Buku Tamu



Anda adalah pengunjung ke
View My Stats

Silakan isi
  • Buku Tamu Saya
  • Lihat Buku Tamu




  • Jika anda meninggalkan pesan atau mengajukan pertanyaan yang memerlukan respon,
    respon saya dapat anda baca di
  • Comment




  • Google

    Daftar Isi

  • KESULITAN BELAJAR DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN
  • REORIENTASI PENDIDIKAN KHUSUS/PLB (SPECIAL EDUCATION) KE PENDIDIKAN KEBUTUHAN KHUSUS (SPECIAL NEEDS EDUCATION) USAHA MENCAPAI PENDIDIKAN UNTUK SEMUA
  • Program Master Pendidikan Kebutuhan Khusus SPS
  • MENJANGKAU ANAK-ANAK YANG TERABAIKAN MELALUI PENDEKATAN INKLUSIF DALAM PENDIDIKAN
  • PEMBELAJARAN ANAK BERBAKAT
  • VYGOTSKY IN THE CLASSROOM: MEDIATED LETERACY INTRUCTION AND INTERVENTION
  • SUBJECTIVE PERCEPTIONS OF STRESS & COPING BY MOTHERS OF CHILDREN WITH INTELLECTUAL DISABILITY A NEEDS ASSESSMENT
  • Anak Penyandang Autisme dan Pendidikannya
  • Pendidikan Inklusif Ketika Hanya Ada Sedikit Sumber
  • Orientasi Ulang Pendidikan Tunagrahita dari Pendekatan Formal ke Pendekatan Fungsional
  • Definisi dan Ruang Lingkup Praktek Konseling Rehabilitasi
  • Landasan Filosofis Konseling Rehabilitasi
  • Pertimbangan-pertimbangan dalam Intervensi Konseling Rehabilitasi: Faktor Personal
  • Pertimbangan-pertimbangan dalam Intervensi Konseling Rehabilitasi: Faktor Lingkungan
  • Pertimbangan-pertimbangan dalam Intervensi Konseling Rehabilitasi: Hakikat Kecacatan
  • Bahasa dan Ketunagrahitaan
  • Pernyataan Salamanca
  • HAMBATAN BELAJAR DAN HAMBATAN PERKEMBANGAN PADA ANAK-ANAK TUNAGRAHITA
  • SUBJECTIVE PERCEPTIONS OF STRESS & COPING BY MOTHERS OF CHILDREN WITH INTELLECTUAL DISABILITY A NEED ASSESSMENT
  • HAMBATAN BELAJAR DAN HAMBATAN PERKEMBANGAN PADA ANAK YANG MENGALAMI KEHILANGAN FUNGSI PENDENGARAN
  • MEMAHAMI PERKEMBANGAN,HAMBATAN PERKEMBANGAN DAN HAMBATAN BELAJAR PADA ANAK
  • Orientasi Pendidikan Kebutuhan Khusus
  • PEMAHAMAN KONSEP PENDIDIKAN KEBUTUHAN KHUSUS DAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
  • THE EFFECTS OF PRECISION TEACHING TECHNIQUES AND FUNTIONAL COMMUNICATION TRAINING ON BEHAVIOR PROBLEM FOR 12-YEAR OLD MALE WITH AUTISM
  • Daftar Cek Perkembangan Bahasa Anak Tunagrahita
  • Perkembangan Kognitif Anak Tunagrahita Menurut Teori Piaget
  • Program Master Pendidikan Kebutuhan Khusus
  • Pengajaran Bahasa Bagi Anak Tunagrahita
  • MODEL PEMBELAJARAN ANAK TUNAGRAHITA MELALUI PENDEKATAN KONSELING




  • Kamis, 05 Juli 2007

    Pengajaran Bahasa Bagi Anak Tunagrahita

    I. Pendahuluan

    Public Law 101‑476, the Individuals with Disabilities Education Act (IDEA - undang-undang pendidikan penyandang cacat Amerika Serikat) tahun 1990 mendefinisikan ketunagrahitaan (mental retardation) sebagai berikut: ketunagrahitaan adalah kondisi kemampuan intelektual secara umum di bawah rata-rata, yang disertai dengan defisit dalam perilaku adaptif, dan terjadi dalam masa perkembangan, yang berpengaruh besar terhadap kinerja pendidikan anak (Hawkins‑Shepard, 1994).
    Secara lebih spesifik, the American Association on Mental Retardation (AAMR) (1992) menjelaskan bahwa:
    - Yang dimaksud dengan kemampuan intelektual di bawah rata-rata itu adalah skor IQ 70 hingga 75 atau lebih rendah berdasarkan tes standar inteligensi individual.
    - Defisit perilaku adaptif adalah keterbatasan dalam dua bidang keterampilan adaptif atau lebih, yang mencakup bidang-bidang: komunikasi, merawat diri, mengurus rumah, keterampilan sosial, kehidupan kemasyarakatan, mengarahkan diri (self‑direction), kesehatan dan keselamatan, keterampilan akademik, penggunaan waktu senggang dan kerja. Keterbatasan tersebut mengacu pada keterbatasan keterampilan adaptif yang lebih terkait dengan aplikasi fungsional daripada keadaan-keadaan lain seperti perbedaan budaya atau gangguan sensoris.
    - Usia perkembangan adalah sebelum usia 18 tahun.

    Berdasarkan skor IQ-nya, American Association on Mental Defficiency (AAMD) mengklasifikasikan ketunagrahitaan ke dalam empat tingkatan, yaitu:
    1) Tunagrahita ringan (mild mental retardation) (IQ 68‑52, MA 8,3‑10,9 tahun)
    2) Tunagrahita sedang (moderate mental retardation) (IQ 51‑36, MA 5,7‑8,2 tahun)
    3) Tunagrahita berat (severe mental retardation) (IQ 35‑20, MA 3,2‑5,6 tahun)
    4) Tunagrahita parah (profound mental retardation) (IQ 19 atau lebih rendah, MA 3,1 tahun atau lebih rendah)
    (Ingalls, 1978).

    Jika kita ingin memperoleh gambaran tentang kemampuan seorang anak tunagrahita tertentu, MA anak itu hampir selalu merupakan dasar estimasi yang baik tentang kapabilitasnya. Seorang anak dengan MA lima tahun cenderung berkinerja pada tingkat usia lima tahun anak normal dalam semua bidang kemampuannya.
    Akan tetapi, hasil analisis yang lebih seksama terhadap data hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat terlalu banyak perbedaan antara anak tunagrahita dan nontunagrahita dengan tingkat MA yang sama, sehingga kita tidak dapat sepenuhnya menerima teori perkembangan tersebut. Berikut ini adalah beberapa generalisasi yang dapat dibuat tentang kinerja anak tunagrahita dibanding anak normal dengan MA yang setara (Engalls, 1978):

    1) Anak tunagrahita ketinggalan oleh anak nontunagrahita dalam perkembangan bahasanya, meskipun cara perolehannya sama.
    2) Anak tunagrahita menunjukkan defisiensi tertentu dalam penggunaan konstruksi gramatik tertentu dalam berbahasa.
    3) Anak tunagrahita cenderung kurang menggunakan komunikasi verbal, strategi penghafalan, serta proses-proses kontrol lainnya yang memudahkan belajar dan mengingat.
    4) Anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam tugas-tugas belajar dan hafalan yang melibatkan konsep-konsep abstrak dan kompleks, tetapi relatif kurang mengalami kesulitan dalam belajar asosiasi hafalan sederhana.

    Makalah ini akan secara spesifik mengkaji kesulitan bahasa anak tunagrahita dan membahas beberapa pendekatan pengajarannya agar mereka dapat mengoptimalkan kemampuan dan keterampilan bahasanya.


    II. Bahasa dan Ketunagrahitaan

    Bahasa dan inteligensi begitu berkaitan sehingga ada ahli yang mendefinisikan ketunagrahitaan berdasarkan defisit bahasanya. Diasumsikan secara meluas bahwa bahasa diperlukan untuk sebagian besar proses berpikir tingkat tinggi, dan oleh karenanya sebagian besar item dalam kebanyakan tes inteligensi melibatkan stimulus verbal, respon verbal, atau keduanya. Defisit dalam keterampilan bahasa mungkin merupakan karakteristik yang paling menonjol yang membedakan antara orang tunagrahita dan non-tunagrahita (Ingalls, 1978).

    Bahasa adalah satu sistem kaidah-kaidah yang berfungsi untuk menerjemahkan pikiran ke dalam rangkaian gelombang bunyi untuk mengkomunikasikan gagasan, informasi, perasaan dan keinginan manusia, yang terbentuk atas dasar kesepakatan-kesepakatan masyarakat penggunanya. Definisi ini mengandung arti bahwa bahasa itu terdiri dari dua komponen utama, yaitu sistem kaidah-kaidah linguistik yang mendasari kompetensi bahasa (language competence), dan ujaran (speech) atau kinerja bahasa (language performance). Kompetensi bahasa seseorang dapat tercermin pada kinerja bahasanya, tetapi kedua komponen kemampuan berbahasa ini tidak selalu berkembang sejalan.
    Salah satu karakteristik yang terpenting dari bahasa adalah keterbukaannya terhadap generativitas. Ini berarti bahwa pikiran manusia dapat diungkapkan dalam kalimat-kalimat yang tak terbatas jumlahnya dengan berbagai pola, sehingga kita tidak akan pernah mendengar pengulangan kalimat yang sama dalam pembicaraan (kecuali untuk frase-frase ritualistik). Implikasinya adalah bahwa anak tidak akan dapat belajar bahasa sekedar dengan meniru kalimat-kalimat yang diucapkan orang dewasa. Dengan kata lain, anak belajar kaidah-kaidah abstrak untuk mengkonstruksikan kalimat bukannya mempelajari kalimat itu sendiri. Karakteristik inilah yang membedakan bahasa manusia dengan komunikasi hewan, sehingga anak tidak dapat belajar bahasa dengan prinsip asosiasi - mengasosiasikan ujaran tertentu dengan peristiwa tertentu seperti anjing Pavlov yang belajar mengasosiasikan antara bunyi bel dengan kedatangan makanan. Pada awal proses belajar bahasa, mungkin inilah yang dilakukan anak, tetapi dengan cepat dia mulai mengucapkan kalimat-kalimat yang belum pernah didengarnya sebelumnya. Bahasa manusia itu lebih dari sekedar katalog bunyi-bunyi yang diasosiasikan dengan makna-makna.
    Komponen bahasa yang memungkinkan terjadinya keterbukaan ini adalah sintaksis (yang sering disebut tata bahasa), yaitu sistem kaidah-kaidah yang mengatur cara penggabungan kata-kata untuk membuat kalimat.

    Banyak anak tunagrahita mengalami gangguan ujaran (speech disorder) dan/atau gangguan bahasa (language disorder).

    2.1. Gangguan Ujaran

    Gangguan ujaran adalah kesulitan dalam berbicara, tetapi belum tentu berarti anak lemah dalam pengetahuannya tentang bahasa.

    Gangguan ujaran itu pada umumnya berupa masalah dalam artikulasi. Ini mencakup substitusi (satu bunyi diganti dengan bunyi lain), dan omisi (menghilangkan bunyi sama sekali - misalnya "saya" menjadi "aya"). Jenis ganguan lainnya mencakup keadaan gagap dan suara parau atau berkelainan dalam volume dan warna suaranya.

    Terdapat banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa gangguan ujaran itu jauh lebih tinggi prevalensinya di kalangan tunagrahita daripada di kalangan populasi umum. Misalnya, survey yang dilakukan oleh Mariyn, Sheehan, dan Slutz (1969, dalam Ingalls, 1978) terhadap 346 pasien tunagrahita di Camarillo State Hospital di California menyimpulkan data sebagai berikut:
    1) Hanya sekitar 20% dari populasi tunagrahita tersebut yang memiliki ujaran normal, yang lainnya mengalami jenis gangguan ujaran tertentu.
    2) Semakin rendah IQ, semakin tinggi insiden gangguan ujaran itu. Di kalangan tunagrahita ringan, hampir 60% berujaran normal, sedangkan kurang dari 2% tunagrahita parah (profound) yang berujaran normal. Lebih dari sepertiga tunagrahita parah bahkan tidak memiliki ujaran sama sekali.
    3) Gangguan ujaran yang paling umum di kalangan tunagrahita adalah gangguan artikulasi.

    Keane (1972) mengkaji sejumlah besar hasil penelitian tentang gangguan ujaran pada anak tunagrahita dan menarik kesimpulan berikut:
    1) Prevalensi gangguan komunikasi lebih tinggi di kalangan tunagrahita secara kolektif daripada di kalangan non-tunagrahita.
    2) Gangguan ujaran dan gangguan bahasa tampaknya lebih tinggi prevalensinya di kalangan tunagrahita yang tinggal di panti daripada yang di non-panti.
    3) Prevalensi gangguan yang lebih tinggi terjadi di kalangan mereka yang skala IQ-nya lebih rendah.
    4) Tidak terdapat konfigurasi atau pola yang unik dalam gangguan ujaran dan bahasa di kalangan tunagrahita secara kolektif ataupun di kalangan suatu subkategori sindrom tertentu yang termasuk kategori tunagrahita. Jenis masalah ujarannya pada umumnya sama dengan yang ditemukan pada populasi normal, tetapi kejadiannya lebih sering.
    5) Gangguan artikulasi adalah yang paling tinggi prevalensinya, dan gangguan suara pada urutan kedua.
    6) Keadaan gagap lebih tinggi prevalensinya di kalangan penyandang Down's syndrome.

    Terdapat sekurang-kurangnya dua alasan mengapa gangguan ujaran lebih tinggi prevalensinya di kalangan tunagrahita. Pertama, gangguan ujaran pada umumnya lebih sering terjadi pada anak hingga usia empat atau lima tahun dan banyak di antara mereka yang mengalami gangguan ini hingga usia tujuh atau delapan tahun dan sembuh dengan sendirinya (Ingalls, 1978. Karena anak tunagrahita mempunyai umur mental yang lebih rendah, maka wajar bila diasumsikan bahwa dalam banyak hal mereka akan berperilaku seperti anak normal dengan umur mental yang sama. Oleh karena itu, adanya gangguan ujaran merupakan salah satu ciri umur mental yang rendah. Kedua, berbagai gangguan dan anomali organ bicara lebih sering terjadi di kalangan anak tunagrahita (Ingalls, 1978). Misalnya, sumbing pada langit-langit mulut lebih tinggi prevalensinya di kalangan anak tunagrahita daripada populasi umum. Salah satu fitur yang membedakan anak Down's syndrome adalah lidah yang besar, yang akan mengganggu artikulasi.


    2.2. Gangguan Bahasa

    Contoh gangguan bahasa adalah ketidakmampuan menggunakan atau memahami sintaksis yang kompleks, atau terbatasnya kosakata, atau ketidakmampuan menggunakan bahasa secara benar. Orang tunagrahita mengalami banyak kesulitan bahasa, dan sejauh tertentu keadaan ini dapat dikaitkan dengan rendahnya umur mentalnya. Tes kemampuan bahasa yang paling banyak dipergunakan adalah Illinois Test of Psycholinguistic Abilities (ITPA), yang terdiri dari beberapa subtes untuk mengukur berbagai komponen bahasa (lihat Bab III untuk rincian lebih lanjut).

