Buku Tamu



Anda adalah pengunjung ke
View My Stats

Silakan isi
  • Buku Tamu Saya
  • Lihat Buku Tamu




  • Jika anda meninggalkan pesan atau mengajukan pertanyaan yang memerlukan respon,
    respon saya dapat anda baca di
  • Comment




  • Google

    Daftar Isi

  • KESULITAN BELAJAR DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN
  • REORIENTASI PENDIDIKAN KHUSUS/PLB (SPECIAL EDUCATION) KE PENDIDIKAN KEBUTUHAN KHUSUS (SPECIAL NEEDS EDUCATION) USAHA MENCAPAI PENDIDIKAN UNTUK SEMUA
  • Program Master Pendidikan Kebutuhan Khusus SPS
  • MENJANGKAU ANAK-ANAK YANG TERABAIKAN MELALUI PENDEKATAN INKLUSIF DALAM PENDIDIKAN
  • PEMBELAJARAN ANAK BERBAKAT
  • VYGOTSKY IN THE CLASSROOM: MEDIATED LETERACY INTRUCTION AND INTERVENTION
  • SUBJECTIVE PERCEPTIONS OF STRESS & COPING BY MOTHERS OF CHILDREN WITH INTELLECTUAL DISABILITY A NEEDS ASSESSMENT
  • Anak Penyandang Autisme dan Pendidikannya
  • Pendidikan Inklusif Ketika Hanya Ada Sedikit Sumber
  • Orientasi Ulang Pendidikan Tunagrahita dari Pendekatan Formal ke Pendekatan Fungsional
  • Definisi dan Ruang Lingkup Praktek Konseling Rehabilitasi
  • Landasan Filosofis Konseling Rehabilitasi
  • Pertimbangan-pertimbangan dalam Intervensi Konseling Rehabilitasi: Faktor Personal
  • Pertimbangan-pertimbangan dalam Intervensi Konseling Rehabilitasi: Faktor Lingkungan
  • Pertimbangan-pertimbangan dalam Intervensi Konseling Rehabilitasi: Hakikat Kecacatan
  • Bahasa dan Ketunagrahitaan
  • Pernyataan Salamanca
  • HAMBATAN BELAJAR DAN HAMBATAN PERKEMBANGAN PADA ANAK-ANAK TUNAGRAHITA
  • SUBJECTIVE PERCEPTIONS OF STRESS & COPING BY MOTHERS OF CHILDREN WITH INTELLECTUAL DISABILITY A NEED ASSESSMENT
  • HAMBATAN BELAJAR DAN HAMBATAN PERKEMBANGAN PADA ANAK YANG MENGALAMI KEHILANGAN FUNGSI PENDENGARAN
  • MEMAHAMI PERKEMBANGAN,HAMBATAN PERKEMBANGAN DAN HAMBATAN BELAJAR PADA ANAK
  • Orientasi Pendidikan Kebutuhan Khusus
  • PEMAHAMAN KONSEP PENDIDIKAN KEBUTUHAN KHUSUS DAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
  • THE EFFECTS OF PRECISION TEACHING TECHNIQUES AND FUNTIONAL COMMUNICATION TRAINING ON BEHAVIOR PROBLEM FOR 12-YEAR OLD MALE WITH AUTISM
  • Daftar Cek Perkembangan Bahasa Anak Tunagrahita
  • Perkembangan Kognitif Anak Tunagrahita Menurut Teori Piaget
  • Program Master Pendidikan Kebutuhan Khusus
  • Pengajaran Bahasa Bagi Anak Tunagrahita
  • MODEL PEMBELAJARAN ANAK TUNAGRAHITA MELALUI PENDEKATAN KONSELING




  • Selasa, 21 April 2009

    SUBJECTIVE PERCEPTIONS OF STRESS & COPING BY MOTHERS OF CHILDREN WITH INTELLECTUAL DISABILITY A NEEDS ASSESSMENT

    Frances Hill
    Rona Newmark
    And
    Lesley Le Grange
    University of Stellenbosch
    Diterjemahkan oleh: Zaenal Alimin


