Buku Tamu



Anda adalah pengunjung ke
View My Stats

Silakan isi
  • Buku Tamu Saya
  • Lihat Buku Tamu




  • Jika anda meninggalkan pesan atau mengajukan pertanyaan yang memerlukan respon,
    respon saya dapat anda baca di
  • Comment




  • Google

    Daftar Isi

  • KESULITAN BELAJAR DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN
  • REORIENTASI PENDIDIKAN KHUSUS/PLB (SPECIAL EDUCATION) KE PENDIDIKAN KEBUTUHAN KHUSUS (SPECIAL NEEDS EDUCATION) USAHA MENCAPAI PENDIDIKAN UNTUK SEMUA
  • Program Master Pendidikan Kebutuhan Khusus SPS
  • MENJANGKAU ANAK-ANAK YANG TERABAIKAN MELALUI PENDEKATAN INKLUSIF DALAM PENDIDIKAN
  • PEMBELAJARAN ANAK BERBAKAT
  • VYGOTSKY IN THE CLASSROOM: MEDIATED LETERACY INTRUCTION AND INTERVENTION
  • SUBJECTIVE PERCEPTIONS OF STRESS & COPING BY MOTHERS OF CHILDREN WITH INTELLECTUAL DISABILITY A NEEDS ASSESSMENT
  • Anak Penyandang Autisme dan Pendidikannya
  • Pendidikan Inklusif Ketika Hanya Ada Sedikit Sumber
  • Orientasi Ulang Pendidikan Tunagrahita dari Pendekatan Formal ke Pendekatan Fungsional
  • Definisi dan Ruang Lingkup Praktek Konseling Rehabilitasi
  • Landasan Filosofis Konseling Rehabilitasi
  • Pertimbangan-pertimbangan dalam Intervensi Konseling Rehabilitasi: Faktor Personal
  • Pertimbangan-pertimbangan dalam Intervensi Konseling Rehabilitasi: Faktor Lingkungan
  • Pertimbangan-pertimbangan dalam Intervensi Konseling Rehabilitasi: Hakikat Kecacatan
  • Bahasa dan Ketunagrahitaan
  • Pernyataan Salamanca
  • HAMBATAN BELAJAR DAN HAMBATAN PERKEMBANGAN PADA ANAK-ANAK TUNAGRAHITA
  • SUBJECTIVE PERCEPTIONS OF STRESS & COPING BY MOTHERS OF CHILDREN WITH INTELLECTUAL DISABILITY A NEED ASSESSMENT
  • HAMBATAN BELAJAR DAN HAMBATAN PERKEMBANGAN PADA ANAK YANG MENGALAMI KEHILANGAN FUNGSI PENDENGARAN
  • MEMAHAMI PERKEMBANGAN,HAMBATAN PERKEMBANGAN DAN HAMBATAN BELAJAR PADA ANAK
  • Orientasi Pendidikan Kebutuhan Khusus
  • PEMAHAMAN KONSEP PENDIDIKAN KEBUTUHAN KHUSUS DAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
  • THE EFFECTS OF PRECISION TEACHING TECHNIQUES AND FUNTIONAL COMMUNICATION TRAINING ON BEHAVIOR PROBLEM FOR 12-YEAR OLD MALE WITH AUTISM
  • Daftar Cek Perkembangan Bahasa Anak Tunagrahita
  • Perkembangan Kognitif Anak Tunagrahita Menurut Teori Piaget
  • Program Master Pendidikan Kebutuhan Khusus
  • Pengajaran Bahasa Bagi Anak Tunagrahita
  • MODEL PEMBELAJARAN ANAK TUNAGRAHITA MELALUI PENDEKATAN KONSELING




  • Kamis, 10 April 2008

    Bahasa dan Ketunagrahitaan

    Bahasa dan inteligensi begitu berkaitan sehingga ada orang yang mendefinisikan ketunagrahitaan berdasarkan defisit bahasanya. Diasumsikan secara meluas
    bahwa bahasa diperlukan untuk sebagian besar proses berpikir tingkat tinggi, dan oleh karenanya sebagian besar item dalam kebanyakan tes inteligensi melibatkan
    stimulus verbal, respon verbal, atau keduanya. Defisit dalam keterampilan bahasa mungkin merupakan karakteristik terpenting yang membedakan antara orang
    tunagrahita dengan non-tunagrahita.

    Baca selengkapnya

    Label: ,

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google
  • Kembali ke Halaman Depan
  • Rabu, 09 April 2008

    Pernyataan Salamanca

    PERNYATAAN SALAMANCA DAN KERANGKA AKSI MENGENAI PENDIDIKAN KEBUTUHAN KHUSUS
    KONFERENSI DUNIA TENTANG PENDIDIKAN KEBUTUHAN KHUSUS: AKSES DAN KUALITAS
    Salamanca, Spanyol, 7-10 Juni 1994

    Baca selengkapnya

    Label:

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google
  • Kembali ke Halaman Depan
  • Senin, 07 April 2008

    HAMBATAN BELAJAR DAN HAMBATAN PERKEMBANGAN PADA ANAK-ANAK TUNAGRAHITA

    Oleh : Zaenal Alimin
    Program Studi Pendidikan Kebutuhan Khusus & Inklusi
    Sekolah Pascasarjana UPI

    1. Konsep kecerdasan dan Kognitif
    Kecerdasan dan kognitif dua istilah yang berbeda, namun keduanya saling berkaitan dan sulit dipisahkan. Untuk lebih memahami perbedaan dan keterkaiatan diantara kedua istilah tersebut perlu dibahasan apa itu kecerdasan dan apa itu kognitif
    a. Konsep Kecerdasan
    Istilah inteligensi/kecerdasan dapat diartikan sebagai kemampuan untuk beradaptasi, mencapai prestasi, memecahkan masalah, menginterpretasikan stimulus yang diperoleh, memodifikasi tingkah laku, memahami konsep atau kemampuan untuk merespon terhadap butir-butir pada tes inteligensi. Konsep-konsep inteligensi sangat beragam dan berfariasi yang telah dirumuskan oleh para ahli pada bidang ini. Robinson and Robinson (1976) menganalisis sejumlah teori inteligensi dan akhirnya menemukan tiga aspek utama yang muncul pada hampir semua difinisi tentang inteligensi yaitu : 1) kapasita untuk belajar, 2) kemampuan untuk memperoleh pengetahuan, dan 3) adaptabilitas terhadap tuntutan lingkungan
    Kapasitas unuk belajar menunjuk kepada kemampuan seorang individu untuk memperoleh manfaat dari pendidikan. Perolehan hasil belajar ini sangat erat kaitannnya dengan potensi yang dimiliki seseorang. Kemampuan untuk memperoleh pengetahuan merupakan semua konsep dan informasi yang di peroleh dan diproses sehingga menjadi suatu pemahaman (konsep yang dipahami). Sedangkan kemampuan untuk melakukan adaptasi terhadap lingkungan merupakan kemampuan seseorang dalam menyesuaikan diri terhadap situasi lingkungan yang dihadapinya dan penyeswuaianj diri pada perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkungan itu.
    Teori yang menjelaskan tentang inteligensi sebagai kapasitas belajar atau kemampuan untuk menyesuaikan diri dipandang sebagai kualitas potensi yang dibawa sejak lahir. Dipihak lain kemampuan untuk memperoleh pengetahuan berupa konsep dan informasi merupakan aspek yang bukan bersifat potensial sebagai pembawaan, melainkan sebagai hasil belajar. Perbedaan dari kedua istilah tersebut membawa implikasi terhadap cara di dalam pengukurannya. Kemempuan yang bersifat potensial (inteligensi) biasanya diukur melalui tes yaitu; tes inteligensi, sedangkan kemampuan untuk memperoleh pengetahuan merupakan proses di dalam mengolah informasi yang dipelajari atau yang diterima sehingga menjadi suatu pengetahuan aktual yang dimiliki. Untuk mengungkap kemampuan seperti itu biasanya dilakukan dengan menggunakan tes hasil belajar (achievement test)
    Pada tahap-tahap awal inteligensi dipandang sebagai kemampuan yang bersifat tunggal (Binet : 1905, Devid Weshsler : 1944), yang dianggap sebagai satu-satunya kemampuan yang menentukan keberhasilan seseoarang dalam belajar atau bekerja. Akan tetapi konsep inteligensi yang datang kemudian seperti yang diungkapkan oleh Thurstone (19....), inteligensi merupakan kemampuan potensial yang bersifat bawaan yang memiliki lima komponen yaitu; 1) kemampuan mengingat, 2) kemampuan verbal, 3) kemampuan memahami bilangan (numerical) , 4) kemampuan di dalam memahami relasi ruang dan 5) kemampuan kecepatan perseptual. Kemampuan-kemampuan seperti itu akan tercermin dalam perilaku individu ketika dihadapkan kepada satu masalah yang harus dipecahkan. Kemampuan-kemampuan potensial ini merupakan potensi bawaan bukan dan bukan sebagai hasil dari sebuah proses belajar. Sebagai ilustrasi dapat dilihat pada gambar sbb :



    (gambar: 3.1 Contoh Item Wecshler)
    Dalam pola itu, anak diminta untuk menyusun pola gambar seperti ditunjukkan pada kartu (sebelah kiri) dengan menggunkan balok-balok (9 balok) pada gambar sebelah kiri. Anak yang memiliki kemampuan potensial (intelegen) yang cukup tinggi akan dengan mudah dan cepat untuk menyelesaikan tugas itu, sebaliknya anak yang kemampuan potensialnya kurang (intelegensi) akan mengalami kesulitan untuk menyelesaikan pola itu bahkan mungkin ia tidak sanggup untuk dapat menyelesaikannya. Kemampuan ini bukan merupakan hasil belajar melainkan sebuah gambaran kemampuan potensial (bawaan).
    Setiap Komponen kecerdasan (inteligensi) seperti yang diungkapkan oleh Thrustone (19..) memiliki dominasi yang berbeda-beda misalnya; seoarang individu yang memiliki kemampuan menonjol dalam aspek "hubungan ruang" (spacial relationship) akan sangat mudah untuk belajar dan memecahkan masalah-masalah yang berhubungan dengan imajinasi ruang atau seseorang yang memiliki kemampuan menonjol dalam numarical akan sangat mudah untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan bilangan (matematik-statistik). Namun demikian setiap aspek tadi bekerja secara simultan dan saling ketergantungan.
    Konsep terbaru tentang Inteligensi dikembangkan oleh Gardner (1998) yang dikenal dengan Multiple Intellegences. Berkenaan dengan hal itu Gardner menjelaskan bahwa inteligensi itu merupakan proses mengoprasikan sejumlah komponen dalam inteligensi yang memungkinkan individu mampu memecahkan masalah, menciptakan produk dan menemukan pengetahuan baru dalam rentang yang cukup luas, dimana semua itu dipengaruhi oleh aktivitas kurtural. Komponen-komponen inteligensi (multiple intelligences) yang dimaksud Gardner dapat digambarkan pada tabel 2.2. berikut:









    Tabel 31. Komponen Multiple Intelligences
    INTELIGENSI
    PROSES OPRASI
    LINGUISTIK
    LOGIKA MATEMATIK

    MUSIKAL

    SPASIAL



    KINESTETIK


    NATURALIS

    INTERPERSONAL

    INTRAPERSONAL


    Sensibilitas terhadap bunyi, ritme, arti kata-kata dan fungsi bahasa
    Sensibilitas dan kapasitas dalam mendeteksi pola-pola logika bilangan, kemampuan untuk memahami penalar-an logis
    Kemampuan untuk menghasilkan dan memahami nada, ritme (melodi) dan kualitas estetis dari ekspresi musik
    Kemampuan mempersepsi ruang secara tepat, mampu menghubungkan imajinasi ruang tanpa kehadiran stimulus yang relevan, sehingga mampu mereka ulang pengalaman visual dalam proses kognitif
    Kemampuan untuk menggunakan anggota badan dalam mengekspresikan keterampilan gerak ketika memper-lakukan obyek
    Memahami dan mengelompokkan semua varietas dari binatang, mineral dan tumbuh-tumbuhan
    Kemampuan untuk memahami kehendak, temperamen, motivasi dan maksud orang lain secara tepat
    Kemampuan untuk membedakan perasaannya yang kompleks dan menggunakannya dalam berperilaku seperti; pemahaman atas kekuatan, kelemahan, ke-inginan dan kecerdasan pada dirinya.

