi yang tepat boleh jadi akan menjadi permanent. Anak seperti ini memerlukan layanan pendidikan kebutuhan khusus, yaitu pendidikan yang disesuikan dengan hambatan yang dialaminya tetapi anak ini tidak perlu dilayani di sekolah khusus. Di sekolah biasa banyak sekali anak-anak yang mempunyai kebutuhan khusus yang berssifat temporer, dan oleh karena itu mereka memerlukan pendidikan yang disesuiakan yang disebut pendidikan kebutuhan khusus.
    Contoh lain, anak baru masuk Kls I Sekolah Dasar yang mengalami kehidupan dua bahasa. Di rumah anak berkomunikasi dalam bahasa ibunya (contoh bahasa: Sunda, Jawa, Bali atau Madura dsb), akan tetapi ketika belajar di sekolah terutama ketika belajar membaca permulaan, mengunakan bahasa Indonesia. Kondisi seperti ini dapat menyebabkan munculnya kesulitan dalam belajar membaca permulaan dalam bahasa Indonesia. Anak seperti ini pun dapat dikategorikan sebagai anak berkebutuhan khusus sementra (temporer), dan oleh karena itu ia memerlukan layanan pendidikan yang disesuikan (pendidikan kebutuhan khusus). Apabila hambatan belajar membaca seeperti itu tidak mendapatkan intervensi yang tepat boleh jadi anak ini akan menjadi anak berkebutuhan khusus permanent.

    b) Anak Berkebutuhan Khusus yang Bersifat Menetap (Permanen)
    Anak berkebutuhan khusus yang bersifat permanen adalah anak-anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang bersifat internal dan akibat langsung dari kondisi kecacatan, yaitu seperti anak yang kehilangan fungsi penglihatan, pendengaran, gannguan perkembangan kecerdasan dan kognisi, gannguan gerak (motorik), gannguan iteraksi-komunikasi, gannguan emosi, social dan tingkah laku. Dengan kata lain anak berkebutuhan khusus yang bersifat permanent sama artinya dengan anak penyandang kecacatan.
    Istilah anak berkebutuhan khusus bukan merupakan terjemahan atau kata lain dari anak penyandang cacat, tetapi anak berkebutuhan khusus mencakup spektrum yang luas yaitu meliputi anak berkebutuhan khusus temporer dan anak berkebutuhan khusus permanent (penyandang cacat). Oleh karena itu apabila menyebut anak berkebutuhan khusus selalu harus diikuti ungkapan termasuk anak penyandang cacat. Jadi anak penyandang cacat merupakan bagian atau anggota dari anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu konsekuensi logisnya adalah lingkup garapan pendidikan kebutuhan khusus menjadi sangat luas, berbeda dengan lingkup garapan pendidikan khusus yang hanya menyangkut anak penyandang cacat









    Faktor internal
    Faktor ekternal
    Kombinasi
    KONVENSASI
    INTERVENSI
    PREVENSI
    INTERVENSI
    ORIENTASI BIDANG GARAPAN PENDIDIKAN KEBUTUHAN KHUSUS






