    Abstrak

    Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengekplorasi coping strategy yang dilakukan oleh 12 ibu dari anak tunagrahita. Penelitian ini merupakan bagian dari analisis kebutuhan kualitas hidup individu yang mengalami ketunagrahitaan pada level perkembangan yang berbeda. Partisipan penelitian ini diminta untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam angket yang sudah divalidasi. Setelah itu partisipan diminta untuk mejawab pertanyaan-pertanyaan wawancara semi tersruktur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengalaman dan perasaan partisipan dalam menghadapi anaknya yang tunagrahita meliputi: orang tua merasa marah, khawatir dan takut akan masa depan anaknya, takut anak ditolak oleh lingkungan, memiliki rasa bersalah, sedih, tetapi juga ada yang senang dan bangga. Dalam menghadapi kenyataan bahwa anak-anaknya tunagrahita, partisipan melakukan tindakan (coping strategy) yaitu mencoba berpikiran bijaksana, mencoba mencari dukukangan sosial dan emosi, ada juga yang menerima dengan pasrah. Kesimpulan penelitian ini menunjukkan, sukar bagi orang tua untuk bisa menerima keadaan anaknya yang tunagrahita tanpa bantuan para profesional, orang tua membutuhkan dorongan semangat untuk memberdayakan diri mereka.

    Akhir-akhir ini layanan bagi individu yang mengalami ketunagrahitaan dilandasi oleh HAM. Layanan bagi mereka tidak lagi bersipat institusional di panti tetapi dikembalikan kepada orang tua atau disebut dengan program de-institusionalisas i. Oleh karena itu orang yang paling bertanggung jawab dalam penanganan anak tunagrahita berada di tangan orang tua, secara lebih khusus adalah ayah dan ibu.
    Sehubungan dengan itu penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang kualitas hidup anak atau individu tunagrahita yang berada di lingakungan keluarganya, dengan meng-asesmen perasaan orang tua dalam menghadapi anaknya yang tunagrahita dan coping strategy yang mereka gunakan.



    Pendekatan Penelitian
    Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama penelitain kuantitatif dan tahap kedua penelitian kualitatif. Dalam penelitian ini terlebih dahulu dibentuk pilot group yang beraggotakan 4 orang partisipan dari orang tua anak tunagrahita di sekolah yang sama. Kelompok ini merupakan kelompok uji coba instrumen penelitian, yang menelaah sesitivitas bahasa yang digunakan, relevansi dari pertanyaan-pertanyaan yang digunakan dalan angket dengan konstek budaya. Berdasarkan uji coba inilah lahir isntrumen penelitian yang dianggap valid.
    12 orang partisipan (orang tua anak tunagrahita) diminta untuk menjawab dua angket. Pertama, angket tentang QRS (Questionnaires on Resources and Stress), yang meliputi 51 pertanyaan benar salah yang fokus pada bagaimana perasaan orang tua memiliki anak tunagrahita. Angket kedua tentang mengungkapkan coping strategy yang digunakan oleh oang tua dalam menghadapi anaknya yang tunagrahita, yang disebur WC-R (Way Coping-Rivised), terdiri dari 46 butir dalam bentuk skala Likert. Pertanyaan-pertanyaan pada skala ini mengungkap coping strategy yang dipilih oleh orang tua. yaitu a) practical coping b) wishful thinking c) stoicism d) seeking emotional social support dan e) passive acceptance.