    Komponen-komponen yang digambarkan Gardner terdapat pada setiap individu, akan tetapi kualitas setiap komponen dari masing-masing individu berbeda-beda. Misalnya; seseorang menonjol dalam komponen linguistik, musikal dan spasial, sementara orang lain menonjol dalam komponen logika matematika dan interpersonal. Namun demikian kedelapan komponen tadi tetap ada dan diperlukan dalam proses berfikir seseorang. Seperti yang dikemukakan Colin Rose & Malcolm J. Nicholl (2002) bahwa "setiap orang memiliki derajat jenis kecerdasan yang bervariasi, tetapi kecerdasan-kecerdasan itu berkombinasi sebanyak wajah dan pribadi individu manusia.". Hasil penelitian awal yang diperoleh dari sebuah studi yang dilakukan di Harvard, dimana anak-anak berusia empat dan lima tahun menempatkan profil kekuatan dan kelemahan khas masing-masing. Dan ketika menginjak dewasa, sebahagian orang memiliki satu atau dua kecerdasan yang benar-benar dikembangkan secara baik. Mereka sangat cemerlang dalam satu atau dua bidang, tetapi gagal dalam bidang lainnya. Sementara seseorang mungkin tidak berbakat dalam satu jenis kecerdasan; tetapi karena gabungan dan paduan khusus keterampilan yang dimilikinya, ia menjadi mampu mengisi secara baik dalam beberapa hal secara unik.
    Persoalanya; apakah kedelapan komponen kecerdasan yang dirumuskan Gardner juga dimiliki oleh mereka yang disebut tunagrahita ? jawabannya "ya" !. Mereka memiliki kemampuan-kemampuan dalam hal linguistik, logika matematika, musikal, spasial, kinestetik, natural, intrapersonal dan interpersonal, tetapi komponen-komponen tadi tidak sebaik mereka yang tidak termasuk dalam katagori tunagrahita
    Jika dilihat dari konsep inteligensi sebagai faktor bawaan potensial yang dinyatakan dalam bentuk hasil tes pada satuan ukuran yang disebut IQ, maka kemampuan kecerdasaran anak tunagrahita berada jauh di bawah rata-rata IQ anak pada umumnya. Tingkat kecerdasan yang rendah berdampak secaraa nyata pada perkembnagan kognitif, sebagai proses pembentukan pengertian, dalam hal ini anak tunagrahita mengalami hambatan secara kuantitas maupun kualitas lebih rendah dibanding dengan anak pada umumnya.
    b. Konsep Kognisi
    Istilah kognisi dapat diartikan sebagai proses memahami sesuatu yang diperoleh melalui interaksi dengan lingkungan. Pemahaman sesuatu konsep pada diri seseorang/ individu diperoleh melalui proses yaitu proses sensoris dan persepsi (visual, auditif, kinestetk, dan taktual). Sebagai ilustrasi dapat digambarkan misalnya; dua orang anak, dimana anak yang satu pernah memiliki pengalaman visual tentang obyek wisata (Pantai Pangandaran). Atasa dasar pengalamnya maka pada diri anak ini seakan telah terbentuk imige visual dalam pikirannya tentang Pantai Pangandaran, sehingga pengalaman tersebut bisa dijelaskan kembali kepada orang lain, meskipun anak ini telah lama dan ada pada situasi yang sangat berbeda. Sementara anak yang lain tidak memiliki pengalaman visual tentang Pantai Pangandaran itu (belum pernah berkunjung) pada pikiran anak ini tidak akan ada image visual tentang pantai pangandaraan, sehinga tidak mungkin ia dapat menjelaskannya kepada orang lain. Dengan membandingkan kedua anak tersebut kita tidak bisa mengatakan bahwa anak yang punya pengalaman visual tentang Pantai Pangan daran dianggap lebih cerdas dari anak yang tidak memiliki pengalaman visual tentang Pantai Pangandaran. Persoalan utama dalam proses kognitif sesungguhnya menyangkut soal pengalaman apakah seseorang telah memiliki pengalaman akan sesuatu atau tidak, dan bukan soal cerdas dan tidak cerdas. Jadi pemahaman satu konsep pada diri seseorang akan sangat tergantung pada intensitas interaksi antara individu dengan lingkungannya. Dari penjelasan tadi maka dapat dibedakan antara kecerdasan (inteligensi) dengan kognisi namun keduanya tidak dapat dipisahkan
    Salah seorang tokoh yang banyak menjelaskan bagaimana sesungguhnya proses perkembngan kognitif adalah Piaget. Piaget mendeskripsikan perkembangan intelektual atau perkembangan kognitif pada anak dimulai dari bayi sampai dewasa. Untuk menjelaskan proses perkembangan intelektual, harus dimulai dengan memahami apa yang disebut struktur kognitif dalam fikiran manusia.
    Struktur kognitif adalah serangkaian sifat-sifat yang diorganisasikan dan digunakan oleh individu untuk mengidentifikasi dan mendeskripsikan suatu obyek atau peristiwa tertentu.. Struktur-struktur itu berfungsi sebagaimana halnya organ tubuh manusia. Struktur-struktur tersebut memungkinkan manusia dapat mengingat, memberi respon terhadap ransangan yang dinamakan skemata (kumpulan skema-skema). Orang dewasa memiliki skema yang jauh lebih luas dan sempurna dari anak-anak. Skema ini akan berkembang terus sebagai hasil interaksi antara individu dengan lingkungannya. Menurut Piaget, anak-anak memiliki sejumlah skema yang identik dengan konsep-konsep. Konsep adalah bentuk dari pengalaman dalam mengidentifikasikan dan mengabtraksikan konsep tersebut. Ketika anak dihadapkan kepada stimulus ia akan mencocokkan stimulus tersebut dengan skema yang dimilikinya.
    Pada waktu lahir, skema sifatnya relatif, hal ini dapat dilihat dari kegiatan-kegiatan refleks bayi seperti disaat ia mengisap apa saja yang didekatkan pada mulutnya. Selanjutnya bayi membedakan stimulus, Stimulus yang memberi kepuasan akan diterimanya, sedangkan stimulus yang tidak memberi kepuasan akan ditolak. Akhirnya bayi memiliki dua skema. Perkembangan ini berlangsung terus menerus melalui proses yang disebut adaptasi yaitu suatu proses penyesuaian obyek baru terhadap skema yang dimiliki. Skema yang ada dalam fikiran anak berbentuk pola penalaran tertentu dari anak itu. Jadi perbedaan antara satu tahap perkembangan dengan perkembangan berikutnya terletak pada kualitas skema yang dimiliki anak.
    Selama proses perkembangan, dari tahap sensori motor sampai tahap oprasional formal, skema berubah dan berkembang. Proses yang berkaitan erat dengan perubahan skema itu oleh Piaget disebut asimilasi dan akomodasi .
    Asimilasi adalah proses dimana stimulus baru dari lingkungan diintegrasikan pada skema yang telah ada. Asimilasi berlangsung terus-menerus setiap kali anak berhadapan dengan stimulus, kemudian diintegrasikan ke dalam skema yang ada
    Asimilasi tidak menghasilkan perkembangan atau perubahan skemata, melainkan hanya menunjang pertumbuhan skemata . Sebagai contoh: kepada seorang anak diperlihatkan segi tiga siku-siku. Asimilasi terjadi kalau anak menjawab bahwa segi tiga siku-siku adalah segi tiga sama sisi
    Akomodasi adalah pembentukan skema baru, apabila seorang anak berhadapan dengan stimulus baru, selanjutnya anak tersebut mencoba mengasimilasikan stimulus baru itu, akan tetapi ia tidak dapat melakukan karena tidak ada skema yang cocok. Dalam keadaan seperti ini kemudian anak mengadakan skema baru atau mengubah skema yang telah ada sehingga cocok dengan stimulus itu, maka terjadilah skema baru.
    Seperti yang pernah dicontohkan, ketika anak diperlihatkan kepada segi tiga sama sisi, ia mengubah struktur kognitif yang dimilikinya, sehingga ia melihat segi tiga sama sisi sebagaimana adanya segi tiga sama sisi
    Akomodasi menghasilkan perubahan atau perkembangan skemata (struktur kognitif). Asimilasi dan akomodasi berlangsung secara terus menerus sepanjang hidup.. Jika seseorang selalu mengasimilasi stimulus tanpa pernah mengakomodasikannya, maka orang tersebut memiliki skema yang sangat besar, sehingga tidak mampu mendeteksi perbedaan-perbedaan diantara stimulus yang mirip. Sebaliknya jika seseorang selalu mengakomodasikan stimulus dan tidak pernah mengasimilasikannya, maka ia tidak akan dapat mendeteksi persamaan-persamaan dari stimulus untuk sampai membuat generali-sasi.. Oleh karena itu harus terjadi keseimbangan antara proses asimilasi dengan akomodasi. Menurut istilah Piaget keadaan seimbang itu disebut equilibrium. Apabila terjadi ketidak seimbangan antara asimilasi dan akomodasi, maka anak termotivasi untuk meraih keadaan seimbang dengan cara mengakomodasikana atau mengasimilasi-kan stimulus yang dihadapi.
    Perkembangan intelektual atau kognitif dapat dipandang sebagai suatu perubahan dari satu keadaan seimbang ke dalam keseimbangan baru. Setiap tahap perkembangan intelektual memiliki bentuk keseimbangan tertentu sebagai fungsi dari kemampuan memecahkan masalah pada tahap itu. Penyeimbangan memungkinkan terjadinya tranformasi dari bentuk penalaran sederhana ke bentuk penalaran yang lebih kompleks, sampai keadaan terakhir yang diwujudkan dengan kematangan berfikir orang dewasa. Menurut Piaget pertumbuhan mental mengandung dua macam proses yaitu perkembangan dan belajar. Perkembangan adalah perubahan struktur, sedangkan belajar adalah perubahan isi. Proses perkembangan dipengaruhi oleh empat faktor yaitu; heriditas, pengalaman, tranmisi sosial dan equilibrium.
    Heriditas; diyakini oleh Piaget tidak hanya menyediakan fasilitas kepada anak yang baru lahir untuk dapat menyesuaikan diri dengan dunia, lebih dari itu heriditas akan mengatur waktu jalannya perkembangan anak dimasa yang akan datang. Inilah yang disebut Piaget sebagai faktor kematangan internal. Kemataangan memiliki peranan penting dalam perkembangan intelektual, akan tetapi faktor ini saja tidak mampu menjelaskan segala sesuatu tentang perkembangan intelektual. Penelitian-penelitian yang dilakukan dibeberapa negara membuktikan adanya perbedaan rata-rata umur pada tahap perkembangan yang sama.
    Pengalaman; pengalaman dengan realitas fisik merupakan dasar perkembangan struktur kognitif, Piaget membagi dua bentuk pengalaman yaitu pengalaman fisis dan pengalaman logika matematis. Kedua bentuk pengalaman ini secara psikologi berbeda. Pengalaman fisis melibatkan obyek kemudian membuat abstraksi dari obyek tersebut. Sedangkan pengalaman logika matematis adalah pengalaman dimana diabstraksikan bukan dari obyek melainkan dari akibat tindakan terhadap obyek (abstaksi reflektif).
    Tramnisi sosial; ungkapan transmisi sosial digunakan untuk mempresentasikan pengaruh budaya terhadap pola berfikir anak. Penjelasaan orang tua, informasi dari buku-buku, pelajaran yang diberikan guru, diskusi anak dengan temannya, meniru sebuah contoh. Merupakan bentuk-bentuk dari transmisi sosial.Kebudayaan memberikan alat-alat yang penting bagi perkembangan kognitif, seperti berhitung, atau bahasa. Anak dapat menerima transmisi sosial apabila anak berada dalam keadaan mampu menerima informasi itu. Untuk dapat menerima informasi, terlebih dahulu anak harus memiliki struktur kognitif yang memungkinkan anak dapat mengasimilasikan dan meng-akomodasikan informasi tersebut.
    Keseimbangan (equilibrium): Piaget mengemukakan bahwa dalam diri individu terdapat proses equilibrasi yang mengintegrasikan faktor-faktor yang dikemukakan di atas yaitu heriditas, (kematangan internal), pengalaman dan transmisi sosial. Alasan yang memperkuat adanya equilibrium apabila seseorang secara aktif berinteraksi dengan lingkungan. Sebagai akibat dari interaksi itu anak berhadapan dengan gangguan atau kontradiksi; yaitu apabila situasi pada pola penalaran yang lama tidak dapat menanggapi stimulus,. Kontrtadiksi ini menyebabkan keadaan menjadi tidak seimbang. Dalam keadaan ini individu secara aktif mengubah pola penalarannya agar dapat menga-similasikan dan mengakomodasikan stimulus baru. Proses dimana anak secara aktif mencari keseimbangan baru yang disebut pengaturan diri atau equilibrium tadi.
    Untuk lebih memudahkan pemahaman tentang proses perubahan struktur kognitif sebagaiman yang telah dipaparkan di atas secara sederhada dapat digambarkan sbb













