Buku Tamu



Anda adalah pengunjung ke
View My Stats

Silakan isi
  • Buku Tamu Saya
  • Lihat Buku Tamu




  • Jika anda meninggalkan pesan atau mengajukan pertanyaan yang memerlukan respon,
    respon saya dapat anda baca di
  • Comment




  • Google

    Daftar Isi

  • KESULITAN BELAJAR DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN
  • REORIENTASI PENDIDIKAN KHUSUS/PLB (SPECIAL EDUCATION) KE PENDIDIKAN KEBUTUHAN KHUSUS (SPECIAL NEEDS EDUCATION) USAHA MENCAPAI PENDIDIKAN UNTUK SEMUA
  • Program Master Pendidikan Kebutuhan Khusus SPS
  • MENJANGKAU ANAK-ANAK YANG TERABAIKAN MELALUI PENDEKATAN INKLUSIF DALAM PENDIDIKAN
  • PEMBELAJARAN ANAK BERBAKAT
  • VYGOTSKY IN THE CLASSROOM: MEDIATED LETERACY INTRUCTION AND INTERVENTION
  • SUBJECTIVE PERCEPTIONS OF STRESS & COPING BY MOTHERS OF CHILDREN WITH INTELLECTUAL DISABILITY A NEEDS ASSESSMENT
  • Anak Penyandang Autisme dan Pendidikannya
  • Pendidikan Inklusif Ketika Hanya Ada Sedikit Sumber
  • Orientasi Ulang Pendidikan Tunagrahita dari Pendekatan Formal ke Pendekatan Fungsional
  • Definisi dan Ruang Lingkup Praktek Konseling Rehabilitasi
  • Landasan Filosofis Konseling Rehabilitasi
  • Pertimbangan-pertimbangan dalam Intervensi Konseling Rehabilitasi: Faktor Personal
  • Pertimbangan-pertimbangan dalam Intervensi Konseling Rehabilitasi: Faktor Lingkungan
  • Pertimbangan-pertimbangan dalam Intervensi Konseling Rehabilitasi: Hakikat Kecacatan
  • Bahasa dan Ketunagrahitaan
  • Pernyataan Salamanca
  • HAMBATAN BELAJAR DAN HAMBATAN PERKEMBANGAN PADA ANAK-ANAK TUNAGRAHITA
  • SUBJECTIVE PERCEPTIONS OF STRESS & COPING BY MOTHERS OF CHILDREN WITH INTELLECTUAL DISABILITY A NEED ASSESSMENT
  • HAMBATAN BELAJAR DAN HAMBATAN PERKEMBANGAN PADA ANAK YANG MENGALAMI KEHILANGAN FUNGSI PENDENGARAN
  • MEMAHAMI PERKEMBANGAN,HAMBATAN PERKEMBANGAN DAN HAMBATAN BELAJAR PADA ANAK
  • Orientasi Pendidikan Kebutuhan Khusus
  • PEMAHAMAN KONSEP PENDIDIKAN KEBUTUHAN KHUSUS DAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
  • THE EFFECTS OF PRECISION TEACHING TECHNIQUES AND FUNTIONAL COMMUNICATION TRAINING ON BEHAVIOR PROBLEM FOR 12-YEAR OLD MALE WITH AUTISM
  • Daftar Cek Perkembangan Bahasa Anak Tunagrahita
  • Perkembangan Kognitif Anak Tunagrahita Menurut Teori Piaget
  • Program Master Pendidikan Kebutuhan Khusus
  • Pengajaran Bahasa Bagi Anak Tunagrahita
  • MODEL PEMBELAJARAN ANAK TUNAGRAHITA MELALUI PENDEKATAN KONSELING




