Buku Tamu



Anda adalah pengunjung ke
View My Stats

Silakan isi
  • Buku Tamu Saya
  • Lihat Buku Tamu




  • Jika anda meninggalkan pesan atau mengajukan pertanyaan yang memerlukan respon,
    respon saya dapat anda baca di
  • Comment




  • Google

    Daftar Isi

  • KESULITAN BELAJAR DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN
  • REORIENTASI PENDIDIKAN KHUSUS/PLB (SPECIAL EDUCATION) KE PENDIDIKAN KEBUTUHAN KHUSUS (SPECIAL NEEDS EDUCATION) USAHA MENCAPAI PENDIDIKAN UNTUK SEMUA
  • Program Master Pendidikan Kebutuhan Khusus SPS
  • MENJANGKAU ANAK-ANAK YANG TERABAIKAN MELALUI PENDEKATAN INKLUSIF DALAM PENDIDIKAN
  • PEMBELAJARAN ANAK BERBAKAT
  • VYGOTSKY IN THE CLASSROOM: MEDIATED LETERACY INTRUCTION AND INTERVENTION
  • SUBJECTIVE PERCEPTIONS OF STRESS & COPING BY MOTHERS OF CHILDREN WITH INTELLECTUAL DISABILITY A NEEDS ASSESSMENT
  • Anak Penyandang Autisme dan Pendidikannya
  • Pendidikan Inklusif Ketika Hanya Ada Sedikit Sumber
  • Orientasi Ulang Pendidikan Tunagrahita dari Pendekatan Formal ke Pendekatan Fungsional
  • Definisi dan Ruang Lingkup Praktek Konseling Rehabilitasi
  • Landasan Filosofis Konseling Rehabilitasi
  • Pertimbangan-pertimbangan dalam Intervensi Konseling Rehabilitasi: Faktor Personal
  • Pertimbangan-pertimbangan dalam Intervensi Konseling Rehabilitasi: Faktor Lingkungan
  • Pertimbangan-pertimbangan dalam Intervensi Konseling Rehabilitasi: Hakikat Kecacatan
  • Bahasa dan Ketunagrahitaan
  • Pernyataan Salamanca
  • HAMBATAN BELAJAR DAN HAMBATAN PERKEMBANGAN PADA ANAK-ANAK TUNAGRAHITA
  • SUBJECTIVE PERCEPTIONS OF STRESS & COPING BY MOTHERS OF CHILDREN WITH INTELLECTUAL DISABILITY A NEED ASSESSMENT
  • HAMBATAN BELAJAR DAN HAMBATAN PERKEMBANGAN PADA ANAK YANG MENGALAMI KEHILANGAN FUNGSI PENDENGARAN
  • MEMAHAMI PERKEMBANGAN,HAMBATAN PERKEMBANGAN DAN HAMBATAN BELAJAR PADA ANAK
  • Orientasi Pendidikan Kebutuhan Khusus
  • PEMAHAMAN KONSEP PENDIDIKAN KEBUTUHAN KHUSUS DAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
  • THE EFFECTS OF PRECISION TEACHING TECHNIQUES AND FUNTIONAL COMMUNICATION TRAINING ON BEHAVIOR PROBLEM FOR 12-YEAR OLD MALE WITH AUTISM
  • Daftar Cek Perkembangan Bahasa Anak Tunagrahita
  • Perkembangan Kognitif Anak Tunagrahita Menurut Teori Piaget
  • Program Master Pendidikan Kebutuhan Khusus
  • Pengajaran Bahasa Bagi Anak Tunagrahita
  • MODEL PEMBELAJARAN ANAK TUNAGRAHITA MELALUI PENDEKATAN KONSELING




  • Senin, 26 Mei 2008

    ORIENTASI ULANG PENDIDIKAN BAGI PESERTA DIDIK TUNAGRAHITA DARI PENDEKATAN FORMAL KE PENDEKATAN FUNGSIONAL

    Oleh
    Zaenal Alimin*



    A. Pendahuluan

    Pendidikan bagi peserta didik tunagrahita seharusnya ditujukan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki anak secara optimal, agar mereka dapat hidup mandiri dan dapat memenyesuaikan diri dengan lingkungan di mana mereka berada.
    Hasil observasi lapangan (Alimin, 2006) menunjukkan bahwa individu tunagrahita yang telah menyelesaikan pendidikan dari Sekolah Luar Biasa, pada umumnya belum menunjukkan perkembangan yang diharapkan. Sebagai contoh seorang individu tunagrahitayang telah selesai mengikuti program pendidikan selama 12 tahun, ternyata masih belum bisa mandiri, masih belum memiliki keterampilan untuk mengurus diri dan masih mengalami ketergantungan kepada orang tuanya atau saudaranya cukup tinggi. Maka dari itu ada kesan bahwa pendidikan yang telah diikuti sekian lama itu sepertinya tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kehidupan individu tunagrahita.
    Keadaan seperti itu bukan semata-mata karena keterbatasan yang dialami peserta didik tunagrahita, akan tetapi juga karena terdapat kesenjangan antara program pendidikan di sekolah (SLB) dengan harapan orang tua dan harapan lingkungan. Mayarakat dan orang tua mengharapkan agar anak anaknya yang mengalami tunagrahita memiliki keterampilan dalam kehidupan sehari-hari, sesuai dengan potensi yang dimiliki masing-masing individu siswa, sementara layanan pendidik di sekolah belum mengarah ke sana.

    ________________
    *) Ketua Program Studi Pendidikan Kebutuhan Khusus
    Sekolah Pascasarjana UPI


    Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa program pendididkan pada peserta didik tungarhita saat ini masih sangat menekankan kepada aspek pengajaran yang bersifat akademik (semata-mata menyampaikan bahan ajar), itupun dalam pelaksanaanya masih besifat klasikal dan belum memperhitungkan perbedaan hambatan belajar dan kebutuhan yang dialami anak secara individual (Alimin, 2006). Padahal esensi pendidikan pada peserta didik tunagrahita bersifat individual (Suhaeri & Purwanta, 1996). Persoalan lain yang juga penting untuk diperhatikan yaitu program pembelajaran pada peserta didik tungagrahita di sekolah belum terkait dengan kehidupan nyata sehari-hari. Seolah-olah apa yang terjadi di sekolah tidak ada hubungannya dengan kehidupan anak. Padahal sekolah seharusnya mengembangkan program-program yang terkait langsung dengan kehidupan anak di lingkungannya (Miriam, 2003).
    Kelemahan yang terjadi dalam pendidikan pada peserta didik tunagrahita selama ini diduga sangat erat kaitannya dengan belum tepatnya layananan pendidikan yang dilakukan, yaitu hanya menekannkan pada penyampaian bahan ajar (semata-mata mengejar tarrget kurikulum) belum memperhatikan dengan seksama perbedaan-perbedaan hambantan perkembangan dan hambatan belajar secara individual serta belum mengaikan program pendidikan di sekolah dengan kehidupan nyata yang dialami oleh individu tunagrahita.
    Oleh karena itu diperlukan usaha-usaha untuk melakukan orientasi ulang terhadap pendidikan bagi peserta didik tunagrahita. Untuk itu tulisan ini mengupas secara singkat tentang masalah-masalah yang dialami oleh peserta didik tunagrahita, analisis tentang pendidikan bagi mereka yang saat ini berlangsung dan membahas beberapa usulan yang perlu dilakukan sebagai upaya perbaikan (dipandang sebagai orientasi ulang tentang pendidikan bagi peseerta didik tunagrahita).

    B. Hambatan yang Dialami Peserta Didik Tunagrahita

    Secara umun individu tunagrahita mengalami dua hambatan utama yaitu hambatan dalam perkembangan kognitif dan hambatan dalam perilaku adaptif. Kedua hal itu menimbulkan hambatan dalam belajar, hambatan dalam menyesuiakan diri dengan lingkungan dan hamabatan dalam menolong diri.