    Berbagai penelitian tentang bahasa anak tunagrahita menghasilkan kesimpulan berikut:
    1) Anak tunagrahita memperoleh keterampilan bahasa dengan cara yang pada dasarnya sama dengan anak normal.
    2) Kecepatan mereka memperoleh keterampilan bahasa lebih rendah daripada anak normal. Akibatnya, bila anak tunagrahita dibandingkan dengan anak normal pada umur kalender yang sama, anak tunagrahita menunjukkan defisit yang jelas.
    3) Karena perolehan bahasa berhenti sekitar masa pubertas, banyak individu tunagrahita sedang (moderate) dan sebagian besar individu tunagrahita berat (severe) dan parah (profound) tidak lengkap dalam perkembangan keterampilan bahasanya.
    4) Secara rata-rata, anak tunagrahita terlambat dalam perkembangan bahasanya meskipun dibandingkan dengan anak non-tunagrahita pada umur mental yang sama.
    5) Kesulitan utama anak tunagrahita dalam memperoleh bahasa adalah yang terkait dengan kaidah-kaidah tata bahasa yang kompleks seperti kaidah-kaidah infleksi.
    6) Bahasa anak tunagrahita lebih konkret daripada bahasa anak non-tunagrahita.
    7) Varian dalam keterampilan bahasa lebih besar di kalangan populasi tunagrahita daripada populasi normal. Pada tingkat perkembangan tertentu, kisaran kemampuan verbalnya dapat relatif luas.


    III. Pendekatan‑pendekatan dalam Pengajaran Bahasa kepada Anak Tunagrahita

    Sellin (1979) mengemukakan empat pendekatan dalam pengajaran bahasa kepada anak tunagrahita, yaitu pendekatan sosiolinguistik, pendekatan psikolinguistik, pendekatan behaviorisme, dan pendekatan etologi.

    3.1. Pendekatan Sosiolinguistik

    Penggunaan pendekatan sosiolinguistik dalam pengajaran bahasa bagi siswa tunagrahita dikembangkan oleh Adler (1971), dan dimaksudkan untuk menjembatani diskrepansi antara bahasa baku yang dipergunakan guru dengan bahasa non‑baku yang sering dijumpai pada siswa tunagrahita. Sosiolinguis memandang fungsi bahasa terutama sebagai alat komunikasi sosial, yaitu pertukaran makna antaranggota sebuah masyarakat budaya. Penggunaan bahasa non‑baku seyogyanya dapat diterima selama hal itu sama efektifnya dalam menyampaikan maksud pembicara. Oleh karena itu, pengajaran bahasa seyogyanya lebih ditekankan pada pembinaan keterampilan berbahasa sebagai alat komunikasi sosial, tidak pada ketepatan pelafalan atau aksen tertentu ‑ sehingga guru seyogyanya bertoleransi terhadap omisi dan substitusi dalam ujaran.
    Bahasa anak seyogyanya diases menurut empat elemennya: (1) fonologi (bunyi, lafal); (2) semantik (makna, definisi); (3) sintaksis (susunan kata); dan (4) morfologi (tata bentuk kata yang terkait dengan struktur kalimat seperti pembentukan kata jadian). Keempat elemen tersebut saling terkait dan sulit untuk dipisah‑pisahkan, tetapi penekanan terhadap satu elemen tertentu dapat dilakukan. Pendekatan sosiolinguistik lebih menekankan elemen simantik, dan guru diharapkan lebih memprioritaskan kejelasan ekspresi kognitif siswa.
    Ini berarti bahwa guru seyogyanya memprioritaskan pembentukan perilaku bahasa siswanya yang dapat difahami dengan baik oleh lawan bicaranya, daripada memprioritaskan ketepatan lafal atau struktur kalimatnya. Misalnya, siswa dapat ditoleransi untuk mengatakan "ujan", "nggak", "udah", dsb.

    3.2. Pendekatan Behaviorisme

    Para penganut faham behaviorisme memandang bahasa sebagai perilaku, yang dapat diperoleh melalui prosedur operant (Lynch & Brecker, 1972; Perozzi, 1972: Jeffery, 1973; Miller & Yoder, 1973; dalam Sellin (1979).
    Lynch dan Brecker menggambarkan perolehan keterampilan berbahasa sebagai satu proses pengaruh lingkungan. Perolehan bahasa merupakan rangkaian linear dari bentuk yang primitif menuju bentuk yang semakin kompleks, yang didasarkan atas peristiwa-peristiwa pemicu (antecedent events). Peristiwa-peristiwa tersebut membentuk perkiraan-perkiraan baru (successive approximations) tentang keterampilan-keterampilan yang lebih kompleks yang diperlukan untuk memperoleh reinforcement yang lebih kompleks pula. Lynch dan Brecker juga berpendapat bahwa kesiapan atau kematangan turut mempengaruhi proses perolehan bahasa. Perkembangan artikulasi, penggunaan kalimat negatif, penggunaan berbagai bentuk kata kerja, dan penggunaan kata-kata tanya muncul sesuai dengan urutan tertentu dalam masa perkembangan anak. Mereka mengemukakan bahwa hal tersebut berlaku pula bagi anak tunagrahita.

    Perozzi sependapat bahwa bahasa mengandung aspek behavioristik dan aspek kematangan. Aspek kematangan memberikan indikator tentang kesiapan anak untuk belajar sesuatu yang lebih kompleks, dan aspek behavioristik memberikan kesadaran tentang perilaku bahasa tertentu yang harus dibentuk, dikondisikan, dan/atau diperoleh. Indikator kematangan tersebut mencakup: adanya tanda-tanda bahwa kesempatan untuk berbicara sudah muncul, adanya tanda-tanda munculnya perilaku tertentu secara teratur, dan munculnya tanda-tanda tentang adanya kesempatan untuk berlatih bila terdapat kondisi penguatnya.

    Spadlin (1963, dalam Sellin, 1979) mencoba menerjemahkan konsep-konsep Skinner ke dalam prosedur asesmen perilaku bahasa. Dia mengemukakan empat perilaku utama, yaitu: echoic (mengulang kata atau kata-kata yang didengar - pada intinya perilaku meniru); mark (belajar meminta suatu benda atau bantuan); intraverbal (merespon terhadap pertanyaan-pertanyaan mengenai perasaan atau kesukaan); dan tact (menyebut nama benda atau menggambarkan fungsi benda).

    Jeffery mengemukakan bahwa pengkondisian seorang anak tunagrahita berat untuk meningkatkan respon intraverbal dapat dilakukan melalui reinforcement sosial yang positif.

    Miller dan Yoder menganjurkan bahwa isi latihan bahasa untuk anak tunagrahita dan pembentukan perilakunya harus mengikuti urutan yang sama dengan anak normal. Pembentukan ekspresi verbal, misalnya, harus mengikuti urutan sebagai berikut:
    1) Istilah-istilah relasional (ya, tidak, sudah, belum, dsb.);
    2) Kata-kata tunggal;
    3) Frasa predikat-obyek (buka pintu, baca buku);
    4) Frasa subyek-obyek (Ibu guru, Ayah dokter);
    5) Frasa subyek-predikat (guru membaca, Budi duduk); dan
    6) Kalimat subyek-predikat-obyek (Ayah membaca buku).

    Miller dan Yoder menganjurkan empat prinsip pengajaran bahasa:
    1) Guru menciptakan alasan, motif, atau kebutuhan anak untuk berkomunikasi;
    2) Anak memahami makna kata sebelum melafalkannya;
    3) Hadapkan anak dengan pengalaman langsung; dan
    4) Gunakan reinforcement, peniruan, dan modeling.

    3.3. Pendekatan Psikolinguistik

    Dengan menekankan pentingnya kesiapan/kematangan, pengaruh lingkungan, dan intervensi guru, pendekatan psikolinguistik ini memiliki kesamaan dengan prinsip sosiolinguistik dan prosedur operant, tetapi terdapat perbedaan dalam asumsi tentang hakikat bahasa, asesmennya, dan metode pelatihannya.
    Pembahasan mengenai pendekatan psikolinguistik tidak dapat dipisahkan dari pembahasan tentang Illinois Test of Psycholinguistic Abilities (ITPA), yang dikembangkan oleh Kirk dan McCarthy (1961). ITPA dimaksudkan untuk menciptakan instrumen yang dapat membedakan berbagai tingkat kemampuan dalam kinerja bahasa (language performance), sehingga dapat menampilkan profil tentang bidang-bidang kekuatan siswa dan peningkatan hasil belajarnya dalam bidang-bidang itu, sehingga prosedur pelatihan yang spesifik dapat diimplementasikan terhadap bidang-bidang yang masih bermasalah. Para ahli sepakat dengan maksud tersebut, tetapi sejumlah ahli masih mempertanyakan validitas instrumen pengukuran dan prosedur treatment-nya (Sellin, 1979).

    ITPA terdiri dari beberapa subtes yang didesain untuk mengukur tiga fungsi utama penggunaan bahasa, yaitu:
    1) saluran bahasa (auditori, visual, vokal);
    2) proses (decoding/reseptif, encoding/ekspresif, asosiatif/informatif); dan
    3) tingkat keberfungsian (bermakna dan konvensional serta representasional versus tingkat otomatis - sekuensial yang mencakup hafalan otomatis data tak bermakna).

    Bateman dan Wetherell (1965) menyimpulkan bahwa karakteristik siswa tunagrahita yang terungkap oleh ITPA adalah:
    - Relatif lebih baik dalam tingkat kemampuan representasional daripada tingkat kemampuan otomatis/sekuensial;
    - Lebih baik dalam saluran visual-motor daripada auditori-vokal;
    - Tidak ada perbedaan antara populasi daerah perkotaan dan pedesaan;
    - Dapat dipergunakan untuk populasi MA tiga hingga sembilan tahun.

    Pengajaran bahasa berdasarkan ITPA, yang terkait dengan saluran, tingkat keberfungsian dan/atau proses bahasa, telah dikaji oleh Hammill dan Larson (1974), Minskoff (1975) dan Newcomer, Larson, dan Hammill (1975).
    Hammill dan Larson mengkaji BERBAGAI literatur mengenai pelatihan bahasa dengan ITPA, yang mencakup 15 hasil studi terhadap populasi tunagrahita dan 18 studi terhadap populasi kurang mampu. Mereka menyimpulkan bahwa ke-33 studi tersebut gagal menunjukkan peningkatan pada kelompok eksperimental. Hal tersebut diakibatkan oleh karena treatment yang kurang spesifik, rendahnya reliabilitas skor ITPA, yang berarti bahwa error dalam pengukuran mencegah terungkapnya kemajuan yang diperoleh, dan tidak aplikatifnya psikolinguistik.
    Minskoff menyarankan agar pengajaran bahasa berdasarkan ITPA tetap dipertahankan, dengan memperbaiki bagian-bagian tertentu dalam pedoman penggunaannya, yang mencakup:
    - Tujuan remediasi harus sesuai dengan gejala perilaku siswa, sesuai dengan tingkat kematangannya, dan diarahkan pada kecacatannya;
    - Materi pengajaran harus terurut, disesuaikan dengan tingkat kecepatan belajar siswa, dipergunakan oleh guru yang dipersiapkan khusus untuk itu, dan dapat direstrukturisasi jika penguasaan siswa tidak segera tampak;
    - Harus tersedia cukup waktu untuk pelatihan/pengajaran, mendeskripsikan preskripsi dan prosedur, dan tersedia layanan bagi siswa sesudah program remediasi selesai;
    - Harus terdapat kecocokan antara prosedur tes dan pelatihan.

    Akan tetapi, Newcomer et al. (1975) tidak sependapat dengan Minskoff yang memberikan dukungan terhadap pelatihan bahasa berdasarkan ITPA itu. Mereka menyimpulkan bahwa ITPA gagal menunjukkan peningkatan kemampuan berbahasa. Mereka menyarankan agar guru tetap bersikap skeptis terhadap ITPA.
    Oleh karena itu, Sellin (1979) menyimpulkan bahwa untuk saat ini keberhasilan pengajaran bahasa bagi siswa tunagrahita yang didasarkan pada ITPA masih merupakan janji yang memerlukan penelitian dan pengembangan lebih lanjut.

    3.4. Pendekatan Etologi (Ethological Approach)

    Mahoney (1975) dan Sailor, Guess, dan Baer (1973), dll., mengusulkan pendekatgan etologi untuk penelitian dan treatment bagi gangguan bahasa. Pada dasarnya, pendekatan ini menggabungkan ketiga pendekatan di atas, karena perolehan bahasa dipandang sebagai produk interaksi.
    Pendekatan etologi memandang perolehan keterampilan komunikasi sebagai sinkronisasi antara dua sistem, yaitu sistem individu anak itu sendiri, dan sistem individu dewasa yang mengasuhnya.

    Kajian yang dilakukan oleh Buralnick (1972) dan Snyder, Loviit, dan Smith (1975) memberikan optimisme sehubungan dengan pengajaran bahasa bagi anak tunagrahita berat dan mendukung pendekatan etologi. Prosedur pelatihan untuk kelompok anak ini menekankan pembentukan respon sebelum produksi bahasa, penggunaan penguat (reinforcer), dan upaya transfer keterampilan. Menurut Mahoney, yang efektif untuk merangsang timbulnya respon dari seseorang adalah peristiwa-peristiwa yang berpengaruh terhadap perilaku orang tersebut. Oleh karena itu, guru dituntut untuk mempelajari terlebih dahulu untuk mempelajari pengalaman yang mengesankan bagi anak sebelum mulai mengajar. Keuntungan dari pandangan ini adalah bahwa orang dewasa turut dituntut untuk belajar berkomunikasi dengan anak, sehingga tanggung jawab untuk belajar itu tidak dibebankan semata-mata pada diri anak. Pada umumnya, penelitian berfokus pada kegagalan anak tunagrahita, ketidakmampuannya untuk belajar, dan/atau inefisiensi programnya (Sellin, 1979). Etologi berupaya membalik pola tersebut, dan menekankan bahwa orang dewasa bertanggung jawab untuk merancang program yang efektif.


    Program yang didesain oleh Sailor et al. mengilustrasikan struktur dan isi pelatihan bahasa yang menggunakan pendekatan etologi. Struktur program tersebut difokuskan pada empat elemen: reference, control, self‑extended control, dan integration. Referensi adalah upaya menciptakan peristiwa yang menuntut respon dari anak, seperti reaksi terhadap arahan, suruhan, isyarat, dsb. Kontrol adalah tuntutan belajar perilaku tertentu yang terkandung di dalam bentuk-bentuk bahasa yang diajarkan. Self‑extended control adalah tuntutan agar anak belajar keterampilan self‑management. Secara spesifik, anak harus belajar mencari sendiri informasi bila dihadapkan dengan kurangnya informasi ‑ apa, di mana, bagaimana, dsb. Integrasi adalah penggabungan ketiga kegiatan tersebut.
    Isi program ini mencakup urutan enam fase, yaitu: (1) orang dan benda, (2) tindakan terhadap orang dan benda, (3) barang-barang milik sendiri, (4) warna, (5) ukuran besar, dan (6) hubungan kekerabatan. Keempat elemen struktur di atas harus diterapkan pada masing-masing fase tersebut.
    Format dasar pembelajarannya adalah:
    1) Keterampilan reseptif sebelum keterampilan ekspresif;
    2) Peristiwa merangsang timbulnya respon; dan
    3) Respon harus berupa akibat yang positif.


    IV. Kesimpulan dan Implikasi

    Berbagai hasil penelitian tentang bahasa anak tunagrahita menunjukkan bahwa mereka memperoleh keterampilan bahasa dengan cara yang pada dasarnya sama dengan anak normal tetapi dengan kecepatan yang lebih rendah meskipun dibandingkan dengan anak normal pada umur mental yang sama. Kesulitan utama anak tunagrahita dalam memperoleh bahasa adalah yang terkait dengan kaidah-kaidah tata bahasa yang kompleks dan konsep-konsep yang abstrak. Di samping itu, prevalensi gangguan ujaran di kalangan populasi tunagrahita cukup menonjol. Tingkat kesulitan dan gangguan tersebut konsisten dengan tingkat kemampuan intelektualnya - semakin rendah IQ, semakin tinggi tingkat kesulitan dan gangguan yang mereka hadapi. Berbagai hasil penelitian juga menunjukkan bahwa dengan pendekatan yang tepat, anak tunagrahita dapat dibantu untuk mengoptimalkan kapasitas belajarnya.