    Bagan 1. 2: Anak Berkebutuhan Khusus dan Pendidikan Kebutuhan Khusus


    3. Hambatan Belajar dan Hambatan Perkembangan
    Dalam paradigma pendidikan khusus/PLB, label kecacatan dan karakteristiknya lebih menonjol dan dijadikan patokan dalam memberikan layanan pendidikan dan intervensi. Anak yang memiliki kecacatan tertentu dipandang sebagai kelompok yang memiliki karakteristik yang sama. Cara pandang seperti ini menghilangkan eksistensi anak sebagai individu. Anak-anak yang didiagnosis sebagai anak penyandang cacat tertentu (misalnya tunanetra) diperlakukan dalam pembelajaran dengan cara yang sama berdasarkan label kecacatannya. Cara pandang seperti ini lebih mengedepankan aspek identitas kecacatan yang dimiliki dari pada aspek individu anak sebagai manusia.
    Dalam konsep pendidikan khusus/PLB (special education) lebih banyak menggunakan diagnosis untuk menentukan label kecacatan. Berdasarkan label itulah
    layanan pendidikan diberikan dengan cara yang sama pada semua anak yang memiliki label kecacatan yang sama, dan tidak memperimbangkan aspek-aspek lingkungan dan faktor-faktor dalam diri anak. Sebagai contoh jika hasil diagnosis menunjukkan bahwa seorang anak dikategorikan sebagai anak autisme, maka semua anak autisme akan diperlakukan dengan cara dan pendekatan yang sama berdasarkan label dan karakteristik nya.
    Dalam paradigma pendidikan kebutuhan khusus (special needs education), anak yang mempunyai kebutuhan khusus baik yang bersifat temporer maupun yang bersifat permanent akan berdampak langsung kepada proses belajar, dalam bentuk hambatan untuk melakukan kegiatan belajar (barrier to learning and development). Hambatan belajar dan hambatan perkembangan dapat muncul dalam banyak bentuk, untuk mengetahui dengan jelas hambatan belajar, hambatan perkembangan dan kebutuhan yang dialami oleh seorang anak sebagai akibat dari kebutuhan khusus tertentu/kecacatan tertentu, dilakukan dengan mengunakan asesmen.
    Hasil asesmen akan memberikan gambaran yang jelas mengenai hambatan belajar setiap anak. Berdasarkan data hasil asesmen itulah pembelajaran akan dilakukan. Tidak akan terjadi dua orang anak yang mempunyai kebutuhan khusus/kecacatan yang sama, memiliki hambantan belajar, hambatan perkembangan dan kebutuhan yang persis sama. Oleh karena itu pendidikan kebutuhan khusus difokuskan untuk membantu menghilangkan atau sekurang-kurangnya meminimalkan hambatan belajar dan hambatan perkembangan sebagai akibat dari kondisi yang dialami oleh setiap anak secara individual. Inilah yang disebut dengan pembelajaran yang berpusat kepada anak (child center approach).
    Dalam perspektif pendidikan kebutuhan khusus diyakini bahwa ada faktor-faktor lain yang sangat penting untuk dipertimbangkan yaitu faktor lingkungan, termasuk sikap terhadap anak pada umumnya dan terhadap anak tertentu karena lingkungan yang tidak responsive, kurang stimulasi, pemahaman guru dan kesalahpahaman guru akan proses pembelajaran, isi, pendekatan pembelajaran dan materi pembelajaran dapat memimbulkan hambatan belajar dan hambatan perkembangan.

    Selain faktor lingkungan, hal lain yang juga sangat penting untuk dipertimbang- kan adalah faktor-faktor pada diri anak, seperti rasa ingin tahu, motivasi, inisiatif, interaksi/komunikasi, kompetensi sosial, kreativitas, temperamen, gaya belajar dan kemampuan potensial. Pendidikan kebutuhan khusus memandang anak sangat komprehensif dan memandang anak sebagai anak, bukan memandang anak berdasarkan label yang diberikan. Berdasarkan penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa hambatan belajar dapat terjadi juga pada anak yang tidak memiliki kecacatan. Dengan pandangan yang luas seperti ini, akan meningkatkan pemahaman kita tentang keunikan setiap individu anak.
    Konsep hambatan belajar dan hambatan perkembangan sangat penting untuk dipahami karena hambatan belajar dapat muncul di setiap kelas dan pada setiap anak. Semua anak mempunyai kemungkinan yang sama untuk mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan. Pendidikan kebutuhan khusus menekankan pada upaya untuk membantu anak menghilangkan atau sekurang-kurangnya mengurangi hambatan belajar dan hambatan perkembangan sebagai akibat dari kondisi tertentu, agar anak dapat mencapai perkembangan optimum.