    1. Konsep
    Individu yang mengalami tunagrahita sering keliru dipahami oleh masyarakat, bahkan kadang-kadang para professional dalam bidang pendidikan sekalipun salah dalam memahami tunagrahita. Perilaku individu yang mengalami tunagrahita kadang-kadang aneh, tidak lazim dan sering tidak cocok dengan situasi lingkungan, sering menjadi bahan tertawaan dan olok-olok orang-orang yang berada di dekatnya. Keanehan tingkah laku itu dianggap oleh orang awam sebagai orang sakit jiwa.
    Tunagrahita sesunggunya bukan sakit jiwa. Perilaku aneh dan kadang-kadang tidak lazim itu karena kesulitan dalam menilai situasi akibat hambatan dalam perkembangan kognitif. Dengan kata lain terdapat kesenjangan yang lebar antara kemampuan berpikir (mental age) dengan perkembangan usia (chronological age). Sebagai contoh anak yang berusia 15 tahun menunjukkan tingkah laku seperti anak berusia 8 tahun, sehingga tingkah laku yang ditampilkan tidak sejalan dengan perkembangan usianya. Tunagrahita berkaitan langsung dengan perkembangan kognitif yang rendah dan merupakan konsdi, sementra sakit jiwa berkaitan dengan disintegrasi kepribadian dan setiap orang memiliki peluang untuk mengalaminya. Ketunagrahitaan merupakan kondisi yang kompleks, menunjukkan kemampuan intelektual yang rendah dan memiliki hambatan dalam perilaku adaptif. Seseorang tidak dapat dikategorikan sebagai tunagrahita apabila tidak memenuhi dua kriteria tersebut.
    Istilah perilaku adaptif diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam memikul tanggung jawab sosial menurut ukuran norma sosial tertentu, sejalan dengan perkembangan usia ((chronological age). Hambatan dalam perilaku adaptif pada individu tunagrahita dapat dilihat dari dua area yaitu 1) Personal living skills (keterampilan menolong diri), 2) Social living skills (keterampilan dalam hubungan interposonal dan keterampilan dalam menggunakan fasilitas yang diperlukan setiap hari). Individu tunagrahita mengalami hambatan dalam kedua hal tersebut (Ingalls, 1987).
    Berdasarkan perkembangan kognitif atau kemampuan kecerdasan, seseorang dikategorikan tunagrahita apabila kemampuan kecerdasannya menyimpang 2 sampai 3 simpangan baku (standard deviation) dari ukuran rata-rata. Jika menggunakan ukuran kecerdasan dari Stanford Binet ( rata-rata IQ 100 dengan simpangan baku 16), maka individu yang memeiliki IQ 68-54 ke bawah dikategorikan sebagai tunagrahita (Smith, 2003). Patokan simpangan baku di atas selanjutnya digunakan untuk membuat pengelompokan berat ringannya ketunagrahitaan yang dialami oleh sesorang. Individu yang tingkat kecerdasnnya menyimpang 2-3 simpangan baku dari rata-rata dikelompokan sebagai tunagrahita ringan. Individu yang tingkat kecerdasannya menyimpang 3-4 simpangan baku dari rata-rata dikelompokkan sebagai tunagrahita sedang. Individu yang tingkat kecerdasannya menyimpang 4-5 simpangan baku dikelompokan sebagai tunagrahita berat dan simpangan baku 6 ke atas dikategorikan sebagai individu yang mengalami ketunagrahitaan sangat berat.

    2. Hambatan-Hambatan yang Dialami Individu Tunagrahita
    Perkembangan fungsi kognitif/kecerdasan yang terhambat disertai oleh kemampuan perilaku adaptif yang rendah, berakibat langsung kepada kehidupan mereka sehari-hari, antara lain meliputi:

    a. Hambatan dalam Belajar
    Aktivitas belajatan berkaitan langsung dengan perkembangan kognitif dan kecerdasan. Di dalam kegiatan belajar sekurang-kurangnya dibutuhkan kemampuan dalam mengingat, memahami dan kemampuan untuk mencari hubungan sebab akibat. Oleh sebab itu anak-anak pada umumnya dapat menemukan kaidah dalam belajar. Setiap anak akan mengembangkan sendiri kaidah dalam mengingat, memahami dalam dalam mencari hubungan sebab akibat tentang apa yang sedang mereka pelajari. Sekali kaidah itu dapat ditemukan anak dapat belajar secara efektif. Setiap anak biasanya mempunyai kaidah belajar yang berbeda satu sama lainnya.
    Peserta didik tunagrahita pada umumnya tidak memiliki kaidah dalam belajar. Mereka mengalami kesulitan dalam memproses informasi secara abstrak, belajar bagi mereka harus terkait dengan objek yang bersifat kongkret. Kondisi seperti itu berhubungan dengan kesulitan dalam mengingat, terutama ingatan jangka pendek.
    Peserta didik tunagrahita dalam belajar hampir selalu dilakukan dengan coba-coba, mereka tidak dapat menemukan kaidah dalam belajar, sukar melihat objek yang sedang dipelajari secara keseluruhan. Mereka cenderung melihat objek secara terpisah-pisah. Oleh karena itu peserta didik tunagrahita mengalami kesulitan dalam mencari hubungan sebab akibat. Hasil penelitian Alimin (1993) menunjukkan bahwa individu tunagrahita mengalami apa yang disebut dengan cognitive deficite yang tercermim pada salah satu atau lebih proses kognitif seperti persepsi, daya ingat, mengembangkan ide, evaluasi dan penalaran.
    Hasil penelitian tersebut bersebrangan dengan pendirian para panganut psikologi perkembangan seperti Zigler (1968) yang menjelaskan bahwa jika anak tunagrahita dibandingkan dengan anak yang bukan tunagrahita pada CA yang sama, sudah pasti anak tunagrahita secara kognitif akan ketinggalan , akan tetapi apabila anak tunagrahita dibandingkan dengan anak yang bukan tunagrahita pada MA yang sama secara teoritis mempunyai perkembangan yang sama. Pendirian para penganut teori perkembangan ternyata tidak selalu cocok untuk menjelaskan fenomena ketunagrahitaan. Sebab ternyata meskipun anak tunagrahita dibandingkan dengan anak yang bukan tunagrahita pada MA yang sama, ternyata secara kognitif perkembangannya tertinggal oleh anak yang bukan tunagrahita meskipun pada MA yang sama.

    b. Hambatan dalam Penyesuaian Diri
    Individu tunagrahita mengalami hambatan dalam memahami dan mengartikan norma lingkungan. Oleh kaarena itu mereka sering melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan norma lingkungan di mana mereka berada.Tingkah laku individu tunagrahita kadang-kadang dianggap aneh oleh orang lain karena mungkin tindakannya tidak lazim atau apa yang mereka lakukan tidak sesuai dengan usianya.
    Keganjilan tingkah laku yang tidak sesuai dengan ukuran normatif berkaitan dengan kesulitan dalam memehami dan mengartikan norma, sedangkan keganjilan tingkah laku berkaitan dengan ketidaksesuaian atau kesenjangan antara perilaku yang ditampilkan dengan perkembangan umur. Sebagai contoh anak tunagrahita yang berusia 10 tahun berperilaku seperti anak usia 6 tahun. Hal ini disebabkan adanya selisih yang signifikan antara CA dengan MA. Semakin anak tunagrahita menjadi dewasa, selisih ini akan semakin lebar. Hal inilah yang mungkin menimbulkan persepsi yang salah dari masyarakat mengenai tunagrahita.

    c. Hambatan dalam Perkembangan Bahasa
    Kemampuan bahasa pada anak-anak diperoleh melalui proses yang menakjubkan dengan beberapa cara. Pertama, anak belajar bahasa dari apa yang mereka dengar setiap hari. Hampir semua anak dapat menguasai dasar aturan bahasa (gramatikal) kurang lebih pada usia 4 tahun. Kedua, anak-anak belajar bahasa tidak sekedar meniru ucapan yang mereka dengar. Anak-anak belajar juga konsep gramatikal yang abstrak dalam menghubungkan kata-kata menjadi kalimat.. Anak-anak di manapun dan belajar bahasa apapun ternyata melalui tahapan dan proses yang sama. Dapat dipastikan bahwa perolehan bahasa dan bicara merupakan sifat biologis manusia (Ingalls, 1987).
    Terdapat dua hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan gangguan proses bahasa. pertama, gangguan atau kesulitan bicara, dimana individu mengalami kesulitan dalam mengartikulasikan bunyi bahasa dengan benar. Kenyataan menunjukan bahwa anak tunagrahita banyak yang mengalami kesulitan bicara dibandingkan anak pada umumnya. Kelihatan dengan jelas bahwa terdapat hubungan positif antara hambatan perkembangan kognitif dengan gangguan bicara. Kedua, hal yang lebih serius adalah ganguan bahasa dimana seorang anak mengalami kesulitan dalam memahami konsep kosa-kata, kesulitan memahami aturan sintaksis dan gramatikal dari bahasa yang digunakan.
    Peserta didik tunagrahita yang mengalami gangguan bahasa lebih banyak dibandingkan dengan yang mengalami gangguan bicara. Hasil penelitian Ingalls (1987) tentang kemampuan berbahasa anak tunagrahita menunjukkan bahwa 1) anak tunagrahita pada dasarnya memperoleh keterampilan bahasa sama seperti anak pada umumnya, 2) kecepatan anak tunagrahita dalam memperoleh keterampilan berbahasa jauh lebih rendah dibandingkan dengan anak pada umumnya, 3) kebanyakan anak tunagrahita tidak dapat mencapai keterampilan berbahasa yang sempurna, 4) perkembangan bahasa anak tunagrahita sangat ketinggalan dibandingkan anak pada umumnya, sekalipun pada MA yang sama, 5) anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam memahami gramatikal,
    6) anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam menggunakan dan memahami kalimat majemuk.