    Pengajaran bahasa kepada anak tunagrahita dapat menggunakan pendekatan sosiolinguistik (bahasa sebagai alat komunikasi antara individu dengan lingkungan sosialnya), pendekatan psikolinguistik (individu sebagai "learning system"), dan pendekatan behaviorisme (individu sebagai mesin peniru yang distimulasi oleh reinforcement), atau pendekatan etologi, yang menggabungkan ketiga pendekatan tersebut, dengan menekankan tanggung jawab guru atau orang dewasa untuk menciptakan lingkungan komunikasi yang bermakna bagi anak.

    Dalam memilih dan menyajikan materi pengajaran, guru seyogyanya memperhatikan perkembangan kognitif anak tunagrahita. Penelitian Inhelder (1943, dalam Ingalls, 1978) menemukan bahwa anak tunagrahita ringan tidak dapat berkembang melampaui tahap perkembangan operasional konkret, dan bahwa anak tunagrahita sedang tidak dapat berkembang melampaui tahap perkembangan praoperasional.
    Karakteristik perkembangan kognitif pada masa praoperasional menurut Piaget antara lain adalah sebagai berikut:
    - Belum dapat berpikir logis;
    - Persepsi terbatas/harafiah;
    - Sentris: anak hanya dapat memfokuskan perhatiannya pada satu dimensi stimulus saja pada satu saat;
    - Egosentrik: anak tidak dapat menerima pendapat orang lain.;
    - Tidak dapat memahami konsep himpunan atau klasifikasi.
    Karakteristik perkembangan kognitif masa operasional konkret mencakup:
    - Mulai berpikir logis;
    - Pemikiran terbatas pada benda-benda konkret;
    - Tidak dapat memikirkan berbagai kemungkinan cara pemecahan masalah secara sistematis.

    Akan tetapi, asesmen perlu dilakukan sebelum kita memastikan bahwa anak memiliki karakteristik tersebut.


    Referensi

    American Association on Mental Retardation (1992). Mental retardation: Definition, classification and systems of supports (9th ed.). Annapolis, MD: Author.

    Hawkins‑Shepard, C. (1994). Mental Retardation. ERIC EC Digest #528, The ERIC Clearinghouse on Disabilities and Gifted Education (ERIC EC), The Council for Exceptional Children. Available: http://ericec.org/digests/e528.html

    Ingalls, Robert P. (1978). Mental Retardation: The Changing
    Outlook. New York: John Wiley & Sons, Inc.

    Sellin, Donald F. (1979). Mental Retardation: Nature, Needs and
    Advocacy. Boston: ALLYN AND BACON, INC.

    Label: ,

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google
  • Kembali ke Halaman Depan
  • Rabu, 04 Juli 2007