    Hasil Penelitian
    Data biografi menunjukkan bahwa rentang usia partisipan antara 36-37 tahun. 10 dari 12 partisipan menyatakan bahwa anaknya yang tunagrahita memiliki saudara kandung yang tinggal berama di rumah. Sementra 2 partisipan lainnya menyatakan bahwa anaknya adalah satus-atunya (anak tunggal). 11 dari 12 partisipan mempunyai pasangan. Afiliasi agama dari partisipan mayoritas,10 parisipan beragama kristen dan 2 orang muslim. Status pekerjaan dari partisipan adalah 6 partisipan bekerja full time, 2 partisipan bekerja part time, 3 orang sebagai ibu rumah tangga dan satu orang bekerja wirausaha bersama suaminya. Dilihat dari bahasa yang digunakan, 4 orang berbahasa Inggris, pengguna bahasa Afrika 5 orang dan penggunan bahasa Ingris dan Afrika 3 orang.
    Hasil analisis kuantitatif dari QSR menunjukkan bahwa tidak semua perasaan orang tua yang bersifat unik dapat terungkap, hanya aspek-aspek yang bersifat umum saja yang dapat diketahui. Oleh karena itu data yang bersifat khas dan unik dari tiap partisipan tiungkap oleh instrumen yang kedua yaitu WC-R, yang berbentuk wawancara terstruktur. Pearasaan orang tua yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut:
    i) Khawatir akan masa depan anaknya yang tunagrahita
    ii) Orang tua merasa kesulitan memahami kemampuan anaknya yang terbatas
    iii) Anak tunagrahita dianggap bukan sebagai masalah dalam keluaraga
    iv) Orang tua sering merasa khwatir tetapi tidak sampai depsresi.
    Setelah menganalisis dua macam angket secara terpisah, maka dilakukan perbandingan analisis antara angket QSR dengan WC-R pada setiap partisipan. Data hasil analisis perbandingan dapat dijelaskan bebagai berikut:
    1) Orang tua (ibu) menganggap bahwa dialah orang yang paling utama dalam mengasuh anaknya yang tunagrahita, setelah anak aga besar perlu mendapat bantuan dari ayahnya
    2) Terdapat perhatian yang kontinues terhadap perkembangan anak tunagrahita dari orang tauanya
    3) Persepsi ibu terhadap masa depan anaknya yang tunagrahita
    4) Perasaan Ibu tentang anaknya yang tunagrahita untuk masuk seekolah reguler atau sekolah khusus
    5) Ada pengaruh finansial dari kehadiran anak tunagrahita terhadap keluarga
    6) Ibu membutuhkan waktu lebih banyak untuk membantu anaknya yang tunagrahita
    7) Pengalaman ibu ketika pertama kali didiagnosa sebagai anak tunagrahita
    8) Tingkat penerimaan ibu terhadap anaknya yang tunagrahita
    9) Dampak dari memiliki anak taunagrahita terhadapa nilai kehidupan dan ada dampak dari keyakinan agama si ibu dalam mempersepsi anak tunagrahita.

    Berikut ini adalah coping strategy yang dilakukan orang tua anak tunagrahita:
    1) Kerlibatan ibu dengan anak tunagrahita memberikan rasa kontrol
    2) Bekerja sama dengan profesional (guru/dokter) untuk memperoleh informasi atau dukungan emosional
    3) Dukungan dari orang tua anak tunagrahita lainnya

    4) Ada kepedulian dari satu orang tua kepada orang tua lainya ketika misalnya ada orang tua yang masuk rumah sakit, maka anaknya yang tunagrahita diurus oleh orang tua lain.
    5) Keterlibatan ayah dalam mengasuh anak tunagrahita menjadi sangat berarti ketika ibu sedang bekerja
    6) Dukungan keluarga besar (extended family) tidak terlalu berarti dalam mengasuh anak tunagrahita
    7) Berpasrah diri pada realitas yang dihadapi bahwa anaknya tunagrahita
    8) Perasaan humor
    9) Sering membicarakan anaknya dengan orang lain

    Kesimpulan
    Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perasaan orang tua dalam hal ibu dari anak tunagrahita dan mengetahui coping strategy yang digunakan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas hidup anak tunagrahita dengan meng-asesmen kebutuhan-kebutuhan dari orang yang mengasuh anak tunagrahita (ibu anak tunagrahita). Kebutuhan seorang ibu anak tunagrahita didefinisikan dalam dua kategori, pertama perasaan seorang ibu yang memiliki anak tunagrahita, kedua strategi yang digunakan agar coping dengan anaknya yang tunagrahita.
    Penelitian ini bersifat eksploratif untuk kepentingan penelitain lebih lanjut dalam rangka memperbaiki kualitas hidup anak tunagrahita pada masa yang akan datang. Untuk dapat melakukan generalisasi dari penelitian ini, diperlukan ukuran sampel yang lebih besar.

    Label:

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google
  • Kembali ke Halaman Depan
  • Kamis, 02 April 2009

    Anak Penyandang Autisme dan Pendidikannya

    Oleh Didi Tarsidi dan Zaenal Alimin

    Pengertian dan Definisi

    Autisme adalah ganguan perkembangan yang berdampak pada kemampuan berkomunikasi, memahami bahasa, bermain, dan berinteraksi dengan orang lain.