  • Senin, 03 Maret 2008

    PEMAHAMAN KONSEP PENDIDIKAN KEBUTUHAN KHUSUS DAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

    Oleh: Zaenal Alimin

    A. Pendahuluan
    Perkembangan sejarah pendidikan bagi anak penyandang cacat, yang secara resmi disebut pendidikan luar biasa (PLB), selama beberapa dekade yang lalu telah mengalami banyak perubahan. Perubahan-perubahan itu terjadi dalam hal kesadaran dan sikap masyarakat terhadap anak penyandang cacat dan pendidikannya, metodologi dan perubahan konsep yang digunakan.
    Sejarah menunjukkan pula bahwa selama berabad-abad di semua negara di dunia, individu yang berbeda dari kebanyakan individu lainya selalu ditolak kehadirannya oleh masayrakat. Hal ini disebabkan oleh adanya anggapan bahwa anggota kelompok yang terlalu lemah (penyandang cacat) tidak mungkin dapat berkontribusi terhadap kelompoknya. Mereka yang berbeda karena menyandang kecacatan, disingkirkan, tidak memperoleh sentuhan kasih sayang dan kontak sosial yang bermakna. Keberadaan penyandang cacat tidak diakui oleh masyarakatnya.
    Ketidaktahuan orang tua dan masyarakat pada masa lalu, mengenai hakekat dan penyebab kecacatan dapat menimbulkan rasa takut, sehingga berkembang macam-macam kepercayaan dan tahayul, misalnya seorang ibu yang melahirkan anak penyandang cacat merupakan hukuman baginya atas dosa-dosa nenek moyangnya. Oleh sebab itu di masa lampau anak-anak penyandang cacat sering disembunyikan oleh orang tuanya, sebab memiliki anak penyandang cacat merupakan aib keluarga.
    Peradaban manusia terus berkembang, pemahaman dan pengetahuan baru mengajarkan kepada manusia bahwa setiap orang memiliki hak yamg sama untuk hidup. Pandangan seperti inilah yang berhasil menyelamatkan kehidupan anak-anak penyandang cacat. Menyelamatkan hidup anak-anak penyandang cacat menjadi penting karena dipandang sebagai simbol dari sebuah peradaban yang lebih maju dari suatu bangsa, meskipun anak penyandang cacat membutuhkan bantuan ekstra (Miriam, 2001). Pandangan masyarakat dan orang tua yang menganggap bahwa memelihara dan membesarkan anak merupakan investasi agar kelak anak dapat membalas jasa orang tuanya, menjadi tidak dominan.
    Anak penyandang cacat mulai diakui keberadaannya, dan oleh sebab itu mulai berdiri sekolah-sekolah khusus, rumah-rumah perawatan dan panti sosial yang secara khusus mendidik dan merawat anak-anak penyandang cacat. Mereka yang menyandang kecacatan, dipandang memiliki karakteristik yang berbeda dari orang kebanyakan, sehingga dalam pendidikannya mereka memerlukan pendekatan dan metode yang khsusus pula sesuai dengan karakteristiknya. Oleh sebab itu, pendidikan anak penyandang cacat harus dipisahkan (di sekolah khusus) dari pendidikan anak lainnya.
    Konsep pendidikan seperti inilah yang disebut dengan konsep Special Education, yang
    melahirkan sistem pendidikan segregasi.
    Di Indonesia, sistem pendidikan segregasi sudah berlangsung selama satu abad lebih, sejak dimulainya pendidikan anak tunanetra pada tahun 1901 di Bandung. Konsep special education dan sistem pendidikan segregasi lebih melihat anak dari segi kecacatannya (labeling), sebagai dasar dalam memberikan layanan pendidikan. Oleh karena itu terjadi dikotomi antaran pendidikan khusus (PLB) dengan pendidikan reguler. Pendidikian khusus dan pendidikan regular dianggap dua hal yang sama sekali berbeda.
    Dilihat dari sudut pandang, pedagogis, psikologis dan filosofis, sistem pendidikan segregasi,(yang lahir dari konsep special education) mengandung beberapa kelemahan dan tidak menguntungkan baik bagi individu penyandang cacat itu sendiri maupun bagi masyarakat pada umumnya. Secara pedagogis, sistem pendidikan segregasi mengabaikan eksistensi anak sebagai individu yang unik dan holistik, sementara itu kecacatan anak lebih ditonjolkan. Secara psikologis, sistem segregasi, kurang memperhatikan kebutuhan dan perbedaan individual. Ada kesan menyeragamkan layanan pendidikan anak berdasarkan kecacatan yang disandangnya. Secara filosofis sistem pendidikan segregasi menciptakan dikotomi masyarakat eklusif normal dan tidak normal. Padahal sesunguhnya secara filosofis, penyandang cacat merupakan bagian dari masyarakat yang alami (David Smith, 1995).
    Konsep dan pemahaman terhadap pendidikan anak penyandang cacat terus berkembang, sejalan dengan dinamika kehidupan masyarakat. Pemikiran yang berkembang saat ini, melihat persoalan pendidikan anak penyandang cacat dari sudut pandang yang lebih bersifat humanis, holistik, perbedaan individu dan kebutuhan anak menjadi pusat perhatian. Dengan demikian layanan pendidikan tidak lagi didasarkan atas label kecacatan anak, akan tetapi didasarkan pada hambatan belajar dan kebutuhan setiap individu anak. Oleh karena itu layanan pendidikan anak penyandang cacat tidak harus di sekolah khusus, tetapi bisa dilayani di sekolah regular terdekat dimana anak itu berada. Cara berpikir seperti ini dilandasi oleh konsep Special needs education, yang antara lain melatarbelakangi munculnya gagasan pendidikan inklusif (UNESCO, 1994).
    Dalam konsep special needs education, sangat dihindari penggunaan label kecacatan, akan tetapi lebih menonjolkan anak sebagai individu yang memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Sejalan dengan perubahan cara berpikir seperti digambarkan di atas, maka Anak Luar Biasa (Exceptional Children) tidak lagi dipandang dari kategori kecacatannya akan tetapi harus dilihat dari hambatan belajar yang dialami dan kebutuhan-kebutuhan akan layanan pendidikannya. Oleh karena itu anak luar biasa menjadi bagian dari Anak Berkebutuhan Khusus (Children with Special Needs). Dengan kata lain Anak berkebutuhab khusus buka pengganti istilah anak luar biasa. Layana pendidikan bagi semua anak berkebutuhan khusus, termasuk anak luar biasa adalah Pendidikan Kebutuhan Khusus (Special Needs Education).




    B. Tujuan
    Pembahasan pada bab II ini bertujuan untuk:
    Memberikan gambaran kepada pemaca tentang perubahan orientasi pemahaman konsep anak penyandang cacat (anak luar biasa) yang difokuskan kepada kategaori kecacatan, berubah mejadi fokus kepada hambatan belajar dan kebutuhan khusus anak akan pendidikan.
    Menberikan gambaran tentang implikasi dari perubahan orientasi pemahaman konsep special education ke konsep special needs education, terhadap layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dan kurikulum pendidikan guru di LPTK.
    3. Memberikan gambaran tentang karakteristik pendidikan inklusif bagi anak-anak
    berkebutuhan khusus.
    C. Ruang Lingkup
    Pada bab ini tentang konsep anak berkebutuhan khusus yang di dalamnya mencakup anak penyandang cacat. Pada bagian ini diuraikan lingkup kajian anak berkebuatuhan khusus, sehingga bisa dilihat bahwa anak berkebutuhan khusus bukan pengganti istilah anak luar biasa, tetapi merupakan bagian dari anak berkebutuhan khusus.
    Dijelaskan pula tentang konsep pendidikan kebuhan khusus, yang dalam imlementasinya layanannya disebut pendidikan inklusif. Pada bagian ini diuraikan perbedaan konseptual dan karakretisatik antara pendidikan inkluisf dengan pendidikan segeregasi.
    Pada bagian akhir dari bab ini diurakan tentang bagaimana agar pendidikan inkluisf dapat diimplementasikan, dan diuraikan pula tentang kondisi-kondisi yang diperlukan agar konsep tersebut dapat diwujudkan.