    MODEL PEMBELAJARAN ANAK TUNAGRAHITA MELALUI PENDEKATAN KONSELING   

    ( Penelitian Tindakan Kolaboratif Dalam Upaya Pengembangan Anak Tunagrahita Mencapai Perkembangan Optimum di SPLB YPLB Bandung )
    RINGKASAN DISERTASI
    D iajukan Untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat
    Memperoleh Gelar Doktor Ilmu Pendidikan
    Bidang Studi Bimbingan Konseling
    Promovendus
    Zaenal Alimin
    NIM. 989810
    PROGRAM STUDI BIMBINGAN KONSELING
    SEKOLAH PASCA SARJANA
    UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
    2006
    DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH TIM PEMBIMBING
    UNTUK MENGIKUTI UJIAN TAHAP II
    PROMOTOR
    Prof.Dr.H.Rochman Natawidjaja
    KO-PROMOTOR
    Prof.Dr.H.M.Djawad Dahlan
    ANGGOTA
    Juang Sunanto, MA. Ph.D
    A. Latar Belakang Masalah
    Pendidikan bagi anak tunagrahita bertujuan mengembangkan potensi yang masih dimiliki secara optimal, agar mereka dapat hidup mandiri dan dapat menyesuaikandiri dengan lingkungan di mana mereka berada.
    Hasil observasi lapangan menunjukkan bahwa anak-anak tunagrahita yang telah dan sedang mengikuti pendidikan di sekolah luar biasa, pada umumnya belum menunjukkanperkembangan yang diharapkan. Sebagai contoh, anak yang telah mengikuti program pendidikan selama 12 tahun dan kembali kepada orang tuanya, ternyata masihbelum bisa mandiri, masih mengalami kesulitan dalam memelihara diri (self care), belum mempunyai keterampilan untuk melakukan pekerjaan sehari-hari untukkepentingan dirinya dan ketergantungan kepada orang lain masih cukup tinggi. Maka dari itu ada kesan bahwa pendidikan yang telah diikuti sekian lama itusepertinya tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan anak.
    Keadaan seperti itu, bukan semata-mata karena keterbelakangan mental yang dialami siswa, akan tetapi juga karena terdapat kesenjangan antara program pendidikandi sekolah luar biasa dengan harapan orang tua dan harapan lingkungan. Masyarakat dan orang tua mengharapkan agar anak tunagrahita memiliki keterampilanyang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, sesuai dengan potensi yang dimiliki. Sementara kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa program pendidikananak tunagrahita yang terjadi saat ini masih sangat menekankan kepada aspek pengajaran yang bersifat akademik (semata-mata menyampaikan bahan ajar), itupun dalam pelaksanaannya masih bersifat klasikal dan belum memperhitungkan perbedaan hambatan belajar anak secara individual. Padahal esensi dari pendidikananak tunagrahita ialah bahwa pendidikan lebih bersifat individual karena perbedaan-perbedaan individu pada anak tunagrahita sangat mencolok (Suhaeri HN& Edi Purwanto, 1996). Sehubungan dengan itu pengetahuan dan keterampilan para guru dalam pembelajaran anak tunagrahita perlu terus ditingkatkan.
    Jika melihat pendidikan tunagrahita di Amerika, seperti yang dilaporkan oleh Lewis, Bruininks, Thurlow dan McGrew (1988), yang meneliti dampak pendidikanyang diikuti anak tunagrahita terhadap kehidupan mereka setelah selesai mengikuti program pendidikan di Minnesota, menunjukkan bahwa 54% tunagrahita dapathidup mandiri. Indikator kemandirian yang digunakan dalam penelitian Lewis ini adalah pekerjaan dan penghasilan. Rata-rata penghasilan yang dicapai olehtunagrahita dari pekerjaan itu sebesar 5,319 US dolar/ th.
    Selanjutnya Bruinks (1988) meneliti tentang penyesuaian diri individu tunagrahita ke dalam masyarakat dilihat dari kompetensi personal, kompetensi emosional,dan kompetensi fisik. Hasil penelitian Bruink menunjukkan bahwa anak tunagrahita yang memperoleh pendidikan yang tepat dapar hidup mandiri dan dapat menyesuaikandiri dalam kehidupan masyarakat sejalan dengan tingkat perkembangannya.
    Secara internal anak tunagrahita dalam kehidupannya memiliki hambatan dalam perkembangan kognitif (jauh di bawah rata-rata anak pada umunya) dan hambatandalam perilaku adaptif. Akibat dari kondisi seperti itu, anak tunagrahita mengalami kesulitan belajar secara akademik (bahasa dan aritmatika/matematika)dan kesulitan dalam hubungan interpesonal, kesulitan dalam mengurus diri, kesulitan dalam menilai sitauasi ketergantungan kepada orang lain, konflik,dan frustasi, belum mendapat perhatian yang memadai. Sebagian dari masalah-masalah itu merupakan bidang garapan bimbingan konseling, yang secara faktualbelum dilakukan secara sistematik, terencana dan berkesinambungan.
    Kelemahan yang terjadi dalam pendidikan anak tunagrahita selama ini diduga sangat erat kaitannya dengan belum tepatnya layanan pendidikan yang dilakukan,yaitu hanya menekankan pada penyampaian bahan ajar. (semata-mata mengejar target kurikulum), dan belum memperhatikan perbedaan dan karakteristik perkembangananak. Dugaan ini didukung data hasil penelitian Astati, (1999) yang menjelaskan bahwa dari 44 orang lulusan dalam 5 tahun terakhir dari SPLB-C Bandunghanya 10 orang yang dapat hidup mandiri, selebihnya masih sangat tergantung kepada orang lain.
    Di samping masalah tersebut, terdapat masalah lain yang tidak kalah pentingnya bahwa selama ini di dalam pendidikan tunagrahita belum ada acuan yang dapatdigunakan untuk melihat apakah pendidikan tunagrahita itu berhasil atau belum. Indikator-indikator apa saja yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilanpendidikan tunagrahita? Sehubungan dengan itu perlu dirumuskan indikator perkembangan yang seyogianya dicapai oleh tunagrahita setelah menyeselaikanprogram pendidikan pada jenjang tertentu. Indikator-indikator itu dapat digunakan untuk menilai keberhasilan pendidikan tunagrahita, sekaligus dapat digunakansebagai acuan dalam menyusun kurikulum dan acuan pelaksanaan proses pembelajaran.
    Sehubungan dengan kompleksnya masalah yang dialami oleh anak tunagrahita, program pendidikan bagi mereka perlu didukung oleh program bimbingan konselingyang sistematis dan sesuai dengan perkembangan anak, agar anak tunagrahita dapat berkembang secara optimal dan hidup secara wajar dalam lingkungan masyarakat.Program bimbingan konseling bagi anak tunagrahita seharusnya lebih diarahkan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki anak secara optimal, dan mengembangkan kemampuan kemadirian yang sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.
    Bagi anak tunagrahita, sekurang-kurangnya diperlukan dua bidang kemandirian yang harus dimiliki yaitu: (1) keterampilan dasar dalam hal membaca, menulis,komunikasi lisan, dan berhitung, (2) keterampilan perilaku adaptif yaitu keterampilan mengurus diri dalam kehidupan sehari-hari (personal living skills),dan keterampilan menyesuaikan diri dengan lingkungan (social living skills).
    Untuk membantu mengembangkan potensi dan mengurangi hambatan yang dialami oleh anak tunagrahita, dalam program pendidikannya diperlukan upaya yang komprehensif dan sistematis yaitu salah satunya dengan mengintegrasikan konseling ke dalam pembelajaran. Gagasan pengintegrasian konseling ke dalam pembelajaran, sejalandengan pendapat para penganut pendektan konseling perkembangan, yang menjelaskan bahwa lingkungan belajar merupakan wahana pengembangan diri. Dapat ditafsirkanbahwa konseling menjadi bagian takterpisahkan dari proses pembelajran. (Sunaryo Kartadinata, 1996; Sandra A. Rigazio-Digillo, Oscar F. Goncalvas, AllenE Ivey dalam David Capuzzi, 1996).
    Gagasan tentang pengintegrasian konseling ke dalam pembelajaran, sejalan dengan upaya yang dikembangkan oleh ASCA (American School Counseling Association),yang disebut dengan Comprehensive School Counseling Programs, yang dirancang untuk : (1) Memperbaiki dan meningkatkan kompetnsi siswa dalam perkembanganakademik, perkembangan sosial, dan perkemabngan personal, (2) Memperbaiki prestasi belajar siswa, (3) Program konseling terkait dengan misi akademik sekolah.
    Oleh karena itu diperlukan upaya mengajak para guru untuk melakukan perubahan dalam pembelajaran anak tunagrahita dengan mengembangkan satu model pembelajaranmelalui pendekatan konseling agar pembelajaran anak tunagrahita menjadi efektif dan anak dapat berkembang optimal.
    B. Fokus Penelitian dan Rumusan Masalah
    1. Fokus Penelitian
    Hambatan belajar dan hambatan dalam perilku adaptif yang dialami anak tunagrahita merupakan akibat dari rendahnya kemampuan intelektual. Upaya pendidikandan konseling diarahkan untuk menggali dan mengembangkan potensi anak tunagrahita secara optimal. Pendidikan anak tunagrahita yang berlangsung saat ini,terlalu berorientasi kepada pengajaran bidang studi, dan kurikulum sebagai satu-satunya acuan yang digunakan. Tidak mengherankan apabila proses pendidikansemata-mata menyampaikan bahan ajar, sehingga situasi belajar menjadi sangat formal.
    Pendidikan seperti itu belum mempertimbangkan kompleksitas hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang dialami anak tunagrahita secara individidual,sehingga tidak cukup peluang bagi anak untuk mengembangkan potensi dirinya. Atas dasar itulah maka bimbingan konseling menjadi sangat penting dan seyogianyamenjadi basis dalam proses belajar mengajar anak tunagrahita.
    Mempelajari perspektif bimbingan konseling, ternyata sangat luas dan beragam. Timbul pertanyaan, teori bimbingan konseling manakah yang relevan untuk dijadikanpijakan konseptual dalam penelitian ini? Teori-teori bimbingan konseling klasik menekankan kepada pemecahan masalah yang bersifat intra-psikis, sedangkanteori bimbingan konseling perkembangan lebih melihat individu sebagai sub sistem dari lingkungan, sasaran yang dituju adalah tingkah laku individu didalam sistem. Selain itu bimbingan konseling perkembangan dipandang sebagai upaya mengembangkan potensi individu dalam konteks lingkungan..
    Penelitian ini berpijak dan mendasarkan diri pada teori bimbingan konseling perkembangan yang secara spesifik disebut Developmental Counseling and Therapy(DCT), sebagai perluasan dari teori perkembngan kognitif Piaget (Allen E. Evey dalam David Capuzzi, 1996). Teori DCT berorientasi kepada pengembangan kemampuankognitif individu, baik perkembangan yang bersifat vertikal maupun perkembangan yang bersifat horizontal. Berdasarkan asumsi teori ini apabila perkembanganitu dapat dicapai maka individu akan dapat mandiri dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan.
    Sehubungan dengan itu maka fokus penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut: Model pembelajaran anak tunagrahita melalui pendekatan konseling yang bagaimana,yang dapat mengembangkan anak tunagrahita mencapai perkembangan optimal ? dan indikator-indikator pekembangan apa yang dapat dijadikan patokan bahwa bahwaanak tunagrahita telah mencapai perkembangan optimum? Fokus penelitian secara lebih jelas dan komprehensif, dapat digambarkan pada bagan 1.1 sebagai berikut: Dari bagan di atas dapat dilihat pertemuan antara pembelajaran dengan bimbingan konseling (PBM-BK). Kelayakan model tersebut akan dilihat dari indikatorperkembangan, baik vertikal maupun horizontal yang dicapai anak tunagrahita (terkandung perkembangan kemampuan belajar akademik seperti membaca, menulisdan berhitung), ketearampilan perilaku adaptif yaitu keteampilan menolong diri (personal living skills) dan keterampilan menyesuaikan diri terhadaplingkungan (social living skills).
    2. Pertanyaan Penelitian
    Pertanyaan Penelitian tentang Kondisi Objektif Perkembangan dan pembelajaran Siswa Tunagrahita yang Terjadi Saat Ini :
    a). Apa yang dapat dicapai oleh anak tunagrahita dalam perkembangan keterampilan bahasa (mendengarakan, berbicara, membaca, menulis), keterampilan berhitung),dan keterampilan perilaku adaptif siswa tunagrahita saat ini?
    b) Bagaimana pelaksanaan pembelajaran yang dilaksanakah oleh guru pada anak tunagrahita saat ini?
    Pertanyaan penelitian tentan perkembangan keterampilan bahasa (mendengarkan, bicara, membaca, menulis), keterampilan berhitung dan perilaku adaptif yangseharusnya dapat dicapai oleh anak tunagrahita :
    a) Apa yang seharusnya dicapai oleh anak tunagrahita dalam perkembangan bahasa (mendengarkan, bicara, membaca dan menulis) ?
    b) Apa yang seharusnya dicapai oleh anak tunagrahita dalam perkembangan keterampilan berhitung ?
    c) Apa yang seharusnya dicapai oleh anak tunagrahita dalam perkembangan keterampilan perilaku adaptif
    d) Adakah kesenjangan antara perkembangan bahasa, berhitung, dan perilaku adaptif yang dicapai anak tunagrahita saat ini dengan perkembangan yang seharusnyadapat dicapai oleh anak tunagrahita ?
    Pertanyaan penelitian tentan pengembangan model pembelajaran anatunagrahita melalui pendekatan kosneling perkembangan konseling:
    a) Bagaimanakah rancangan dan prosedur pengembangan model pembelajaran bermuatan bimbingan konseling bagi anak tunagrahita?
    b) Model pembelajaran melalui pendekatan konseling yang bagaimana yang dapat mengembangkan anak tunagrahita mencapai perkembangan optimum?
    C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
    1. Tujuan Penelitian
    Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk merumuskan: Model pembelajaran anak tunagrahita melalui pendekatan konseling yang dapatmengembangkan anak tunagrahita mencapai perkembangan optimum, baik perkembangan vertikal maupun perkembangan horizontal.
    Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan data tentang: (1) Kondisi objektif pelaksanaan pembelajaran dan perkembangan keterampilan anak tunagrahitasaat ini dalam hal: membaca, menulis, berhitung, dan perkembangan keterampilan perilaku adaptif, (2) Indikator perkembangan yang seharusnya dicapaisiswa tunagrahita setelah mengikuti program pendidikan, dalam hal perkembangan keterampilan akademik (membaca, menulis dan berhitung ), keterampilan perilakuadaptif (keterampian menolong diri dalam kehidupan sehari-hari dan keterampilan menyesuaikan diri dengan lingkungan). Rumusan indikator perkembangan anaktunagrahita dirumuskan secara kolaboratif, antara guru, kepala sekolah, orang tua dengan peneliti. Selanjutnya dilakukan validasi secara konsensus denganpakar Bimbingan Konseling dan pakar Pendidikan Luar biasa.
    2. Manfaat Penelitian
    a. Manfaat praktis
    Hasil penelitian ini secara praktis bermanfaat membantu guru dalam mengembangkan anak tunagrahita mencapai perkembangan optimum, dalam aspek perkembanganbahasa, aritmatika, dan perilaku adaptif dengan cara menyesuaikan lingkungan belajar dengan perkembangan vertikal dan menyesuaikan bahan pelajaran denganperkembangan horizontal anak tunagrahita.
    b. Manfaat Teoretis
    Secara teoritis, hasil penelitian ini bermanfaat dalam menjelaskan konsep perkembangan anak tunagrahita secara holistik. Perekembangan anak tunagrahitadalam penelitian ini dilihat dari dua aspek yaitu perkembangan horizontal dan perkembangan vertikal. Seorang anak tunagrahita dianggap mencapai perkembanganoptimum apabila dapat mencapai kedua aspek perkembangan itu. Sejauh ini perkembangan anak tunagrahita hanya dilihat secara vearatikal, belum mempertimbangkanperkembangan horizontal.
    D. Metode Penelitian
    1. Metode
    Metode penelitian yang digunakan adalah Collaborative Action Research (Natawidjaya, 1997). Penggunaan metode ini didasarakan atas pertimbangan : (a) penelitianini bermaksud merumuskan acuan pencapaian perkembangan dan merumuskan model pembelajaran yang terintegrasi antara bimbingan konseling dengan pembelajaran. Dalam pelaksanaannya dilakukan secara kolaboratif antara peneliti dengan guru, kepala sekolah dan orang tua, (b) penelitian ini bersifat situasional dankontektual yang dimaksudkan untuk memecahkan masalah, (c) program yang dikembangkan diuji validitasnya secara konsensual untuk menemukan rumusan acuanperkembangan anak tunagrahita dan rumusan model pembelajaran, (d) hasil penelitian ini berdampak kepada kinerja guru dan perkembangan anak tunagrahita.
    2. Prosedur Penelitian
    Urutan langkah kegiatan penelitian ini dibagi menjadi tiga (3) tahap yaitu:
    Tahap 1 : Pemotretan kondisi obyektif tentang :
    a. Perkembangan anak tunagrahita dalam hal perkembangan keterampilan bahasa, berhitung dan perkembangan keterampilan perilaku adaptif.
    b. Lingkungan belajar baik di dalam maupun di luar kelas.
    c. Pelaksanaan proses pembelajaran oleh guru
    Tahap 2 : Perumusan Indikator Perkembangan Optimum
    a. Menyusun indikator perkembangan kognitif anak tunagrahita baik secara vertikal maupun secara horizontal berdasarkan kajian konseptual dan hasilobservasi
    b. Melakukan pengkajian rumusan hipotetik (butir a) melalui seminar dan loka karya. Dari sinilah diperoleh rumusan baku tentang perkembangan anaktunagrahita yang seharusnya dicapai oleh anak tunagrahita.
    c. Uji validasi konsensual tentang perkembangan anak tunagrahita dengan kepala sekolah, guru, orang tua siswa dan pakar baik PLB maupun BK.
    Tahap3 : Merumuskan model pembelajaran melalui pendekatan konseling