    Autisme merupakan sindrom perilaku, yang definisinya didasarkan atas pola perilaku yang ditunjukkan oleh orang ybs.

    Autisme bukan penyakit, tidak menular, tidak didapat melalui kontak dengan lingkungan.
    Autisme merupakan kelainan neurologis yang dibawa sejak lahir dan selalu terdeeteksi sebelum usia tiga tahun.
    Penyebabnya belum diketahui; diperkirakan karena multi-sebab, yang masing-masing termanifestasikan dalam berbagai bentuk autisme.

    Autisme adalah salah satu jenis kelainan yang termasuk Autisme Spectrum Disorder (ASD) yang mencakup:
    1) Pervasive Developmental Disorder - Not Otherwise Specified (PDD NOS), yang ciri-cirinya menyerupai autisme tetapi tidak parah;
    2) Rett's syndrome, kelainan genetik yang hanya menyerang anak perempuan, dengan tanda-tanda neurologis yang berat termasuk seizures, (seperti gila atau kesurupan) yang tampak lebih jelas dengan pertambahan usia;
    3) Asperger syndrome, ciri-cirinya seperti autisme tetapi kemampuan bahasanya relatif baik;
    4) Childhood Disintegrative Disorder: perkembangannya tampak normal untuk beberapa tahun pertama, tetapi keterampilan bicara dan keterampilan lainnya terus mundur hingga akhirnya memiliki karakteristik autisme.

    Kemampuan dan kepribadian penyandang autisme dan ASD sangat bervariasi:
    - retardasi mental berat hingga gifted;
    - mengisolasi diri hingga memiliki afeksi tingkat tinggi dan senang kontak sosial;
    - pasif dan lambat merespon, hingga sangat aktif dan tampak terus berinteraksi dengan aspek lingkungan yang disukainya.

    Deskripsi Perilaku Autis
    - Kesulitan dalam perkembangan komunikasi verbal maupun non-verbal, interaksi sosial, dan kegiatan bermain.
    - menunjukkan gerakan-gerakan tak lazim, repetitif, berkelamaan; - resistensi terhadap perubahan dalam rutinitas dan roman lingkungannya;
    - terlalu peka atau kurang peka terhadap jenis-jenis stimulasi tertentu, menunjukkan tantrum, agresi atau bentuk-bentuk perilaku dramatis lainnya;
    - Pola perkembangan keterampilan yang tidak merata (misalnya superior dalam musik, mekanik, dan berhitung; tetapi bidang-bidang lain terhambat).

    Diagnosis, Evaluasi dan Prevalensi

    Diagnosis dan Evaluasi
    - Alat diagnosis: Diagnostic and Statistical Manual of the American Psychiatric Association, Fourth Edition (DSM IV,1994).
    - Diagnosis dilakukan setelah anak mengembangkan keterampilan bahasa yang kompleks (sekitar usia tiga tahun), oleh dokter spesialis anak, psikolog, psikiatris anak, atau spesialis neurologi.
    - Evaluasi pendidikan dan perkembangannya dilakukan oleh guru PLB dengan melibatkan keluarga, untuk membantu mengembangkan rencana intervensi dini.

    Prevalensi
    - Autisme sebagai satu sindrom pertama kali teridentifikasi pada awal abad k-20.
    - Autisme atau ASD dengan definisi yang luas terjadi pada 1/500 orang.
    - Autisme lebih banyak menyerang anak laki-laki daripada anak perempuan (4:1).
    - Prevalensi autisme tidak mengenal perbedaan ras, budaya, status sosial ataupun ekonomi.

    Pendidikan Anak Autis

    Siswa penyandang autisme lebih banyak persamaanya daripada perbedaanya dengan siswa-siswa lain. Meskipun banyak di antara mereka memberikan tantangan pengajaran yang berat bagi guru, tetapi mereka dapat belajar dengan baik bila pengajarannya menggunakan praktek pengajaran yang tepat, sistematis, dan terindividualisasi.