    Konsep Anak Berkebutuhan Khusus (Children with Special Needs)- Pendidikan Kebutuhan Khusus (Special Needs Education) dan Konsep Pendidikan Luar Biasa (exceptional childrent)-Pendidikan Luar Biasa (special education)
    1. Anak Berkebutuhan Khusus dan Pendidikan Kebutuhan khusus
    a. AnakBerkebutuhan Khusus
    Konsep anak berkebutuhan khusus (children with special needs) memiliki makna dan spektrum yang lebih luas dibandingkan dengan konsep anak luar biasa (exceptional children). Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang secara pendidikan memerlukan layanan yang spesifik yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Anak berkebutuhan khusus ini memiliki apa yang disebut dengan hambatan belajar dan hambatan perkembangan (barier to learning and development). Oleh sebab itu mereka memerlukan layanan pendidikan yang sesuai dengan hamabatan belajar dan hambatan perkembang yang dialami oleh masing-masing anak.
    Secara umum rentangan anak berkebutuhan khusus meliputi dua kategori yaitu: anak yang memiliki kebutuhan khusus yang bersifat permanen, akibat dari kecacatan tertentu (anak penyandang cacat), seperti anak yang tidak bisa melihat (atunanetra), tidak bisa mendengar (tunarungu), anak yang mengalai cerebral palsy dst. dan anak berkebutuhan khusus yang bersifat temporer.
    Anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang bersifat temporer. Misalnya anak yang mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri akibat trauma kerusuhan, kesulitan konsentrasi karena sering diperlakukan dengan kasar, atau tidak bisa membaca karena kekeliruan guru mengajar, anak yang mengalami kedwibahasaan (perbedaan bahasa di rumah dan disekolah), anak yang mengalami hambatan belajar dan perkembangan karena isolasi budaya dan karena kemiskinan dsb. Anak-anak seperti dikategorikan sebagai anak berkebutuhan khusus temporer. Anak berkebutuhan khusus temporer, apabila tidak mendapatkan intervensi yang tepat sesuai dengan hamabatan belajarnya bisa menjadi permanen.
    Setiap anak berkebutuhan khusus, baik yang bersifat permanen maupun yang temporer, memiliki hambatan belajar dan kebutuhan yang berbeda-beda. Hambatan belajar yang dialami oleh setiap anak, disebabkan oleh tiga hal yaitu: (1) faktor lingkungan (2) faktor dalam diri anak sendiri, dan (3) kombinasi antara faktor lingkungan dan faktor dalam diri anak. Oleh karena itu layanan pendidikan didasarkan atas hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing anak. Dengan kata lain pendidikan lebih berpusat kepada anak (child center), bukan berpusat pada kurikulum dan kecacatan. Untuk memahami kebutuhan dan hambatan belajar setiap anak, dilakukan melalui sebuah proses yang disebut assessment. Dalam konteks pendidikan kebutuhan khusus, assessment menjadi kompetensi dasar seorang guru.
    b. Pendidikan Kebutuhan Khusus (Special Needs Education)
    Pendidikan kebutuhan khusus adalah layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus baik yang bersifat permanen maupun yang temporer, dan sangat fokus pada hambatan belajar dan kebutuhan anak secara individual (Miriam, 2001). Pendidikan kebutuhan khusus memandang anak sebagai individu yang khas dan utuh, keragaman dan perbedaan individu sangat dihormati. Dilihat dari caranya memandang eksistensi seorang anak, pendidikan kebutuhan khusus (special needs education) berbeda dengan jelas dari pendidikan khusus (special education). Dalam pendidikan khusus (special education), yang menjadi fokus perhatian tertuju kepada kecacatan anak (disability). Sedangkan pendidikan kebutuhan khusus (special needs education) fokus kepada hambatan belajar dan kebutuhan anak. Ruang lingkup garapan disiplin ilmu pendidikan kebutuhan khusus meliputi tiga hal yaitu: Pertama, mencegah timbulnya hambatan belajar dan hamabatan perkembangan pada setiap anak. Kedua mengkompensasikan hambatan yang dimiliki anak dan Ketiga, menangani hambatan (intervensi).
    Mencegah Timbulnya Hambatan.
    Timbulnya hambatan belajar dan hambatan perkembangan baik yang bersifat temporer maupun yang bersifat permanen bisa terjadi karena fakator internal anak itu sendiri atau bisa juga karena faktor ekternal. Fungsi pendidikan kebutuhan khusus adalah mencegah munculya hambatan-hambatan belajar dan hambatan perkembangan, atau sekurang-kurangnya dapat meminilakan hamabatan itu, sehingga anak dapat berkembang optimal.
    Apabila dalam kenyataanya hamabatan itu tidak dapat dihindari, maka upaya yang harus dilakukan adalah memperkecil dampak sosial-psikologis dari hambatan itu, sehingga anak tetap dapat berparisipasi dalam kehidupan masyarakat dan hidup berkualitas. Dengan kata lain individu menjadi terbisa dan bersahabat dengan hambatan dan masalah yang dimilikinya, tetapi tetap dapat berkembang opatimal. Dalam istilah lain disebut dengan coping.
    Sebagai contoh, seorang yang mempunyai hambatan karena tidak bisa melihat (tunanetra). Pendidikan harus dapat mencegah agar tidak muncul komplikasi sebagai dampak dari ketunanetraan, seperti misalnya putus asa, rendah diri, sukar berkomuniksi dsb. Jika dampak itu bisa dicegah maka kemungkinan orang tersebut dapat berkembang optimal meskipun ia tidak bisa melihat.
    Mengkompensasikan Hambatan
    Apabila individu mengalami hambatan, terutama yang bersifat permanen, seperti misalnya anak tidak bisa melihat (tunananetra), tidak bisa mendengar (tunarungu), tidak bisa menulis karena cerebral palsy, kesulitan membaca karena dysleksia dst, maka harus dicarikan upaya konpensasi dari hamabatan yang dialami.
    Sebagai contoh, individu yang tidak bisa melihat (tunanetra), tidak mungkin bisa membaca tulisan, dan akan mengalami kesulitan untuk bepergian. Konpensasi dari kesuitan itu adalah tulisan braille agar tunanetra dapat membaca dan orientasi-mobilitas agar dapat bepergian. Individu yang tunarungu mengalami kesulitan dalam berkomunikasi secara lisan, konpensasinya adalah bahasa isyarat atau komunikasi total. Individu yang tidak dapat menulis akibat kesulitan gerak, konpensasinya adalah anak tidak ditutut untuk ikut ujian tertulis tetapi dapat dilakukan dengan lisan. Individu yang tidak bisa berbicara bukan karena tunarungu, konpensainya adalah komunikasi alternatif dan augmentatif.
    Di dalam bidang pendidikan kebutuhan khusus, agar anak dapat mengatasi hamabatan-hamabatan itu, ajarkan apa yang disebut dengan keterampilan konpensatoris (compensatory skills).