    d. Masalah Kepribadian
    Anak-anak tunagrahita memiliki cirri kepribandian yang khas, berbeda dari anak-anak pada umumnya. Perbedaan cirri kepribadian seseorang dibentuk oleh factor-faktor yang melatarbelakanginya. Terdapat sejumlah alasan yang menjelaskan mengapa individu tunagrahita mempunyai hambatan dalam perkembangan kepribadian. Alasan- alasan tersebut meliputi: 1) isolasi dan penolakan, 2) labeling dan stigma, 3) stres leluarga, 4) frustrasi dan kegagalan, dan 5) kesadaran rendah.

    1) Isolasi dan Penolakan
    Perilaku seorang individu tunagrahita yang dipandang ganjil dan aneh oleh orang lain, cenderung akan dikucilkan dari pergaulan kelompok teman sebaya. Anak tungrahita cenderung tidak mempunya teman, mereka menjadi tersingkir dari pergaulan sosial. Penolakan dari teman sebaya bukan semata-mata disebabkan oleh label tunagrahita, tetapi lebih disebabkan oleh perilaku aneh dan ganjil yang mereka tampilkan.
    Penolakan teman sebaya terhadap anak tunagrahita karena anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam belajar keterampilan sosial yang diperlukan dalam pergaulan sosial. Semakin kehadiran anak tunagrahita ditolak oleh teman sebaya, anak tunagrahita semakin mengembangkan cara yang salah dalam berhubungan dengan teman. Penolakan dan isolasi seperti ini menyebabkan munculnya penyimpangan kepribandian dan penyimpangan dalam penyesuaian diri.

    2) Labeling dan Stigma
    Pemberian label tunagrahita yang bersifat permanen dapat dipandang sebagai bentuk diskriminasi dan merupakan vonis yang harus disandang seumur hidup. Label seperti ini telah membentuk persepsi masyarakat bahwa tunagrahita adalah kelompok manusia yang dikategorikan sebagai manusia yang tidak normal (stigma).
    Stigma seperti itu menimbulkan pemisahan yang tajam anatara manusia yang di-stigma-kan sebagai tunagahita dengan manusia lainnya. Sebagai akibat dari labeling dan stigma seperti itu, sebagaian orang tua melarang anak-anaknya untuk bergaul dan bermain dengan anak tunagrahita.

    3) Stres Keluarga
    Para ilmuwan psikologi, sosiologi dan pakar pendidikan sepakat bahwa keluarga merupakan faktor yang sangat penting dan menentukan dalam perkembangan anak. Seorang anak yang dibesarkan dalam keluarga yang penuh kasih sayang dan kelahirannya diterima oleh kedua orang tuanya, cenderung akan menjadi orang dewasa yang dapat menyesuaikan diri dengan baik. Sementara, sorang anak yang dibesarkan yang kehadirnnya ditolak atau terlalu dilindungi oleh kedua orang tuanya, cenderung akan menjadi orang dewasa yang sulit menyesuaiakan diri.
    Keahdiran seorang anak tunagrahita dalam keluarga cenderung menimbulkan stress dan ketegangan pada keluarga yang bersangkutan. Ketika orang tua mengetahui bahwa anaknya tunagrahita, orang tua pada umumnya mengalami perasaan bersalah atau menunjukkan mekanisme pertahanan diri, atau mungkin merasa kecewa yang mendalam. Akibat stres dan ketegangan seperti itu mungkin orang tua menolak kehadiran anak atau mungkin memberikan perlindungan yang sangat berlebihan. Sikap-sikap seperti tu dapat mengakibatkan masalah perilaku dan emosi pada anak yang bersangkutan.

    4) Frustasi dan Kegagalan
    Sebagai akibat dari adanya hambatan dalam perilaku adaptif, anak tunagrahita tidak dapat memenuhi tugas-tugas yang dituntut oleh masyarakat atau oleh teman sebayanya. Akibat dari keadaan seperti itu, anak tunagrahita cenderung mengalami banyak kegagalan dan frustrasi. Kegagalan dan frustrasi yang sangat sering dialami oleh anak tunagrahita berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian.

    5) Kesadaran Rendah
    Proses kognitif dan proses kepribadian merupakan dua hal yang berdiri sendiri tetapi saling mempengaruhi. Proses kognitif terlibat erat dalam perubahan pola kepribadian dan bahkan dalam reaksi emosi. Sangat masuk akal apabila berpegang pada asumsi bahwa orang yang kemampuan kognitifnya tidak memadai seperti halnya tunagrahita, kepribadiannya tidak matang dan tidak rasional.
    Sebagai contoh, aspek penting dalam perkembangan kepribadian adalah kontrol terhadap impuls dan pengendalian dari tindakan impulsif. Kontrol impuls berkaitan erat dengan pekembangan kognitif. Anak pada umumnya akan dapat mengontrol impuls dan menunda kepuasan sejalan dengan bertambahnya umur. Akan tetapi anak tunagrahita mengalami kekurangan dalam perkembangan kognitif, maka anak tunagrahita pada umumnya mengalami kesulitan dalam mengontrol impuls dan sukar mengontrol keinginan dalam memenuhi kepuasan sesaat. Ciri kepribadian anak tunagrahita ditandai oleh dua hal yaitu a) pengendalian lokus eksternal (external locus of control), dan
    b) kelemahan funsgi ego.

    (a) Pengendalian Lokus Eksternal (external locus of control)
    Istilah locus of control dapat dijelaskan sebagai persepsi individu terhadap kejadian yang terjadi pada dirinya sendiri. Individu yang memiliki internal locus of control dapat merasakan bahwa apa yang terjadi pada dirinya sebagian besar ditentukan oleh tindakannya sendiri. Sementara individu yang memiliki external locus of control merasakan bahwa apa yang terjadi pada dirinya ditentukan oleh tindakan orang lain. Anak tunagrahita pada umumnya memiliki external locus of control.
    External locus of control dari anak tunagrahita cenderung mengarah kepada perasaan tidak berdaya. Sebagai contoh anak tunagrahita yang kehilangan barang, tidak ada usaha untuk mencarinya. Anak tunagrahita pada umumnya tidak memiliki daya untuk melakukan usaha atas kemamuan sendiri, ia akan melakukannya apabila ada dorongan yang datang dari orang lain.
    (b) Kelemahan Fungsi Ego
    Para peneliti seperti Robinson (1965), Stenlich (1972) dan Deutsch (1972) (dalam Ingalls 1987) telah melakukan analisis terhadap kepribadian tunagrahita dengan menggunakan teori psikoanalisis Sigmund Freud. Menurut Freud, struktur kepribadian dibagi ke dalam tiga bagian yaitu: Id sebagai tempat beradanya impuls-impuls, insting dan drive yang dibawa sejak lahir, merupakan aspek biologis. Ego, yang berfungsi sebagai eksekutif yang bertugas untuk menguji realitas membawa impuls-impuls dari Id dan membuat keseimbangan antara impuls-impuls yang datang dari Id dengan tuntutan realitas. Ego merupakan aspek psikologis dari kepribadian. Sementara Super Ego mempunyai kepedulian terhadap aspek moralitas dan merupakan aspek sosiologis dari kepribadian atau sinomim dengan istilah kesadaran.
    Anak tunagrahita mengalami kelemahan dalam fungsi ego. Ego berfungsi untuk mengenali dan mempelajari realitas, memahami akibat dari sebuah tindakan, memenuhi dorongan insting dan drive sehingga ketegangan dapat dilepaskan dengan cara-cara yang dapat diterima secara sosial. Anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam proses seperti itu. Artinya anak tunagrahita kebanyakan tidak mampu untuk mengontrol impuls-impuls dan oleh karena itu emosinya mudah meledak.
    Kelemahan fungsi ego menyebabkan anak tunagrahita sulit untuk menyalurkan ketegangan insting dalam bentuk perilaku yang dapat diterima. Penyaluran keteganagan dalam mengontrol kecemasan lebih banyak bersifat primitif. Semakin primitif mekanisme pertahanan diri semakin tidak efektif dalam mereduksi kecemasan. Semakin canggih mekanisme pertahana diri (yang secara sosial dapat diterima) semakin efektif dalam mereduksi ketegangan. Oleh sebab itu perilaku anak tungrahita biasanya ditandai oleh reaksi irrasional dan kecemasan yang berlebihan.