    a. Merumuskan model pembelajaran anak tunagrahita secara hipotetik dengan merujuk kepada rumusan perkembangan anak tunagrahita (penelitian tahapke 2), kajian konsep dan hasil observasi (sebagai gagasan awal).
    b. Implementasi model pembelajaran anak tunagrahita melalui pendekatan konseling secara kolaboratif antara peneliti dengan guru di dalam kelas.
    c. Uji validasi konsensual dengan guru, kepala sekolah, pakar baik PLB maupun BK , Pada tahap ini diperoleh rumusan model pembelajaran anak tunagrahitamelalui pendekatan konseling sebagai produk penelitian (hasil akhir).
    E. Hasil-Hasil Penelitian
    1. Kondisi Objektif Perkembangan Anak dan Pelaksanaan Pembelajaran
    a. Perkembangan Anak Tunagrahita Saat ini
    Tiga area perkembangan horizontal yang diidentifkasi dalam penelitian, yaitu perkembangan keterampilan bahasa, aritmatika dan perkembangan perilaku adaptif.Hasil penelitian menunjukkan sebagai berikut:
    1) Perkembangan Keterampilan Bahasa.
    Anak tunagrahita kelas VI belum memiliki keterampilan mendengarkan yang memadai. Dari tiga indikator keterampilan mendengarkanyang diobservasi, yaitu kontakmata, pemusatan perhatian pada lawan bicara dan ketepatan respon, hanya kontak mata yang dapat dilakukan oleh semua anak, sementara dua indikator lainnyatidak muncul. Dalam hal keterampilan berbicara, secara artikulasi mereka tidak memiliki hambatan, terapi dari aspek gramatikal/struktural masih mengalamihambatan.
    Sebagian besar anak tunagrahita kelas VI sudah memiliki keterampilan memabca mekanik, tetapi hanya sebagian kecil yang dapat membaca pemahaman. Dalam halketerampilan menulis (hand writing), baru sebagian kecil dari mereka yang lancar menulis.
    2) Perkembangan Keterampilan Artimatika
    Keterampilan aritmatika anak tunagrahita kelas VI dilihat dari dua aspek. Pertama, keterampilan kuantitatif, yaitu keterampilan dalam memahami konsep artimatika,seperti konsep penumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian. Kedua keterampilan kualitataif, yaitu keterampilan dalam mengunakan konsep aritmatikadalam kehidupan sehari-hari.
    Semua anak sudah mempunyai keterampilan dalam penjumlahan pada lever kongkret dan semi kongkret dengan menggunakan strategi backup. Tidak seorang pun darimereka dapat melakukan penjumlahan pada level abstrak. Semua anak belum memahami konsep nilai tempat. Oleh karena itu mereka mengalami kesulitan dalammenjumlahkan bilangan dua desimal. Secara kualitatif semua anak masih belum dapat menggunakan konsep artimatika dalam aktivitas sehari-hari.
    Sebgian besar anak sudah memahami konsep pengurangan pada level kongkret dan level semi kongkret dengan menggunakan strategi backup. Tidak seorang pun darimereka yang dapat melakukan pengurangan pada level abstrak. Secara kualitataif semua anak belum dapat menggunakan konsep pengurangan yang dipahaminya kedalam kegiatan sehari-hari.
    Semua anak tungrahita kls VI yang menjadi subjek penelitian belum mempunyai ketrampilan dalam perkalian dan pembagian. Sebagai konsekuensi logis dari belumdipahaminya konsep pembagian, dapat dipastikan anak tungarhita akan sangat sulit untuk dapat memahi konsep bilangan pecahan
    3) Perkembangan Keterampilan Perilaku Adaptif
    Anak tunagrahita kelas VI yang menajdi seubjek penelitian telah memiliki keterampilan motorik kasar, motorik halus,dan keseimbangan. Sebagian dari merekamasih ada yang mengalai hambatan dalam koordinasi motorik, terutama dalam koordinasi anatra motorik halus dengan persepsi penglihatan.
    Hampir semua anak sudah dapat berinteraksi dengan orang lain seperti tampak dalam perilaku yang menunjukkan rasa tanggungjawab, toleransi terhadap temansekelas, bekerjasama dalam kelompok, dan telah dapat memhami status dan peran jensis kelamin.
    Dalam hal menolong diri, keterampilan yang sudah dapat dilihat melipuiti, keterampilan makan, berpakaian, dan keterampilan dalam kebersihan diri (mandidan pergi ke toilet), akan tetapi hampir semua anak belum memiliki keterampilan domestik seperti keterampilan mencuci pakaian, merapihkan tempat tidur,dan memelihara barang miliknya sendiri.
    Keterampilan sosial yang sudah tampak adalah dalam hal menghubungkan kegiatan yang biasa mereka lakukan setiap hari dengan konsep waktu (hari dan jam).Hal masih sulit untuk dilakukan oleh mereka adalah dalam memahami nilai nominal uang dan penggunaannya. Mereka juga masih mengalami kesulitan dalam memahamikonsep arah (keterampian orientasi), sehingga belum bisa bepergian sendiri, sekalipun ke tempat-tempat yang sudah dikenal, seperti dari rumah ke sekolahatau sebaliknya. Dalam hal bepergian mereka masih tergantung kepada orang lain.
    b. Pelaksanaan Pembelajaran
    Pembelajaran yang dilakukan oleh guru lebih berpusat pada kurikulum, belum memperhatikan perbedaan hamabatan belajar dan hambatan perkembangan setiap anaktunagrahita secara individual dan pembelajaran bersifat klasikal. Perhatian guru berpusat kepada penyelesaian target kurukulum, bukan kepada pencapaianperkembangan anak. Akibatnya pembelajaran kurang fungsional bagi anak tungrahita.
    Terdapat kesenjangan antara lingkungan belajar yang diciptakan oleh guru dengan dengan perkembangan kognitif anak, baik perkembangan vertikal maupun perkembanganhorizontal. Lingkungan belajar bersifat abstrak, sementgara perkembangan kognitaif vertikal anak berada pada level kongkret. Akibatanya suasana pembelajarankelihatan tidak menyenangkan dan tidak terjadi proses akomodasi pada kognitif anak
    Atmosfir pembelajaran sangat pasif, tidak terjadi interaksi dan komunikasi yang intensif antara guru dengan anak. guru lebih banyak memberikan perintahdan larangan daripada memberikan penghargaan (feed back) kepada anak. Suadana kelas teras sangat formal, tidak kelihatan adanya empati dari guru kepadaanak.
    2. Prediksi Perkembangan Optimum Anak Tunagrahita Kelas VI
    a. Prediksi Perkembangan Optimum Keterampilan Bahasa
    Perkembangan bahasa yang diprediksi bisa dicapai oleh anak tunagrahita kelas VI adalah, (1) Dapat memusatkan perhatian kepada orang yang mengajak bicara,(2) Mengerti isi pembicaraan yang didengarnya dengan memberi respon yang sesuia, (3) Dapat mengutarakan keinginan kepada orang lain dengan jelas, (4) Dapatberbicara timbal balik dengan lawan bicara, (5) Dapat mengujukan pertanyaan, (6) Dapat mengenal abjad, (7) Dapa memahami isi bacaan yang memuat antara150-200 kata, (8) Dapat menulis tulisan tangan dengan tulisan bersambung, (9) Dapat mengikuti dikte, (10) Dapat mengungkapkan keinginan, maksud dan idesecara tertulis.
    b. Prediksi Perkembangan Optimum Aritmatika
    Perkembangan keterampilan aritmatika yang diprediksi bisa dicapai oleh anak tunagrahita kelas VI adalah (1) Memahami konsep bilangan satuan, puluhan, ratusan dan ribuan, (2) Memahami konsep penjumlahan bilangan tiga digit, (3) Memahami konsep pengurangan bilangan tiga digit oleh bilangan dua digit, (4) Memahamikonsep perkalian sampai bilangan tiga digit, (5) Memahami konsep pembagian tidak bersisa, (6) Memahami ukuran satuan berat Kg dan kuintal, (7) Memahamikonsep ukuran luas sebuah bidang.
    c. Predikasi Perkembangan Optimum Prerilaku Adaptif
    Perkembangan perilaku adaptif yang diprediksi bisa dicapai oleh anak tunagrahita kelas VI adalah (1) Dapat menggunakan motorik kasar dan motorik halus dalamkehidupan sehari-hari, (2) Mengerti situasi lingkungan sekitar dengan memberi respon yang sesuia, (3) Dapat memerankan diri sesuai jenis kelamin, (4)Dapat mengerjakan pekerjaan yang berhubungan dengan keperluan diri sendiri, (5) Dapat menggunakan uang dalam kehidupan sehari-hari, (6) Dapat bepergiansendiri ke tempat-tempat yang sudah yang sudah dikenal, (7) Dapat menggunakan alat-alat rumah tangga sesuai dengan fungsinya.
    3. Rumusan Model Pembelajaran Anak Tunagrahita Melalui Pedekatan Konseling
    a. Pengertian
    Model pembelajaran anak tunagrahita melalui pendekatan konseling yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pola yang digunakan oleh guru dalam mengaturmateri pelajaran agar sesuai dengan perkembangan horizontal dan mengatur lingkungan belajar agar sesuai dengan perkembanga vertikal anak tunagrahita, sehinggabaik lingkungan belajar maupun bahan pelajaran relevan dengan perkembangan anak.
    Dalam pelaksanaanya, model pembelajaran ini memiliki tiga tahapan yaitu: (1) tahap orientasi, (2) tahap mediasi, (3) tahap ko-konstruksi. Dalam model ini,pembelajaran dirancang agar menyenangkan dan fungsional bagi anak tunagrahita serta diarahkan agar anak tunagrahita dapat mencapai perkembangan optimum.
    b.Tujuan
    Model pembelajaran ini bertujuan untuk membantu anak tunagrahita dalam memcapai perkembangan optimum baik perkembangan vertikal maupun perkembangan horizontal,sehingga anak dapat mencapai kemadirian.
    Untuk mencapai tujuan itu guru harus memiliki empat kemampuan yaitu: (1) Penguasaan bahan ajar, (2) Kemampuan dalam melakukan asesmen tentang perkembangananak, baik perkembangan vertikal maupun perkembangan horizontal, (3) Kemampuan dalam melakukan penyesuain antara bahan ajar dengan perkembangan horizontal dan penyesuaian antara lingkungan belajar dengan perkembangan vertikal anak tunagrahita, (4) Kemampuan dalam memciptakan lingkungan belajar yang cocokdengan perkembangan vertikal anak
    c. Komponen dan Prosedur Kerja
    Model pembelajaran ini memiliki lima komponen, yaitu: (1) Asesmen perkembangan anak, (2) Adaptasi kurikulum (bahan ajar) dengan perkembangan horizontalanak tunagrahita, (3) Memilih lingkungan belajar yang sesuai dengan tahap perkembangan vertikal anak tunagrahita, (4) Tahapan pembelajaran. Urutan nomordari setiap komponen, menunjukkan pula urutan kerja dari model ini. Komponen-komponen tersebut secara rinci diuraikan sebagai beriku:
    1. Asesmen Perkembangan Anak
    Asesmen diperlukan untuk mengetahui perkembangan anak tunagrahita. Perkembangan anak dalam model ini didefinisikan sebagai proses perubahan yang bersifatvertikal (lebih bersifat potensial) dan proses perubahan yang bersaif horizontal yang merupakan hasil dari proses belajar.
    a) Asesmen perkembangan Vertikal
    Asesmen perkembangan vertikal digunakan untuk melihat tahapan perkembangan yang dicapai oleh setiap anak tunagrahita. Perkembangan vertikal meliputi empattahap yaitu tahap perkembangan sensori motor, kongkret operasional, formal operasional dan dialektik. Perkembangan vertikal adalah perpindahan dari tahapperkembangan yang lebih rendah ke tahap perkembangan yang lebih tinggi.
    Setiap tahapan perkembangan kognitif memiliki karakteristik yang khas dan memerlukan lingkungan belajar yang sesuia dengan karakteristinya. Individu yangberada pada tahap perkembangan sensori motor memerlukan lingkungan belajar yang terstruktur, dan memerlukan metode pembelajaran bersifat direktif. Individuyang berada pada tahap perkembangan kongkret operasional Individu yang berada pada tahap perkekembangan kongkret operasional memerlukan lingkungan belajaryang bersifat semi terstruktur. Individu yang berada pada tahap perkemabangan formal operasional memerlukan lingkungan belajar yang bersifat konsultatif,dan individu yang berada pada tahap perkembangan dialektik memerlukan lingkungan belajar yang bersifat kolaboratif.
    Tekink asesmen yang digunakan untuk mengetahui perkembangan vertikal anak tunagrahita adalah wawancara bebas. Ungkapan dan ekpresi verbal dari anak yangdiajak bicara menunjukkan tahap perkembangan kognitif vertikal yang dicapai oleh anak (diperkirakan).
    Apabila guru sudah mengetahui tahapan perkembangan vertikal seorang anak, maka sudah dapat menentukan lingkungan belajar yang harus disediakan. Pada penelitianini, perkembangan vertikal anak tunagrahita berada pada tahap antara sensori motor dengan kongkret operasional, oleh karena itu lingkungan belajar yangharus disediakan adalah lingkungan semi-terstruktur.
    b) Asesmen Perkembangan Horizontal
    Perkembangan horizontal adalah sebuah eksplorasi, penguasaan dan elaborasi tentang sikap, emosi dan perilaku yang berkenaan dengan satu tahap perkembanganvertikal tertentu. Dalam model ini, perkembangan horizontal meliputi tiga aspek yaitu perkembangan keterampilan bahasa, aritmatika dan perilaku adaptif.Data hasil asesmen perkembangan horizontal dijadikan dasar dalam mementukan bahan (materi) pelajaran yang akan diajarkan agar sesuai dengan kebutuhanbelajar anak tunagrahita.
    2) Adaptasi Kurikulum Terhadap Perkembangan Anak.
    Data hasil asesmen perkembangan vertikal menjadi dasar dalam menentukan lingkungan belajar, sementara itu data hasil asesmen perkembangan horizontal memberikaninformasi tentang kapasitas dan hambatan belajar yang dialami oleh anak tunagrahita dalam belajar bahasa, aritmatika dan perilaku adaptif. Oleh karenaitu bahan pelajaran yang tercantum dalam kurikulum harus disesuaikan dengan data hasil sesmen horizontal. Dengan demikian terjadi penyesuaian antara hambatanbelajar dan perkembangan anak dengan materi kurikulum.
    4) Memilih Lingkungan Belajar
    Dalam model ini lingkungan belajar yang diciptakan harus sejalan dengan perkembangan kognitif vertikal anak tunagrahita yang akan belajar. Perkembangankognitif vertikal terdiri dari empat tahap yaitu (1) Tahap sensori motor, (2) Tahap kongkret operasional, (3) Tahap formal operasional, (4) Tahap dialektik.Setiap tahap perkembangan memerlukan lingkungan belajar yang sesuai dengan karakteritik dari setiap tahap perkembangan anak yang bersngkutan (lihat asesmenperkembangan vertikal).
    Perkembangan kognitif vertikal anak tunagrahita kelas VI (subjek penelitian) berada pada tahap perkembangan antara sensori motor dan kongkret operasional.Oleh karena itu lingkungan belajar yang cocok bagi mereka adalah lingkungan yang semi terstuktur. Lingkungan belajar semi terstruktur memberi kemudahankepada anak taunagrahita untuk memahami fakta, konsep dan prinsip dari perspektif yang kongkret.
    5) Tahapan Pembelajaran
    Model pembelajaran ini memiliki tiga tahapan pembelajaran yaitu (a) Tahap orientasi, (b) Tahap Mediasi, (c) Tahap ko-konstruksi. Ketiga tahap pembelajaranitu merupakan satu kesatuan yang utuh dan terintegrasi. Perpindahan dari satu tahap ke tahap berikutnya tidak terdapat jeda dalam pelaksanaannya.
    Penerapan model pembelajaran ini memerlukan dua orang guru yaitu main teacher (guru utama) bertugas mengelola kelas secara keseluruhan dan co-teacher (gurupembantu) bertugas memberikan perhatian dan pelayanan kepada anak secara individual.Sehingga pembelajaran menjadi berpusat kepada anak
    (a) Tahap Orientasi
    Pembelajaran pada tahap ini merupan proses menghubungkan antara pengalaman anak dengan bahan pelajaran dan lingkungan belajar. Pada tahap ini diciptakansituasi yang dapat membangkitkan perhatian dan motivasi semua anak agar terlibat dalam aktivitas pembelajaran. Tahap orientasi dimaksudkan untuk mengawalipembelajaran dengan akativitas yang gembira dan menyenagkan.
    Pada tahap ini terdapat dua hal penting yang perlu diperhatikan yaitu pertama, pengaturan susunan kelas (kelas dibuat fleksibel agar dapat diubah-ubahsesuai kebutuhan). Kedua, pembelajaran diawali dengan ceritera yang dapat menghubungkan antara pengalaman anak dengan bahan pelajaran yang akan diajarkan(pelajaran dimulai dari apa yang sudah diketahui anak).
    (b) Tahap Mediasi
    Pada tahap ini diciptakan situasi agar terjadi ineraksi antara anak dengan perangsang (alat pearaga) yang disediakan. Guru tidak memulai pembelajaran denganmenjelaskan konsep, tetapi dimulai dengan aktivitas. Terdapat tiga urutan proses belajar yang harus dilalui yaitu tahap kongret, setengah kongkret dantahap abstrak.
    Pembelajaran bersifat kongkret. Pada tahap ini anak diberi kesempatan seluas-luasnya untuk memaipulasi benda kongkret (alat peraga) yang berhubungan dengankonsep yang akan diajarkan. Dengan kata lain konsep yang bersifat abstrak diakses melalui proses yang dapat diamaati secara visual, auditif, taktil dankinestetik (aktivitas multi sensori). Dengan demikian konsep dapat dipahami secara utuh dana mantap.
    Pembelajaran bersifat setengah kongkret. Situasi pembelajaran pada pada tahap ini sama seperti pada tahap kongkret. Perbedaannya terletak pada perangsang(alat peraga) yang digunakan. Pada tahap ini alat peraga yang digunakan adalah gambar benda yang digunakan pada tahap kongkret. Hal ini dimaksudkan untukmenjembatani antara pemahaman yang berrsifat kongkret dengan pemahaman yang besifat abstrak.
    Pembelajaran bersifat abstrak. Pada tahap ini pembelajaran tidak lagi menggumalan alat peraga tatapi lebih banyak menggunakan simbol abstrak (misalnya angka,dan bahasa). Pada tahap ini diharapkan anak talah mengalami proses mengkonstrus dan merekonsstruksi pengetahuan baru dihubungkan dengan pengalaman ataupengetahuan sebelumnya.
    (c) Tahap Ko-konstruksi