    Menangani Hambatan (Intervensi)
    Intervensi adalah upaya memberikan layanan kepada anak berkebutuhan khusus, agar dapat berkembang optimal. Dalam melakukan program intervesi, perlu diketahui hambatan belajar dan kebutuhan anak secara individual, karena pendidikan kebutuhan khusus fokus kepada individu anak. Setiap anak memiliki hambatan belajar dan kebutuhan layanan pendidikan yang berbeda-beda.
    Untuk mendapatkan data tentang hambatan belajar dan kebutuhan akan layanan pendidikan, dilakukan dengan asesmen. Melalui asesmen dapat diketahu secara spesifik dan kongkret tentang hambatan yang dialami, keterampilan yang sudah dimiliki (perkembangan saat ini) dan kebutuhan akan layanan pendidikan. Berdasarkan data hasil asesmen itulah dapat dikembangkan progran intervesni, yang didlamnya mencakup antara lain tujuan, pendektan dan prosedur, lingkup materi dan evaluasi. Program intervensi ini lazimnya dikemas dalam bentuk program pembelajaran individual (Individualized Educational program).
    Perlu juga dipahami dengan jelas, penggunaan konsep Pendidikan Kebutuhan Khusus (Special Needs Education) dengan istilah Kebutuhan khusus akan pendidikan (Special Educational Needs). Konsep pendidikan kebutuhan khusus menjelaskan tentang disiplin ilmu yang objeknya adalah anak-anak yang mempunyai hambatan belajar dan hamabatan perkembangan (Anak berkebutuhan khusus). Sedangkan istilah kebutuhan khusus akan pendidikan (Special Educational Needs) menjelaskan tentang kebutuhan-kebutuhan khusus secara individual anak akan layanan pendidikan. (Alcott, 20020). Misalnya Si A mempunyai kebutuhan yang berbeda dengan Si B karena masing-masing mempunyai hambatan belajar dan hamabatan perkembangan yang berbeda. Oleh karena itu kedua anak itu memerlukan layanan pendidikan yang berbeda pula.
    Perubahan paradigma ini secara keseluruhan merupakan proses peningkatan mutu pendidikan. Setiap anak mempunyai peluang yang sama untuk berkembang karena setiap anak akan mendapatkan layanan pendidikan sesuai dengan hambatan belajar dan kebutuhannya.. Konsekuensi yang paling penting dari perubahan paradigma tersebut adalah pengakuan dan penghargaan akan adanya keragaman. Hal itu juga menghasilkan upaya-upaya untuk membawa anak berkebutuhan khsusus kembali ke kehidupan masyarakat mereka yang sebelumya telah dipisahkan. Untuk melihat perbedaan antara konsep special needs education sebagai paradigma baru dengan special education. Untuk melihat perbedaan orientasi antara Pendidikan Luar biasa (special education) dengan Pendidikan Kebutuhan khusus (Special Needs Education), secara singkat dijelaskan tentang konsep anak luar biasa dan pendidikan luar biasa sebagai berikut:
    2. Anak Luar Biasa (Exceptional Children) dan Pendidikan Luar biasa (Special
    Education)
    Anak Luar Biasa (Exceptional Children)
    Selama ini di dalam masyarakat terjadi pengelompok individu anak berdasarkan label cacat dan tidak cacat. Ada kelompok individu anak yang biasa, tidak memiliki kecacatan dan ada individu anak yang menyandang cacat, yang disebut luar biasa. Cara pendangan dikotomi seperti ini mengakibatkan terciptanya dua kelompok masyarakat yang masing-masing berada pada daerah yang bebeda. Terjadi apa yang disebut eklusifitas.
    Istilah anak luar biasa merupkan terjemahan dari istilah exceptional children, yaitu kelompok anak memiliki ketunaan pada aspek sensoris, (tunanerta dan tunaarungu), ketunaan pada aspek gerak (tunadaksa), ketunaan pada aspek perkembangan kognitif (tunagrahita, kesuliatan belajar, autisme), anak yang memiliki ketunaan pada aspek emosi dan tingkah laku (ADD/ADHD, Emotional and behavioral disorder).
    Kelompok anak yang diberi label anak penyandang cacat seperti itu dianggap tidak akan dapat mengikuti pendidikan bersama-sama denga anak pada umumnya. Oleh karena itu mereka memperoleh layananan pendidikan secara khusus ditempat khusus (Sekolah luar Biasa) menurut label kecacatannya.
    b.Pendidikan Luar Biasa (Special Education)
    Pendidikan Luar Biasa adalah layanan pendidikan yang bersifat khusus untuk anak penyandang cacat/ketunaan. Kekhususan pendidikan didasarkan pada label kecacatan yang dimiliki oleh setiap anak. Anak tunanetra dilayani pendidikannya di sekolah khusus untuk tunaetra, demikian juga untuk anak penyandang cacat/ketunaan lainnya. Setiap jenis sekolah khusus memiliki kurikulum tersendiri yang berbeda-satu sama lain. Dalam konsep pendidikan luar biasa, anak-anak penyandang cacat dikumpulkan dalam satu sekolah yang identitasnya adalah label kecacatan/ketunaan. Pendidikan khusus bagi penyandang cacat seperti ini disebut dengan pendidikan segregaatif. Dengan demikian terdapat dua sistem pendidikan yaitu pendidikan untuk anak pada ummnya (anak biasa) yang disebut sekolah regulear dan pendidikan untuk anak penyandang cacacat (anak uar biasa), yang disebut Pendidikan Luar Biasa di sekolah khusus (SLB).
    Konsep pendidikan luar biasa, pada saat ini sedang mengalam proses perubahan ke arah pendidikan kebutuhan khusus yang lebih fokus kepada hambatan belar anak dan kebuatuhan anak, bukan kepada lebel kecacatnya. Oleh karena itu jangkauan pendidikan kebutuhan khusus menjadi lebih luas. Anak berkebutuhan khsusus tidak perlu dilayani pendidikannya di sekolah khusus, mereka dapat memperoleh pendidikan di sekolah reguler, sepanjang hambatan belajar da kebutuhannya dapat dilayanai. Inilah salah satu alasan yang melatarbelakangi pendidikan inklusif.
    3. Implikasi Terhadap Layanan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus dan
    Sistem Pendidikan Guru.
    a. Layanan Pendidikan Anak Berkebutuhan khusus dalam Setting Inklusi
    Pendidikan kebutuhan khusus berpijak pada hambatan belajar dan kebutuhan anak.. Oleh karena itu misi pendidikan yang paling penting adalah meminimalkan hambatan belajar dan memenuhi kebutuhan belajar anak. Setiap anak dihargai eksistensinya, ditumbuhkan harga dirinya, dikembangkan motivasinya dan diterima sebagaimana adanya, sehingga setiap anak akan berkembang optimal sejalan dengan potensi masing-masing. Pendidikan dipandang sebagai upaya memberdayakan individu yang memiliki keragaman. Anak tidak lagi dibeda-bedakan berdasarkan label atau karakteristik tertentu dan tidak ada diskriminasi antara anak yang satu dengan lainnya. Semua anak berada dalam satu sistem pendidikan yang sama. Pendidikan seperti inilah yang dimaksud dengan pendidikan inklusif.