    Berkenaan dengan masalah perkembangan kognitif Piaget telah mengelompokkan ke dalam empat tahapan yaitu; tahapan perkembangan sensorimotor, pre-oprasional, oprasional konkrit dan oprasional formal
    Sensorimotor
    Tahap sensorimoror ini memiliki rentang usia 0-2 tahun, jadi mulai pada masa bayi ketika ia menggunakan pengindraan dan aktivitas motorik dalam mengenal lingkungan. Pada masa ini biasanya keberadaan bayi masih terikat pada orang lain , akan tetapi alat-alat inderanya sudah berfungsi. Tindakannya berawal dari respon reflek, kemudian berkembang membentuk representase mental, dapat menirukan tidakan orang lain, dan merancang kesadaran baru untuk memecahkan masalah dengan menggabungkan secara mental.
    Menurut Piaget unit pusat pengetahuan mengenai masa bayi adalah skema sensori motor yang paling baik didefinisikan sebagai representasi kelas tindakan motorik dalam mencapai tujuan. Dalam periode singkat antara 18 -24 bulan, ia telah mengubah dirinya dari satu organisme yang bergantung hampir sepenuhnya pada reflek dan perlengkapan heriditer lainnya menjadi pribadi yang cakap dalam bergfikir simbolik (Faul Hendri:1994).
    Menurut Piaget (Monks,dkk:1982) bahwa "perkembangan kognitif dalam stadium sensorimotor ini inteligensi anak baru nampak dalam bentuk aktivitas motorik sebagai reaksi stimulasi sensorik" . Dalam stadium ini yang terpenting adalah tindakan-tindakan konkrit dan bukan dalam tindakan imajiner, melainkan secara perlahan-lahan melalui proses pengulangan dan pengalaman konsep obyek permanen lama-lama akan terbentuk. Anak mampu menemukan kembali abyek yang disembunyikan.
    Berkenaan dengan perkembangan yang terjadi pada masa sensorimotor Piaget mengusulkan agar pada masa sensorimotor dibedakan dalam enam tahap perkembangan. Pertama; Pada tahap ini yang terjadi adalah reflek bawaan otomatis pada bayi termasuk kemampuan mereka untuk mengisap, menangis, menggerakkan lengan dan tungkai, melacak obyek yang bergerak, dan mengetahui arah bunyi. Kedua; oleh Piaget disebut sebagai reaksi sirkuler primer, koordinasi reflek-reflek ini meningkat . Bayi memukul-mukul atau menggosok-gosokan jarinya ke bibir yang awalnya tanpa sengaja kemudian menjadi kebiasaan sebagai tanda ia lapar. Tindakan ini bukan sebagai refleks bawaan melainkan hasil belajar. Ketiga; periode ini terjadi secara khas pada usia 6 bulan, dimana bayi mencoba mempertahankan pengalaman yang menarik dan mengarah pada tujuan. Anak akan menendang tempat tidurnya untuk mendengarkan bunyi bel yang tergantung misalnya. Keempat; anak mulai nampak mengkoordinasi skema sensorimotor mereka untuk mencapai tujuan luar . Misalnya, menjelang akhir tahun pertama , anak akan mengangkat selubung untuk mendapatkan kembali mainan yang ia lihat diletakkan di tempat itu sebelumnya Kelima; ia akan membuat skema sensorimotor yang baru. Bayi usia 15 bulan melihat mainan yang berguling di bawah tempat tidurnya akan berupaya untuk mendapatkan-nya kembali. Ia sadar kalau lengannya tidak cukup panjang untuk menjangkau dan mungkin ia menggunakan alat lain untuk menjangkaunya. Ini merupakan satu skema baru dalam memperoleh tujuan yang diinginkannya. Keenam: pada tahap ini ia mulai melakukan penjelajahan mental; ia membayangkan peristiwa dan hasil tertentu . Anak usia 18 bulan yang ingin menekan tombol lampu ditempat yang lebih tinggi akan memandang berganti-ganti kearah tombol lampu dan kursi, kemudia ia menghubung-kan antara ketinggian dengan kursi yang akhirnya sampai kepada tindakan untuk menarik kursi dan menggapai tombol lampu. Perilaku ini muncul belakangan selama tahun ke 2 yang menggambarkan tahap akhir dari periode sensorimotor. Bagi Piaget, ciri yang paling bermakna dari tahap keenam adalah perkembangan suatu bentuk hayalan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah atau untuk mencapai tujuan. Keenam tahapan ini sebetulnya terjadi pula pada anak tunagrahita, namun rentang pencapaian dari setiap tahapan itu berbeda. Pada kondisi yang cukup berat rentang pencapaian itu menjadi sangat signifikan.
    Preoprasional
    Tahap preoprasional ada pada usia anatara 2-7 tahun. Dikatakan preoprasional karena pada tahap ini belum memahami pengertian oprasional yaitu proses interaksi suatu aktivitas mental, dimana prosesnya bisa kembali pada titik awal berfikir secara logis. Manipulasi simbol merupakan karakteristik esensial dari tahapan preoprasional, hal ini sering dimenifestasikan dalam peniruan tertunda, tetapi perkembangan bahasanya sudah sangat pesat, kemampuan anak menggunakan gambaran simbolik dalam berfikir , memecahkan masalah, dan aktivitas bermain kreatif akan meningkat lebih jauh dalam beberapa tahun berikutnya. Sekalipun demikian, pemikiran pada tahap preoprasional terbatas dalam beberapa hal penting. Menurut Piaget, pemikiran itu khas bersifat egosentris, anak pada tahap ini sulit membayangkan bagaimana segala sesuatunya tampak dari perspektif orang lain. Karakteristik lain dari cara berfikir preoprasional sangat memusat (Cenralized) . Bila anak dikonfrontasi dengan situasi yang multi dimensional, maka ia akan memusatkan perhatiannya hanya pada satu dimensi dan mengabaikan dimensi lainnya dan pada akhirnya juga mengabaikan hubungan diantara dimensi tersebut. Berfikir preoprasional juga tidak dapat dibalik (irreversible) . Anak belum mampu untuk meniadakan suatu tindakan dengan melakukan tindakan sekali lagi secara mental pada arah yang sebaliknya. Misalnya; bila situasi A beralih pada situasi B, maka anak hanya memperhatikan situasi A, kemudian B, ia tidak memperhatikan perpindahan dari A ke B. Inilah yang dimaksud dengan ketidak mampuan berfikir reversible. Kemampuan berfikir secara reversible juga menjadi hambatan pada anak tunagrahita. Mereka sering mengabaikan hubungan diantara dua peristiwa dan cenderung melihat pada satu dimensi.
    Oprasional Konkrit
    Tahap oprasional konkrit memiliki rentang usia antara 7-12 tahun. Pada tahap ini dapat digambarkan terjadinya perubahan posif dari ciri-ciri negatif pada tahap preoprasional, seperti dalam cara berfikir egosentris pada tahap preoprasional. Oleh karena itu anak-anak yang telah sampai pada tahap ini mengerti akan kaidah logis dasar tertentu yang oleh Piaget disebut kemampuan untuk mengelompokkan (groupings), dengan demikian mampu bernalar secara logis dan kuantitatif sehingga ia mampu untuk melibatkan diri dalam oprasi mental yang fleksibel dan bisa dibalik (fully reversable) secara utuh. Mereka juga mampu melakukan decenter, yaitu, memusatkan perhatian mereka pada beberapa sifat suatu obyek atau peristiwa secara serentak dan mengerti hubungan diantara dimensi. Oleh karena itu masalah yang berkaitan dengan konservasi sudah dikuasai anak pada periode ini.
    Kemampuan desentrasi dan konservasi diperlihatkan dalam eksperiment Piaget yang terkenal dengan konservasi. Dalam salah satu eksperimennya, yaitu konservasi cairan, dimana si anak diperlihatkan kepada dua gelas identik, yang keduanya berisikan jumlah air yang sama banyaknya. Selanjutnya pada salah satu gelas dipindahkan paada gelas lain yang lebih tinggi dan lebih ramping, sehingga permukaan air itu menjadi lebih tinggi. Kemudian anak ditanya; apakah gelas yang lebih tinggi memiliki jumlah air lebih sedikit atau lebih banyak dibanding gelas yang satunya ?. Anak-anak pada tahap opresional konkrit menjawab tetap sama. Sementara anak yang berada pada tahap preoprasional cenderung menjawab "lebih banyak". Contoh lain dalam konservasi jumlah yang tipikal, satu barisan terdiri dari 5 buah kancing daqlam posisi sejajar di atas satu barisan yang juga sejajar sehingga kedua barisan kancing sama panjang. Si anak setuju bahwa kedua barisan kancing tersebut sama panjang dan jumlahnya, namun ketika salah satu barisan kancing itu di ubah posisinya sehingga salah satu dari deretan kancing itu menjadi menjadi lebih panjang dan kepadanya diajukan pertanyaan; apakah banyaknya kedua deretan kancing itu masih tetap sama jumlahnya atau salah satu dari deretan kancing itu menjadi lebih lebih banyak, ternyata diperoleh jawaban berbeda jumlahnya (menunjuk pada deretan kancing yang diubah lebih panjang menjadi lebih banyak) pada anak yang ada pada tahapan preoprasional dan mendapat jawaban tetap sama jumlahnya pada anak yang sudah berada pada tahapan oprasional konkrit
    Untuk memperoleh gambaran perihal eksperimen tersebut dapat diilustrasikan pada gambar berikut :
    Konservasi Air





    Konservasi Jumlah




    Menurut Piaget anak usia oprasional konkrit mengerti masalah konservasi karena mereka dapat melakukan operasi mental yang bersifat reversibel (dapat dibalik). Kemampuan ini menunjuk kepada pemahaman dua prinsif logis yang penting yaitu; pertama; prinsip identitas atau memadanan , yang menyatakan bahwa bila A sama dengan B dalam satu sifat (misalnya, panjang) , dan B sama dengan C , maka pasti benar bahwa A sama dengan C. Orang tidak perlu mengukur antara A dan C untuk memastikan bahwa itu benar. Prinsip kedua; adalah bahwa obyek dan peristiwa memiliki lebih dari satu dimensi, misalnya berat dan ukuran, dimana dimensi-dimensi ini memiliki hubungan yang berbeda. Anak mengetahui kelereng kecil dan berat, balon besar tapi ringan, sementara balok besar dan berat. Kondisi telah sampai pada anak dalam tahapan oprasional konkrit, tetapi akan diabaikan pada tahap preoprasional karena tidak melihat hubungan dari dimensi lainnya. Namun demikian sekalipun kemampuan sebagaimana yang telah digambarkan sudah dapat dicapai pada tahapan konkrit oprasional ini secara luar biasa, namun jika persoalan yang dihadapinya memang ada pada situasi konkrit.
    Kemampuan berfikir reversable dan decentrasi sebagaimana yang nampak dalam eksperiment Piaget dalam konservasi. Dalam beberapa hal kemampuan itu dicapai pula pada anak tunagrahita, namun dari banyak fakta ternyata pada anak tunagrahita lebih banyak melakukan kegagalannya dibandingkan dengan pencapaian tugas yang diselesaaikannya sekalipun kita menggunakan kesetaraan MA. Ini menunjukkan bahwa perkembangan kognitif pada anak tunagrahita tidak berbading lurus dengan perkembangan yang dicapai pada anak normal, sekalipun ada pada usia mental (MA) yang sama. Secara teori kesetaraan MA anak tunagrahita dengan anak normal dapat diterima dan sangat logis, namun perbedaan itu tetap mencolok. Dampak ini juga telihat di dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik. Dalam matematik misalnya; anak tunagrahita tetap tertinggal jauh dari anak normal pada kesetaraan MA yang sama.
    Kemampuan lain pada tahap oprasional konkrit adalah dalam melakukan serias. yaitu menyusun obyek dalam beberapa dimensi seperti; berat, ukuran, atau warna. Kemampuan menyusun ini menjadi salah satu karakteristik pada tahap oprasional konkrit . Misalnya, menyusun obyek secara berurutan dari yang pendek hingga yang panjang. Seriasi mengilustrasikan penangkapan anak akan satu lagi prinsip logis yang penting yang disebut transivitas yang menyatakan bahwa ada hubungan tetap tertentu diantara kualitas-kualitas objek.. Misalnya; bila A lebih panjang dari B, dan B lebih panjang dri C. Anak-anak pada tahap oprasional konkrit tahu keabsahan kaidah itu walaupun mereka tidak pernah melihat obyek A, B dan C. Kompetensi yang oleh Piaget disebut Seriasi sangat penting untuk pemahaman hubungan bilangan satu sama lain dan, dengan demikian, untuk belajar matematik/aritmatik kemampuan seriasi menjadi prasyarat. Bilangan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 merupakan urutan nilai, hal itu baru dapat dipahami apabila kemampuan transivitas telah terbentuk, sehingga urutan angka 1 2 3 4 5 6 7 8 9 merupakan sebuah urutan simbolik yang dimaknai dengan nilai segera akan membentuk dan menjadi skema baru.
    Oprasional formal
    Tahap oprasional formal merupakan tahapan perkembangan yang paling maju, dan dimulai pada usia 12 tahun dan berlanjut hingga usia dewasa. Keterbatasan pada tahap oprasional konkrit teratasi, dan individu menggunakan variasi yang lebih luas dari oprasi kognisi dan strategi memecahkan masalah , sangat cakap dalam banyak hal dan fleksibel dalam berfikir dan bernalar, dan dapat melihat segala sesuatunya dari sejumlah perspektif atau sudut pandang (Ginsburg & Copper : 1979).
    Salah satu ciri yang paling mencolok pada tahap oprasional formal adalah perkembangan kemampuan untuk bernalar mengenai masalah hipotesisi ---apa yang mungkin---dan apa yang riil dan kemampuan berfikir mengenai kemungkinan dan aktualitas. Anak pada tahap oprasional kokrit memanipulsi obyek dan peristiwa; pada tahap oprasional formal anak memanifulasi gagasan mengenai situasi hipotesis. Misalnya, anak yang lebih besar dapat mencapai kesimpulan logis ketika ditanya; " Bila seorang Jhoni berkaki kuning dan mahluk ini berkaki kuning, apakah mahluk itu seorang Jhoni ? . Anak usia 7 tahun mengalami kesulitan bernalar mengenai peristiwa yang belum pasti dan ia mungkin akan mengatakanj "saya tidak tahu" atau "tidak ada mahluk yang kakinya kuning".
    Satu ciri lain dari pemecahan masalah pada tahap oprasional formal adalah pencarian pemecahan masalah secara sistimatis . Jika anak dihadapkan pada masalah baru, ia akan berupaya untuk mempertimbangkan semua kemungkinan yang dapat dilakukan dan secara cermat ia mencek logika dan keefektifan kemungkinan-kemungkinan yang dapat ditempuh. Dalam berfikir oprasional formal, oprasi mental disusun menjadi oprasi dengan tatanan yang lebih tinggi. Oprasi tatanan lebih tinggi adalah cara di dalam menggunakan kaidah abstrak untuk memecahkan seluruh kelas masalah. Tahapan oprasional formal ini mungkin satu tahapan yang tidak akan dapat dicapai oleh anak tunagrahita, sebab tahapan ini merupakan perkembangan kognitif dengan menggunakan cara berfikir abstrak dan tinggi
    Secara mendasar proses kognitif selalu didahului oleh aktivitas belajar (pengalaman) yang dilalui melalui modalitas visual, auditif, kinestetik, dan taktual. Untuk menggambarkan bagaimana proses kognitif itu terjadi dapat diilustrasikan pada bagan sbb ;










    Seorang individu akan selalu berhadapan dengan stimulus lingkungan, setiap stimulus dapat diakses melalui salah satu atau lebih modalitas pengindraan dan persepsi. Gambar di atas menjelaskan mekanisme terbentuknya pengertian (proses kognitif) melalui proses interaaksi antara stimulus dengan sensoris dan persepsi. Sebuah stimlus akan diterima oleh salah satu modulasi pengindraan (misalnya; penglihatan). Stimulus yang dilihat akan masuk pada proses yang kedua yaitu proses menafsirkan obyek yang dilihat. Proses berikutnya masuk keingatan jangka pendek, pada proses ini peranan perhatian (attention) menjadi sangat penting, karena apabila tidak ada usaha untuk memfokuskan perhatian informasi tidak akan masuk kedalam memori jangka pendek. (diabaikan). Proses selanjutnya informasi yang telah berada pada memori jangka pendek akan masuk ke memori jangka panjang. Memori atau daya ingat mengandung pengertian merekontruksi pengalaman yang pernah dialami baik melalui persepsi penglihatan, pendengaran, perabaan, pengecapan, maupun penciuman yang tersimpan dalam struktur kognitif untuk dimunculkan kembali pada saat diperlukan (merespon stimulus yang relevan). Proses seperti itu disebut juga dengan recalling. Sebagai contoh seseorang anak melihat dan mendengar kucing mengeong, tiga hari kemudia ia melihat kembali binatang tersebut, tiba-tiba anak menunjuk sambil mengatakan itu kucing!, atau ketika anak sedang duduk kemudian ia mendengar ada suara meoong, tiba-taba ia menyebut ada kucing. Ini menunjukkan bahwa anak telah mampu mengidentifikasi tentang binatang yang disebut kucing. Gambaran tentang kucing sudah masuk ke dalam struktur kognitif anak. Dan inilah yang dimaksud dengan proses memori atau daya ingat.
    Pada dasarnya memori atau daya ingat dikelompokkan menjadi dua yaitu ingatan jangka pendek (short term memory) dan ingatan jangka panjang (long term memory). Ingatan jangka pendek adalah proses merekontruksi informasi setelah melihat atau mendengar yang ditangkap melalui sensoris lainnya, rekontruksi itu terjadi dalam waktu yang relatif pendek (satuan detik). Misalnya, anak melihat beberapa obyek (segi tiga, segi empat dan lingkaran) setelah beberapa detik obyek itu diambil, kemudian anak ditanya, apa yang tadi kamu lihat ? Jika anak dapat menyebutkan kembali obyek yang dilihat dalam beberapa detik yang lalu itu, maka proses mengingat melalui memori jangka pendek telah terjadi. Dan ini menunjukkan bahwa anak tersebut telah memiliki kemampuan mengingat dalam waktu yang relatif singkat (memori jangka pendek). Proses seperti itulah yang dimaksud dengan memori jangka pendek.