    B. Pendirian Program Studi Pendidikan Kebutuhan Khusus di SPS UPI
    1. Persiapan
    Perubahan paradigma dari special education (Pendidikan Luar Biasa/Pendidikan Khusus) ke special needs education (Pendidikan Kebutuhan Khusus) merupakan isu global/internasional. Sejauh ini Indonesia masih berada dalam paradigma lama (special educatioan) dan masih sangat sedikit para profesional dalam bidang pendidikan yang memahami konsep pendidikan kebutuhan khusus secara tepat. Oleh karena itu perlu usaha untuk meningkatkan kemampuan para professional termasuk para guru, peneliti, para admistrator pendidikan dalam memahami pendidikan kebutuhan khusus.
    Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak tahun 2001 UPI membentuk sebuah tim yang diberi tugas untuk menyusun proposal pendirian program studi ini, yang kemudian proposal itu dirimkan ke Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dan tembusannya dikirim ke pemerintah Norwegia dan ke Universitas Oslo melalui melalui Braillo Norway di Jakarta. Proposal tsb memdapat reapon positif dari pemerintah Norwegia dan Universitas Oslo. Mereka mengundang tim dari UPI untuk menjadi peneliti tamu di Universitas Oslo. Pada awal tahun 2003 tim dari UPI berangkat ke Norwegia untuk mempelajari seluk beluk penyelenggaraan program studi Pendidikan Kebutuhan Khusus di Universitas Oslo, terutama berkenaan dengan: 1) sistem penerimaam mahasiswa, 2) isi dan struktur kurikulum program master, 3) proses pembelajaran, 4) proses penulisan tesis, 5) sistem penilaian dan ujian dan akhirnaya, 6) tim menyusun kurikulum program master pendidikan kebutuhan khusus pascasarjana UPI, yang saat ini masih digunakan..
    Pada bulan September tahun 2003 program studi ini mulai menerima mahasiswa baru yang berasal dari provinsi: Sumatra Barat, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jogjakarta. Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, dan Kalimantan Selatan. Semua mahasiswa angakatan pertama dan ke dua mendapat beasiswa dari pemerintah Norwegia.

    2. Visi, Misi, Tujuan Program Studi Pendidikan Kebutuhan Khusus
    dan Inklusi

    a. Visi

    Visi program master Pendidikan Kebutuhan Khusus dan Inklusi SPS UPI adalah: Menjadi salah satu pusat unggulan dalam pendidikan kebuhan khusus, guna mengembangkan layanan pendidikan yang lebih baik bagi semua anak berkebutuhan khusus, baik mereka yang berada di sekolah biasa, di sekolah luar biasa maupun mereka yang ada di luar lembaga persekolahan.

    b. Misi
    Program magister Pendidikan Kebutuhan Khusus dan Inklusi di Sekolah Pascasrjana UPI mengemban misi sebagai berikut:
    1) Mengembangkan sumberdaya manusia agar memiliki kemampuan dalam mengelola Pendidikan Kebutuhan Khusus
    2) Mengembangkan konsep secara ilmiah dan praktek Pendidikan Kebutuhan Khusus melalui penelitian
    3) Mengembangkan kerjasama yang erat dengan lembaga pendidikan tinggi lain dan dengan lapangan untuk meningkatkan mutu Pendidikan Kebutuhan Khusus


    c. Tujuan
    Tujuan program studi Pendidikan Kebutuhan Khusus dan Inklusi adalah sebagai berikut:
    1) Lulusan memiliki pengetahuan dan pemahaman yang luas tentang teori-teori mutahkir dan metode-metode dalam bidang pendidikan kebutuhan khusus dan inklusi
    2) Lulusan memiliki pengetahuan dan pemahaman yang luas tentang isu-isu teoritis dan praktis yang terkait dengan pendidikan inklusif
    3) Lulusan memiliki pengatahuan dan keterampilan untuk mengelola pendidikan kebutuhan khusus dan pendidikan inklusif
    4) Lulusan memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk menyesuaikan lingkungan belajar agar sesuai dengan kebutuhan khusus setiap anak
    5) Lulusan memiliki wawasan yang luas tentang aplikasi praktis prinsip-prinsip dan metode-metode pendidikan, rehabilitasi/habilitasi di dalam maupun di luar kelas.
    6) Lulusan memiliki kualifikasi untuk mengembangkan bidang pendidian kebutuhan husus dan inklusi di daerahnya masing-masing.