    C. Refleksi tentang Pendidikan bagi Peserta Didik Tunagrahita yang Berlangsung
    Saat ini

    Setelah diuraikan secara singkat tentang hambatan-hambatan yang dialami oleh individu tunagrahita seperti digambarkan di atas , timbul pertanyaan apakah layanan pendidikan bagi peserta didik tunagrahita yang dilakukan saat ini fungsional sehingga dapat mengembangkan potensi mereka secara optimal? Untuk menjawab pertanyaan itu diperlukan semacam analisis dan refleksi terhadap layanan pendidikan bagi peserta didik tunagrahita yang sedang berlangsung saat ini.
    Hasil penelitian Alimin (2006) memberikan gambaran tentang layanan pendidikan peserta didik tunagrahita di Sekolah Luar Biasa yang terjadi saat ini. Kesimpulan penelitian itu menunujukkan bahwa layanan pendidikan lebih bersifat formal, ini dapat dilihat dalam tiga hal yaitu : 1) Kurikulum yang digunakan , 2) Pendekatan pembelajaran, dan 3) Penilaian hasil belajar, dapat diuraikan sebagai berikut:

    1) Kurikulum yang Digunakan
    Temuan penelitian Alimin (2006) menunjukkan bahwa kurikulum yang digunakan cenderung bermuatan akademik yang besifat formal. Isi kurikulum belum banyak menyentuh kebutuhan dan hambatan belajar peserta didik tungarhita, sehingga kecil kemungkinannya kurikulum seperti ini dapat mengembangkan potensi peserta didik secara optimal. Tampaknya terdapat semacam kebijakan yang dilakukan untuk membuat garis linier antara apa yang ada dan terjadi di sekolah biasa, harus ada dan terjadi pula di sekolah luar biasa untuk peserta didik tunagrahita. Oleh karena itu dalam struktur dan isi kurikulumnya mengandung unsur-unsur yang tidak fungsional untuk memenuhi kebutuhan belajar peserta didik tunagrahita.
    Sejauh ini para guru cenderung menggunakan kurikulum sebagai patokan utama dalam melakukan proses pembelajaran. Dengan kata lain pembelajaran berorientasi pada kurikulum (curriculum oriented), belum mempertimbangkan hambatan belajar, hambatan perkembangan dan kebutuhan peserta didik secara individual. Para guru memiliki kecenderungan melakukan pembelajaran semata-mata menyampaikan bahan pelajaran yang tercantum dalam kurikum dan berusahan hanya untuk menyesalaikan target berdasarkan kurikulum tersebut. Guru kurang mempedulikan hal-hal yang terjadi pada diri siswa seperti misalnya apakah telah terjadi proses belajar pada diri siswa, apakah siswa telah mengalami perubahan ke arah perkembangan yang positif. Data seperti itu hanya akan dapat diperoleh melalui proses yang disebut asesmen. Pada saat ini asesmen kurang mendapat perhatian para guru, padahal sangat penting dalam pendidikan peserta didik tunagrahita.
    Pembelajaran yang perpusat pada kurikulum biasanya memberi peluang kepada guru untuk melakukan proses pembeajaran secara klsikal dan membuat normal/ukuran yang klasikal pula. Padahal sesungguhnya esensi pendidikan bagi peserta didik tunagrahita bersfat individual.

    2) Pendekatan Pembelajaran
    Temuan penelitian Alimin (2006) menunjukkan bahwa pendektan pemelajaran yang dilakukan oleh kebanyakan guru lebih bersifat formal, berpust pada kurikulum dan berpusat pada guru, belum memperhatikan perbedaan perkembangan dan hambatan belajar peserta didik tunagrahita secara individual. Pada umumnya guru menyampaikan bahan pelajaran langsung pada tahap abstrak. Sementara peserta didik tunagrhita memiliki kesulitan dalam memahami konsep yang besifat abstrak, mereka memerlukan aktivitas belajar yang dimulai dari tahap kongkret. Untuk mengkongkretkan konsep yang bersifat abstrak diperlukan media atau alat peraga, akan tetapi kebanyakan para guru di Sekolah Luar Biasa untuk pesrta didik tunagrahita belum memanfaatkan media dan alat peraga dalam pembelajaran.
    Pendekatan pembelajaran yang berpusat pada kurikulum menyebabkan adanya kesenjangan bahan pelajaran dengan hambatan belajar dan kebutuhan belajar peserta didik tunagrahita. Terdapat banyak prasyarat yang seharusnya menjadi dasar dalam pembelajaran tidak dapat dipenuhi.
    Secara fisik susunan kelas (classroom arrangement) lebih bersifat statis. Kelas hampir tidak pernah berubah susunannya, sehingga anak menjadi sangat terikat pada posisi tempat duduknya. Keterikatan seperti itu sesungguhnya tidak menguntungkan bagi perkembangan peserta didik tunagrahita.
    Dalam proses pembelajaran, kebanyakan para guru cenderung lebih banyak memberikan perintah dan larangan, sangat jarang para guru memberikan semacam penghargaan ketika peserta didik dapat melakukan sesuatu yang positif sekecil apapun, ada kesan yang kuat bahwa para guru belum memunculkan empati ketika sedang berinteraksi dengan peserta didik.
    Dampak dari pendekatan pembelajaran seperti itu menyebabkan terjadinya kesenjangan antara perkembangan aktual yang dicapai anak dengan perkembangan optimum yang seharusnya dapat dicapai. Kesenjangan ini bukan semata-mata karena faktor kecerdasan tunagahita yang kurang, tetapi juga karena faktor lingkungan dan pendekatan pembelajaran yang belum efektif.
    Ketepatan penggunaan pendekatan pembelajaran dan kesesuian lingkungan belajar dengan perkembangan peseta didik sangat penting dalam mengoptimalkan perkembangan. Hal ini sejalan dengan asumsi bahwa perkembangan yang dicapai oleh peserta didik dipandang sebagai hasil belajar yang diperoleh melalui interaksi dengan lingkungan. Lingkungan dengan segala perangkatnya dipandang sebagai wahana untuk mengembangkan potensi peserta didik (Vygotsky, 1988, Capuzzi, 1995, Kartadinata, 1996). Perkembangan yang dapat dicapai oleh peserta didik sebagai perolehan hasil belajar akan sangat tergantung kepada kualitas interaksi anak dengan lingkungannya.
    Pembelajaran yang dilakukan oleh para guru saat ini belum memanfaatkan lingkungan belajar secara optimal. Hal ini dapat dilihat ketika pembelajarn berlangsung, belum terjadi interaksi yang intensif antara guru dengan anak dan anak dengan anak. Atmosfir kelas cenderung kering, belum ada upaya untuk menghubungkan pengalaman anak dengan bahan pelajaran yang akan diajarkan.