    Gambar : 3.3. Proses memori jangka pendek
    Ingatan jangka panjang (long term memory) adalah proses merekontruksi informasi setelah melihat atau mendengar atau menangkapnya melalui sensoris lain dalam rentang waktu yang cukup lama (beberapa hari, minggu, bulan atau tahun ), dan tetap masih diingatnya. Sebagai contoh: seorang anak belajar dengan seorang guru selama periode tertentu. Dalam rentang waktu yang cukup lama ia tidak lagi bertemu dengan guru tersebut. Pada satu ketika anak bertemu kembali dengan gurunya, dan ternyata ia masih mengenal gurunya itu dengan baik. Proses ini yang disebut dengan ingatan jangka panjang. Contoh lain. Misalnya; saat ini kita masih tetap dapat mengenal teman-teman sekelas ketika duduk di SD 30 tahun yang lalu.
    Menurut Beirne Smith, Richard F, James R. Patton (2003), derajat ketunagrahitaan berkorelasi secara signifikan dengan kemampuan mengingat. Semakain berat derajat ketunagrahitaan, semakin rendah kemampuan untuk mengingat. Pangkal utama dari kelemahan daya ingat pada anak tunagrahita sangat erat kaitannya dengan perhatian dan konsentrasi (anak tunagrahita memiliki problem dalam perhatian dan konsentrasi). Mereka mengalami kesulitan untuk memfokuskan pada stimulus yang relevan disaat ia belajar. Oleh karena itu hambatan yang paling besar dialami anak tunagrahita dalam hal mengingat terletak pada kemampuannya dalam merekontruksi ingatan jangka pendek
    Kembali kemasalah proses persepsi dan pengindraan hubungannya dengan terbentuknya konsep dan pengetahuan dapat diuraikan dengan menjelaskan bagaimana proses pengindraan dan persepsi terjadi. Pengindraan sebetulnya merupakan proses fisiologis. Apa yang diindra selanjutnya ditrasfer ke otak dan membentuk sebuah gambaran. Namun hasil pembentukkan di otak tidak selamanya memberi gambaran seperti yang diindranya. Misalnya, seorang anak diminta untuk mengamati huruf /d/, disamping huruf tersebut berderet huruf-huruf seperti. /p/, /b/, /d/, /a/. Apabila anak dapat menunjukkan huruf (d) pada deretan huruf–huruf tadi, maka proses persepsi telah terjadi karena ada penafsiran yang sama. Tetapi jika yang ditunjuk adalah huruf /a/, maka yang terjadi hanya proses pengindraan. Sebetulnya anak melihat huruf /d/, tetapi apa yang dilihatnya tidak membentuk gambaran yang benar. Secara fisiologis ia tidak mengalami gangguan penglihatan, akan tetapi ia tidak dapat menafsirkan obyek yang dilihat dan inilah yang dimaksud mengalami gangguan persepsi. Jika divisualisasikan maka dapat dilihat pada gambar berikut :
    Contoh :


    Gambar 3.4. Proses pengindraan dan persepsi
    Sebagian anak tunagrahita ada yang mengalami gangguan persepsi dan ada yang tidak. Mereka yang mengalami gangguan persepsi dapat dipastikan akan mengalami masalah yang lebih berat dibanding dengan mereka yang tidak mengalami gangguan persepsi. Dampak yang paling nyata dari gangguan persepsi ini sering kali dirasakan guru ketika mereka belajar membaca, menulis, berhitung, atau di dalam memahami orentasi ruang maupun arah.
    Gangguan persepsi yang digambarkan adalah gangguan yang berkaitan dengan masalah visual. Gangguan persepsi ini dapat pula terjadi dalam persepsi auditif (pendengaran), maupun secara taktual (perabaan). Gangguan-gangguan persepsi seperti yang disebutkan terakhir memiliki proses `yang sama dan terjadi pula pada anak-anak tunagrahita.
    2. Hambatan Belajar pada anak yang mengalami gangguan perkembangan kecerdasan (Anak tunagrahita)
    a. Konsep Dasar dan Definisi
    Istilah gangguan perkembangan kecerdasan/kognisi (intellectual disability) atau dalam perkembangan sekarang lebih dikenal dengan istilah developmental disability atau dalam bahasa Indonesia dekenal dengan istilah Tunagrahita, , sering keliru dipahami oleh masyarakat, bahkan para professional dalam bidang pendidikan luar biasa pun sering keliru dalam memahami konsep tunagrahita. Perilaku tunagrahita yang kadang-kadang aneh, tidak lazim dan tidak cocok dengan situasi lingkungan sering kali menjadi bahan tertawaan dan olok-olok orang yang berada didekat mereka. Keanehan tingkah laku tunagrahita dianggap oleh masyarakat sebagai orang sakit jiwa atau orang gila.
    Tunagrahita sesungguhnya bukan orang gila, perilaku aneh dan tidak lazim itu sebetulnya merupakan menifestasi dari kesulitan mereka di dalam menilai situasi akibat dari rendahnya tingkat kecerdasan. Dalam pengertian lain terdapat kesenjanngan yang signifikan antara kemampuan berfikir (mental age) dengan perkembangan usia (kronological age). Sebagai contoh; anak tunagrahita yang memiliki usia 18 tahun menunjukkan tingkah laku seperti anak yang memiliki usia 8 tahun. Oleh karena itu dapat dilihat dengan jelas beda antara tunagrahita dengan gila. Tunagrahita berkaitan erat dengan masalah perkembangan kemampuan kecerdasan yang rendah dan merupakan kondisi, sedangkan orang gila berkaitan dengan disintegrasi kepribadian dan merupakan penyakit. Untuk menghindari kesalahan di dalam memahami tunagrahita, perlu dirumuskan definisi yang jelas dan akurat, sehingga dapat memberikan gambaran obyektif tentang siapa sesungguhnya mereka yang tergolong tunagrahita.
    Secara historis terdapat lima basis yang dapat dijadikan pijakan konseptual dalam memahami tunagrahita (Herbart J. Prehm dalam Philip L Browning, 1974) yaitu; 1) Tunagrahita merupakan kondisi, 2) Kondisi tersebut ditandai oleh adanya kemampuan mental jauh di bawah rata-rata , 3) Memiliki hambatan dalam penyesuaian diri secara sosial, 4) Berkaitan dengan adanya kerusakan organik pada susunan syaraf pusat, dan 5) tunagrahita tidak dapat disembuhkan.
    Berdasarkan lima kriteria tersebut AAMD ( American Association on Mental Defeciency) merumuskan difinisi tunagrahita sebagai berikut:
    Mental retardition refers to significantly subaverege general intellectual fuctioning exsisting concurrently with deficits in adaptive, and manifested during development period (Grossman dalam Robert Inggalls 1987 )
    Definisi tersebut menekankan bahwa tunagrahita merupakan kondisi yang komplek, menunjukkan kemampuan intelektual yang rendah dan mengalami hambatan dalam perilaku adaptif. Seseorang tidak dapat dikatagorikan sebagai tunagrahita apabila tidak memiliki dua hal tersebut yaitu, perkembangan intelektual yang rendah dan kesulitan dalam perilaku adaptif. Dalam pengertian lain seseorang baru dapat dikatagorikan tunagrahita apabila kedua syarat tadi dipenuhi.
    Istilah perilaku adaptif diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam memikul tanggung jawab sosial menurut ukuran norma sosial tertentu, dan bersifat kondisi sesuai dengan tahap perkembangannya. Hambatan dalam perilaku adaptif pada tunagrahita dapat dilihat dalam tujuh area yaitu; 1) terhambat dalam perkembangan keterampilan sensorimotor, 2) terhambat
    dalam keterampilan komunikasi, 3)terhambat dalam keterampilan menolong diri, 4) terhambat dalam sosialisasi, 5) terhambat dalam mengaplikasikan keteram-
    pilan akademik dalam kehi dupan seharai-hari, 6) terhambat dalam menilai situasi lingkungan secara tepat dan 7) terhambat dalam menilai keterampilan sosial. Aspek 1 sampai dengan 4 dapat diobservasi pada masa bayi dan masa kanak-kanak, sementara aspek 5 sampai dengan 7 dapat diobservasi pada masa remaja.
    Dalam perkembangan mutahir anak tunagrahita dikelompokkan ke dalam istilah developmental Disability (Mary Beimer/Smith, Richard F. Ittenbar & James R. Patton; 2002) Dalam istilah Developmental Disability mengandung makna sebagai berikut:
    Ditandai oleh adanya gangguan mental (kognitif) atau fisik atau kombinasi dari mental dan fisik.
    Gangguan tersebut terjadi sebelum usia 22 tahun
    Memiliki keterbatasan dalam tiga atau lebih pada aspek berikut: a) menolong diri, b) bahasa reseptif dan ekspresif, c) belajar, d) mobilitas, d) mengarah-kan diri sendiri, f) kapasitas untuk hidup mandiri dan g) secara ekonomi memiliki keterbatasan dalam memperoleh penghasilan.
    Membutuhkan treatment atau layanan pendidikan yang sistimatis dan layanan Multidisiplin, sepanjang hidupnya atau sekurang-kurangnya memer-lukan waktu yang panjang. Layanan pendidikan bagi anak yang develomental disa-
    ability (tunagrahita) harus dirancang secara individual.
    b. Klasifikasi Anak Tunagrahita
    Sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh AAMD, anak tuagarhita dapat diklasifikasikan menurut tingkat kemampuan kecerdasan dan dapat dilihat pula berdasarkan kemampuan perilaku adaptif.
    Berdasarkan kemampuan kecerdasan, seseorang anak dikatagorikan sebagai tunagrahita apabila kemampuan kecerdasannya menyimpang 2-3 standar deviasi dari kemampuan kecerdasan rata-rata. Jika kita menggunakan ukuran kemam-puan kecerdasan dari Stanford-Binet, dengan standar deviasi 16, maka anak yang memiliki IQ antara 68-54 ke bawah akan dikatagorikan sebagai anak tunagrahita. Sementara itu jika kita menggunakan ukuran kemampuan kecerdasan dari David Wechler dengan deviasi standar 15, maka anak yang memiliki IQ antara 69-56 ke bawah termasuk dalam katagori anak tunagrahita (Robert Inggalls,1987, Philip L. Browing & Rick Herber, 1974).
    Patokan standar deviasi di atas selanjutnya digunakan oleh AAMD dalam mengembangkan system pengelompokkan anak tunagrahita berdasarkan tingkat perkembangan fungsi intelektual, yang selanjutnya disebut Intelligence Quotient (IQ). Individu yang memiliki IQ antara 2-3 standar deviasi di bawah rata-rata, dikatagorikan sebagai anak tunagrahita ringan. Individu yang memiliki IQ antara 3-4 standar deviasi di bawah rata-rata dikatagorikan sebagai anak tunagrahita sedang. Individu yang memiliki IQ antara 4-6 standar deviasi di bawah rata-rata dikatagorikan sebagai anak tunagrahita berat, dan individu yang mempunyai IQ lebih dari 6 standar deviasi dikatagorikan sebagai anak tunagrahita sangat berat. Tabel 1-1 menjelaskan lebih rinci tentang klasifikasi anak tunagrahita ber- dasarkan skor IQ baik dari tes Stanford-Binet maupun dari David Wechsler






    Tabel 3-2 Klasifikasi Tunagrahita
    Klasifikasi
    IQ Skala Binet
    (SD-15)
    IQ Skala Wechsler
    (SD=16)
    Ringan (mild)
    68-52
    69-55
    Sedang (moderete)
    51-36
    54-40
    Berat (severe)
    35-20
    39-25
    Sangat Berat (profound)
    < 19
    < 24
    Klasifikasi ringan (mild), sedang (moderate) , berat (severe) dan sangat berat (profound) merupakan istilah yang sering digunakan American Association on Mental Deficiency (AAMD). Dalam klasifikasi pendidikan (educators classify) dikenal dengan istilah mampu didik (educable) untuk katagori ringan, mampu latih (trainable) untuk katagori sedang, dan mampu rawat (severely and profoundly ) untuk katagori berat dan sangat berat Di Indonedia Istilah-istilah tadi pernah populer, tetapi sekarang sudah banyak ditinggalkan. Sebab dengan istilah itu intervensi pendidikan menjadi sempit dan tidak bermakna Disamping itu pengelompokkan seperti yang disebut terakhir tidak sejalan dengan falsafah pendidikan inklusif. Oleh karena itu pengelompokkan yang dipergunakan tetap mengacu seperti yang dikembangkan oleh AAMD, yaitu ringan (mild), sedang (moderete), berat (severe) dan sangat berat (profound).
    Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara perilaku adaptif dengan inteligensi. Semakin tinggi perkembangan fungsi intelektual seseorang anak, makin tinggi pula kemampuan perilaku adaptifnya.
    Dalam hal anak tunagrahita , hampir semua populasi dari anak tunagrahita menunjukkan hubungan yang positif antara perkembangan fungsi intelektual dengan perilaku adaptif. Semakin ringan tingkat ketunagrahitaan seseorang, ringan pula gangguan perilaku adaptifnya, semakin berat tingkat ketunagra hitaan, semakin berat pula gangguan perilaku adaptifnya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan seperti yang digambarkan Donald L.MacMilan (1977) berikut