    Pedoman Umum Pengajaran Siswa Autis:
    - Program pengajaran yang diindividualisasikan (IEP).
    - Lingkungan belajar yang terstruktur, dengan pedoman yang jelas mengenai perilaku apa yang diharapkan dan tidak diharapkan.
    - Kelas dilengkapi dengan alat-alat bantu informasi visual agar anak dapat memahami dan memprediksi alur kegiatan kelas.
    - Kurikulum didasarkan atas karakteristik individual anak, bukan atas dasar label autisme.
    - Fokus pada pengembangan keterampilan yang akan bermanfaat bagi kehidupan anak sehari-hari.
    - Penggunaan sistem visual, bahasa isyarat, atau alat peraga untuk berkomunikasi dengan anak.
    - Keterlibatan orang tua anak serta keluarganya untuk berpartisipasi dalam proses asesmen, perencanaan kurikulum, pengajaran, dan monitoring.
    - Mengidentifikasi kegiatan atau obyek yang dapat memotivasi anak, dan menggunakannya untuk pengajaran atau sebagai reinforcement.
    - Anak berkesempatan memilih kegiatan belajar yang disukainya.
    - Pendekatan behavioristik: trial and error training, prompting, reinforcement.
    - Dalam kelas inklusif, teman-teman sekelasnya harus didorong untuk suportif dan kooperatif.
    - Bagi penyandang autisme dengan perilaku destruktif, gunakan pendekatan positive behavior support:
    mengajarkan perilaku alternatif dan mengubah lingkungan belajar dan aspek-aspek kurikulum yang terkait dengan masalah anak.

    Referensi

    Dunlap, G. & Bunton Pierce, M. (1999). Autisme and Autisme Spectrum Disorder (ASD). The ERIC Clearinghouse on Disabilities and Gifted Education (ERIC EC). Tersedia: http://ericec.org/digests/e583.html

    Dunlap, g. & Fox, L. (1999). Teaching Students with Autisme. The ERIC Clearinghouse on Disabilities and Gifted Education (ERIC EC). Tersedia: http://ericec.org/digests/e582.html

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google
  • Kembali ke Halaman Depan
  • Anak Penyandang Autisme dan Pendidikannya

    Oleh Didi Tarsidi dan Zaenal Alimin

    Pengertian dan Definisi

    Autisme adalah ganguan perkembangan yang berdampak pada kemampuan berkomunikasi, memahami bahasa, bermain, dan berinteraksi dengan orang lain.

    Autisme merupakan sindrom perilaku, yang definisinya didasarkan atas pola perilaku yang ditunjukkan oleh orang ybs.

    Autisme bukan penyakit, tidak menular, tidak didapat melalui kontak dengan lingkungan.
    Autisme merupakan kelainan neurologis yang dibawa sejak lahir dan selalu terdeeteksi sebelum usia tiga tahun.
    Penyebabnya belum diketahui; diperkirakan karena multi-sebab, yang masing-masing termanifestasikan dalam berbagai bentuk autisme.

    Autisme adalah salah satu jenis kelainan yang termasuk Autisme Spectrum Disorder (ASD) yang mencakup:
    1) Pervasive Developmental Disorder - Not Otherwise Specified (PDD NOS), yang ciri-cirinya menyerupai autisme tetapi tidak parah;
    2) Rett's syndrome, kelainan genetik yang hanya menyerang anak perempuan, dengan tanda-tanda neurologis yang berat termasuk seizures, (seperti gila atau kesurupan) yang tampak lebih jelas dengan pertambahan usia;
    3) Asperger syndrome, ciri-cirinya seperti autisme tetapi kemampuan bahasanya relatif baik;
    4) Childhood Disintegrative Disorder: perkembangannya tampak normal untuk beberapa tahun pertama, tetapi keterampilan bicara dan keterampilan lainnya terus mundur hingga akhirnya memiliki karakteristik autisme.

    Kemampuan dan kepribadian penyandang autisme dan ASD sangat bervariasi:
    - retardasi mental berat hingga gifted;
    - mengisolasi diri hingga memiliki afeksi tingkat tinggi dan senang kontak sosial;
    - pasif dan lambat merespon, hingga sangat aktif dan tampak terus berinteraksi dengan aspek lingkungan yang disukainya.