    Secara lebih kongkrit UNESCO (1994), memberikan gambaran bahwa pendidikan inklusif berarti bahwa sekolah harus mengakomodasi semua anak, tanpa kecauali ada perbedaaan secara fisik, intelektual, sosial, emosional, bahasa, atau kondisi lain, termasuk anak penyandang cacatat dan anak berbakat, anak jalanan, anak yang bekerja, anak dari etnis, budaya, bahasa minoritas dan kelompok anak-anak yang tidak beruntung dan terpinggirkan. Inilah yang dimaksud dengan one school for all.
    Pendidikan inklusif merupakan idiologi atau cita-cita yang ingin kita raih. Sebagai idiologi dan cita-cita, pendidikan inklusif harus menjadi arah dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan secara keseluruhan. Oleh karena itu pendidikan inklusif tidak diartikan sebagai model pendidikan atau pendekatan pendidikan yang memasukkan anak penyandang cacat ke sekolah regular semata-mata.
    Sebagai konsekuensi dari pandangan bahwa pendidikan inklusif itu sebagai idiologi dan cita-cita, dan bukan sebagai model, maka akan terjadi keragaman dalam implimentasinya, antara negara yang satu dengan yang lainnya, antara daerah yang satu dengan yang lainnya atau bahkan antara sekolah yang satu dengan sekolah yang lainnya. Proses menuju pendidikan inklusif akan sangat tergantung kepada sumberdaya yang dimiliki oleh masing-masing negara, daerah atau sekolah. Meskipun terjadi keragaman dalam implementasinya, tidak ada perbedaan filosofi dan konsep yang digunakannya, karena berangkat dari sumber yang sama.
    Dalam rangka memperkenalkan pendidikan inkusif menuju pendidikan yang berkualitas, diperlukan adanya perubahan opini, pemahaman dan sikap para penyelenggara pendidikan (guru, kepala sekolah, administrator/pengambil kebijakan pendidikan, orang tua dan masyarakat pada umumnya), terhadap anak dan pendidikannya, sejalan dengan pendirian pendidikan kebutuhan khusus dan pendidikan inklusif. Dalam mengkampanyekan konsep pendidikan inklusif kepada masyarakat, diperlukan strategi dan metode yang tepat dan sistematik agar tidak terjadi resistensi dan kesalahfahaman. Sebagai langkah awal dalam mewujudkan pendidikan inklusif, dapat ditempuh dengan mulai memperkenalkan konsep sekolah yang ramah dan terbuka (welcoming school), sebagai sekolah masa depan dan guru yang ramah (welcoming teachers) kepada penyelenggara dan pengambil kebijakan pendidikan.
    1) Sekolah yang Ramah dan Terbuka (Welcoming School)
    Pendidikan inklusif saat ini sedang diperkenalkan kepada masyarakat, namun ada kesan bahwa para penganjur pendidikan inkusif (termasuk pakar dari perguruan tinggi dan pemerintah) bertindak terlalu cepat, dan tidak sabar ingin segera mengimplementasikan pendidikan inklussif secara luas. Sebagai contoh Dinas Pendidikan Nasional Jawa Barat pada tahun 2003-2004 mulai mengimlementasikan pendidikan inklusif di 75 Sekolah Dasar (Budi Hermawan, 2003). Tindakan yang terlalu cepat seperti ini, mempunyai peluang cukup tinggi untuk gagal, karena secara konsep belum difahami dengan utuh oleh semua pihak, sehingga konsep pendidikan inklusif difahami secara tidak tepat dan belum tumbuh sikap positif para penyelenggara pendidikan di lapangan terhadap anak berkebutuhan khusus.
    Dalam rangka memperkenalkan pendidikan inklusif, sering kali dilakukan seminar dan lokakarya yang melibatkan para penyelenggara pendidikan di lapangan dalam jumlah besar. Akan tetapi sering ada keluhan dari para peserta bahwa setelah mengikuti seminar/lokakarya itu, mereka tetap belum mendapatkan informasi yang jelas bahkan kadang-kadang terjadi kesimpangsiuran dalam memahami konsepnya, sehingga terjadi penolakan dari para guru di lapangan, mungkin karena para guru salah dalam memahami konsepnya atau boleh jadi ada kekuranglengkapan informasi dari nara sumber dalam menyampaikan informasinya. Sebagai contoh, seorang guru Sekolah Dasar mengatakan "Mengajar 40 orang anak normal sudah repot, apalagi harus menerima anak cacat, tidak mungkin bisa dilakukan." Contoh lain, para Guru SLB merasa tidak nyaman dan merasa terancam apabila konsep pendidikan inklusif diimplementasikan. Mereka beranggapan SLB akan dibubarkan dan mereka akan kehilanag pekerjaan.
    Disadari bahwa sesungguhnya kita semua saat ini sedang belajar tentang anak berkebutuhan khusus, pendidikan kebutuhan khusus dan pendidikan inklusif secara komprehensif dan mendalam. Akan tetapi kadang-kadang kita tidak sabar, ingin segera menyampaikannya kembali kepada orang lain, padahal sesungguhnya kita belum memahaminya dengan benar. Bisa terjadi, ketika kita menjelaskan kembali konsep pendidikan inklusif kurang lengkap, sehingga difahami oleh orang lain secara tidak lengkap pula.
    Keadaan seperti itu sungguh mengkhawatirkan dan akan mengganggu jalannya proses menuju pendidikan inklusif. Oleh sebab itu harus ada perubahan strategi dalam mengkampanyekan pendidikan inklusif dengan tidak langsung menyampaikan konsep pendidikan inklusif, akan tetapi dimulai dengan memperkenalkan konsep sekolah yang ramah dan guru yang ramah.
    Secara empirik, hampir di sekolah regular di banyak tempat (terutama di Sekolah Dasar), ditemukan anak berkebutuhan khusus temporer. Akan tetapi kadang-kadang para guru tidak menyadarinya. Keadaan seperti ini merupakan potensi yang dapat dikembangkan untuk membangkitkan kesadaran para guru bahwa mereka sesungguhnya sudah mulai menerima anak berkebutuhan khusus di sekolahnya. Apabila titik tolak pembicaraan mengenai pendidikan inklusif dimulai dari apa yang sudah mereka miliki dan sudah mereka lakukan di sekolah, akan sangat mudah bagi para guru untuk menerimanya dibanding dengan sesuatu yang sama sekali asing bagi mereka.
    Diskusi dengan guru sekolah regular dalam jumlah kecil akan lebih efektif jika dibandingakan dengan seminar/lokakarya. Hal-hal yang perlu didiskusikan dengan para guru di sekolah regular adalah tentang sekolah yang ramah dan terbuka yang antara lain ditandai oleh: (1) Tidak diskriminatif (2) Pengakuan dan penghargaan terhadap keragaman individu anak (3) Fasilitas belajar dan lingkungan memberi kemudahan dan rasa aman kepada setiap anak (aksesibitas) (4) Guru bekerja dalam tim (5) Keterlibatan orang tua dan masyarakat terhadap sekolah.
    (1) Tidak Diskriminatif