    RETARDED
    NON RETARDED
    RETARDED
    MENTALLY RETARDED
    NOT MENTALLY RETARDED
    NOT RETARDED
    NOT MENTALLY RETARDED
    NOT MENTALLY RETARDED
    Gambar 3.5. Kriteria Ketunagrahitaan
    Dari bagan di atas nampak bahwa seseorang dikatakan tunagrahita apabila fungsi intelektual dan perilaku adaptif terjadi pada mereka, sementara mereka yang tidak mengalami ganguan fungsi intelektual dan tidak disertai dengan fungsi perilaku adaptif atau sebaliknya mereka mengalami gangguan perilaku adaptif, tetapi tidak disertai gangguan fungsi intelektual tidak termasuk dalam katagori tunagrahita.
    b. Hambatan-hambatan yang dihadapi anak tunagrahita akibat kemampuan kecerdasan/kognitif yang rendah
    Perkembangan fungsi intelektual anak tunagrahita yang rendah dan disertai dengan perkembangan perilaku adaptif yang rendah pula akan berakibat langsung kepada kehi-
    dupan mereka sehari-hari, sehingga ia banyak mengalami kesulitan dalam hidupnya. Masalah-masalah yang dihadapi mereka secara umum meliputi; masalah belajar, masalah penyesuaian diri terhadap lingkungan, masalah gannguan bicara dan bahasa serta masalah kepribadian.
    1). Hambatan dalam belajar
    Aktivitas belajar berkaitan langsung dengan kemampuan kecerdasan. Di dalam kegiatan belajar sekurang-kurangnya dibutuhkan kemampuan mengingat dan kemampuan untuk memahami, serta kemampuan untuk mencari hubungan sebab akibat. Anak-anak yang tidak bermasalah atau anak-anak pada umumnya dapat menemukan kaidah dalam belajar. Setiap anak akan mengembangkan kaidah sendiri dalam mengingat, memahami dan mencari hubungan sebab akibat tentang apa yang mereka pelajari. Sekali kaidah belajar itu dapat ditemukan, maka ia akan dapat belajar secara efisien dan efektif. Setiap anak biasanya mempunyai kaidah belajar yang berbeda satu dengan yang lainnya.
    Keadaan seperti itu sulit dilakukan oleh anak tunagrahita. Mereka mengalami kesulitan untuk dapat berfikir secara abstrak, belajar apapun harus terkait dengan obyek yang bersifat konkrit. Kondisi seperti itu ada hubungannya dengan kelemahan ingatan jangka pendek, kelemahan dalam bernalar, dan sukar sekali dalam mengem-bangkan ide.
    Anak tunagrahita dalam mempelajari sesuatu kerap kali melakukannya dengan cara coba-coba (trial and error). Mereka tidak dapat menemukan kaidah dalam belajar, tidak dapat melihat obyek yang dipelajari secara gestalt, dan ia lebih melihat sesuatu hal secara terpisah-pisah, Jadi melihat unsur nampak lebih dominan. Akibat
    dari kondisi seperti ini mereka mengalami kesulitan dalam memahami hubungan sebab-akibat.
    Hasil penelitian Zaenal Alimin (1993) menunjukkan bahwa anak tunagrahita mengalami apa yang disebut dengan cognitive deficite yang tercermin dalam salah satu atau lebih proses kognitif seperti ; persepsi, daya ingat, mengembangkan ide, evaluasi dan penalaran. Hasil penelitian tersebut bersebrangan dengan pendirian para penganut psikologi perkembangan seperti Zigler (1968) yang menjelaskan bahwa apabila anak tunagrahita dibandingkan dengan anak normal pada CA (chronological age) yang sama, sudah pasti anak tunagrahita secara kognitif akan sangat jauh ketinggalan, akan tetapi apabila anak tunagrahita dibandingkan dengan anak normal pada MA (mental age) yang sama secara teoritis mempunyai kesamaan dalam tingkat perkembangannya
    Pengertian normal yang dimaksud dalam buku ini adalah anak yang umur kalendernya (CA) sejajar dengan kemampuan berfikir atau yang disebut umur mental (MA). Sebagai contoh, seorang anak yang berumur 5 tahun memiliki keterampilan kognitif atau kemampuan berfikir anak umur 5 tahun pada umumnya. Anak ini berarti mempunyai MA 5 tahun. Istilah MA, pada anak rata-ratal sebetulnya tidak pernah dimunculkan, karena umur kalender akan menggambarkan keberadaan kemampuan berfikir mereka. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai keberadaan anak tunagrahita dibanding dengan anak rata-rata dapat dilihat pada grafikk sbb :



    MA
    10 CERDAS
    9
    8 RATA-RATA
    7
    6 TUNAGRAHITA
    5
    4
    3
    2
    1 CA
    0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
    Grafik 3.6. Perbandingan MA dan CA pada Anak Normal dan Tunagrahita
    Dari grafik tersebut nampak bahwa perkembangan kognitif (MA) anak tunagrahita tertinggal dari perkembangan kognitif anak rata-rata. Di samping itu keterampilan kognitif (MA) anak tunagrahita juga tertinggal dari CA-nya.
    . Pendirian para penganut teori perkembangan ternyata tidak selalu cocok untuk menjelaskan fenomena ketunagrahitaan. Sebab ternyata apabila anak tunagrahita kita bandingkan dengan anak normal pada MA yang sama, dimana menurut teori perkembangan mestinya mencapai tahap perkembangan yang sejajar dengan anak normal, ternyata secara kognitif perkembangan mereka tetap tertinggal dari mereka yang normal. Faul Hendry dkk (1994) secara tegas menyatakan orang dewasa yang terbelakang dengan usia mental 7 tidak bertindak sama dalam segala hal seperti anak yang normal usia 7 tahun.
    Hambatan belajar Matematika/aritmatika
    Proses perkembangan dan belajar menurut Piaget tidak bisa dilepaskan dari pengaruh lingkungan sebagai stimulus. Semua stimulus yang datang dari lingkungan akan direspon oleh anak melalui sistem sensoris (penglihatan, pendengaran, penciuman, taktil dan perabaan) Oleh karena itu belajar sebagai bentuk adaptasi terhadap lingkungan pertama kali terjadi melalui proses sensoris. Proses belajar seperti ini terjadi pula dalam belajar matematika atau aritmatik.
    Pengertian belajar menurut Piaget (dalam Murray Thomas,1979) adalah melakukan tindakan terhadap apa yang dipelajari. Oleh karena itu dalam proses pembelajaran bagi anak-anak harus memfungsikan semua sensoris. Oleh karena itu belajar selalu dimulai dari hal yang konkrit. Konsekuensi dari semua ini proses belajar hendaknya melalui tahapan konkrit, semi konkrit, semi abstrak dan abstrak. Proses belajar seperti ini terjadi pula pada anak tunagrahita.
    Belajar pada tahap konkrit adalah proses belajar yang dilakukan dengan mengaktifkan alat sensoris dengan cara memanipulasi obyek. Pada tahap belajar seperti ini mutlak harus menggunakan media pembelajaran (alat peraga). Sebagai contoh: Dalam menjelaskan konsep bilangan. Proses belajar dimulai dari memanipulasi obyek seperti. balok-balok, kelereng, gelas, cangkir dsb. Anak diperkenalkan kepada benda-benda itu, lalu didemonstrasikan misalnya, jumlah obyek yang banyak dengan yang sedikit, balok yang jumlahnya satu dengan balok yang jumlahnya dua dst . Kegiatan belajar pada tahap ini belum dihubungkan dengan symbol-symbol angka.
    Belajar pada tahap semi konkrit adalah proses belajar yang dilakukan dengan menggunakan media gambar dari benda konkrit. Misalnya, gambar gelas, cangkir, balok, kelereng dsb,
    Belajar pada semi abstrak adalah proses belajar yang dilakukan dengan media gambar yang obyeknya tidak mewakili benda konkrit, misalnya. Jumlah lingkaran, yang lebih banyak dibandingkan dengan jumlah lingkaran yang lebih sedikit. Menghitung jumlah gambar segi tiga, segi empat, lingkaran dsb.
    Belajar pada tahap abstrak belajar yang menggunakan symbol, seperti angka 1, 2, 3 dan seterusnya. Semua tahapan belajar dari konkrit sampai ke abstrak terjadi proses asimilasi dan akomodasi, perbedaannya terletak dari tampilan obyek.yang pada akhirnya semua itu akan membentuk skema baru sebagai hasil dari proses perkembangan dan belajar.
    Bahan Pelajaran
    Bahan pelajaran yang dirumuskan dalam kurikulum seperti pelajaran berhitung, bahasa Iindonesia,IPS, IPA, Menolong Diri dan seterusnya dapat dibagi menjadi tiga katagori yaitu bahan pelajaran yang bersifat fakta, konsep dan prinsip. Sebelum memahami karakteristikk setiap katagori bahan peløajaran alangkah baiknya apabila kita menganalisis hubungan antara tahapan belajar (konkrit, semi konkrit, semi abstrak dan abstrak). Semua bahan pelajaran baik yang bersifat fakta, konsep dan prinsip hendaknya ajarkan menurut urutan tahapan belajar. Sehingga terjadi proses asimilasi dan akomodasi dalam struktur kognitif anak (terbentuk skema baru). Untuk memperoleh iformasi yang lebih jelas dapat dilihat pada bagan 5.2 di bawah ini :