    Pembelajaran pada tahap ini merupakan kegiatan pemantapan agar anak mengalami proses adaptasi kognitif. Terdapat dua proses yang terjasi pada tahap iniyaitu proses yang mengarah kepada evaluasi dan proses yang mengarah kepada asesmen. Kedua duanya menyatu dalam proses pembelajaran.
    Evaluasi dalam model ini dimaknai sebagai upaya untuk melihat perkembangan yang terjadi pada anak tunagrahita sebagai hasil belajar. Sementara asesmen dimaknaisebagai upaya untuk melihat hambatan belajar yang dialami oleh anak pada saat mengikuti proses pembelajaran.
    Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang model pembelajaran anak tunagrahita melalui pendekatan konseling dapat dilihat pada model visual padabagan di bawah ini. Model Pembelajaran Anak Tunagrahita Melalui Pendekatan Konseling
    F. Dampak Penerapan Model Pembelajaran Melalui Pendekatan Konseling
    Terhadap Perkembangan Anak Tunagrahita dan Terhadap Guru
    1. Dampak Terhadap Perkembangan Anak
    Dampak positif yang ditimbulkan dari penerapan model ini terhadap pekembangan anak tunagrahita (pada subjek penelitian) adalah (a) Pembelajaran kelihatanmenjadi menyenangkan bagi anak dan memunculkan rasa percaya diri, (b) Terjadi proses akomodasi kognitif antara pengalaman/pengetahuan sebelumnya dengankonsep yang baru diajarkan, (3) Anak menunjukkan motivasi belajar lebih tinggi daripada sebelumnya, ditandai oleh munculnya perseverence, yaitu ketikawaktu belajar sudah habis, anak-anak masih semangat untuk terus melakukan aktivitas, (4) Tumbuh rasa percaya diri pada diri anak yang ditandai oleh keberanianberbicara dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada guru pada saat pembelajaran.
    2. Dampak Terhadap Guru
    Penerapan model pembelajaran ini berdampak kepada sikap dan keterampilan guru dalam pembelajaran anak tunagrahita sesbagai berikut (a) Tumbuh kesadaranpada guru akan pentingnya asesmen dan pentingnya analisis kurikulum sebagai langkah untuk melakukan penyesuain kurikulum dengan hamabatan belaajr dan perkembangananak tunagrahita, (b) Guru menjadi terampil dalam melakukan asesmen tentang pekembangan anak tunagrahita, baik asesmen perkembangan vertikal maupun asesmenperkembangan horizontal, ( c) Pemahaman guru tentang perkembangan anak tunagrahita menjadi lebih baik, (d) Guru menjadi terampil dalam melakukan penyesuaianisi kurikulum dengan hambatan belajara dan perkembangan anak, (e) Guru menjadi lebih ekpresif ketika berinteraksi dengan anak, lebih terampil dalam melihatkeberhasilan yang dicapai oleh anak, dan lebih sering memberikan pengakuan dan penghargaan kepada anak, (f) Guru menjadi terbiasa bekerja dalam tim.
    Dampak dari penerapan model pembelajaran ini terhadap guru seperti tersebut dijelaskan di atas, dapat dirumuskan menjadi kompetensi yang harus dimilikioleh guru dalam penerapan model pembelajaran anak tunagrahita melalui pendektan konseling di tempat lain.
    PUSTAKA RUJUKAN
    Alimin, Zaenal (1993) Study on CignitiveProcess of Incomplete Pictures Recognition in Normal and Mentally Retarded Children. Master Thesis Universityof Tsukuba : Tsukuba
    Astati (1999), Program Layanan Dasar Bimbingan dan Konseling Dalam Meningkatkan Kesiapan Kerja Anak Tunagrahita Ringan.Studi Kolaboratif Model BimbinganEkologis Pada Siswa SMLB Tunagrahita Ringan di SPLB-C YPLB Bandung. Thesis PPS IKIP: Bandung.
    Alberto, Paul A; Anne C Troutman (1986), Applied Behavior Analysis for Teachers.
    Merrill Publishing Company: Columbus.
    Astati, (1999),Program Layanan Dasar Bimbingan dan Konseling dalam
    Meningkatkan Kesiapan Kerja Anak Tunagrahita Ringan.Tesis PPS IKIP
    Bandung : Bandung.
    Baine.D (1986), Curricula Used with Handicapped Students in Developing Countries: Issues and Recommendation. UNESCO: Paris.
    Browning.L Philip (1974), Mental Retardation: Rehabilitation and Counseling. Charles Thomas: Illinois.
    Bruininks. R.H (1989), Dimension of Community Adjusment Among Young Adult with Intellectual Disability. Association of Scientific Study of Mental Deficiency.8, 435-448.
    Baine, D (1988) Curricula Used with Handicapped Students in developing Countries :Issues and Recommendation. UNESCO : Paris.
    Beirne-Smith, Mary (2002), Mental Retaradation. Merrill Prentice Hall: Columbus, Ohio.
    Burtiham (1999) Program Bimbingan Perkembangan dalam Membantu Kemandiri-an Belajar Siswa Tunanetra di Tingkat Dasar SLBNA Bandung. Tesis PPS IKIP Bandung: Bandung.
    Capuzzi, David & Douglas. R. Gross (1996), Counseling and Psychotherapy: Theories and Intervention. Prentice Hall: Ohio.
    Capuzzi, David (1995) Counseling and Psychotherapy : Theories and Interven tion. Englewood Cliffs : Ney York.
    Dahlan M.D. (1985), Beberapa Pendekatan dalam Penyuluhan. CV Diponegoro: Bandung.
    Dahlan. M.D. Ed (1984), Model -Model Mengajar. CV Diponegoro: Bandung.
    Dahlan M. D. (1988) Posisi Bimbingan dan Penyuluhan dalam Kerangka Ilmu Pendidikan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Pendidikan Pada FIPIKIP Bandung.
    Das, J. P, (1979) Remedial Training and Mental Reterdation. Paper Presented at The Seventh Conggerss of AISSMD :New Delhi.
    Elliot, John (1998), Action Research for educational Change. Open University Press: Philadelpia
    Fraenkel. Jack. R & Norman. E. Wallen (1993), How to Design and Evaluate Research in Education. NcGraw-Hill Inc: New York.
    Gigson, Robert. L and Marianne Mitchell (1995), Introduction to Counseling and Guidance. Merril, an imprint of Prentice Hall: Englewood Cliffs, New Jersey.
    Gow, L. P, J. Balla dan E. Butterfield (1988) The Relative Efficacy of Cognitive and Behavioral Approaches to Intruction in Promoting Adaptive Capacity.American Journal of Mental Deficiency, 90, 259-265.
    Hopkin, David (2003), A Teacher’s Guide to Classroom Action Research. Open University Press: Philadelphia.
    Ivey, A & Concalves (1988) Developmental Therapy : Integrating Developmental Process Into Clinical Practice. Journal of Counseling and Development, 66,406-413
    Johnsen, Berit.H and Miriam ,D. Skorten (2001), Education- Special Needs Education An Introduction. Unifub forlag: Oslo.
    Kartadinata, Sunaryo (1996), Kerangka kerja bimbingan dan konseling dalam pendidikan: Pendekatan Ekologis sebagai suatu alternatif. Pidato Pengukuhan GuruBesar dalam Ilmu Pendindikan pada Jurusan PPB IKIP Bandung: Bandung.
    Kartadinata, Sunaryo (1996) Kerangka KerjaBimbingan dan Konseling dalam Pendidikan: Pendekatan Ekologis Sebagai Suatu Alternatif. Pidato Pengukuhan JabatanGuru besar Bimbingam Penyuluhan FIP IKIP Bandung.
    Lewis. D. (1989), Assessing Post-School Effects of Special Education for Youth with mental Retardation Throught Economic Analysis. International Association for Scientific Study of Mental Deficiency. 8, 425-447.
    Marsha Well & Bruce Joyce ( 1978 ) Personal Model of Teaching Prentice-Hall INC : New Jersey
    Marsha Well & Bruce Joyce (1978) Social Model Teaching. Prentice Hall INC : New Jersey.
    Marsha Well & Bruce Joyce (1978) Information Proccessing Model o Teaching. Prentice-Hall INC : New Jersey.
    McLoughlin. James.A & Rana. B. Lewis (1986), Assessing Special Students. Merrill Publishing Company: Columbus.
    McNiff, Jean (1995), Action Research Prinsiple and Practice. Routlege: New York
    Moleong, Lexy (1993), M McNiff, Jean (1995), Action Research Prinsiple and Practice. Routlege: New York etodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya: Bandung.
    Natawidjaja, Rochman (1997), Penelitia Tindakan (Action Research). IKIP Bandung: Bandung
    Natawidjaja, Rochman (1997), Konsep dasar Penelitian Tindakan. IKIP Bandung
    Natawidjaja,Rochman (1997, Pokok-Pokok Pikiran Mengenai Penelitian Kelas. IKIP Bandung
    Natawidjaja, Rochman (1984 )Tingkat Penerapan Bimbingan dalam Proses Belajar MengajarDihubungkan dengan Kepedulian Guru dan Sikap Siswa Terhadap Bimbingan.Desetasi PPS IKIP Bandung
    Neely. M (1982), Counseling and Guidance Practice with Special Education Straudents.
    The Dorsey Press: Illnois.
    Noffke, Susan E ; Robert B. Stevenson (1995), Educational Action Research, Becoming Practically Critical. Teahers College Columbia University: New York.
    Nung Muhadjir (1996), Metodologi Penelitian Kualitatif. Rake Sarasih: Yogyakarta
    Ricardson S.A; H. Koller and M. Katz (1989), Job-Histories in Open Employment of Young Adult with Mental Retardation. American Journal on Mental Retardation.92,6,449-456.
    Robert, P. Ingalls (1987) Mentel Retardation The Changing Out Look. John Wiley and Sons : New York.
    Semiawan, Conny. R. (1999), Pendidikan Tinggi : Peningkatan Kemampuan Manusia Sepanjang Hayat Seoptimal Mungkin. Grasindo: Jakarta
    Smith, Mary Beirne ; Richard F. Ittenbach; James R. Patton (2002), Mental Retardation. Merrill Prentice Hall: New Jersey.
    Stone,. Gerald . L (1986), Counseling Psychology Perspective and Function. Brook/Cole Publishing Company: Calofornia.
    Suhaeri HN & Edi Purwanto (1996), Bimbingan Konseling Anak Luar Biasa. Proyek Pendidikan Tenaga Guru Ditjen Dikti. Depdikbud: Jakarta.
    Sellin, Donald F (1979), Mental Retardation Nature, Needs, and Advocay. Allyn and Bacon, Inc: Boston.
    Skjorten, D. Miriam (2001), Education-Special Needs Education An Intoduction. Unfub forlag: Oslo. .
    Lauria, (1961) The role of Speech in The Reguration of Normal and Abnormal Behavior. Perganon : London.
    Lauria (1961) Higher Cortical Function in Man. Basic Book : New York.
    Payne, James.S (1981), Mental Retardation. Charles Merrill Publishing Company: Columbus.
    Philip, L. Browing (1974) Mental Retardation : Rehabilitation and Counseling. Charles Thomas : Illionis.
    Vigostsky,Lev (1978), Mind in Society : The Development of Higher Psychologial Process.Harvard University Press : Cambrige.
    Tuckman, Bruce. W (1973), Conducting Educational Research. Harcourt Brace: New York
    Zigler, (1969) Developmental v.s Defference Theories and The Problem of Motivation. American Journal of mental Deficiency, 73, 536-555.
    RIWAYAT HIDUP
    Zaenal Alimin dilahirkan di Garut pada tanggal 24 Maret 1959, dari pasangan Ibu Eni Sukraeni dan Bapak Zaenal Arifin. Lahir dan dibesasrkan di lingkungankeluarga guru yang sederhana. Nenek, Ayah, kaka-kakanya berprofesi sebagai guru, mungkin karerna pengaruh lingkungan, sejak kecil bercita-cita ingin menjadiguru.
    Pada tahung 1986 menikah dengan Tati Mulayati, berasal dari Sumedang, yang juga berprofesi sebagai guru di sebuah SMK di kota Bandung. Dari hasil perkawinannyadikaruniai tiga orang anak, yaitu Gea Fardias Mu’min, Mohamad Magian dan Nadia A. Daniswara. Pada saat ini bertemapt tinggal di Jl.Cibogo Atas no 15 AKelurahan Sukawarna Kecamatan Sukajadi kota Bandung.
    Sekolah Dasar diselesaikan di Cikajang Garut pada tahun 1972, Sekolah Menengah Pertama di tempat yang sama lulus pada tahun 1974 dan Pada tahung 1977 menyelesaikanpendidikan SMEA Negeri di Garu. Ketika belajar di SMEA merasa kehilangan semangat karena tidak cocok dengan keinginan, yang sejak kecil bercita-cita menjadiguru.
    Pada tahun 1978 melanjutkan pendidikan ke IKIP Bandung dan memilih jurusan Pendidikan Luara Biasa, specialisasi pendidikan anak tunagrahita. Di kampusyang sejuk dan asri inilah gairah dan semangat belajar kembali muncul, merasakan adanya kenyamanan dalam belajar dan bidang yang dipelajari cocok sekalidengan cita-cita sejak kecil yaitu ingin menjasi guru. Oleh karena itu sejak semester 3 sampai dengan menyelesaikan S1 pada tahun 1983 mendapat beasiswadari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
    Pada tahun 1984 diangkat menjadi PNS di lingkungan FIP IKIP Bandung sebagai asisten dosen di jurusan PLB. Pada tahun 1990 mendapat kesempatan untuk melanjutkanpendidikan program master special education, specialisai perkembangan kognitif anak tunagrahita di Tsukuba University Japan, dengan beasiswa dari DepartemanPendidikan Pemerintah Jepang (Mombusho), diselesaikan pada tahun 1993.
    Setelah kembali dari Jepang, diberi tugas tambahan oleh ketua jurusan untuk merintis dan mengembangkan labolatorium Pendidikan Luar Biasa, yang selanjutnyaberkembang menjadi PUSAT PENGEMBANGAN ANAK. Tugas ini dilaksanakan sampai bulan Mei 2006. Di tempat inilah penulis belajar secara empirik tentang pendidikananak-anak berkebutuhan khusus termasuk anak-anak penyandang cacat, dan berusaha mengebangkan diri dalam membangun profesi. Di tempat ini pula penulis merasabahwa pendidikan berkebutuhan khusus merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupannya.
    Pada tahun 1998 melajutkan pendidikan ke program S3 di PPS UPI, mengambil program studi Bimbingan Konseling dengan kajian individual konseling anak tunagrahita,yang diwujudkan dalam bentuk disertasi ini. Pendidikan S3 ditempuh dalam jangka waktu lama, karena pada saat yang bersaan terlibat dalam banyak kegiatan,antara lain: (1) Pada tahun 2002/2003, menjadi anggaota tim pengembang Sistem Pembinaan Tenaga Kependidikan PLB (SPTK PLB) direktorat ketenagaan DitjenDikti (2) Pada tahun 2004 menjadi anggota tim pengembang kemitraan perguruan tinggi direktorat ketenagaan Ditjen Dikti (3) Pada tahun 2005 menjadi anggotatim pengembang sistem asesmem kurikulum berbasis kompetensi, direktorat ketenagaan Ditjen dikti (4) Pada thun 2006 menjadi anggota tim pengembang pendidikanprofesi PLB, direktorat ketenagaan Ditjeb dikti.
    Bersamaan dengan itu, dari bulan Januari-Maret 2003 dalam rangka mengembangkan pendidikan inklusif di indonesia, diberi tugas oleh Rektor UPI sebagaiguest researcher di Oslo University Norway, sebagai realisasi kerja sama antara UPI dengan Oslo University untuk mengembangkan program magister (S2) PendidikanKebutuhan Khusus di PPS UPI. Pada tahun 2005 sampai saat ini, disamping masih berstatus sebagai mahasiswa S3, diberi tugas sebagai sekretaris programstudi Pendidikan Kebutuhan Khusus di SPS UPI.
    Ada beberapa karya ilmiah yang dihasilkan baik dalam bentuk buku, artikel yang diterbitkan dalam jurnal maupun makalah yang disampaikan dalam seminar sebagaiberikut:
    Karya Ilmiah dalam Bentuk Buku.
    1. Penelitian bagi Guru Pendidikan luar Biasa 1997, diterbitkan oleh Dierktorat jenderal Pendidikan Tinggi Jakarta.
    2. Pendidikan Anak Berbakat Penyandang Cacat 1998, diterbitkan oleh oleh Dierktorat jenderal Pendidikan Tinggi Jakarta.
    3. Pembelajaran Individual Bagi Anak Tunagrahita 2005, diterbitkan oleh oleh Dierktorat jenderal Pendidikan Tinggi Jakarta.
    4. Asesmen Keterampilan Membaca dan Menulis Siswa Sekolah Dasar Kls IV-VI, 2005 diterbitkan oleh Ganesha Opeation Bandung.
    5. Asesmen Keterampilan Aritmatika Siswa Sekolah Dasar Kls IV-VI 2005, diterbitkan oleh Ganesha Opeation Bandung.
    Karya Ilmiah dalam Bentuk Artikel Dalam Jurnal
    1. Role and Activities of The Center for Chid Development, Departement of Special Education at Univaersity of Education. Bulletin of Disabilityscience Vol.27, 2003, University of Tsukuba.
    2. Reorientasi Pemahaman Konsep Special Education ke konsep Special Needs Education dan Implikasinya Terhadap Layanan pendidikan. Jurnal Asesmendan intervensi Anak berkebutuhan Khusus Vol.3, 2004
    3. Hambatan Belajar Pada Anak dengan Down’s Syndrome. Jurnal Asesmen dan intervensi Anak berkebutuhan Khusus Vol.4, 2005
    4. Cognitive Processes of Incomplete Figures Recognition in Children With Mental Retardation. Bulletin of Special Education Vol. 17, 1993.
    Karya Ilmiah Hasil Penelitian
    1. Model Pembelajaran bagi Anak Learning Disabled di Sekolah dasar. Hibah bersaing Dikti 1996-1997.
    2. Dampak Kurikulum Bermuatan Akademik Di Taman Kanak Kanak Terhadap Perkembangan Kognitif Anak. Lembaga Penelitian UPI Bandung.
    3. Efektivitas Penggunaan Teknik Berlapis Berulang dalam Perkuliahan Ortopedagogik Anak Tunagrahita. Due-Like 2001-2002.
    Karya Ilmiah dalam Bentuk Makalah
    1. Hambatan Belajar Pada Anak dengan Down’s Syndrome dan Imlpikasinya Terhadap Layanan Pendidikan. Disampaika dalam seminar KID di Bandung, 2004
    2. Pendidikan Inklusif bagi Anak Usia Dini. Disampaikan dalam seminar ECCD-RC di Yogyakarta, 2006
    3. Children with Learning Disabities in Primary Schools. Disampaikan dalam seminar Perkumpulan orang tua dan guru SD Al Biruni Bandung, 2006.
    4. Trasition from Integration to Inclusion In West Java Province. Internataional Symposium on Inclusive Education, sponsored by UNESCO and BrailloNorway, Bukittinggi 2005
    5. Combining Inclusion and CLCC for Developing School Friendly Child in West Java province. Internataional Symposium on Inclusive Education, sponsoredby UNESCO and Braillo Norway, Bukittinggi 2005.
    Dalam pengabdiannya sebagai Pegwai Negeri Sipil di lingkungan UPI, penulis
    memperoleh piagam pengahrgaan dari Presiden Republik Indonesia dan dari Rektor UPI yaitu:












    MODEL PEMBELAJARAN ANAK TUNAGRAHITA MELALUI PENDEKATAN KONSELING
    ( Penelitian Tindakan Kolaboratif Dalam Upaya Pengembangan Anak Tunagrahita Mencapai Perkembangan Optimum di SPLB YPLB Bandung )

    RINGKASAN DISERTASI
    D iajukan Untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Doktor Ilmu Pendidikan Bidang Studi Bimbingan Konseling





    Promovendus
    Zaenal Alimin NIM. 989810



    PROGRAM STUDI BIMBINGAN KONSELING SEKOLAH PASCA SARJANA UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2006


















    DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH TIM PEMBIMBING UNTUK MENGIKUTI UJIAN TAHAP II

    PROMOTOR

    Prof.Dr.H.Rochman Natawidjaja

    KO-PROMOTOR

    Prof.Dr.H.M.Djawad Dahlan

    ANGGOTA

    Juang Sunanto, MA. Ph.D


















    A. Latar Belakang Masalah
    Pendidikan bagi anak tunagrahita bertujuan mengembangkan potensi yang masih dimiliki secara optimal, agar mereka dapat hidup mandiri dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan di mana mereka berada. Hasil observasi lapangan menunjukkan bahwa anak-anak tunagrahita yang telah dan sedang mengikuti pendidikan di sekolah luar biasa, pada umumnya belum menunjukkan perkembangan yang diharapkan. Sebagai contoh, anak yang telah mengikuti program pendidikan selama 12 tahun dan kembali kepada orang tuanya, ternyata masih belum bisa mandiri, masih mengalami kesulitan dalam memelihara diri (self care), belum mempunyai keterampilan untuk melakukan pekerjaan sehari-hari untuk kepentingan dirinya dan ketergantungan kepada orang lain masih cukup tinggi. Maka dari itu ada kesan bahwa pendidikan yang telah diikuti sekian lama itu sepertinya tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan anak. Keadaan seperti itu, bukan semata-mata karena keterbelakangan mental yang dialami siswa, akan tetapi juga karena terdapat kesenjangan antara program pendidikan di sekolah luar biasa dengan harapan orang tua dan harapan lingkungan. Masyarakat dan orang tua mengharapkan agar anak tunagrahita memiliki keterampilan yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, sesuai dengan potensi yang dimiliki. Sementara kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa program pendidikan anak tunagrahita yang terjadi saat ini masih sangat menekankan kepada aspek pengajaran yang bersifat akademik (semata-mata menyampaikan bahan ajar), itu pun dalam pelaksanaannya masih bersifat klasikal dan belum memperhitungkan perbedaan hambatan belajar anak secara individual. Padahal esensi dari pendidikan anak tunagrahita ialah bahwa pendidikan lebih bersifat individual karena perbedaan-perbedaan individu pada anak tunagrahita sangat mencolok (Suhaeri HN & Edi Purwanto, 1996). Sehubungan dengan itu pengetahuan dan keterampilan para guru dalam pembelajaran anak tunagrahita perlu terus ditingkatkan. Jika melihat pendidikan tunagrahita di Amerika, seperti yang dilaporkan oleh Lewis, Bruininks, Thurlow dan McGrew (1988), yang meneliti dampak pendidikan yang diikuti anak tunagrahita terhadap kehidupan mereka setelah selesai mengikuti program pendidikan di Minnesota, menunjukkan bahwa 54% tunagrahita dapat hidup mandiri. Indikator kemandirian yang digunakan dalam penelitian Lewis ini adalah pekerjaan dan penghasilan. Rata-rata penghasilan yang dicapai oleh tunagrahita dari pekerjaan itu sebesar 5,319 US dolar/ th. Selanjutnya Bruinks (1988) meneliti tentang penyesuaian diri individu tunagrahita ke dalam masyarakat dilihat dari kompetensi personal, kompetensi emosional, dan kompetensi fisik. Hasil penelitian Bruink menunjukkan bahwa anak tunagrahita yang memperoleh pendidikan yang tepat dapar hidup mandiri dan dapat menyesuaikan diri dalam kehidupan masyarakat sejalan dengan tingkat perkembangannya. Secara internal anak tunagrahita dalam kehidupannya memiliki hambatan dalam perkembangan kognitif (jauh di bawah rata-rata anak pada umunya) dan hambatan dalam perilaku adaptif. Akibat dari kondisi seperti itu, anak tunagrahita mengalami kesulitan belajar secara akademik (bahasa dan aritmatika/matematika) dan kesulitan dalam hubungan interpesonal, kesulitan dalam mengurus diri, kesulitan dalam menilai sitauasi ketergantungan kepada orang lain, konflik, dan frustasi, belum mendapat perhatian yang memadai. Sebagian dari masalah-masalah itu merupakan bidang garapan bimbingan konseling, yang secara faktual belum dilakukan secara sistematik, terencana dan berkesinambungan. Kelemahan yang terjadi dalam pendidikan anak tunagrahita selama ini diduga sangat erat kaitannya dengan belum tepatnya layanan pendidikan yang dilakukan, yaitu hanya menekankan pada penyampaian bahan ajar. (semata-mata mengejar target kurikulum), dan belum memperhatikan perbedaan dan karakteristik perkembangan anak. Dugaan ini didukung data hasil penelitian Astati, (1999) yang menjelaskan bahwa dari 44 orang lulusan dalam 5 tahun terakhir dari SPLB-C Bandung hanya 10 orang yang dapat hidup mandiri, selebihnya masih sangat tergantung kepada orang lain. Di samping masalah tersebut, terdapat masalah lain yang tidak kalah pentingnya bahwa selama ini di dalam pendidikan tunagrahita belum ada acuan yang dapat digunakan untuk melihat apakah pendidikan tunagrahita itu berhasil atau belum. Indikator-indikator apa saja yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan pendidikan tunagrahita? Sehubungan dengan itu perlu dirumuskan indikator perkembangan yang seyogianya dicapai oleh tunagrahita setelah menyeselaikan program pendidikan pada jenjang tertentu. Indikator-indikator itu dapat digunakan untuk menilai keberhasilan pendidikan tunagrahita, sekaligus dapat digunakan sebagai acuan dalam menyusun kurikulum dan acuan pelaksanaan proses pembelajaran. Sehubungan dengan kompleksnya masalah yang dialami oleh anak tunagrahita, program pendidikan bagi mereka perlu didukung oleh program bimbingan konseling yang sistematis dan sesuai dengan perkembangan anak, agar anak tunagrahita dapat berkembang secara optimal dan hidup secara wajar dalam lingkungan masyarakat. Program bimbingan konseling bagi anak tunagrahita seharusnya lebih diarahkan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki anak secara optimal, dan mengembangkan kemampuan kemadirian yang sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi anak tunagrahita, sekurang-kurangnya diperlukan dua bidang kemandirian yang harus dimiliki yaitu: (1) keterampilan dasar dalam hal membaca, menulis, komunikasi lisan, dan berhitung, (2) keterampilan perilaku adaptif yaitu keterampilan mengurus diri dalam kehidupan sehari-hari (personal living skills), dan keterampilan menyesuaikan diri dengan lingkungan (social living skills). Untuk membantu mengembangkan potensi dan mengurangi hambatan yang dialami oleh anak tunagrahita, dalam program pendidikannya diperlukan upaya yang komprehensif dan sistematis yaitu salah satunya dengan mengintegrasikan konseling ke dalam pembelajaran. Gagasan pengintegrasian konseling ke dalam pembelajaran, sejalan dengan pendapat para penganut pendektan konseling perkembangan, yang menjelaskan bahwa lingkungan belajar merupakan wahana pengembangan diri. Dapat ditafsirkan bahwa konseling menjadi bagian takterpisahkan dari proses pembelajran. (Sunaryo Kartadinata, 1996; Sandra A. Rigazio-Digillo, Oscar F. Goncalvas, Allen E Ivey dalam David Capuzzi, 1996). Gagasan tentang pengintegrasian konseling ke dalam pembelajaran, sejalan dengan upaya yang dikembangkan oleh ASCA (American School Counseling Association), yang disebut dengan Comprehensive School Counseling Programs, yang dirancang untuk : (1) Memperbaiki dan meningkatkan kompetnsi siswa dalam perkembangan akademik, perkembangan sosial, dan perkemabngan personal, (2) Memperbaiki prestasi belajar siswa, (3) Program konseling terkait dengan misi akademik sekolah. Oleh karena itu diperlukan upaya mengajak para guru untuk melakukan perubahan dalam pembelajaran anak tunagrahita dengan mengembangkan satu model pembelajaran melalui pendekatan konseling agar pembelajaran anak tunagrahita menjadi efektif dan anak dapat berkembang optimal.B. Fokus Penelitian dan Rumusan Masalah1. Fokus Penelitian Hambatan belajar dan hambatan dalam perilku adaptif yang dialami anak tunagrahita merupakan akibat dari rendahnya kemampuan intelektual. Upaya pendidikan dan konseling diarahkan untuk menggali dan mengembangkan potensi anak tunagrahita secara optimal. Pendidikan anak tunagrahita yang berlangsung saat ini, terlalu berorientasi kepada pengajaran bidang studi, dan kurikulum sebagai satu-satunya acuan yang digunakan. Tidak mengherankan apabila proses pendidikan semata-mata menyampaikan bahan ajar, sehingga situasi belajar menjadi sangat formal. Pendidikan seperti itu belum mempertimbangkan kompleksitas hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang dialami anak tunagrahita secara individidual, sehingga tidak cukup peluang bagi anak untuk mengembangkan potensi dirinya. Atas dasar itulah maka bimbingan konseling menjadi sangat penting dan seyogianya menjadi basis dalam proses belajar mengajar anak tunagrahita.
    Mempelajari perspektif bimbingan konseling, ternyata sangat luas dan beragam. Timbul pertanyaan, teori bimbingan konseling manakah yang relevan untuk dijadikan pijakan konseptual dalam penelitian ini? Teori-teori bimbingan konseling klasik menekankan kepada pemecahan masalah yang bersifat intra-psikis, sedangkan teori bimbingan konseling perkembangan lebih melihat individu sebagai sub sistem dari lingkungan, sasaran yang dituju adalah tingkah laku individu di dalam sistem. Selain itu bimbingan konseling perkembangan dipandang sebagai upaya mengembangkan potensi individu dalam konteks lingkungan.. Penelitian ini berpijak dan mendasarkan diri pada teori bimbingan konseling perkembangan yang secara spesifik disebut Developmental Counseling and Therapy (DCT), sebagai perluasan dari teori perkembngan kognitif Piaget (Allen E. Evey dalam David Capuzzi, 1996). Teori DCT berorientasi kepada pengembangan kemampuan kognitif individu, baik perkembangan yang bersifat vertikal maupun perkembangan yang bersifat horizontal. Berdasarkan asumsi teori ini apabila perkembangan itu dapat dicapai maka individu akan dapat mandiri dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Sehubungan dengan itu maka fokus penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut: Model pembelajaran anak tunagrahita melalui pendekatan konseling yang bagaimana, yang dapat mengembangkan anak tunagrahita mencapai perkembangan optimal ? dan indikator-indikator pekembangan apa yang dapat dijadikan patokan bahwa bahwa anak tunagrahita telah mencapai perkembangan optimum? Fokus penelitian secara lebih jelas dan komprehensif, dapat digambarkan pada bagan 1.1 sebagai berikut:




    Dari bagan di atas dapat dilihat pertemuan antara pembelajaran dengan bimbingan konseling (PBM-BK). Kelayakan model tersebut akan dilihat dari indikator perkembangan, baik vertikal maupun horizontal yang dicapai anak tunagrahita (terkandung perkembangan kemampuan belajar akademik seperti membaca, menulis dan berhitung), ketearampilan perilaku adaptif yaitu keteampilan menolong diri (personal living skills) dan keterampilan menyesuaikan diri terhadap lingkungan (social living skills).

    2. Pertanyaan PenelitianPertanyaan Penelitian tentang Kondisi Objektif Perkembangan dan pembelajaran Siswa Tunagrahita yang Terjadi Saat Ini : a). Apa yang dapat dicapai oleh anak tunagrahita dalam perkembangan keterampilan bahasa (mendengarakan, berbicara, membaca, menulis), keterampilan berhitung), dan keterampilan perilaku adaptif siswa tunagrahita saat ini? b) Bagaimana pelaksanaan pembelajaran yang dilaksanakah oleh guru pada anak tunagrahita saat ini? Pertanyaan penelitian tentan perkembangan keterampilan bahasa (mendengarkan, bicara, membaca, menulis), keterampilan berhitung dan perilaku adaptif yang seharusnya dapat dicapai oleh anak tunagrahita :a) Apa yang seharusnya dicapai oleh anak tunagrahita dalam perkembangan bahasa (mendengarkan, bicara, membaca dan menulis) ?b) Apa yang seharusnya dicapai oleh anak tunagrahita dalam perkembangan keterampilan berhitung ?c) Apa yang seharusnya dicapai oleh anak tunagrahita dalam perkembangan keterampilan perilaku adaptifd) Adakah kesenjangan antara perkembangan bahasa, berhitung, dan perilaku adaptif yang dicapai anak tunagrahita saat ini dengan perkembangan yang seharusnya dapat dicapai oleh anak tunagrahita ?Pertanyaan penelitian tentan pengembangan model pembelajaran anatunagrahita melalui pendekatan kosneling perkembangan konseling: a) Bagaimanakah rancangan dan prosedur pengembangan model pembelajaran bermuatan bimbingan konseling bagi anak tunagrahita?b) Model pembelajaran melalui pendekatan konseling yang bagaimana yang dapat mengembangkan anak tunagrahita mencapai perkembangan optimum?C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk merumuskan: Model pembelajaran anak tunagrahita melalui pendekatan konseling yang dapat mengembangkan anak tunagrahita mencapai perkembangan optimum, baik perkembangan vertikal maupun perkembangan horizontal. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan data tentang: (1) Kondisi objektif pelaksanaan pembelajaran dan perkembangan keterampilan anak tunagrahita saat ini dalam hal: membaca, menulis, berhitung, dan perkembangan keterampilan perilaku adaptif, (2) Indikator perkembangan yang seharusnya dicapai siswa tunagrahita setelah mengikuti program pendidikan, dalam hal perkembangan keterampilan akademik (membaca, menulis dan berhitung ), keterampilan perilaku adaptif (keterampian menolong diri dalam kehidupan sehari-hari dan keterampilan menyesuaikan diri dengan lingkungan). Rumusan indikator perkembangan anak tunagrahita dirumuskan secara kolaboratif, antara guru, kepala sekolah, orang tua dengan peneliti. Selanjutnya dilakukan validasi secara konsensus dengan pakar Bimbingan Konseling dan pakar Pendidikan Luar biasa. 2. Manfaat Penelitian a. Manfaat praktis Hasil penelitian ini secara praktis bermanfaat membantu guru dalam mengembangkan anak tunagrahita mencapai perkembangan optimum, dalam aspek perkembangan bahasa, aritmatika, dan perilaku adaptif dengan cara menyesuaikan lingkungan belajar dengan perkembangan vertikal dan menyesuaikan bahan pelajaran dengan perkembangan horizontal anak tunagrahita.b. Manfaat Teoretis Secara teoritis, hasil penelitian ini bermanfaat dalam menjelaskan konsep perkembangan anak tunagrahita secara holistik. Perekembangan anak tunagrahita dalam penelitian ini dilihat dari dua aspek yaitu perkembangan horizontal dan perkembangan vertikal. Seorang anak tunagrahita dianggap mencapai perkembangan optimum apabila dapat mencapai kedua aspek perkembangan itu. Sejauh ini perkembangan anak tunagrahita hanya dilihat secara vearatikal, belum mempertimbangkan perkembangan horizontal.D. Metode Penelitian 1. Metode Metode penelitian yang digunakan adalah Collaborative Action Research (Natawidjaya, 1997). Penggunaan metode ini didasarakan atas pertimbangan : (a) penelitian ini bermaksud merumuskan acuan pencapaian perkembangan dan merumuskan model pembelajaran yang terintegrasi antara bimbingan konseling dengan pembelajaran. Dalam pelaksanaannya dilakukan secara kolaboratif antara peneliti dengan guru, kepala sekolah dan orang tua, (b) penelitian ini bersifat situasional dan kontektual yang dimaksudkan untuk memecahkan masalah, (c) program yang dikembangkan diuji validitasnya secara konsensual untuk menemukan rumusan acuan perkembangan anak tunagrahita dan rumusan model pembelajaran, (d) hasil penelitian ini berdampak kepada kinerja guru dan perkembangan anak tunagrahita.2. Prosedur Penelitian Urutan langkah kegiatan penelitian ini dibagi menjadi tiga (3) tahap yaitu: Tahap 1 : Pemotretan kondisi obyektif tentang : a. Perkembangan anak tunagrahita dalam hal perkembangan keterampilan bahasa, berhitung dan perkembangan keterampilan perilaku adaptif.b. Lingkungan belajar baik di dalam maupun di luar kelas.c. Pelaksanaan proses pembelajaran oleh guruTahap 2 : Perumusan Indikator Perkembangan Optimuma. Menyusun indikator perkembangan kognitif anak tunagrahita baik secara vertikal maupun secara horizontal berdasarkan kajian konseptual dan hasil observasi b. Melakukan pengkajian rumusan hipotetik (butir a) melalui seminar dan loka karya. Dari sinilah diperoleh rumusan baku tentang perkembangan anak tunagrahita yang seharusnya dicapai oleh anak tunagrahita.c. Uji validasi konsensual tentang perkembangan anak tunagrahita dengan kepala sekolah, guru, orang tua siswa dan pakar baik PLB maupun BK. Tahap3 : Merumuskan model pembelajaran melalui pendekatan konseling a. Merumuskan model pembelajaran anak tunagrahita secara hipotetik dengan merujuk kepada rumusan perkembangan anak tunagrahita (penelitian tahap ke 2), kajian konsep dan hasil observasi (sebagai gagasan awal).b. Implementasi model pembelajaran anak tunagrahita melalui pendekatan konseling secara kolaboratif antara peneliti dengan guru di dalam kelas. c. Uji validasi konsensual dengan guru, kepala sekolah, pakar baik PLB maupun BK , Pada tahap ini diperoleh rumusan model pembelajaran anak tunagrahita melalui pendekatan konseling sebagai produk penelitian (hasil akhir).
    E. Hasil-Hasil Penelitian 1. Kondisi Objektif Perkembangan Anak dan Pelaksanaan Pembelajarana. Perkembangan Anak Tunagrahita Saat ini Tiga area perkembangan horizontal yang diidentifkasi dalam penelitian, yaitu perkembangan keterampilan bahasa, aritmatika dan perkembangan perilaku adaptif. Hasil penelitian menunjukkan sebagai berikut:1) Perkembangan Keterampilan Bahasa. Anak tunagrahita kelas VI belum memiliki keterampilan mendengarkan yang memadai. Dari tiga indikator keterampilan mendengarkanyang diobservasi, yaitu kontak mata, pemusatan perhatian pada lawan bicara dan ketepatan respon, hanya kontak mata yang dapat dilakukan oleh semua anak, sementara dua indikator lainnya tidak muncul. Dalam hal keterampilan berbicara, secara artikulasi mereka tidak memiliki hambatan, terapi dari aspek gramatikal/struktural masih mengalami hambatan. Sebagian besar anak tunagrahita kelas VI sudah memiliki keterampilan memabca mekanik, tetapi hanya sebagian kecil yang dapat membaca pemahaman. Dalam hal keterampilan menulis (hand writing), baru sebagian kecil dari mereka yang lancar menulis.