    3) Penilaian Hasil Belajar
    Berdasarkan hasil wawancara dengan para guru dalam memaknai pengertian hasil belajar, para guru cenderung mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hasil belajar adalah penguasaan bahan pelajaran oleh peserta didik melalui sebuah ujian atau tes yang dinyatakan dalam bentuk angka (kuantitaif).
    Oleh karaena itu apa yang dilakukan oleh para guru dalam menilai hasil belajar peserta didik tnagrahita baru menyangkut aspek penguasaan bahan pelajaran secara kognitif. Penilaian seperti ini belum dapat mengungkakapkan seluruh perkembangan yang terjadi pada diri peserta didik sebagai hasil belajar. Penilaian seperti ini tidak memberikan informasi yang memadai tentang apa yang telah terjadi pada diri peserta didk secara utuh.
    Dalam konstek pendidikan tunagrahita, hasil belajar harus dilihat secara utuh, yaitu perubahan yang terjadi pada semua aspek perkembangan dan perkembangan dipandang sebagai perolehan/hasil belajar (Vygotsky, 1988). Oleh karena itu penilaian seharusnya dilakukan untuk mengetahui perubahan pada semua aspek perkembangan peserta didik tunagrahita. Perubahan yang terjadi pada peserta didik sekecil apapun harus dapat diidentifikasi dan dicatat sebagai data yang dapat dilaporkan sebagai laporan kemajuan siswa dalam belajar.
    Sehubungan dengan itu diperlukan perubahan dalam memaknai konsep hasil belajar oleh para guru di Sekolah Luara Biasa, dan diperlukan diversifikasi cara melaukan penilaian hasil belajar, sehingga dapat menggambarkan kondisi objektif setiap peserta didik secara lengkap.
    D. Pendekatan Fungsional dalam Pendidikan Tunagrahita
    sebagai Orientasi yang Dituju

    1. Makna Pendekatan Fungsional
    Perkembangan yang terjadi pada diri seorang anak merupakan hasil belajar. Dengan kata lain perkembangan merupakan akibat dari proses belajar (Vygotsky, 1978). Oleh karena itu hasil belajar harus dipandang sebagai satu kesatuan holistik, menyangkut semua aspek perkembangan individu. Sangat keliru apabila ada anggapan yang mengatakan bahwa hasil belajar hanya berkenaan dengan bidang akademik semata-mata. Berpijak pada asumsi bahwa perkembangan adalah hasil belajar, maka proses belajar harus membantu anak agar dapat berkembang secara optimal.
    Selanjutnya Vygotsky (1988), menjelaskan secara lebih khusus tentang pendidikan anak tunagrahita. Ia menjelaskan bahwa pendidikan anak tunagrahita harus mempertimbangakan situasi sosial di mana anak itu berada dan pembelajaran dilakukan untuk mendekatkan jarak antara kompetensi orang dewasa dengan perkembangan anak yang dicapai pada saat itu (zone of proximal development), sehingga anak dapat mencapai perkembangan yang lebih tinggi. Untuk mengembangkan kemampuan anak tunagrahita diperlukan waktu upaya yang lebih banyak dan waktu lebih lama dibandingkan dengan anak pada umumnya. Oleh karena itu upaya pendidikan dan pembelajaran masih belum cukup untuk memberdayakan tunagrahita, masih diperlukan upaya lain yang lebih mengarah kepada upaya pemberian bantuan dalam pengembangan diri yang memberikan kesempatan dan kemudahan kepada siswa untuk belajar agar dapat berkembang sebagai manusia.
    Untuk mencapai perkembangan itu, sekurang-kurangnya guru harus memiliki empat kemampuan yaitu: yaitu: (1) Asesmen perkembangan anak (2) Adaptasi kurikulum (bahan ajar) dengan perkembangan anak (3) Memilih lingkungan belajar (4) Tahapan pembelajaran. Urutan nomor dari setiapaspek, menunjukkan pula urutan prosedur kerja dari pendekatan l ini sebagai berikut:




    2 . Kemampuan yang Seharusnya Dimiliki Oleh Guru

    a) Asesmen Perkembangan Anak
    Asesmen diperlukan untuk mengetahui perkembangan anak tunagrahita yang dicapai saat ini. Perkembangan anak dalam pendekatan ini didefinisikan sebagai proses perubahan yang bersifat progresif dan holistik. Perkembangan anak tunagrahita tidak hanya dilihat sebagai proses yang mengikuti tahahapan anak tangga yang menjelaskan bahwa setiap anak tangga harus dilewati satu demi satu, tetapi juga perkembangan harus dilihat sebagai proes sirkuler yang melingkar ke samping. Oleh karena itu proses perkembangan harus dilihat sebagai proses perubahan yang mengikuti arah spiral, yaitu interaksi antara perkembangan yang mengikuti arah anak tangga (perkembangan vertikal) dengan perkembangan yang mengikuti arah lingkirang (perkembangan Horizontal).
    Sebagai konsekuensi dari pendirian bahwa perkembagan itu bersifat spiral, maka asesmen perkembangan anak tunagrahita dilakukan dalam dua bentuk yaitu asesmen perkembangan vertikal dan asesmen perkembangan horizontal.

    1) Asesmen Perkembangan Vertikal
    Asesmen perkembangan vertical digunakan untuk melihat tahapaan perkembangan yang dicapai oleh setiap anak tunagrahita. Dalam model ini, perkembangan vertical difokuskan kepada perkembangan kognitif yang berpijak pada pandangan Piagetian Constuctivism, yang meliputi empat tahap perkembangan yaitu : Sensorimotor, kongkret-opersional, formal operasionan dan dialektik (Capuzzi,1995). Perkembangan vertical adalah perindahan dari level yang lebih rendah ke level yang lebih tinggi. Individu yang berada pada level sensori motor memerlukan bantuan untuk mencapai perkembangan yang lebih tinggi yaitu perkembangan pra-operasional.
    Setiap tahapan perkembangan kognitif memeliki karakteristik yang khas dan memerlukan lingkungan belajar yang yang khas pula. Perkembangan sensorimotor memerlukan lingkungan yang terstruktur, dan direktif. Individu yang berada para tahap perkembangan ini memerlukan pengalaman belajar yang kongktret. Perkembangan pra-oprasional memerlukan lingkungan belajar yang bersifat semi terstruktur. Perkembangan formal operasional memerlukan lingkungan belajar yang konsultatif, dan perkembangan dialektik memerlukan lingkungan belajar yang bersifat kolaboratif.
    Teknik asesmen yang digunakan untuk mengetahui perkembangan vertikal anak adalah wawancara terbuka dan bebas (komunikasi verbal). Ungkapan atau ekspresi verbal dari setiap anak yang diajak bicara, atau diwawancara menunjukkan tahap perkembangan kognitif yang dicapai saat ini. Apabila guru sudah dapat mengetahui secara vertical tahapan perkembangan anak, maka sudah dapat menentukan lingkungan belajar yang harus disediakan.

    2) Asesmen Perkembangan Horizontal
    Perkembangan horizontal adalah sebuah eksplorasi, penguasaan dan elaborasi tentang sikap, emosi, dan perilaku yang berkenaan dengan suatu tahap perkembangan vertical tertentu. Ini adalah proses yang digunakan untuk menjamin konstruksi dengan landasan yang kokoh. Untuk mengetahui perkembangan horizontal yang telah dicapai oleh anak tunagrahita, dilakukan dengan menggunakan teknik observasi dan dan wawancara kepada setiap anak.
    Secara horizontal, perkembangan anak tunagrahita yang di-asesmen mencakup tiga aspek yaitu aspek perkembangan keterampilan bahasa (mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis), aspek perkembangan keteranpilan berhitung, dan perkembangan perilaku adaptif. Data hasil asesmen perkembangan horizontal dijadikan dasar dalam menentukan bahan ajar untuk disesuaikan dengan kebutuhan anak tunagrahita. Di sinilah awal terjadi proses penyesuaian antara materi kurikulum dengan perkembangan anak, sehingga pembelajaran menjadi berpusat kepada anak dan kurikulum menjadi fleksibel.

    b) Adaptasi Kurikulum dengan Perkembangan Anak
    Data hasil asesmen perkembangan kognitif vertikal menjadi dasar dalam menentukan lingkungan belajar dan interaksi pembelajar yang seharusnya dilakukan oleh guru. Sementara itu, data hasil asesmen perkembangan kognitif horizontal memberikan informasi tentang kapasitas dan hambatan belajar yang dialami oleh anak tunagrahita dalam belajar bahasa, berhitung dan perilaku adaptif. Data hasil asesmen horizontal digunakan sebagai dasar untuk menyusun program pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan anak tunagrahita. Oleh karena itu dilakukan penyesuaian antara isi kurikulum dengan kebutuhan belajar anak tunagrahita.
    Penyesuaian antara isi kurikulum dengan kebutuhan anak tunagrahita, ditempuh melalui dua langkangkah. Pertama, -melalui asesmen- harus diketahui lebih dahulu kemampuan yang sudah dimiliki dan hambatan belajar yang dialami oleh anak tunagrahita dalam pelajaran teretntu, misalnya dalam pelajaran berhitung. Kedua, menemukan pada tahap mana dan materi apa dalam kurikulum, misalnya dalam pelajaran berhitung, yang sesuai dengan kemampuan dan hambatan anak tunagrahita. Jika secara eksplisit di dalam kurikulum tidak ditemukan topik atau pokok bahasan yang diperlukan, maka harus dilakukan analisis ururan prerekuisit dari setiap pokok bahasan. Sangat mungkin terjadi ada prerekuisit yang tidak secara eksplisit tercantum dalam kurikulum, menjadi tunuan pembelajaran.
    Hasil analisis isi kurikulum (content analysis), memberikan informasi yang jelas tentang urutan prerekuisit dari setiap topik atau pokok bahasan, sehingga menjadi sangat mudah untuk melakukan penyesuaian antara kurikulum dengan kemampuan setiap anak tunagrahita.