    Gambar 3.7. Hubungan katagori bahan pelajaran dengan urutan belajar
    Untuk memberikan pemahaman yang utuh tentang katagori bahan ajar penjelasan selanjutnya akan menguraikan tentang bahan ajar yang bersifat fakta, konsep dan prinsip.
    Fakta
    Diantara bahan pelajaran yang akan diajarkan dikelompokkan sebagai fakta. Salah satu pengetahuan yang bersifat fakta ialah 2 x 2 = 4, Bandung adalah ibu kata jawa barat, lima kelereng lebih banyak dari tiga. Pengetahuan yang bersifat fakta bisa berbentuk obyek konkrit, bisa juga berbentuk verbal. Pengetahuan tentang fakta sangat berguna pada tahap belajar awal sebagai dasar untuk belajar pada tahap selanjutnya. Pengetahuan yang bersifat fakta lebih banyak mengandalkan kemampuan ingatan.
    Mempelajari fakta berarti mempelajari pengetahuan dan membuktikan hasil-hasilnya dengan menyebutkan kembali bahan yang dipelajari itu, baik secara lisan maupun secara tulisan. Mempelajari fakta itu sama artinya dengan memperhatikan, mengamati, mencamkan, menyimpan dalam ingatan, mentransfer dan menyebutkan kembali. Oleh karena itu ketika mengajarkan fakta hendaknya memperhatikan hal-hal sbb
    (1). Susunlah bahan pelajaran itu menjadi satuan-satuan yang memudahkan untuk mengi-
    ngat
    Buatlah bahan ajar itu menjadi bermakna bagi anak
    Doronglah agar siswa memberi respon dan melakukan sesuatu terhadap fakta yang dipelajari.
    Berikan unpan balik kepada anak (Suhaeri HN, 1980).
    b) Konsep
    Mengetahuai fakta perkalian 2x2 = 4 dengan memahami konsep perkalian 2x2 = 4 merupakan dua hal yang berbeda. Orang yang mengetahui fakta perkalian hanyalah sekedar dapat menyebutkan hasil kalinya waktu ditanya orang, sedangkan orang yang memahami konsep perkalian memahami bahwa mengalikan itu merupakan proses menjumlahkan berulang-ulang. Anak yang memahami konsep tersebut mengetahui kapan konsep itu diperlukan dan dapat mengerjakannya. Contoh lain ada fakta tentang mobil, mobil mempunyai atribut yang khas dan dapat dibedakan dengan motor. Anak yang dapat mencari atribut dari mobil seperti rodanya ada empat, memiliki stir, di dalamnya ada tempat duduk dan digunakan untuk mengangkut orang di jalan raya. Anak yang dapat mendeskripsikan atribut tersebut ia telah memahami konsep mobil. Sehingga dapat membedakannya dengan motor. Oleh karena itu belajar pada tahap konsep dapat dilihat ketika anak dapat mengelompokkan, membedakan atau menjodohkan berdasarkan atribut dari obyek tersebut. Pada dasarnya keterampilan intelek itu berakar pada kemampuan menggunakan symbol (dalam wujud konsep), yang memberikan kemungkinan berfikir, berkomunikasi, memecahkan masalah dan membuat perencanaan. Orang yang memiliki keeterampilan intelek dapat memahami fakta, konsep dan prinsip memberikan kemungkinan kepadanya untuk memahami cara. Dengan bantuan konsep kita dapat menentukan kelompok benda-benda seperti. Apel, anggur, pisang, mangga, dapat dikelompokkan menjadi buah-buahan dasarnya adalah eleman yang sama.
    Konsep terbagi menjadi dua yaitu konsep yang bersifat konkrit dan bersifat abstrak. Kedua bentuk konsep itu mempunyai atribut yang unik yang membatasinya Klausmeier (dalam Suhaeri, HN,1980) menjelaskan tahap-tahap mempelajari konsep sbb :
    (1). Tahap konkrit : Murid mengenal obyek dan membuat tanggapan mengenai obyek tersebut. Murid mengenal kata kucing.
    (2). Tahap Identitas: Murid mengenal obyek tersebut yang muncul pada waktu dan
    tempat lain. Murid menemukan kucing itu dan mengatakan kucing.
    (3) Tahap klasifkasi : Murid menemukan persamaan antara dua hal yang sama katagorinya. Akan tetapi belum menyebutkan ciri-ciri yang sama anatara kedua hal tersebut.
    Tahap formal: Murid dapat menamai konsep yang dipelajarinya, membuat definisi dan menyebutkan atribut-atribut konsep tersebut.
    Prinsip
    Dalam mempelajari prinsip dasar yang dugunakan ialah pemahaman terhadap konsep, sebab prinsip merupakan pernyataan hubungan antar konsep. Dengan bantuan prinsip siswa dapat :
    menduga akibat
    menjelaskan peristiwa
    menyimpulkan akibat
    mengontrol situasi dan
    memecahkan soal
    Prinsip benda yang bulat dapat bergelinding, membuat siswa dapat memahami dan mengontrol lingkungan dan dapat menduga apa yang akan terjadi, Jika semua benda yang bulat dapat bergelinding, maka bola, kelereng, uang logam, ban mobil akan bergelinding.
    Pemahaman konsep merupakan dasar untuk memahami prinsip, prinsip memberi kemungkinan akan terjadinya transfer of learning. Murid yang memahami prinsip dapat menggunakan prinsip tersebut dalam situasi baru serta dapat mengguanakannya untuk memecahkan masalah. Oleh karena itu dalam mengajarkan prinsip hendaknya juga menggunakan teknik-teknik dalam mengajarkan konsep: Tegaskan tujuan, siapkan konsep-konsep dasar, berikan contoh, lakukan dengan perbuatan disertai dengan menyebutkan kembali dengan kata-kata sendiri. Belajar prinsip berarti mengembangkan kemampuan dalam membuat generalisasi. Anak tunagrahita sangat sulit untuk sampai pada belajar prinsip, karena belajar prinsip berarti belajar pada tataran abstrak.
    b). Hambatan Belajar Bahasa (membaca dan menulis)
    1). Hambatan dalam Bicara dan Bahasa
    Kemampuan bahasa pada anak-anak diperoleh dengan sangat menakjubkan melalui beberapa cara, Pertama; anak dapat belajar bahasa apa saja yang mereka dengar sehari-hari dengan cepat. Hampir semua anak normal dapat menguasai aturan dasar bahasa kurang lebih pada usia 4 tahun. Kedua; bahasa apapun memiliki kalimat yang tidak terbatas, dan kalimat-kalimat dari bahasa yang mereka dengar dan mereka ucapkan, belum pernah ia dengar sebelumnya. Hal ini berarti anak-anak belajar bahasa tidak sekadar meniru ucapan yang mereka dengar, anak-anak harus belajar konsep grametikal yang abstrak dalam menghubungkan kata-kata menjadi kalimat.
    Anak-anak dimanapun dan belajar bahasa apapun ternyata melalui tahapan dan proses yang sama. Dapat dipastikan bahwa perolehan bahasa dan bicara itu sendiri merupakan bagian dari sifat biologis manusia ( Robert Ingall, 1987).
    Ada dua hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan gangguan proses komunikasi, Pertama; gangguan atau kesulitan bicara dimana individu mengalami bahasa (5) Anak tunagrahita mengalami kesulitan tertentu dalam menguasai gramatikal, (6) bahasa anak tunagrahita bersifat konkrit, (7) Anak tunagrahita tidak dapat menggunakan kalimat majemuk, Ia akan banyak menggunkan kalimat tunggal.
    Masalah kemampuan bahasa yang rendah pada anak tunagrahita mengisyaratkan bahwa pendidikan yang diberikan kepada mereka seyogianya dirancang sebaik mungkin dengan menghindari penggunaan bahasa yang komplek. Bahasa yang digunakan hendahnya berbentuk kalimat tunggal yang pendek, gunakan media atau alat peraga untuk mengkonkritkan konsep-konsep abstrak agar ia dapat memahaminya.kesulitan dalam mengartikulasikan bunyi bahasa dengan benar. Sebagai contoh substitusi bunyi menghilangkan bunyi dan gagap.
    Kenyataan menunjukkan bahwa banyak anak-anak tunagrahita yang mengalami gangguan bicara dibandingkan dengan anak-anak normal. Kelihatan dengan jelas bahwa terdapat hubungan yang positif antara rendahnya kemampuan kecerdasan dengan kemampuan bicara yang dialami. Kedua; hal yang lebih serius dari gangguan bicara adalah gangguan bahasa , dimana seorang anak mengalami kesulitan dalam memahami dan menggunakan kosa kata serta kesulitan dalam memahami aturan sintaksis dari bahasa yang digunakan.
    Anak tunagrahita yang mengalami gangguan bahasa lebih banyak dibandingkan dengan yang mengalami gangguan bicara. Hasil penelitian Robert Ingall (1987) tentang kemampuan berbahasa anak tunagrahita dengan menggunakan ITPA (Illinoins Test of Psycholinguistic Abilities), menunjukkan bahwa : (1) Anak tunagrahita memperoleh keterampilan berbahasa pada dasarnya sama seperti anak normal, (2) Kecepatan anak tunagrahita dalam memperoleh keterampilan berbahasa jauh lebih rendah dari pada anak normal, (3) Kebanyakan anak tunagrahita tidak dapat mencapai keterampilan bahasa yang sempurna, (4) Perkembangan bahasa anak tunagrahita sangat terlambat dibandingkan dengan anak normal, sekalipun pada MA yang sama. Dengan kata lain anak tunagrahita mengalami defisit dalam keterampilan berbahasa.
    2). Hambatan Belajar Membaca
    Hubungan keterampilan berbicara dan membaca
    Beberapa hasil penelitian telah memperlihatkan adanya hubungan yang erat antara perkembangan kecakapan berbahasa (lisan) dengan kecakapan membaca. Telaah-telaah tersebut memperlihatkan bahwa kemampuan-kemampuan umum berbahasa lisan turut melengkapi latar belakang pengalaman-pengalaman yang menguntungkan serta keterampilan-keterampilan dalam belajar membaca. Kemampuan-kemampuan yang dimaksud mencakup ujaran yang jelas dan lancar, kosa kata yang luas dan beraneka ragam, penggunaan kalimat-kalimat lengkap serta sempurna bila diperlukan, membedakan apa yang didengar secara tepat, dan kemampuan mengikuti serta menelusuri perkembangan urutan suatu cerita atau menghubungkan kejadian-kejadian dalam urutan yang wajar serta logis.
    Hubungan antara kegiatan berbahasa (lisan) dengan membaca telah diketahui dari beberapa telaah penelitian diantaranya mencakup;
    Performansi atau penampilan membaca berbeda sekali dengan kecakapan berbahasa lian
    Pola-pola ujaran anak yang tuna-aksara mungkin mengganggu pelajaran membaca anak-anak
    jika pada tahun-tahun awal sekolah, ujaran membentuk suatu dasar bagi pelajaran membaca, maka membaca bagi anak-anak kelas yang lebih tinggi turut membantu mningkatkan bahasa lisan mereka; misalnya: kesadaran linguistik mereka terhadap istilah-istilah baru, struktur kalimat yang baik dan efektif,serta penggunaan kata-kata yang tepat
    Kosa kata khususnya mengenai bahan bacaan hendaknya diajarkan secara langsung. Jika muncul kata-kata baru dalam buku bacaan siswa, maka guru hendaknya mendiskusikannya dengan siswa lain agar mereka memahami maknanya sebelum mereka mulai membacanya (Dawson :1963)

    Keterampilan membaca
    Penguasaan keterampilan belajar membaca lazim di bagi dalam dua tahapan yaitu keterampilan membaca permulaan dan keterampilan membaca pemahaman atau membaca lanjut. Kedua keterampilan membaca ini merupakan kontinuitas dalam belajar membaca. Membaca permulaan menjadi prerequisite dari membaca pemahaman (membaca lanjut). Oleh karena itu kedua keterampilan membaca ini memiliki tujuan dan cara yang berbeda.
    Membaca permulaan
    Membaca permulaan merupakan bagian tersulit dari proses belajar membaca. Dikatakan sulit karena merupakan pelajaran yang paling banyak menuntut sistimatika. Dalam pelaksanaannya kegiatan belajar membaca permulaan ini sering berbarengan dengan pelajaran menulis (hand writing), andai kata dalam belajar menulis terjadi penundaan, maka rentang waktunya tidak terlalu lama.
    Membaca permulaan pada dasarnya merupakan upaya di dalam menghantarkan seseorang untuk dapat belajar membaca lanjut atau membaca pemahaman. Oleh karena itu sasaran utama dalam keterampilan membaca permulaan merupakan upaya di dalam mengenal simbol-simbol atau tanda-tanda baca. Dengan demikian tujuan utama dari belajar membaca permulaan, anak belum dituntut untuk memahami isi dari suatu teks. Pemahaman terhadap apa yang dibaca merupakan langkah kedua yang akan ditempuh dalam membaca lanjut atau membaca pemahaman.
    Banyak cara yang dapat diupayakan guru agar anak dapat segera memahami tanda-tadan atau simbol-simbol bahasa dalam belajar membaca (permulaan). Upaya kearah pemahaman tersebut berkaitan dengan persoalan metode membaca itu sendiri. Pada dasarnya hanya ada dua metode dalam membaca yaitu metode sintetis dan metode analitis. Metode sisntetis adalah suatu metode dalam membaca permulaan yang prosesnya diawali dengan cara memperkenalkan huruf (fonem) atau suku kata, selanjutnya secara berangsur-angsur menuju kepada kata atau kalimat Sedangkan metode analitis diawali dengan membaca kata (morfem) atau langsung berupa kalimat (sintaksis), selanjutnya berangsur-angsur kembali kepada huruf. Dengan demikian pada dasarnya kedua metode tadi akan mengala-mi proses yang sama yang berbeda adalah awal berangkatnya.
    Pertimbangan utama dalam belajar membaca permulaan akan menyangkut pada dua aspek kesadaran yaitu persepsi visual dan persepsi auditori. Kesadaran atau ketajaman visual diperlukan dalam memahami ragam bentuk simbol bahasa (fonem/ morfem). Sementara ketajaman auditori diperlukan di dalam memahami ragam bunyi bahasa atau dalam ilmu bahasa dikatakan sebagai kesadaran linguistik. Kedua aspek ini merupakan prasyarat mendasar dalam mengantarkan seseorang untuk belajar membaca.
    Pemahaman akan simbol dan bunyi dari simbol bahasa ini merupakan dua hal sangat berimpit. Setiap simbol akan memiliki bunyi yang berbeda, oleh karena itu kesalahan di dalam memahami bentuk simbol bahasa dengan pengucapan bunyi simbol tersebut akan menimbulkan kekeliruan dalam membaca.
    Johnson dan Medius (1974) mengemukakan bahwa banyaknya stimulus informasi tentang membaca yang diberikan pada anak sebelum masuk sekolah lebih memberikan pengaruh terhadap keterampilan membaca dari pada soal perkembangan aspek atau fungsi ontogenik. Salah satu stimulus informasi tentang membaca adalah kesadaran linguistik anak-anak pada usia sekolah dasar. Menurut Bryant dkk (1989) kesadarn linguistic pada anak sekolah dasar merupakan salah satu perolehan dalam peningkatan keterampilan membaca yang dapat dijadikan prasyarat atau fasilitator dalam keterampilan membaca .
    Kesadaran linguistik adalah kemampuan untuk menggambarkan bahasa ucapan (Adam 1990: Bradley & Bryant 1983: Gosmawi & Bryant 1990; Hagtvet 1989; Oloffson & Lundberg 1985; Treiman & Baron 1983) . Istilah kesadaran linguistic memiliki cakupan yang luas diantaranya kemampuan memilah kata-kata ke dalam rangkaian bunyi, menyunting kata dari kalimat dan suku kata dari kata, menemukan morfem atau kata serta menentukan sintaksis dan grammer kata secara tepat . Dalam pengertian lain mencakup masalah fonologis dan morfologis.
    Sementara itu, Spector (1992:353) mendefinisikan kesadaran fonologis dengan kemampuan seseorang dalam merasakan kata-kata yang diucapkannya menjadi satu rangkaian bunyi yang berurutan. Dengan demikian struktur bunyi dari kata-kata yang diucapkan . Adapun kesadaran morfologis adalah kemampuan untuk menyadari dan menggunakan morfem.
    Beberapa hasil penelitian telah membuktikan bahwa kesadaran linguistic dalam aspek fonologis yang diberikan selama pelajaran membaca dapat mengembangkan keterampilan membaca anak, (Bradley & Ellis 1994; Lunberg, Frost & Peterson 1998) dimana anak berfikir tentang hubungan antara bunyi dengan huruf dan ketika kesadaran fonologis dinyatakan melalui bentuk tulisan . Hasil penelitian Hatcher, Hulme & Ellis (1994) mengemukakan bahwa latihan akan kesadaran linguistic (fonologis) mendukung perkembangan membaca. Sekalipun Wimmer, Mayringer & Landert (2000) memberi catatan bahwa kurangnya kesadaran fonologis bukanlah suatu halangan untuk menguasai pengkodean fonologis di dalam othografis yang regular ketika pengajaran fonetik sinektik dipilih sebagai metode pengajaran membaca.
    Hal yang sama terjadi pada kesadaran morfologis dalam perkembangan membaca sebagaimana hasil penelitian (Bindman 1998, Carlisle 1995, Leong 1989 dan Lyster 1998) menyatakan bahwa terdapat bukti yang berkembang untuk hubungan antara pengetahuan morfologis dan perkambangan membaca. Penelitian terhadap pelatihan kesadaran morfologis memiliki dampak pada membaca baik pada anak yang berkembang secara normal (Henry; 1993) maupun pada kelompok anak penyandang dyslexia (Elbro & Arnbak, 1996).
    Anak-anak dengan kesadaran fonologis yang buruk ternyata memperoleh manfaat dari latihan kesadaran fonologis. Anak yang mengembangkan kesadaran fonologisnya dengan baik, ternyata juga memiliki manfaat dari latihan kesadaran morfologis. (Lyster ; 2002).
    Dari berbagai hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kesadaran linguistik merupakan prerequisite di dalam pelajarann membaca permulaan. Lingkup kesadaran linguistik yang dimaksud mencakup : a) kesadaran fonologi, b) kesadaran morfologi, c) kesadarn simantik dan d) kesadaran sintaksis
    Keterampilan membaca permulaan, sebagai mana yang telah dibahas sebelumnya menyangkut keterampilan memahami symbol bahasa atau tanda-tanda baca. Cepat lambatnya pemahaman terhadap symbol atau tanda-tanda baca tadi akan banyak bergantung pada motode yang digunakan. Namun demikian keterampilan itu biasanya mencakup sekurang-kurangnya pada empat aspek yaitu; a) mengenal huruf (Latter indintification), b) peleburan bunyi ( Sound blanding), c) memebaca kata (Word Attack), dan d) membaca kalimat (Understanding)
    Membaca permulaan pada dasarnya merupakan suatu proses di dalam membunyikan simbol bahasa, apakah itu huruf, suku-kata, kata atau kalimat. Kesadaran akan lambang bahasa tadi dengan bunyi dari lambang yang dibaca memiliki kaitan yang sangat erat untuk segera terampil membaca. Dalam proses tersebut keterlibatan itu tidak hanya menyangkut soal kesadaran linguistik yang diperoleh melalui sensori auditoris, melainkan juga akan melibatkan kesadaran bentuk yang diperoleh melalui sensor visual. Kedua aspek ini yaitu aspek auditory dan visual merupakan sensor yang akan membuka terhadap kesiapan membaca. Aspek sensoris yang bersifat auditori merupakan pintu di dalam memperoleh informasi akan kesaraan bunyi bahasa (linguistik), sementara aspek sensori yang bersifat visual merupakan pintu di dalam memperoleh informasi akan kesadaran bentuk dari lambang bahasa. Sementara proses membacanya itu sendiri merupakan perpaduan diantara keduanya. Oleh karena itu orang akan sampai kepada keterampilan membaca (permulaan) apabila kedua aspek kesadaran tadi telah dimiliki. Hubungan antara kesadaran linguistik dan kesadaran simbol bahasa terhadap kemampuan membaca dapat digambarkan sebagai berikut