    C. Struktur Kurikulum dan Proses Perkuliahan
    1.Struktur Kurikulum
    Untuk mencapai misi, visi dan tujuan, stuktur kurikulum dikembangkan menjadi tiga kelompok yaitu: 1) Kelompok Mata Kuliah Landasan Keilmuan (MKLK), 2) Kelompok Mata kuliah Kajian Utama (MKKU), 3) Mata Kuliah Kajian Utama (MKKU) Keterampilan Adaptif. Struktur kurikulum disusun sebagai berikut:

    Kelompok Mata Kuliah Landasan Keilmuan (MKLK)

    No
    Mata Kuliah
    SKS
    SM
    1
    Filasafat Pendidikan
    3
    1
    2
    Inovasi pendidikan
    3
    1
    3
    Metodologi Penelitian
    3
    2
    4
    Aplikasi Statistik dalam Penelitian Pendidikan*)
    3
    3
    5
    Analisis Kualitatif*)
    3
    3
    *) Dipilih salah Satu

    b. Kelompok Mata Kuliah Kajian Utama (MKKU)
    No
    Mata Kuliah
    SKS
    SM
    6
    Pengantar Pendidikan Inklusif
    2
    1
    7
    Perkembangan Anak
    3
    1
    8
    Hambatatan Belajar dan Perkembangan 1
    3
    1
    9
    Asesmen dan Pendekatan Pembelajaran 1
    3
    1
    10
    Hambatatan Belajar dan Perkembangan 2
    3
    2
    11
    Asesmen dan Pendekatan Pembelajaran 2
    3
    2
    12
    Bimbingan Konseling Anak Berkebutuhan Khusus
    2
    3
    13
    Manajemen Pendidikan Kebutuhan Khusus dan Inklusi
    2
    3
    14
    Thesis
    8
    4

    c. Kelompok Mata Kuliah Keterampilan Adaptif
    No
    Mata Kuliah
    SKS
    SM
    15
    Intervensi Dini
    3
    2
    16
    Tulisan Braille
    2
    2
    17
    Gangguan Interaksi dan komunikasi
    2
    2
    18
    Komunikasi Alternataif dan Augmentatif
    2
    3
    19
    Orientasi dan Mobilitas
    2
    3
    20
    Terapi Bermain
    2
    3

    2. Perkuliahan, Tugas dan Penilaian Hasil Belajar
    a. Perkuliahan
    Pada tahap awal berdirinya program studi ini (selama dua tahun, 2003/2004 dan 2004/2005) perkuliahan dilakukan oleh dua tim yaitu tim dari Universitas Oslo dan tim dari UPI. Uuntuk alsan efisiensi dosen dari Univesritas Oslo memberi kuliah secara blok waktu setiap hari mulai jam 9.00 sampai jam 4.00 sore selama 2 minggu penuh dan didampingi oleh dosen dari UPI. Perkuliahan selanjutnya dilakukan oleh dosen UPI sesuai jadual kuliah biasa. Sejak tahun 2005/2006 sampai saat ini perkuliahan seluruhnya dilakukan oleh dosen dari UPI.
    Perkuliahan pada program studi ini (terutama pada MKKU) dilakukan secara terintegrasi yaitu topik-topik dari setiap mata kuliah yang berhubungan erat dipecah-pecah menjadi topik-topik dan setiap topik diajarkan oleh dosen yang memiliki keakhlian dalam topik tsb. Oleh karena itu perkuliahan dilakukan secara tim yang terkoodinasi dan terorganisasi dengan baik di bawah koordinasi ketua program studi. Setiap dosen bertanggung jawab pada topik tertentu bukan pada mata kuliah, sehingga tidak kelihatan batas antara mata kuliah yang satu dengan mata kuliah yang lain. Dengan demikian diharapkan mahasiswa menjadi terbiasa berpikir holistik dan memahami perkuliahan secara terintegrasi.

    b. Mahasiswa Belajar dalam Kelompok
    Mahasiswa dalam mengikuti perkuliahan harus membuat kelompok terdiri dari 3-4 orang dalam satu kelompok. Kelompok dibuat secara permanen dalam satu memester. Setiap kelompok akan mendapat tugas dalam bentuk project-work yang berhubungan dengan topik perkuliahan atau dalam penyesesaian ujian, baik ujian tengan semester (UTS) maupun ujian akhir semester (UAS).
    Setiap tugas yang diperoleh oleh setiap kelompok semuanya berbentuk kasus nyata dalam pendidikan kebutuhan khusus yang harus dipecahkan melalui diskusi, observasi dan kajian konsep secara teoretis sesuai materi perkuliahan. Hasilnya harus dipresentsikan di kelas yang dihadiri oleh semua dosen dan mahasiswan untuk ditanggapi. Cara pemberian tugas seperti ini diharapkan dapat melatih keterampilan mahasiswa bekerja dalam tim dan keterampilan dalam menganalisis dan memecahkan masalah aktual berdasarkan pendekatan akademik/ilmiah.