    c) Memilih Lingkuangan Belajar
    Dalam perspektif pendekatan funsional, lingkungan belajar yang diciptakan harus sejalan dengan perkembangan kognitif vertical individu yang akan belajar. Perkembangan kognitif terdiri atas empat tahap yaitu : tahap sensori motor, kongkret operasional, formal operasional dan dialektik. Setiap tahap perkembangan memerlukan lingkungan belajar yang sesuai dengan karakteristik dari tahapan perkembangan tersebut.Tahapan perkembangan seorang anak tunagrahita diketahui melalui proses asesmen (Capuzzi, 1995).
    Tahap perkembangan sensori motor bersesuaian dengan lingkungan belajar yang terstuktur, tahap perkembangan pra-operasional bersesaian dengan lingkungan belajar yang bersifat semi terstrukur, tahap perkembangan formal operasional bersesuaian dengan lingkungan belajar konsultatif dan perkembangan kognitif dialektik bersesuaian dengan lingkungan belajar yang bersifat kolaboratif.

    d) Tahapam Pembelajaran
    Pendekatan fungsional dalam pembelajaran anak tunagrahita, memiliki tiga tahapan: pertama tahap orientasi, kedua tahap mediasi dan ketiga tahap ko-konstruksi. Ketiga tahap pembelajaran itu merupakan kesatuan yang utuh dan tearintegrasi, sehingga perindahan dari satu tahap ke tahap lainnya tidak terdapat jeda dalam pelaksanaannya. Pelaksanaan pembelajaran dalam model ini memerlukan dua orang guru, yaitu guru utama (main teacher), yang bertugas mengelola kelas secara keseluruhan dan guru pendamping (co-teacher), yang bertugas memberikan perhatian dan pelayanan kepada setiap anak.
    (1) Tahap orientasi : Pembelajaran pada tahap ini merupakan proses menghubungkan antara pengalaman anak dengan bahan ajar dan lingkungan belajar. Pada tahap ini guru menciptakan situasi yang dapat membangkitkan perhatian dan motivasi semua anak agar terbliat aktif dalam aktivitas yang diciptakan oleh guru, tanpa merasa bahwa mereka sedang belajar. Tahap orientasi dimaksudkan untuk mengawali kegiatan belajar dengan aktivitas yang gembira dan menyenangkan.
    Pada tahap ini terdapat dua kegiatan utama yang harus dilakukan oleh guru yaitu Pertama penataan posisi duduk anak. Susunan tempat duduk tidak dibuat dalam bentuk barisan akan tetapi disusun dalam bentuk yang lebih fleksibel, (memungkinkan diubah-ubah) bisa dalam bentuk setengah lingkaran, kelompok atau saling berhadap-hadapan. Kegiatan ini dilakukan bersama-sama antara guru dengan semua anak. Posisi guru utama (main teacher) berada di tempat yang dapat dilihat oleh semua anak, sementara itu guru pendapaing (co-teacher), berkeliling menghapiri setiap anak untuk memberikan bantuan yang diperlukan oleh setiap anak. Kedua, guru mengajak anak-anak untuk berceritera tentang sesuatu yang pernah dialami oleh anak-anak, kemudian menghubungkannya dengan bahan ajar yang akan disampaikan. Hal ini dilakukan, untuk menghubungkan antra bahan ajar dengan pengalama anak.
    Dengan kata lain pembelajaran selalu dimulai dari apa yang telah diketahui dan dialami oleh anak, sehingga pembelajaran menjadi lebih menarik, lebih menyenangkan dan lebih bermakna bagi anak, karena tidak ada diskontinyuitas antara pengalaman masa lalu dengan pengetahuan baru.
    (2) Tahap Mediasi : Pada tahap ini diciptakan situasi agar terjadi interaksi antara anak dengan prangsang yang disediakan. Guru tidak memulai pembelajaran dengan penjalasan konsep, tetapi dimulai dari aktivitas. Terdapat tiga urutan proses yang harus dilalui pada tahap ini yaitu: belajar pada tahap kongkter, semi kongkret dan belajar pada tahap abstrak.
    Pembelajaran level kongret: Proses pembelajaran yang mengubungkan anak dengan banyak perangsang (media) yang bersifat kongret. Anak diberi kesempatan seluas-luasnya untuk memanipulasi objek kongkret yang berhubungan dengan konsep yang diajarkan. Dengan kata lain konsep yang bersifat abstrak diakses melalui proses yang dapat diamati secara visual, auditif, kinestetik, dan tactual. Sehingga konsep yang diajarkan bisa dipahami oleh anak secara lengkap dan mantap.
    Pembelajaran level semi kongkret: Proses pembelajaran yang terjadi di sini sama seperti pada tahp kongret. Perbedaannya terletak pada perangsang (media) yang digunakan. Pada tahap ini media atau perangsang yang digunakan adalah media dua dimensi (gambar). Hal ini dimaksudkan untuk menjembatani antra pemahaman yang bersifat kongktret dengan pemahaman yang bersifat abstrak.
    Tahap level abstrak: Pada tahap ini pembelajaran tidak lagi menggunakan perangsang (media), tetapi lebih banyak menggunakan bahasa secara verbal. Pada tahap ini diharapkan anak mengalami proses mengkonstruksi dan merekonstruksi pengetahuan baru dihubungkan dengan pengetahuan yang sudah dimiliki anak sebelumnya.
    (3) Tahap Ko-konstruksi: Pembelajaran pada tahap ini merupakan kegiatan pemantapan, agar anak mengalami proses adaptasi kognitif, yaitu terjadi perkembangan pada diri anak sebagai hasil belajar. Terdapat dua proses yang terjadi pada tahap ini yaitu, proses yang mengarah kepada aktivitas evaluasi dan proses yang mengarah kepada aktivitas asesmen. Keduanya terjadi dan menyatu dalam proses pembelajaran.
    Evaluasi tidak dimaknai secara sempit sebagai ujian, tapi harus dilihat sebagai upaya untuk melihat perkembangan yang terjadi pada diri anak sebagai hasil belajar. Sementara itu, asesmen dimaknai sebagai upaya untuk melihat hambatan belajar yang dialami oleh anak pada saat mengikuti proses pembelajaran.


    PUSTAKA RUJUKAN


    Alimin, Z (1993), Study on Cognitive Process of Incomplete Figure Recognitiion in
    Children with Mentally Retarded. Master Thesis University of Tsukuba:
    Tsukuba.

    Alimin, Z (2006), Model Pembelajaran Anak Tunagrahita Melalui Pendekatan
    konseling, Penelitian Tindakan Kolaboratif dalam Upaya Mengemabngkan
    Anak Tunagrahita Mencapai Perkembangan Optimum. Disertasi Sekolah
    Pascasarjana UPI: Bandung.

    Bairne-Smith, M (2002), Mental retardation. Merrill Prentice Hall: Columbus.

    Capuzzi,D (1995) Counseing and Psychotherapy: Theories and Intervenstion. Prentice
    Hall: Columbus.

    Ingals.P,R(1987) Mental Retardation The changing Outlook. John Wiley & Son: New
    York.

    Kartadinata, S (1996) Kerangka Kerja Bimbingan dan Konseling dalam Pendidikan:
    Pendekatan Ekologis Sebagai Alternatif. Pidato Pengukuhan Guru Besar pada
    Jurusan BP FIP IKIP Bandung: Bandung.

    Skjorten, D.Miriam (2003), Education-Special Needs Education: An Introduction.
    Unifub: oslo.

    Suhaeri, HN. Purwanta, E (1996) Bimbingan Konseling Anak Luar Biasa. Ditjen Dikti
    Depdiknas: Jakarta.