    Gambar: 3.9 Hubungan kesadaran linguistik (bunyi), simbol bahasa dalam membaca permulaan
    Dari bagan di atas nampak bahwa kesadaran linguistik(bunyi) dan kesadaran akan bentuk atau lambang bahasa merupakan prerequisit dalam belajar membaca permulaan Berkenaan dengan hal itu dalam melihat kegagalan belajar membaca harus dilihat dari dua sisi, apakah menyangkut persoalan persepsi visual atau persepsi auditori
    Beberapa penelitain banyak dikemukakan para ahli bahwa terdapat hubungan yang kuat antara pemahaman lambang bahasa yang ditrasfer melalui visual memiliki hubungan dan berkontribusi terhadap kemampuan membaca anak. Namun demikian, perkembangan sekarang berkenaan dengan masalah prerequisit yang mendukung kearah kesiapan membaca justru banyak pula ditentukan oleh kesadaran linguistik yang diperoleh melalui pengalaman auditori sekalipun tetap diakui akan peran pengalaman visual tidaklah sedikit
    Membaca lanjut
    Makna dan pengertian utama dari membaca sesungguhnya memahami apa yang ada dibalik teks yang dibaca. Dalam pengertian laian membaca sesungguhnya merupakan upaya di dalam memahami dan menafsirkan fikiran serta kehendak yang dinyatakan dalam tulisan atau yang tertulis. Berkenaan dengan hal itu yang menjadi sasaran dalam membaca membaca lanjut bukan lagi menuntut anak untuk mengenal tanda baca; seperti: titik, koma atau huruf susunan huruf, melainkan mempergunakannya. Oleh karena itu yang menjadi persoalan dalam membaca lanjut adalah menenangkan fikiran, perasaan dan kehendak yang terdapat dibalik tanda-tanda baca.
    Dengan demikian orang dapat dikatakan telah memiliki keterampilan membaca apabila ia telah sampai kepada pemahaman dari suatu teks yang disampaikan si penulisnya. Memahami makna apa yang terdapat dibalik teks itulah makna utama yang dimaksud dalam membaca pemahaman
    Langkah awal dalam belajar membaca lanjut, adalah membawa anak untuk dapat membaca dengan lagu kalimat yang benar. Orang tidak akan dapat membaca dengan lagu kalimat yang benar, jika tidak memahami isi yang terdapat dibalik tanda-tanda baca tadi. Untuk dapat membaca dengan lagu kalimat yang benar perlu latihan tersendiri. Oleh karena itu sering dirasakan agar anak sesering mungkin untuk diajak atau diberi latihan percakapan dalam bentuk dialog, membaca sajak atau membaca cerita pendek. Dalam melatih keterampilan membaca pemahaman, anak perlu diminta untuk membaca suatu teks tanpa suara atau membaca dalam hati . Membaca dalam hati perlu ditekankan karena besar perannya di dalam memahami isi bacaan, disamping itu membaca dalam hati ternyata berdampak terhadap kecepatan baca. Dan membaca dalam hati merupakan keterampilan membaca yang sesungguhnya. Membaca dalam hati menuntut perolehan makna yang dibaca.

    Keterampilan menulis
    Dalam keterampilan menulis juga dikenal dengan menulis permulaan (hand writing) dan menulis lanjut (mengarang). Menulis pada dasarnya juga menyampaikan fikiran, perasaan dan kehendak dalam bentuk tanda-tanda yang tertulis
    Keterampilan menulis permulaan (Hand Writing)
    Sebagaimana halnya membaca, menulispun terbagi dalam menulis permulaan (hand writing) dan membaca lanjut atau mengarang.. Menulis pada dasarnya juga menyampaikan fikiran, perasaan dan kehendak dalam bentuk tanda-tanda. Menulis ada yang tegak ada pula yang miring, ada yang tipis tebal ada yang tidak. Dilihat dari bentuknya ada yang bersambung ada yang tidak. Dalam banyak kenyataan menulis sering dilakukan secara bersamaan dengan membaca. Bahan yang baru di baca sedapat mungkin segera disalin, ditiru atau dujiplak. Sebaliknya yang baru ditulis hendaknya dibaca kembali. Bahan yang baru dibaca biasanya akan lebih dikuasai setelah ditulis. Oleh karenanya dikte merupakan bentuk latihan yang penting di dalam melatih proses membaca dan menulis.
    Kesadaran menulis pada dasarnya untuk melatih keterampilan di dalam menyatakan fikiran, perasaan dan kehendak secara tertulis. Oleh karena itu yang menjadi tuntutan dalam menulis permulaan adalah mengoreskan symbol bahasan secara tertulis yang jelas dan rapih sehingga dapat dibaca orang. Tulisan yang jelas dan rapih itulah yang sesungguhnya memenuhi fungsi dan keperluan dalam keterampuilan menulis permulaan .
    Dalam langkah berikutnya sering kali latihan menulis cepat menjadi tuntutan dari bagian menulis permulaan. Jika menulis ini menjadi tuntutan biasanya anak akan diminta untuk belajar menulis secara bersambung . Menulis bersambung ternyata dapat melatih keterampilan kecepatan menulis .
    Dalam menulis permulaan juga dikenal dua metode yaitu metode structural dan metode sintetis. Dalam metode structural, yang ditulis langsung pada kata atau kalimat sebagai suatu keseluruhan, sedngkan dalam metode sintetis latihan menulis diawali pada unsure-unsur yaitu berbagai bentuk garis (vertical, horizontal, lengkung dan miring) lalu ke symbol atau huruf. Dalam latihan menulis huruf biasanya dilakukan dengan latihan menggabungkan berbagai bentuk garis misalnya; garis vertical dan horizontal sehingga dapat membentuk huruf ; H, T dan L jika latihan dilakukan dengan huruf kapital. Jika huruf kecil yang akan dibentuk, maka latihan menggabungkan garis horizontal, vertical dan lengkung sering kali mendominasi latihan misalnya ; untuk huruf /d/, /b/, /t/ dst. Proses menulis itu biasanya dilakukan melalui urutan, menjiplak, menebalkan kemudian meniru.
    Keterampilan menulis lanjut (Mengarang)
    Mengarang merupakan bagian dari membaca lanjut, kegiatan mengarang dilakukan setelah anak membaca dan menulis dengan baik. Pelajaran menulis lanjut atau mengarang merupakan pelajaran yang cukup sulit. Dikatakan sulit karena anak dituntut untuk dapat menyatakan fikiran, gagasan, kehendak dan perasaannya secara tertulis yang dapat dipahami orang pembacanya. Prerequisit dari keterampilan mengarang biasanya harus sudah bayak dilakukan letihan dikte sebelumnya. Mengarang dan dikte merupakan dua kegiatan yang berbeda, namun demikian memiliki kaitan yang sangat erat. Dalam dikte anak dituntut untuk dapat menuliskan fikiran, kehandak dan perasaan orang lain, sementara dalam mengarang anak dituntut untuk menyatakan fikiran dan perasaan serta kehendak dirinya.
    Dalam mengarang biasanya dituntut berbagai peraturan menulis. Seperti peraturan dalam menuliskan huruf besar pada setiap awal kalimat, menggunakan titik dan koma, cara memotong suku kata, cara menulis kata ulang dll.
    Pada wala latihan mengarang biasanya harus diingatkan untuk bahwa karangan yang dibuat harus diberi judul. Karangan hendaknya menarik untuk mereka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk anak usia 7 sampai dengan 10 tahun akan lebih tertarik pada karangan-karangan yang bersifat pengalaman pribadi, peristiwa yang berhubungan dengan musim, dongeng, permainan, binatang dan orang yang dianggap istimewa. Sedangkan perhatian yang diminati oleh anak usia 11 tahun ke atas diantaranya; bepergin, petualangan, olah raga, kehidupan dirumah, hobi dan peristiwa-peristiwa yangb bersifat hayalan.
    Hambatan dalam perilaku adaptif
    Masalah belajar anak tunagrahita seperti yang telah digambarkan tadi berakibat langsung pada proses pembelajaran. Untuk itu diperlukan suatu model yang dapat membantu mempermudah proses pembelajaran, sehingga upaya mengoptimalkan kemampuan yang dimiliki anak tunagrahita tadi dapat dikembangkan dan menumbuh kan motivasi belajar mereka. Semua itu harus dibawa dalam situasi belajar yang menyenangkan.
    Melihat masalah-masalah belajar yang dialami oleh anak tunagrahita, terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan di dalam membelajarkan mereka Pertimbangan yang dimaksud meliputi; 1) bahan yang akan diajarkan perlu dipecah-pecah menjadi bagian-bagian kecil dan ditata secara berurutan, 2) Setiap bagian dari bahan ajar diajarkan satu demi satu dan dilakukan secara berulang-ulang , 3) Kegiatan belajar hendaknya dilakukan dalam situasi yang konkrit, 4) Berikan kepadanya dorongan untuk melakukan apa yang sedang ia pelajari, 5) Ciptakan suasana belajar yang menyenangkan dengan menghindari kegiatan belajar yang terlalu formal, 6) Gunakan alat peraga dalam mengkonkritkan konsep.
    c) Hambatan dalam Penyesuaian Diri
    Anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam memahami dan mengartikan norma lingkungan. Oleh karna itu anak tunagrahita sering melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan norma lingkungan dimana mereka berada. Tingkah laku anak tunagrahita sering dianggap aneh oleh sebagaian anggota masyarakat karena mungkin tindakannya tidak lazim dilihat dari ukuran normative atau karena tingkah lakunya tidak sesuai dengan perkembangan umurnya.
    Keganjilan tingkah laku yang tidak sesuai dengan ukuran normative. lingkungan berkaitan dengan kesulitan memahami dan mengartikan norma, sedangkan keganjilan tingkah laku lainnya berkaitan dengan ketidaksesuaian antara perilaku yang ditampilkan dengan perkembangan umur. Sebagai contoh anak tunagrahita yang berumur 10 tahun berperilaku seperti anak yang berumur 6 tahun. Hal ini terjadi karena adanya selisih yang signifikan antara umur mental (MA) dengan umur kronologis (CA). Semakin dewasa anak tunagrahita, semakin lebar selisih yang terjadi. Dilihat dari usia mereka memang dewasa, tetapi perilaku yang ditampilkan nampak seperti anak-anak. Hal ini yang mung- kin menimbulkan persepsi masyarakat menjadi salah menilai anak tunagrahita, ia dianggap orang gila. Akibat anak tunagrahita berperilaku aneh, mereka tidak jarang diisolasi dan kehadirannya ditolak lingkungan
    Upaya pendidikan seyogianya dapat mengembangkan kemampuan dan keterampilan anak tunagrahita dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan. Program pendidikan tunagrahita yang selama ini berlangsung kurang menyentuh kebutuhan mereka, terlalu formal, artificial dan tidak realistis. Oleh karena itu diperlukan model pembelajaran yang menyentuh kebutuhan anak tunagrahita. Model yang dapat memfasilitasi kearah itu adalah PPI, sayangnya model pembelajaran ini belum dipahami sehingga tidak dapat diaktualisasikan dengan baik dilapangan.