    Setiap sekolah (terutama Sekolah Dasar), memiliki potensi yang cukup untuk dikembangkan menjadi sekolah yang dapat menerima kehadiran setiap anak tanpa kecuali. Hal ini dapat dibuktikan bahwa hampir di setiap sekolah secara tidak sengaja sudah menerima anak berkebutuhan khusus (temporer). Ini berarti bahwa sekolah mulai memiliki perhatian dan pengakuan terhadap adanya keragaman dan perbedaan. Langkah selanjutnya adalah secara terus menerus mengajak para guru/kepala sekolah untuk memahami bahwa pendidikan itu untuk semua (education for all), tanpa harus membeda-bedakan keadaan setiap anak. Setiap anak mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Apabila kesadaran seperti ini muncul pada setiap guru di sekolah, maka tidak ada alasan bagi sekolah untuk tidak menerima kehadiran seorang anak bagaimanapun keadaannya.
    Sekolah yang ramah dan terbuka adalah sekolah yang para gurunya dapat mengatakan selamat datang kepada semua anak, di sinilah tempat kalian belajar, dan di sini tempat yang nyaman dan menyenangkan bagi kalian. Betapa bahagianya anak-anak dan orangtuanya apabila semua diperlakukan seperti ini. Apabila keadaan ini dapat dicapai, maka ada harapan bahwa sumua anak akan mendapatkan kesempatan untuk memperoleh pendidikan.
    (2) Pengakuan dan Penghargaan Terhadap Keragaman Anak
    Apabila sekolah sudah mulai terbuka dan tidak diskriminatif (membeda-bedakan) setiap anak, maka langkah berikutnya adalah para guru dan kepala sekolah mulai diajak memahami bahwa setiap anak memiliki kebutuhan belajar dan hambatan belajar yang berbeda-beda. Oleh sebab itu setiap anak perlu memperoleh perhatian yang sesuai dengan kebutuhan dan hambatan belajarnya.
    Sesungguhnya para guru di lapangan sudah ada yang memahami bahwa setiap anak memiliki perbedaan, akan tetapi mereka mengalami kesulitan dalam melayaninya. Ini mungkin disebabkan oleh adanya kendala teknis yang berhubungan dengan aturan dan budaya sekolah yang belum terbiasa melihat anak sebagi individu yang khas. Guru biasanya lebih melihat anak dalam kelompok yang homogen. Oleh sebab itu para guru dan kepala sekolah hendaknya terus dibantu dan dibangkitkan kesadarannya bahwa setiap anak itu memiliki kebutuhan dan hambatan belajr yang berbeda.
    Wujud nyata dari adanya pengakuan dan penghargaan terhadap keragaman anak adalah adanya proses pembelajaran yang fleksibel. Fleksibilitas dapat diwujudkan dalam bentuk penyesuaian antara kurikulum dengan kebutuhan anak dan pembelajaran dilakukan dengan pendekatan belajar kooperataif (cooperative learning). Hal ini memang tidak mudah untuk dilakukan karena memerlukan keterampilan yang cukup dari seorang guru. Tetapi jika dapat diwujudkan akan sangat menguntungkan bagi perkembangan anak.Anak yang belajar lebih cepat dapat dilayani sejalan dengan kecepatannya, anak yang rata-rata juga dapat terlayani dan anak-anak yang memiliki hambatan dapat pula belajar sesuai kebutuhannya.
    Cara seperti ini disebut multi level curriculum, yaitu guru membagi siswa ke dalam kelompok, setiap kelompok belajar hal yang sama tetapi mungkin pada level yang berbeda. (Phil Foreman, 2001). Dengan demikian perhatian guru bisa terfokus pada kelompok dan setiap anggota kelompok akan terlayani kebutuhannya.
    Bentuk lain dari adanya penghargaan dan pengakuan terhadap keragaman anak adalah dengan menciptakan atmosfir kelas yang merefleksikan adanya toleransi, penghargaan dan penerimaan antara guru dengan siswa dan siswa dengan siswa yang di dalamnya tidak ada paksaan dan celaan. Manakala atmosfir ini dapat diwujudkan maka diharapkan akan berkembang pada diri anak sikap percaya diri, motivasi belajar, dan penghargaan terhadap orang lain yang berbeda. Belajar bagi anak akan merupakan seuatu yang menyenangkan.
    (3) Aksesibilitas Lingkungan dan Fasilitas
    Aksesibilitas adalah kemudahan lingkungan dan fasilitas di sekolah yang seharusnya tersedia bagi semua anak, terutama bagi anak-anak kebutuhan khusus. Misalnya jika di sekolah ada seorang anak yang tidak bisa berjalan, maka diperlukan jalan masuk ke sekolah yang bisa dilalui oleh anak tersebut dengan mudah. Atau anak dapat keluar masuk kelas menggunakan kursi roda dengan mudah.
    Di sekolah-sekolah kita pada umunya memiliki aksesibilitas yang kurang baik. Masalah aksesibilitas merupakan hal yang sulit untuk dikembangkan, karena selalu berkaitan dengan dana. Aksesibilitas yang ideal tentu saja sangat sulit untuk diwujudkan. Akan tetapi kita bisa memulainya dengan hal-hal kecil yang bisa dilakukan di sekolah. Prinsip yang perlu diperhatikan oleh guru, kepala sekolah dan orang tua dalam mengembangkan aksesibilitas lingkungan adalah aman, nyaman dan memberi kemudahan kepada setiap orang untuk menggunakannya.
    Oleh karena itu, langkah pertama yang sangat penting dalam mengembangkan aksesibilitas adalah menciptakan lingkungan yang aman bagi keselamatan setiap anak. Kepala sekolah dan guru bisa memulainya dengan melihat kembali apakah lingkungan sekolah dan fasilitas yang ada aman bagi semua anak. Sebagai contoh apakah konstruksi jendela ketika dibuka dapat mengganggu dan menghambat keleluasaan anak untuk bergerak? Jika ya, maka konsstruksinya perlu diperbaiki, agar menjadi aman. Apakah lantai kelas posisinya rata dengan teras? Jika tidak, maka perlu dibuat jalan miring di depan pintu , agar anak bisa keluar masuk kelas dengan leluasa, bahkan jika ada anak yang menggunakan kursi roda bisa menggunakannya. Apakah lantai kamar mandi licin? kalau ya, maka perlu diubah menjadi lantai yang lebih kasar, sehingga anak terhindar dari kemungkinan jatuh.
    Langkah kedua adalah membuat lingkungan sekolah menjadi nyaman. Kenyaman berkaitan dengan kebersihan dan kesehatan. Lingkungan sekolah yang bersih dan sehat akan berpengaruh positif terhadap individu yang ada di dalamya. Sekolah tidak boleh menjadi penyebab terjadinya gangguan kesehatan pada anak. Menciptakan lingkungan sekolah yang nyaman (bersih dan sehat), bukan sesuatu yang terlalu sulit untuk diwujudkan. Hal ini sangat bergantung kepada inisiatif kepala seolah dan para guru untuk mewujudkannya.
    Langkah ketiga adalah menciptakan lingkungan yang dapat memberi kemudahan-kemudahan kepada setiap anak (termasuk anak berkebutuhan khusus) untuk beraktifitas. Langkah inilah yang mungkin paling sulit untuk diwujudkan karena harus membuat sesuatu yang baru. Sebagai contoh, apabila gedung sekolah berlantai dua atau lebih, dan ada anak yang tidak bisa berjalan, maka diperlukan akses bagi anak tersebut agar dapat bergerak dari lantai satu ke lantai dua.