    c. Penilaian Hasil Belajar Mahasiwa
    Peilaian hasil belajar mahasiswa didasarkan pada empat hal pokok yaitu keaktipan di dalam kelas, performen presentasi tugas project work, ujian tengah semester dan ujian akhir semester dan satu prasyarat yaitu jumlah kehadiran dalam perkuliahan sekurang-kurangnya 80%.
    Ujian tengah semester dan ujian akhir semester dilakukan secara kelompok dalam bentuk pemecahan masalah berupa kasus (bukan ujian secara konvensional). Setiap kelompok akan memperoleh soal ujian berupa kasus yang harus dipecahkan. Pemecahan masalah itu harus didasarkan atas pengetahuan mahasiswa dari hasil perkuliahan pada semester yang bersangkutan, hasil observasi lapangan dan studi pustaka kemudian didiskusikan. Hasil diskusi dibuat laporan tertulis dan dipresentasikan di depan tim dosen untuk diuji kesahikan hasil kerja mahasiswa tersebut.
    Disamping itu mahasiswa harus mengikuti ujian komprehensif tertulis pada akhir semester 3. Pada ujian ini akan diketahui tingkat penguasan konsep secara holistik setiap mahasiswa terhadap seluruh materi perkuliahan.

    d. Penulisan Tesis
    Penulisan tesis diawali pada semester 2 ketika mahasiswa mengikuti perkuliahan metodologi penelitian. Pada saat perkuliahan metodologi penelitian mahasiswa sudah harus memiliki tema penelitian yang dibahas secara intensif pada perkuliahan tersebut, sehingga setetelah selesai mengikuti perkuliaha metodologi penelitian setiap mahasiswa telah memiliki proposal.
    Proposal yang sudah dimiliki harus diseminarkan dihadapan tim dosen pembahas yang ditunjuk oleh ketua program studi. Penunjukan dosen yang akan membahas proposal tersebut didasarkan pada kesesuaian antara tema proposal penelitian mahasiswa dengan keahlian dosen. Dalam penulisan tesis selanjutnya, mahasiswa akan didampingi oleh dua orang dosen pembimbing.
    Untuk menguji kualitas tesis mahasiswa tersebut, dilakukan dua kali ujian yaitu ujian tahap I dan ujian tahap II. Ujian tahap I dilakukan setelah proses penelitian selesai dan tesis dibuat dalam bentuk drapt. Pada ujian tahap I, mahasiswa akan mendapat masukan dari dosen penguji dan pembimbing. Ujian tahap II dilakukan setelah mahasiswa melakukan perbaikan-perbaikan sesuai saran dan masukan dari penguji pada ujian tahap I.

    Refersensi



    Alimin, Zaenal (2004) Reorientasi Pemahaman Konsep Pendidikan Khusus Ke Pendidikan Kebutuhan Khusus dan Implikasinya terhadap Layanan Pendidikan. Jurnal Asesmen dan Intervensi Anak Berkebutuhan Khusus. Vol.3 No 1 (52-63)

    Johsen, Berit and Skjorten D. Miriam, (2001) Education, Special Needs Education an Introduction. Unifub Porlag: Oslo

    Foreman, Phil (2002), Integration and Inclusion In Action. Mc Person Printing Group: Australia.

    Lewis, Vicky (2003), Development and Disability. Blckwell Publishing Company: Padstow, Cornwall.

    Stubbs, Sue (2002) Inclusive Education: Where there are few resources. The Atlas Alliance: Gronland , Oslo.

    Tarsidi,D; Rahardja, D; Sunanto, J; Permanarian; Suhaeri; Alimin, Z (2003) Establishing The Master Programme In Inclusion and Special Needs Education at The Indonseia University of Education. UPI: Bandung.
























    PROGRAM MASTER
    PENDIDIKAN KEBUTUHAN KHUSUS DAN INKLUSI












    Oleh
    Zaenal Alimin

















    SEKOLAH PASCASARJANA
    UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
    2008

    Label:

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google
  • Kembali ke Halaman Depan