    d) Hambatan Kepribadian
    Anak tunagrahita memiliki ciri kepribadian yang khas, berbeda dari anak-anak pada umunya. Perbedaan ciri kepribadian ini berkaitan erat dengan faktor-faktor yang melatarbelakanginya. Kepribadian seseorang dibentuk oleh faktor organik seperti predisposisi genetic, disfungsi otak dan faktor-faktor lingkungan seperti; pengalaman pada masa kecil, dan oleh lingkungan masyarakat secara umum.
    Terdapat sejumlah alasan yang menjelaskan mengapa anak tunagrahita memiliki hambatan dalam kepribadian. Alasan-alasan tersebut meliputi; (1) isolasi sosial dan penolakan, (2) labeling dan stigma, (3) setres keluarga, (4) frustasi dan kegagalan, (5) disfungsi otak dan (6) kesadaran rendah.
    Isolasi dan penolakan
    Perilaku tunagrahita yang dipandang ganjil dan aneh oleh orang lain, cenderung akan dikucilkan dari pergaulan kelompok sebaya. Sehingga ada kecenderungan anak tunagrahita tidak mempunyai teman. Oleh karananya mereka sering tersingkir dari pergaulan sosial. Penolakan seperti itu, bukan semata-mata disebabkan oleh label ketunagrahitaan, melainkan oleh perilaku aneh dan ganjil yang mereka tampilkan (Robert Ingall, 1987).
    Dentler dan Mackler (dalam Robert Ingall,1987) menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang positif antara tingkat IQ seseorang dengan penerimaan sosial oleh teman sebaya. Semakin tinggi IQ seorang anak, semakin populer dan diterima oleh kelompok teman sebaya. Penolakan teman sebaya terhadap anak tunagrahita, karena kesulitan anak tunagrahita belajar keterampilan sosial yang diperlukan dalam pergaulan. Semakin ditolak kehadiran anak oleh teman sebaya, maka cara yang salah dalam berhubungan dengan teman sebaya akan semakin berkembang.
    Penolakan dan isolasi seperti itu menyebabkan munculnya penyimpangan kepribadian dan penyimpangan pola penyesuaian diri, karena anak tunagrahita kehadirannya ditolak dan secara sosial diisolasi, maka anak tunagrahita cende-rung memiliki pola kepribadian yang tidak lazim.
    b) Labeling dan Stigma
    Pemberian label tunagrahita yang bersifat permanen dapat dipandang sebagai bentuk diskriminasi dan merupakan vonis yang harus disandang seumur hidup oleh seorang tunagrahita. Label seperti itu telah membentuk persepsi masyarakat bahwa tunagrahita adalah sekolompok manusia yang dikatagorikan sebagai manusia yang tidak normal dan itulah yang disebut stigma.
    Stigma seperti itu menimbulkan pemisahan yang tajam antara kelompok manusia yang di-stigma-kan sebagai tunagrahita dengan kelompok manusia lainnya. Akibat dari label dan stigma tunagrahita tadi, sebahagian orang tua (masyarakat) akhirnya melarang anak-anaknya untuk bergaul dan bermain dengan anak tunagrahita.
    c) Stres Keluarga
    Para ilmuwan khususnya pakar psikologi, sosiologi dan pakar pendidikan sepakat bahwa keluarga merupakan factor yang sangat peting dan menentukan dalam perkembangan anak. Seorang anak yang dibesarkan dalam keluarga dengan penuh kasih sayang dan kehadirannya diterima oleh kedua orang tuanya, adanya keseimbangan antara disiplin dan kebebasan, cenderung akan menjadi orang dewasa yang dapat menyesuaikan diri dengan baik. Sementara seorang anak yang kehadirannya ditolak atau terlalu dilindungi oleh kedua orang tuanya, cenderung akan menjadi orang dewasa yang sulit menyesuaikan diri.
    Kehadiran seorang anak tunagrahita dalam keluarga cenderung menimbul-kan ketegangan pada keluarga tersebut. Ketika mengetahui bahwa anaknya tergolong tunagrahita, orang tua pada umumnya mengalami perasaan bersalah dan menunjukkan mekanisme pertahanan diri, atau merasa kecewa yang mendalam. Akibat dari setres dan ketegangan seperti itu mungkin orang tua menolak kehadiran anak tersebut atau mungkin memberikan perlindungan yang sangat berlebihan kepadanya.. Sikap-sikap seperti itu dapat mengakibatkan masalah perilaku dan emosi pada anak yang bersangkutan.
    d) Frustasi dan Kegagalan
    Sebagai akibat adanya hambatan dalam perilaku adaptif, anak tunagrahita tidak dapat memenuhi tugas-tugas yang dituntut oleh masyarakat atau oleh teman sebaya. Akibat dari keadaan seperti itu, anak tunagrahita cenderung mengalami banyak kegagalan dan prustrasi. Kegagalan dan prustrasi yang sangat sering dialami oleh anak tunagrahita berpengaruh negatif terhadap perkembangan kepribadian mereka.
    e) Disfungsi Otak
    Hubungan antara disfungsi otak atau kerusakan otak dengan gangguan perilaku masih belum jelas. Namun demikian, terdapat sejumlah bukti bahwa disfungsi otak atau kerusakan otak merupakan faktor yang memberi konstribusi terhadap timbulnya gangguan perilaku ( Robert Ingall, 1987). Sebagai contoh dari ciri yang dapat diamati pada anak-anak yang mengalami kerusakan otak adalah hiperaktif dan labilitas emosi. Banyak anak tunagrahita yang mengalami
    kerusakan otak, maka dari itu sebagaian dari anak tunagrahita diduga mengalami gangguan emosi.
    Kesadaran Rendah
    Proses kognitif dan proses kepribadian merupakan dua hal yang berdiri sendiri, tetapi keduanya saling mempengaruhi. Proses kognitif terlibat erat dalam perubahan pola kepribadian, dan bahkan dalam reaksi emosi. Sangat masuk akal apabila berpegang pada asumsi dimana orang yang kemampuan mentalnya tidak memadai seperti halnya pada anak tunagrahita, kepribadiannya menjadi tidak matang, dan tidak rasional.
    Sebagai contoh, aspek penting dalam perkembangan kepribadian adalah kontrol terhadap impuls, dan mengendalikan diri tindakan impulsive. Kontrol impuls berkaitan erat dengan perkembangan kognitif. Anak pada umumnya, dapat mengontrol impuls dan menunda kepuasan sejalan dengan bertambahnya umur. Akan tetapi anak tunagrahita mengalami kekurangan dalam keterampilan kognitif, maka anak tunagrahita pada umumnya mengalami kesulitan dalam mengontrol impuls dan sukar menahan keinginan dalam memenuhi kepuasan sesaat
    Secara umum ciri kepribadian tunagrahita dapat dibedakan dengan jelas dari anak normal pada umunya. Kepribadian tunagrahita ditandai oleh dua hal yaitu; (1) Pengendalian lokus eksternal (external locus of control) dan (2) Kelemahan fungsi ego.
    Pengendalian Lokus External
    Istilah locus of control dapat dijelaskan sebagai persepsi individu terhadap kejadian yang terdapat pada dirinya sendiri . Individu yang mempunyai internal locus of control dapat merasakan bahwa apa yang terjadi pada dirinya sebagian besar ditentukan oleh tindakannya sendiri. Sementara individu yang mempunyai external locus of control merasakan bahwa apa yang terjadi pada dirinya ditentukan oleh tindakan orang lain. Anak tunagrahita secara umum memiliki external locus of control.
    External locus of control dari anak tunagrahita cenderung mengarah kepada perasaan tidak berdaya. Sebagai contoh; anak tunagrahita yang kehilangan barang, nampak tidak ada upaya mencarinya. Anak tunagrahita tidak memiliki daya untuk melakukan upaya (berusaha) sendiri, ia akan melakukannya apabila ada dorongan yang datang dari orang lain. Dengan kata lain anak tunagrahita nampak seperti tidak memiliki inisiatif.
    Kelemahan Fungsi Ego
    Para peneliti seperti Robinson & Robinson (1972), Sternlich, (1972) dan Deutsch, (1972), (dalam Robert Ingall, 1987) telah melakukan analisis terhadap kepribadian tunagrahita dengan menggunakan teori Psikoanalisis Sigmun Freud.
    Sigmun Freud membagi struktur kepribadian ke dalam tiga bagian yaitu; Id, Ego, dan Super Ego. Id sebagai tempat impuls-impuls, insting dan drive yang di bawa sejak lahir, merupakan aspek biologis. Id merupakan penggerak kepribadian manusia yang bersifat insting dengan prinsif mencari kenikmatan dan menghindari ketidaknyamanan. Sebagai contoh. Id meliputi kebutuhan biologis seperti., makan, minum dan kebutuhan seksual (libido). Menurut Freud semua tingkah laku manusia berasal dari dorongan Id.
    Ego, yang berfungsi sebagai eksekutif dan bertugas untuk menguji realitas, membawa impuls-impuls dari Id dan membuat keseimbangan antara impuls-impuls yang datang dari Id dengan tuntunan realitas, Ego, merupakan aspek psikologis dari kepribadian. Ego berfungsi sebagai instrumen pelaksana dalam memenuhi kebutuhan Id. Misalnya. Seorang yang mempunyai dorongan Id untuk makan, Id tidak dapat memenuhinya sendiri. Untuk itu perlu bantuan dari ego untuk dapat memenuhinya. Akan tetapi ego tidak dapat memenuhi kebutuhan Id begitu saja, harus memenuhi kaidah normatif dari super ego, sehingga pemenuhan kebutuhan Id tidak bertentangan dengan norma dimana individu berada. Ego juga berfungsi sebagai penyeimbang dorongan Id yang bersifat biologis dengan tuntutan super ego yang bersifat normative. Dengan demikian akan terjadi keseimbangan perkembangan kepribadian.
    Super Ego mempunyai kepedulian terhadap moralitas , merupakan aspek sosiologis dari kepribadian, atau sinonim dengan istilah kesadaran. Super ego berkembang pada individu melalui proses pendidikan dan merupakan unsur penghambat dorongan Id. Proses seperti inilah yang menyebabkan manusia mengembangkan kebudayaan.
    Tunagrahita mengalami kelemahan dalam fungsi ego. Ego yang normal berfungsi untuk menggali dan mempelajari realitas, memahami akibat dari sebuah tindakan, dan belajar untuk menahan keinginan serta yang secara sosial dapat diterima. Tunagrahita mengalami kelemahan dalam proses seperti itu. Artinya tunagrahita tidak mampu untuk mengontrol impuls-impuls oleh karena itu emosinya mudah sekali meledak.
    Kelemahan fungsi ego menyebabkan anak tunagrahita tidak mampu menyalurkan ketegangan insting dalam bentuk perilaku yang dapat diterima. Penyaluran ketegangan dalam mengontrol kecemasan lebih banyak didasarkan pada mekanisme pertahanan diri yang lebih bersifat primitif. Semakin primitif mekanisme pertahanan diri, semakin tidak efektif dalam mereduksi kecemasan. Semakin canggih mekanisme pertahanan diri (yang secara sosial dapat diterima), semakin efektif dalam mereduksi kecemasan. Oleh sebab itu perilaku tunagrahita ditandai oleh reaksi irasional dan kecemasan yang berlebihan.
    Untuk memberikan gambaran yang lebih luas tentang konsep tunagrahita perlu dijelaskan perbedaan konsep Border Line, Learning Disabilit dan tunagrahita yang kesemuanya itu dikatagorikan sebagai Developmental disability
    2. Border Line ( Perbatasan Garis Taraf Kecerdasan)
    Pembahasan tentang "border line" atau garis batas taraf kecerdasan yang menjadi kelompok tersendiri dan sering disebut sebagai kelompok "lambat belajar" dipandang perlu dalam buku ini, untuk membedakan secara tegas dengan tunagrahita. Secara Intelektual keduanya memang berada di bawah rata-rata dari ukuran normal, tetapi tunagrahita dengan border line secara signifikan berbeda. Sekalipun keduanya menunjukkan kondisi intelektual di bawah rata-rata. Border line tidak termasuk pada kelompok tunagrahita, ia menjadi kelompok tersendiri yang memisahkan antara tunagrahita dan normal. Apabila kita merujuk kepada konsep dan definisi ketunagrahitaan yang dikembangkan AAMR. Perbedaan itu menjadi nampak jelas apabila dilihat dari tingkat kecerdasan yang diperoleh berdasarkan skor IQ. Seorang anak dikatakan tunagrahita apabila memiliki skor IQ menyimpang dua standar deviasi (IQ 70 ke bawah), sementara penyimpangan satu standar deviasi (IQ 85-71) tergolong anak yang disebut lambat belajar (border line). Untuk memperoleh gambaran yang lebih konkrit mengenai anak yang tergolong border line dapat dilihat pada kurva berikut:















    Gambar 3.8. Kurve Distribusi Inteligensi
    Dari kurve tersebut (gambar yang diarsir) posisi anak yang disebut border line berada pada kelompok khusus yang menjadi garis pembatas antara tunagrahita dan kelompok normal, sehingga kelompok ini disebut border line.
    Anak yang dikatagorikan border line tidak mengalami kesulitan belajar seperti yang dihadapi anak tunagrahita. Mereka dapat belajar bersama dengan anak lainnya di sekolah reguler. Sekalipun kecenderungan mereka akan terjadi dari teman sebayanya akan nampak .
    3. Learning Disability (Kesulitan Belajar)
    Agar tidak mengalami kesalahan dalam memahami anak tunagrahita, dipandang perlu pula digambarkan anak yang mengalami kesulitan belajar atau yang disebut Learning Disability.
    Perbedaan yang mendasar antara ketunagrahitaan, lambat belajar (border line) dan kesulitan belajar (Learning Disability) terletak pada kemampuan kecerdasannya. Anak yang disebut learning disability sebetulnya memiliki kemampuan kecerdasan rata-rata, bahkan diantara mereka banyak yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata.
    Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas seperti yang dikutip oleh Hallahan, Kauffman, dan Lioyd :1985 (dalam Mulyono,1996) mendifinisikan Learning disability sebagai orang yang mengalami kesulitan di dalam salah satu atau lebih proses psikologis dasar yaitu dalam memahami dan menggunakan bahasa, bicara atau menulis yang dimenifestasikan dalam ketidak sempurnaan pada kemampuan mendengar, berfikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja atau mengerjakan perhitungan matematik. Kesulitan-kesulitan seperti itu bukan karena akibat dari gangguan penglihatan, pendengaran, ketunagrahitaan, ganngun emosi, lingkungan, budaya atau kesulitan ekonomi. Definisi ini sejalan dengan yang dikemukakan The National Joint Committee for Learning Disability (NJCLD) yang mengemukakan bahwa "Kesulitan belajar menunjuk pada sekelompok kesulit-an yang dimenifestasikan dalam bentuk kesulitan yang nyata dalam kemahiran dan penggunaan kemampuan mendengarkan, bercakap-cakap, membaca, menulis, bernalar, atau kemampuan dalam bidang studi matematik. Gangguan tersebut instrinsik dan diduga disebabkan oleh adanya disfungsi sitem syaraf pusat. Meskipun suatu kesulitan belajar mungkin terjadi bersamaan dengan adanya kondisi lain yang mengganggu (seperti; gangguan sensoris, tunagrahita, hambatan social dan ekonomi) atau berbagai pengaruh lingkungan (misalnya perbedaan budaya, pembelajaran yang tidak tepat, factor-faktor psikogenik) berbagai hambatan tersebut bukan penyebab atau pengaruh langsung (Hammill et al, 1981, dari Mulyono, 1996).
    Untuk melihat masalah learning disability dapat dijelaskan sekurang-kurangnya dalam 4 (empat) hal yaitu; disfungsi neorologis (neurological disfungtion), difficulty in academic task, kesenjangan antara prestasi yang dicapai dengan potensi yang dimiliki, dan exclution of other causes (bukan akibat dari ketunaan).
    a. Disfungsi Neorologis
    Definisi learning disability yang digambarkan pada bagian ini secara langsung terkait dengan gangguan neorologis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesulitan belajar sangat erat kaitanya dengan disfungsi neorologis. Hal ini dibuktikan oleh hasil test diagnostik neorologis.
    b. Difficulty in academic task
    Kesulitan belajar selalu berkaitan dengan kesulitan dalam satu atau lebih area akademik seperti; membaca, menulis, matematik, mengeja atau dalam hal keteram-pilan umum seperti; mendengar, berbicara dan berfikir.
    c. Kesenjangan antara potensi dan prestasi
    Kesulitahn belajar (learning disability) mempunyai kemampuan kecerdasan rata-rata, bahkan di atas rata-rata, tetapi sukar sekali mencapai prestasi belajar yang sepadan dengan kemampuan atau potensi yang dimilikinya.
    d. Bukan akibat ketunaan (exclution of other causes)
    Kesulitan belajar (learning disability) bukan akibat dari ketunaan seperti; tunanetra, tunarungu, terbelakang mental, gangguan emosi atau tunadaksa. Kesulitan belajar terkait dengan ketidak berfungsiannya aspek neorologis.
    Dari penjelasan yang dikemukakan, maka learning disability sangat berbeda dengan tunagrahita maupun mereka yang disebut border line, baik dilihat dari kemampuan kecerdasan maupun karakterristik yang menyertainya.

    Label: ,

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google
  • Kembali ke Halaman Depan