    Apabila sekolah, paling tidak bisa menciptakan aksesibilitas pada langkah pertama dan kedua, sudah merupakan prestasi yang cukup baik dalam menciptakan sekolah yang ramah dan terbuka.
    (4) Guru Bekerja Dalam Tim
    Dalam melayani siswa yang memiki keragaman dalam hambatan belajar dan kebutuhan, guru akan sangat efektif jika bekerja secara tim. Akan sangat sulit bagi guru dalam mengembangkan keahlian jika bekerja sendirian. Kerja tim (team work), menjadi kebutuhan dan sekaligus merupakan ciri khas dari pekerja profesional
    Bekerja dalam tim memerlukan komitmen, kesamaan faham dalam memandang persoalan, toleransi dan saling terikat satu sama lain. Oleh karena itu bekerja dalam tim, pada tahap-tahap awal tidak mudah untuk dilaksanakan. Para guru di sekolah-sekolah kita belum terbiasa bekerja secara tim. Mereka lebih banyak bekerja secara perseorangan. Oleh sebab itu perlu terus ditumbuhkan kebiasaan para guru bekerja dalam tim.(team work). Guru yang sudah terbiasa bekerja dalam tim, secara tidak langsung akan mempengaruhi sikapnya terhadap terhadap anak.
    (5) Keterlibatan Orang Tua
    Kerjasama yang erat antara orang tua dan guru dapat menghasilkan solusi terbaik dalam melayani kebutuhan belajar anak di sekolah (Kremer, 1991). Keterlibatan orang tua secara aktif terhadap pendidikan anak di sekolah, sangat penting dalam kaitannya dengan negosiasi dalam mencari solusi berkenaan dengan pendidikan anak baik di sekolah maupun di rumah.
    Keterlibatan orang tua dalam pendidikan, biasanya terbatas hanya pada urusan biaya. Oleh karena itu keterlibatan orang tua hendaknya dikembangkan kepada persoalan pendidikan yang lebih luas. Apabila akses orang tua ke sekolah cukup terbuka, maka setiap masalah yang dihadapi anak akan segera dapat ditanggulangi bersama.
    2) Sistem Pendukung (Support System)
    (a) Pusat Sumber (Resource Center)
    Apabila sekolah yang ramah (welcoming school) dan guru yang ramah (welcoming teacher) dapat diwujudkan, maka langkah menuju pendidikan inklusif akan semakin mulus. Sekolah yang ramah dan guru yang ramah merupakan kondisi yang harus dipersiapkan sebelum pendidikan inklusif diimplementasikan.
    Secara teknis pendidikan inklusif memerlukan sistem pendukung, yang berfungsi sebagai lembaga yang akan memberikan bantuan teknis kepada sekolah yang di dalamnya terdapat anak berkebutuhan khusus. Dalam terminologi pendidikan inklusif, sistem pendukung itu disebut pusat sumber (resource center).
    Salah satu fungsi dan tugas pokok pusat sumber adalah menyediakan guru pendidikan kebutuhan khusus yang profesional yang disebut guru kunjung (iteneran teachers). Guru kunjung akan membantu guru sekolah regular dalam memberikan layanan pendidikan kepada anak berkebutuhan khusus. Di samping itu, pusat sumber juga mempunyai tugas dalam menyediakan alat/media belajar yang diperlukan anak berkebutuhan khusus, seperti penyediaan buku-buku teks braile bagi tunanetra, dan memberikan pelatihan tertentu bagi guru sekolah regular, orang tua maupun anak berkebutuhan khusus sendiri. Pusat sumber merupakan tempat berkumpulnya para profesional.
    Sehubungan dengan itu, sekurang-kurangnya diperlukan satu atau dua pusat sumber untuk setiap kabupaten/kota, yang akan memberikan dukungan kepada sekolah regular dalam implementasi pendidikan inklusif. Dapat dibayangkan berapa banyak pusat sumber dan berapa banyak tenaga guru kunjung yang dibutuhkan dalam implementasi pendidikan inklusi di Indonesia. Tanpa kehadiran pusat sumber, pendidikan inklusif tidak mungkin untuk dilaksanakan.
    (b) Perluasan Peran dan Tugas SLB
    Dalam perspektif pendikan kebutuhan khusus dan pendidikan inklusif, peran dan tugas SLB bisa dikembangkan menjadi pusat sumber, di samping tetap menjalankan tugasnya sebagai sekolah. Oleh sebab itu SLB yang kita miliki saat ini merupakan potensi yang sangat penting untuk dikembangkan menjadi sistem pendukung pendidikian inklusif.
    Di setiap kabupaten di Jawa Barat, rata-rata memiliki 3 sampai 4 SLB. Apabila di setiap kabupaten, pada tahap awal dikembangkan satu SLB menjadi pusat sumber, maka Jawa Barat akan memiliki 24 pusat sumber yang akan mendukung pendidikan inklusif.
    SLB sesungguhnya menghadapi tantangan yang lebih besar dan lebih berat, oleh karena itu diperlukan kompetensi lebih tinggi dan keahlian yang lebih spesifik dari para guru SLB dalam menghadapi perluasan peran dan tugas pokok SLB menjadi pusat sumber. Oleh sebab itu tidak benar adanya anggapan bahwa dengan pendidikan inklusif, SLB akan dihapus dan guru-gurunya akan kehilangan pekerjaan. Yang benar adalah guru-guru SLB akan mempunyai peran yang lebih luas dan penting dalam konteks pendidikan secara umum.
    b. Kurikulum Pendidikan Guru
    Konsep pendidikan kebutuhan khusus dan pendidikan inklusif, mengalir ibarat aliran sungai dari hulu ke muara. Tidak pernah dan tidak mungkin terjadi air yang sudah sampai ke muara kembali lagi ke hulu. Analogi tersebut digunakan untuk menggambarkan bahwa pendidikan inklusif akan terus bergulir ibarat mengalirnya air. Menyongsong bergulirnya pendidikan inklusif sebagai cita-cita, maka harus dipersiapkan guru yang memiliki pemahaman tentang pendidikan inklusif. Berbicara tentang guru masa depan, berarti berbicara tentang sistem pendidikan guru di LPTK.
    Ada dua kelompok pendidikan guru yang harus direorientasikan, yaitu : Pertama, pendidikan guru Pendidikan Kebutuhan khusus (Jurusan PLB), sebagai soko guru pendidikan inklusif. Kurikulum jurusan PLB yang berlaku saat ini dirancang berdasarkan konsep Special Education. Pembagian spesialisai berdasakan kategori kecacatan sangat dominan. Apabila kita sepakat, bahwa konsep Special Needs Education diterima sebagai sesuatu harus direspon, maka kurrikulum jurusan PLB hendaknya dirancang kembali dengan menggunakan konsep Special Needs Education.
    Kedua, konsep pendidikan kebutuhan khusus dan pendidikan inklusif harus menjadi bagian dari materi Mata Kuliah Dasar-Dasar Kependidikan (MKDK), sehingga semua mahasiswa calon guru mengenal pendidik inklusif. Pada saatnya nanti manakala mereka bekerja menjadi guru, diharapkan mereka menjadi guru yang ramah (welcoming teachers). Hal ini tidak mudah untuk dilakukan karena menyangkut kepentingan banyak orang. Oleh karena itu diperlukan kemampuan negosiasi para pakar dalam meyakinkan pihak lain, bahwa pendidikan kebutuhan khusus dan pendidikan inklusif itu penting bagi peningkatan mutu pendidikan.






