    Deskripsi Perilaku Autis
    - Kesulitan dalam perkembangan komunikasi verbal maupun non-verbal, interaksi sosial, dan kegiatan bermain.
    - menunjukkan gerakan-gerakan tak lazim, repetitif, berkelamaan; - resistensi terhadap perubahan dalam rutinitas dan roman lingkungannya;
    - terlalu peka atau kurang peka terhadap jenis-jenis stimulasi tertentu, menunjukkan tantrum, agresi atau bentuk-bentuk perilaku dramatis lainnya;
    - Pola perkembangan keterampilan yang tidak merata (misalnya superior dalam musik, mekanik, dan berhitung; tetapi bidang-bidang lain terhambat).

    Diagnosis, Evaluasi dan Prevalensi

    Diagnosis dan Evaluasi
    - Alat diagnosis: Diagnostic and Statistical Manual of the American Psychiatric Association, Fourth Edition (DSM IV,1994).
    - Diagnosis dilakukan setelah anak mengembangkan keterampilan bahasa yang kompleks (sekitar usia tiga tahun), oleh dokter spesialis anak, psikolog, psikiatris anak, atau spesialis neurologi.
    - Evaluasi pendidikan dan perkembangannya dilakukan oleh guru PLB dengan melibatkan keluarga, untuk membantu mengembangkan rencana intervensi dini.

    Prevalensi
    - Autisme sebagai satu sindrom pertama kali teridentifikasi pada awal abad k-20.
    - Autisme atau ASD dengan definisi yang luas terjadi pada 1/500 orang.
    - Autisme lebih banyak menyerang anak laki-laki daripada anak perempuan (4:1).
    - Prevalensi autisme tidak mengenal perbedaan ras, budaya, status sosial ataupun ekonomi.

    Pendidikan Anak Autis

    Siswa penyandang autisme lebih banyak persamaanya daripada perbedaanya dengan siswa-siswa lain. Meskipun banyak di antara mereka memberikan tantangan pengajaran yang berat bagi guru, tetapi mereka dapat belajar dengan baik bila pengajarannya menggunakan praktek pengajaran yang tepat, sistematis, dan terindividualisasi.

    Pedoman Umum Pengajaran Siswa Autis:
    - Program pengajaran yang diindividualisasikan (IEP).
    - Lingkungan belajar yang terstruktur, dengan pedoman yang jelas mengenai perilaku apa yang diharapkan dan tidak diharapkan.
    - Kelas dilengkapi dengan alat-alat bantu informasi visual agar anak dapat memahami dan memprediksi alur kegiatan kelas.
    - Kurikulum didasarkan atas karakteristik individual anak, bukan atas dasar label autisme.
    - Fokus pada pengembangan keterampilan yang akan bermanfaat bagi kehidupan anak sehari-hari.
    - Penggunaan sistem visual, bahasa isyarat, atau alat peraga untuk berkomunikasi dengan anak.
    - Keterlibatan orang tua anak serta keluarganya untuk berpartisipasi dalam proses asesmen, perencanaan kurikulum, pengajaran, dan monitoring.
    - Mengidentifikasi kegiatan atau obyek yang dapat memotivasi anak, dan menggunakannya untuk pengajaran atau sebagai reinforcement.
    - Anak berkesempatan memilih kegiatan belajar yang disukainya.
    - Pendekatan behavioristik: trial and error training, prompting, reinforcement.
    - Dalam kelas inklusif, teman-teman sekelasnya harus didorong untuk suportif dan kooperatif.
    - Bagi penyandang autisme dengan perilaku destruktif, gunakan pendekatan positive behavior support:
    mengajarkan perilaku alternatif dan mengubah lingkungan belajar dan aspek-aspek kurikulum yang terkait dengan masalah anak.

    Referensi

    Dunlap, G. & Bunton Pierce, M. (1999). Autisme and Autisme Spectrum Disorder (ASD). The ERIC Clearinghouse on Disabilities and Gifted Education (ERIC EC). Tersedia: http://ericec.org/digests/e583.html

    Dunlap, g. & Fox, L. (1999). Teaching Students with Autisme. The ERIC Clearinghouse on Disabilities and Gifted Education (ERIC EC). Tersedia: http://ericec.org/digests/e582.html

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google
  • Kembali ke Halaman Depan