    Vygotsky, L (1988) Mind in Society. The Development of Higher Psychological Process.
    Harvad University Press: Cambrige.

    Label:

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google
  • Kembali ke Halaman Depan
  • PEMBELAJARAN ANAK BERBAKAT

    Siapa anak berbakat itu?

    Untuk menjelaskan siapa yang dimaksud dengan anak berbakat, dapat dilihat dari perspektif sejarah yang panjang. Dilihat dari perspektif sejarah, konsep anak berbakat dapat dilihat secara konservatif, yaitu hanya difokuskan kepada kemampuan intelektual tinggi yang diukur oleh tes inteligensi, menghasilkan indek disebut IQ. Menurut perspektif ini diasumsikan jumlahnya 1% dari populasi. Menurut perspektif konservatif , orang yang dikategorikan memiliki keberbakatan adalah mereka yang memiliki IQ antara 130-144 gifted, 145-159 highly gifted dan < 160 profoundly gifted.
    Menurut pendekatan yang lebih inklusif, yang dimaksud anak berbakat adalah mereka yang tidak hanya memiliki kemampuan intelektual tinggi, tetapi juga memiliki kemampuan kreativitas, sosial-emosional dan motivasi (gifted) dan memiliki keunggulan dalam satu atau lebih bidang tertentu dalam musik, sastra, olahraga dsb (talented) sehingga mereka memerlukan layanan khusus dalam pendidikan.
    Keberbakatan yang saat ini dianut oleh banyak akhli di banyak negara adalah keberbakatan yang menganut perspektif yang lebih inklusif, karena keberbakatan bukan merupakan sesuatu yang tunggal (hanya menyakut intelektual), tetapi merupakan konsep majemuk.

    Karakteristik Siswa Berbakat
    Untuk memahami siswa berbakat, dapat diidentifikasi dari karakteristik yang sering muncul dalam bnetuk perilaku sebagai berikut:
    Karakteristik belajar
    • Belajar lebih cepat dan lebih mudah
    • Menyukai tugas dan tantangan yang kompleks
    • Mengetahu banyak hal dimana anak lainya tidak mengetahuinya
    • Memiliki kosa kata yang sangat maju, dan kemampuan berbahasa sangat baik
    • Sudah dapat membaca pada usia yang sangat awal
    • Terampil dalam memcahkan masalah
    • Sering mengajukan pertanyaan yang kritis dan tidak teerduga
    • Menunukkan rasa ingin tahu yang tinggi terhadap banyak hal

    Karakteristik Motivasi
    • Persisten dalam menyelesaikan tugas-tugas yang menjadi minatnya
    • Senang mengerjakan tugas secara independen, hanya sedikit memerlukan pengarahan
    • Komitmen kuat pada tugas yang dipilihnya

    Karaktersitik Kreativitas
    • Sensitif terhadap estetika
    • Suka bereksperimen, sering menemukan cara baru dalam mengerjakan tugas
    • Spontan dalam mengekresikan rasa humor
    • Banyak ide ketika menghadapi tantangan/problem

    Kaarakteristik Sosial-emosional:
    • Memiliki rasa percaya diri yang kuat
    • Lebih menyukai teman yang lebih tua usianya dan memiliki kesamaan minat
    • Cenderung perpfeksionis
    • Mudah menyesuiakan diri pada situasi baru

    Kebutuhan Belajar Siswa Berbakat
    Merujuk kepada konsep keberbakatan yang menggunakan perspektif yang lebih inklusif dan bersifat majemuk serta karakteritik umum yang dapat diidentifikasi maka kebutuhan belajar siswa berbakat secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua bagian besar yaitu: 1) kebutuhan dalam mengembangankan kemampuan intelektual dan kreatifitas, 2) kebutuhan dalam mengembangkan aspek sosial-emosional dan motivasi.
    Oleh karena itu pembelajaran bagi siswa berbakat seharusnya diarahkan untuk mengembangkan kedua hal tersebuat. Hal yang sering terabaikan dalam pembelajaran termasuk pembelajar siswa berbakat dalam hal pengembangan kreativitas dan sosial-emosional. Pembelajaran biasanya lebih banyak mengembangkan aspek intelektual. Hal ini dapat dimaklumi karena guru dalam melakukan pembelajaran sering terburu-buru dan kehabisan waktu untuk mengerjar terget kurikulum. Aspek kreativitas anak jarang tersentuh. Maka menjadi tidak mengherankan, jika pendidikan kita hanya menghasilkan siswa yang siap untuk ujian bukan siswa kreatif yang siap mengahadapi tantangan hidup.

    Strategi Pembelajaran yang Mengembangkan Keterampilan Berpikir Kreatif
    Dunia membutuhkan ilmuwan kreatif yang dapat menghasilkan solusi inovatif dalam memecahkan masalah. Disadari bahwa tidak semua siswa berbakat akan menjadi ilmuwan, tetapi mungkin akan menjadi pengusaha, pemimpin organisasi, pemimpin perusahaan dsb. Meskipun demikian berpikir kreatif itu sangat penting untuk semua bidang pekerjaan. Oleh karena itu sangat penting untuk menginisiasi keterampilan berpikir kreatif ke dalam pembelajaran.
    Sehubungan dengan itu proses belajar bersifat aktif dalam menciptakan dan mencipta kembali pengetahuan melalui tindakan dalam lingkungan, sehingga pengetahuan menjadi milik orang yang belajar. Belajar bukan menerima pengetahuan dari guru melainkan mengkonstruksi sendiri pengetahuan oleh yang belajar. Hirarki proses pembelajaran yang mengembangakan keterampilan berpikir kreatif dapat dilihat pada tabel 1.1 sebagai berikut:

    Tabel 1. Hirarki Proses Pembelajaran yang Mengembangkan
    Ketermpilan Berpikir Kreatif
    Ket.Proses Dasar Ket. Proses Intermedit Ket.Proes Tinggi
    Mengobsevasi
    Membandingkan
    Mengklaifikasikan
    Mengukur
    Mengkomunikasikan Menarik Kesimpulan
    Memprediksi Merumuskan hipotesis
    Mendefinisikan dan mengontrol variable

    Guru dapat mengunakan atau menerapkan urutan hirarki pembelajaran ini pada mata pelajaran yang berbeda-beda.

    Memodifikasi Pelajaran, dan Memodifikasi Tugas-Tugas

    Modifikasi pelajaran dan modifikasi tugas-tugas yang dimaksud dalam tulisan ini adalah melakukan proses penyesuaian bahan pelajaran dengan kebutuhan belajar siswa, penyesuaian antara kecepatan belajar siswa dengan bahan pelajaran dan penyesuaian antara waktu yang tersedia dengan sumber-sumber yang tersedia. Sedangkan modifikasi dalam penjadwalan adalah memberikan kesempatan kepada siswa yang memiliki kemampuan tinggi untuk bekerja secara individual melalui belajar mandiri.

    Modifikasi Pelajaran
    Bahan pelajaran tidak disajikan dalam bentuk yang utuh, tetapi diawali oleh sebuah masalah yang bersifat terbuka, siswa menemukan sendiri konsep/pengetahuan yang utuh melalui proses belajar kreatif (lihat tabel 1.1). Proses belajar seperti ini memerlukan keterampilan berpikir seperti membandingkan, membuat sintesa, merumuskan hipotesis. Cara sseperti ini dapat pula meningkatkan kepekaan siswa terhapap keadaan yang sedang dihadapi saat ini.

    Modifikasi Tugas-Tugas
    Siswa berbakat sering merasa bosan dalam mengerjakan tugas-tugas karena mereka menganggap tidak relevan dan tidak ada sesuatu yang baru yang dapat dipelajari. Oleh karena itu tugas-tugas untuk siswa yang mempunyai kemampuan tinggi diberikan dalam bentuk project work, baik individual project work maupun group project work, yang berhubgungan dengan pelajaran tertentu atau tugas yang berdiri sendiri. Tugas-tugas dalam bentuk projek work bersifat pemecahan masalah yang menantang. Tugas tidak diberikan dalam bentuk penyelesaian soal-soal yang bersifat tradisional.