    Pustaka Rujukan

    Alimim, Zaenal (2004), Reorientasi Pemahaman Konsep Special Education Ke
    Special Needs Education dan Implikasinya terhadap Layanan Pendidikan
    dan kurikulum LPTK. Jurnal Asesmen dan Intaerpensi Anak berkebutuhan
    Khusus. Vol.3-2, 172-181.
    Budi Hermawan (2003), Pedoman Implementasi Pendidikan Inklusif. Bandung: Dinas
    Pendidikan Nasional Jawa Barat
    Direktorat P2TK dan KPT (2003), Pola Pembinaan Sistem Pendidikan Tenaga
    Kependidikan Pendidikan Luar Biasa. Jakarta: Dikti Depdiknas.
    Foreman, Phil (2001), Integration and Inclusion. Singapore: Nelson Thomson
    Learning.
    Kramers, B.S (1991), Guideline and Recommended for the Individual Family Sevice
    Plan. Maryland : Bethesda.
    Permanarian Somad (2004), Sekolah yang Ramah dan Guru yang Ramah. Jakarta:
    Direktorat PLB Dikdasmen
    Skjoren, D. Miriam (2001), Education-Special Needs Education An introduction. Oslo:
    Unifub.
    Smith, David. J (1998), Inclusion, School for All Children. New York: Wardsworth
    Publishing Company.
    UNESCO (1994), The Salamanca Statement and Framework for Action on Special
    Needs Education. Geneva.

    Label:

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google
  • Kembali ke Halaman Depan