    Referensi
    Bloom, B. S., Engelhart, M. D., Furst, E. J., Hill, W. H., & Krathwohl, D. R. (1956). Taxonomy of educational objectives. Handbook I: Cognitive domain. New York: Longmans Green.
    Charlesworth, R., & Lind, K. K. (1995). Math and science for young children (2nd ed.). Albany, NY: Delmar.
    Meador, K. S. (1997). Creative thinking and problem solving for young learners. Englewood, CO: Teacher Ideas Press.
    Ostlund, K. L. (1992). Science process skills: Assessing hands-on student performance. New York: Addison-Wesley.
    Torrance, E. P. (1979). The search for satori & creativity. Buffalo, NY: Creative Education Foundation.
    Weisberg, R. W. (1986). Creativity: Genius and other myths. New York: Freeman

    Label:

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google
  • Kembali ke Halaman Depan
  • Rabu, 07 Mei 2008

    Pertimbangan-pertimbangan dalam Intervensi Konseling Rehabilitasi: Hakikat Kecacatan

    Di depan telah dikemukakan bahwa terdapat tiga faktor utama yang perlu dipertimbangkan seorang konselor dalam melakukan intervensi konseling rehabilitasi, yaitu:
    (a) factor personal,
    (b) factor lingkungan,
    dan
    (c) hakikat kecacatan.

    Hakikat Kecacatan

    Aspek-aspek spesifik dari kecacatan itu sendiri mempengaruhi cara seorang individu memaknai kecacatannya, dan akhirnya juga mempengaruhi responnya terhadap kecacatannya itu. Hakikat kecacatan mencakup jenis kecacatan (fisik, mental, emosional), maupun factor-faktor seperti fungsi yang terganggu, tingkat keparahan, saat terjadinya, jenis kejadianya, visibilitas, stabilitas, dan rasa sakit yang dialaminya. Faktor-faktor tersebut mungkin berimplikasi pada tugas konselor rehabilitasi.

    Baca selengkapnya

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google
  • Kembali ke Halaman Depan
  • Pertimbangan-pertimbangan dalam Intervensi Konseling Rehabilitasi: Faktor Lingkungan

    Di depan telah dikemukakan bahwa terdapat tiga faktor utama yang perlu dipertimbangkan seorang konselor dalam melakukan intervensi konseling rehabilitasi, yaitu:
    (a) factor personal,
    (b) factor lingkungan,
    dan
    (c) hakikat kecacatan.

    Lingkungan merupakan kategori kedua dari faktor-faktor yang mempengaruhi respon terhadap kecacatan. Lingkungan, yang mencakup faktor-faktor eksternal bagi individu, meliputi lingkungan terdekat (misalnya keluarga, teman, komunitas) maupun lingkungan masyarakat yang lebih luas (misalnya teknologi, perundang-undangan, definisi sosial tentang kecacatan). Penting untuk memahami bahwa dampak kecacatan dapat bervariasi berdasarkan lingkungan. Misalnya, dampak ketunarunguan dan penggunaan bahasa isyarat menjadi sangat berkurang bila individu tinggal dalam komunitas di mana bahasa isyarat merupakan bahasa utama. Demikian pula, dampak kecacatan anak terhadap keluarga dapat berkurang bila keluarga itu memiliki informasi yang memadai dan berbagai dukungan yang dibutuhkan (termasuk dukungan emosional, finansial, sosial, masyarakat).

    Baca selengkapnya

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google
  • Kembali ke Halaman Depan
  • Pertimbangan-pertimbangan dalam Intervensi Konseling Rehabilitasi: Faktor Personal

    Masing-masing orang adalah individu yang unik dengan minat, nilai-nilai, dan pengalaman yang berbeda-beda. Kecacatan yang diperolehnya tidak mengubah keunikan ini, dan kecacatannya itu tidak juga menjadi satu-satunya karakteristik yang membedakannya dari individu-individu lain; kecacatan hanya menjadi satu atribut tambahan baginya. Oleh karenanya, kita harus sangat berhati-hati dalam menggeneralisasikan orang berdasarkan kecacatannya. Akan tetapi, mungkin terdapat kesamaan pengalaman di kalangan para penyandang cacat pada umumnya, dan mungkin juga terdapat kesamaan pengalaman di kalangan individu yang menyandang kategori kecacatan yang sama (fisik, sensori, kognitif). Kesamaan pengalaman tersebut dapat dipergunakan sebagai dasar bagi konselor rehabilitasi untuk melakukan intervensi. Makalah ini mendeskripsikan pertimbangan-pertimbangan dalam intervensi konseling berdasarkan factor-faktor yang terkait dengan individu, lingkungannya, dan hakikat kecacatannya.

    Dalam melaksanakan intervensi konseling rehabilitasi, Patterson, DeLaGarza & Schaller (2004) menghimbau agar konselor berpegang pada tiga prinsip berikut ini:
    1. Makna personal dari kecacatan berdampak besar terhadap respon individu terhadap kecacatannya.
    2. Tidak ada dua individu yang merespon terhadap kecacatan dengan cara yang persis sama. Bahkan individu kembar dengan kebutaan bawaan, dibesarkan dalam keluarga yang sama, akan merespon terhadap kecacatanya itu secara berbeda.
    3. Konselor rehabilitasi tidak boleh memasuki hubungan konseling dengan asumsi yang kaku tentang bagaimana seharusnya seorang individu merespon terhadap kecacatannya.

    Kecacatan merupakan pengalaman khas individu, dan respon individu terhadap kecacartannya itu dipengaruhi oleh sejumlah factor. Vash (1981) mengelompokkan factor-faktor ini ke dalam tiga kategori sebagai berikut:
    (a) factor personal,
    (b) factor lingkungan,
    dan
    (c) hakikat kecacatan.
    Bila ketiga factor ini dipertimbangkan secara kolektif, maka kita dapat memahami secara lebih baik mengapa respon terhadap kecacatan itu bersifat individual.

    Baca selengkapnya

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google
  • Kembali ke Halaman Depan
  • Senin, 05 Mei 2008

    Landasan Filosofis Konseling Rehabilitasi

    Sebagaimana dikemukakan dalam artikel
    Definisi dan Ruang Lingkup Praktek Konseling Rehabilitasi,
    praktek konseling rehabilitasi dilandasi oleh filosofi rehabilitasi dalam konteks yang luas. Prinsip dasar filosofi rehabilitasi mengajarkan pemahaman
    yang benar tentang dampak kecacatan terhadap individu, deklarasi tentang hak-hak individu dan saran-saran mengenai strategi untuk mencapai tujuan rehabilitasi
    (Maki & Riggar, 1985 – dalam Parker et al, 2004). Studi terhadap filosofi rehabilitasi selama sekitar 50 tahun terakir ini menunjukkan adanya sejarah panjang
    tentang keyakinan akan hak-hak penyandang cacat dan perlunya mengadvokasi hak-hak tersebut. Sejak tahun 1959, Beatrice Wright (Parker et al., 2004) telah
    menginventarisasi nilai-nilai dan keyakinan mendasar yang melandasi filosofi rehabilitasi. Prinsip-prinsip dasar filosofi rehabilitasi tersebut adalah
    sebagai berikut.

    Baca selengkapnya

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google
  • Kembali ke Halaman Depan
  • Definisi dan Ruang Lingkup Praktek Konseling Rehabilitasi

    Istilah “konseling rehabilitasi” yang dipergunakan dalam artikel ini merupakan terjemahan langsung dari “counseling rehabilitation”. The Commission on
    Rehabilitation Counselor Certification (CRCC), Amerika Serikat, sebagaimana dikutip oleh Parker et al. (2004:4) mendefinisikan counseling rehabilitation
    sebagai “a systematic process which assists persons with physical, mental, developmental, cognitive, and emotional disabilities to achieve their personal,
    career, and independent living goals in the most integrated setting possible through the application of the counseling process. The counseling process
    involves communication, goal setting, and beneficial growth or change through self-advocacy, psychological, vocational, social, and behavioral interventions”.
    (Konseling rehabilitasi adalah suatu proses sistematis yang membantu penyandang kecacatan fisik, mental, perkembangan, kognitif, dan emosi untuk mencapai
    tujuan personal, karir, dan kehidupan mandiri dalam setting yang seintegrasi mungkin melalui penerapan proses konseling. Proses konseling tersebut melibatkan
    komunikasi, penetapan tujuan, dan pertumbuhan atau perubahan ke arah yang lebih baik melalui self-advocacy, intervensi psikologis, intervensi vokasional,
    intervensi sosial, dan intervensi behavioral).

    Baca selengkapnya

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google
  • Kembali ke Halaman Depan