    2) Perkembangan Keterampilan Artimatika Keterampilan aritmatika anak tunagrahita kelas VI dilihat dari dua aspek. Pertama, keterampilan kuantitatif, yaitu keterampilan dalam memahami konsep artimatika, seperti konsep penumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian. Kedua keterampilan kualitataif, yaitu keterampilan dalam mengunakan konsep aritmatika dalam kehidupan sehari-hari. Semua anak sudah mempunyai keterampilan dalam penjumlahan pada lever kongkret dan semi kongkret dengan menggunakan strategi backup. Tidak seorang pun dari mereka dapat melakukan penjumlahan pada level abstrak. Semua anak belum memahami konsep nilai tempat. Oleh karena itu mereka mengalami kesulitan dalam menjumlahkan bilangan dua desimal. Secara kualitatif semua anak masih belum dapat menggunakan konsep artimatika dalam aktivitas sehari-hari. Sebgian besar anak sudah memahami konsep pengurangan pada level kongkret dan level semi kongkret dengan menggunakan strategi backup. Tidak seorang pun dari mereka yang dapat melakukan pengurangan pada level abstrak. Secara kualitataif semua anak belum dapat menggunakan konsep pengurangan yang dipahaminya ke dalam kegiatan sehari-hari. Semua anak tungrahita kls VI yang menjadi subjek penelitian belum mempunyai ketrampilan dalam perkalian dan pembagian. Sebagai konsekuensi logis dari belum dipahaminya konsep pembagian, dapat dipastikan anak tungarhita akan sangat sulit untuk dapat memahi konsep bilangan pecahan3) Perkembangan Keterampilan Perilaku Adaptif Anak tunagrahita kelas VI yang menajdi seubjek penelitian telah memiliki keterampilan motorik kasar, motorik halus,dan keseimbangan. Sebagian dari mereka masih ada yang mengalai hambatan dalam koordinasi motorik, terutama dalam koordinasi anatra motorik halus dengan persepsi penglihatan. Hampir semua anak sudah dapat berinteraksi dengan orang lain seperti tampak dalam perilaku yang menunjukkan rasa tanggungjawab, toleransi terhadap teman sekelas, bekerjasama dalam kelompok, dan telah dapat memhami status dan peran jensis kelamin. Dalam hal menolong diri, keterampilan yang sudah dapat dilihat melipuiti, keterampilan makan, berpakaian, dan keterampilan dalam kebersihan diri (mandi dan pergi ke toilet), akan tetapi hampir semua anak belum memiliki keterampilan domestik seperti keterampilan mencuci pakaian, merapihkan tempat tidur, dan memelihara barang miliknya sendiri. Keterampilan sosial yang sudah tampak adalah dalam hal menghubungkan kegiatan yang biasa mereka lakukan setiap hari dengan konsep waktu (hari dan jam). Hal masih sulit untuk dilakukan oleh mereka adalah dalam memahami nilai nominal uang dan penggunaannya. Mereka juga masih mengalami kesulitan dalam memahami konsep arah (keterampian orientasi), sehingga belum bisa bepergian sendiri, sekalipun ke tempat-tempat yang sudah dikenal, seperti dari rumah ke sekolah atau sebaliknya. Dalam hal bepergian mereka masih tergantung kepada orang lain.
    b. Pelaksanaan Pembelajaran Pembelajaran yang dilakukan oleh guru lebih berpusat pada kurikulum, belum memperhatikan perbedaan hamabatan belajar dan hambatan perkembangan setiap anak tunagrahita secara individual dan pembelajaran bersifat klasikal. Perhatian guru berpusat kepada penyelesaian target kurukulum, bukan kepada pencapaian perkembangan anak. Akibatnya pembelajaran kurang fungsional bagi anak tungrahita. Terdapat kesenjangan antara lingkungan belajar yang diciptakan oleh guru dengan dengan perkembangan kognitif anak, baik perkembangan vertikal maupun perkembangan horizontal. Lingkungan belajar bersifat abstrak, sementgara perkembangan kognitaif vertikal anak berada pada level kongkret. Akibatanya suasana pembelajaran kelihatan tidak menyenangkan dan tidak terjadi proses akomodasi pada kognitif anak Atmosfir pembelajaran sangat pasif, tidak terjadi interaksi dan komunikasi yang intensif antara guru dengan anak. guru lebih banyak memberikan perintah dan larangan daripada memberikan penghargaan (feed back) kepada anak. Suadana kelas teras sangat formal, tidak kelihatan adanya empati dari guru kepada anak.2. Prediksi Perkembangan Optimum Anak Tunagrahita Kelas VIa. Prediksi Perkembangan Optimum Keterampilan Bahasa Perkembangan bahasa yang diprediksi bisa dicapai oleh anak tunagrahita kelas VI adalah, (1) Dapat memusatkan perhatian kepada orang yang mengajak bicara, (2) Mengerti isi pembicaraan yang didengarnya dengan memberi respon yang sesuia, (3) Dapat mengutarakan keinginan kepada orang lain dengan jelas, (4) Dapat berbicara timbal balik dengan lawan bicara, (5) Dapat mengujukan pertanyaan, (6) Dapat mengenal abjad, (7) Dapa memahami isi bacaan yang memuat antara 150-200 kata, (8) Dapat menulis tulisan tangan dengan tulisan bersambung, (9) Dapat mengikuti dikte, (10) Dapat mengungkapkan keinginan, maksud dan ide secara tertulis.b. Prediksi Perkembangan Optimum Aritmatika Perkembangan keterampilan aritmatika yang diprediksi bisa dicapai oleh anak tunagrahita kelas VI adalah (1) Memahami konsep bilangan satuan, puluhan, ratusan dan ribuan, (2) Memahami konsep penjumlahan bilangan tiga digit, (3) Memahami konsep pengurangan bilangan tiga digit oleh bilangan dua digit, (4) Memahami konsep perkalian sampai bilangan tiga digit, (5) Memahami konsep pembagian tidak bersisa, (6) Memahami ukuran satuan berat Kg dan kuintal, (7) Memahami konsep ukuran luas sebuah bidang.c. Predikasi Perkembangan Optimum Prerilaku Adaptif Perkembangan perilaku adaptif yang diprediksi bisa dicapai oleh anak tunagrahita kelas VI adalah (1) Dapat menggunakan motorik kasar dan motorik halus dalam kehidupan sehari-hari, (2) Mengerti situasi lingkungan sekitar dengan memberi respon yang sesuia, (3) Dapat memerankan diri sesuai jenis kelamin, (4) Dapat mengerjakan pekerjaan yang berhubungan dengan keperluan diri sendiri, (5) Dapat menggunakan uang dalam kehidupan sehari-hari, (6) Dapat bepergian sendiri ke tempat-tempat yang sudah yang sudah dikenal, (7) Dapat menggunakan alat-alat rumah tangga sesuai dengan fungsinya.3. Rumusan Model Pembelajaran Anak Tunagrahita Melalui Pedekatan Konseling a. Pengertian Model pembelajaran anak tunagrahita melalui pendekatan konseling yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pola yang digunakan oleh guru dalam mengatur materi pelajaran agar sesuai dengan perkembangan horizontal dan mengatur lingkungan belajar agar sesuai dengan perkembanga vertikal anak tunagrahita, sehingga baik lingkungan belajar maupun bahan pelajaran relevan dengan perkembangan anak. Dalam pelaksanaanya, model pembelajaran ini memiliki tiga tahapan yaitu: (1) tahap orientasi, (2) tahap mediasi, (3) tahap ko-konstruksi. Dalam model ini, pembelajaran dirancang agar menyenangkan dan fungsional bagi anak tunagrahita serta diarahkan agar anak tunagrahita dapat mencapai perkembangan optimum.b.Tujuan Model pembelajaran ini bertujuan untuk membantu anak tunagrahita dalam memcapai perkembangan optimum baik perkembangan vertikal maupun perkembangan horizontal, sehingga anak dapat mencapai kemadirian. Untuk mencapai tujuan itu guru harus memiliki empat kemampuan yaitu: (1) Penguasaan bahan ajar, (2) Kemampuan dalam melakukan asesmen tentang perkembangan anak, baik perkembangan vertikal maupun perkembangan horizontal, (3) Kemampuan dalam melakukan penyesuain antara bahan ajar dengan perkembangan horizontal dan penyesuaian antara lingkungan belajar dengan perkembangan vertikal anak tunagrahita, (4) Kemampuan dalam memciptakan lingkungan belajar yang cocok dengan perkembangan vertikal anak c. Komponen dan Prosedur Kerja Model pembelajaran ini memiliki lima komponen, yaitu: (1) Asesmen perkembangan anak, (2) Adaptasi kurikulum (bahan ajar) dengan perkembangan horizontal anak tunagrahita, (3) Memilih lingkungan belajar yang sesuai dengan tahap perkembangan vertikal anak tunagrahita, (4) Tahapan pembelajaran. Urutan nomor dari setiap komponen, menunjukkan pula urutan kerja dari model ini. Komponen-komponen tersebut secara rinci diuraikan sebagai beriku:1. Asesmen Perkembangan Anak Asesmen diperlukan untuk mengetahui perkembangan anak tunagrahita. Perkembangan anak dalam model ini didefinisikan sebagai proses perubahan yang bersifat vertikal (lebih bersifat potensial) dan proses perubahan yang bersaif horizontal yang merupakan hasil dari proses belajar.a) Asesmen perkembangan Vertikal Asesmen perkembangan vertikal digunakan untuk melihat tahapan perkembangan yang dicapai oleh setiap anak tunagrahita. Perkembangan vertikal meliputi empat tahap yaitu tahap perkembangan sensori motor, kongkret operasional, formal operasional dan dialektik. Perkembangan vertikal adalah perpindahan dari tahap perkembangan yang lebih rendah ke tahap perkembangan yang lebih tinggi. Setiap tahapan perkembangan kognitif memiliki karakteristik yang khas dan memerlukan lingkungan belajar yang sesuia dengan karakteristinya. Individu yang berada pada tahap perkembangan sensori motor memerlukan lingkungan belajar yang terstruktur, dan memerlukan metode pembelajaran bersifat direktif. Individu yang berada pada tahap perkembangan kongkret operasional Individu yang berada pada tahap perkekembangan kongkret operasional memerlukan lingkungan belajar yang bersifat semi terstruktur. Individu yang berada pada tahap perkemabangan formal operasional memerlukan lingkungan belajar yang bersifat konsultatif, dan individu yang berada pada tahap perkembangan dialektik memerlukan lingkungan belajar yang bersifat kolaboratif. Tekink asesmen yang digunakan untuk mengetahui perkembangan vertikal anak tunagrahita adalah wawancara bebas. Ungkapan dan ekpresi verbal dari anak yang diajak bicara menunjukkan tahap perkembangan kognitif vertikal yang dicapai oleh anak (diperkirakan). Apabila guru sudah mengetahui tahapan perkembangan vertikal seorang anak, maka sudah dapat menentukan lingkungan belajar yang harus disediakan. Pada penelitian ini, perkembangan vertikal anak tunagrahita berada pada tahap antara sensori motor dengan kongkret operasional, oleh karena itu lingkungan belajar yang harus disediakan adalah lingkungan semi-terstruktur.
    b) Asesmen Perkembangan Horizontal Perkembangan horizontal adalah sebuah eksplorasi, penguasaan dan elaborasi tentang sikap, emosi dan perilaku yang berkenaan dengan satu tahap perkembangan vertikal tertentu. Dalam model ini, perkembangan horizontal meliputi tiga aspek yaitu perkembangan keterampilan bahasa, aritmatika dan perilaku adaptif. Data hasil asesmen perkembangan horizontal dijadikan dasar dalam mementukan bahan (materi) pelajaran yang akan diajarkan agar sesuai dengan kebutuhan belajar anak tunagrahita.
    2) Adaptasi Kurikulum Terhadap Perkembangan Anak. Data hasil asesmen perkembangan vertikal menjadi dasar dalam menentukan lingkungan belajar, sementara itu data hasil asesmen perkembangan horizontal memberikan informasi tentang kapasitas dan hambatan belajar yang dialami oleh anak tunagrahita dalam belajar bahasa, aritmatika dan perilaku adaptif. Oleh karena itu bahan pelajaran yang tercantum dalam kurikulum harus disesuaikan dengan data hasil sesmen horizontal. Dengan demikian terjadi penyesuaian antara hambatan belajar dan perkembangan anak dengan materi kurikulum.
    4) Memilih Lingkungan Belajar Dalam model ini lingkungan belajar yang diciptakan harus sejalan dengan perkembangan kognitif vertikal anak tunagrahita yang akan belajar. Perkembangan kognitif vertikal terdiri dari empat tahap yaitu (1) Tahap sensori motor, (2) Tahap kongkret operasional, (3) Tahap formal operasional, (4) Tahap dialektik. Setiap tahap perkembangan memerlukan lingkungan belajar yang sesuai dengan karakteritik dari setiap tahap perkembangan anak yang bersngkutan (lihat asesmen perkembangan vertikal). Perkembangan kognitif vertikal anak tunagrahita kelas VI (subjek penelitian) berada pada tahap perkembangan antara sensori motor dan kongkret operasional. Oleh karena itu lingkungan belajar yang cocok bagi mereka adalah lingkungan yang semi terstuktur. Lingkungan belajar semi terstruktur memberi kemudahan kepada anak taunagrahita untuk memahami fakta, konsep dan prinsip dari perspektif yang kongkret.

    5) Tahapan Pembelajaran Model pembelajaran ini memiliki tiga tahapan pembelajaran yaitu (a) Tahap orientasi, (b) Tahap Mediasi, (c) Tahap ko-konstruksi. Ketiga tahap pembelajaran itu merupakan satu kesatuan yang utuh dan terintegrasi. Perpindahan dari satu tahap ke tahap berikutnya tidak terdapat jeda dalam pelaksanaannya. Penerapan model pembelajaran ini memerlukan dua orang guru yaitu main teacher (guru utama) bertugas mengelola kelas secara keseluruhan dan co-teacher (guru pembantu) bertugas memberikan perhatian dan pelayanan kepada anak secara individual.Sehingga pembelajaran menjadi berpusat kepada anak(a) Tahap Orientasi Pembelajaran pada tahap ini merupan proses menghubungkan antara pengalaman anak dengan bahan pelajaran dan lingkungan belajar. Pada tahap ini diciptakan situasi yang dapat membangkitkan perhatian dan motivasi semua anak agar terlibat dalam aktivitas pembelajaran. Tahap orientasi dimaksudkan untuk mengawali pembelajaran dengan akativitas yang gembira dan menyenagkan. Pada tahap ini terdapat dua hal penting yang perlu diperhatikan yaitu pertama, pengaturan susunan kelas (kelas dibuat fleksibel agar dapat diubah-ubah sesuai kebutuhan). Kedua, pembelajaran diawali dengan ceritera yang dapat menghubungkan antara pengalaman anak dengan bahan pelajaran yang akan diajarkan (pelajaran dimulai dari apa yang sudah diketahui anak).

    (b) Tahap Mediasi Pada tahap ini diciptakan situasi agar terjadi ineraksi antara anak dengan perangsang (alat pearaga) yang disediakan. Guru tidak memulai pembelajaran dengan menjelaskan konsep, tetapi dimulai dengan aktivitas. Terdapat tiga urutan proses belajar yang harus dilalui yaitu tahap kongret, setengah kongkret dan tahap abstrak. Pembelajaran bersifat kongkret. Pada tahap ini anak diberi kesempatan seluas-luasnya untuk memaipulasi benda kongkret (alat peraga) yang berhubungan dengan konsep yang akan diajarkan. Dengan kata lain konsep yang bersifat abstrak diakses melalui proses yang dapat diamaati secara visual, auditif, taktil dan kinestetik (aktivitas multi sensori). Dengan demikian konsep dapat dipahami secara utuh dana mantap. Pembelajaran bersifat setengah kongkret. Situasi pembelajaran pada pada tahap ini sama seperti pada tahap kongkret. Perbedaannya terletak pada perangsang (alat peraga) yang digunakan. Pada tahap ini alat peraga yang digunakan adalah gambar benda yang digunakan pada tahap kongkret. Hal ini dimaksudkan untuk menjembatani antara pemahaman yang berrsifat kongkret dengan pemahaman yang besifat abstrak. Pembelajaran bersifat abstrak. Pada tahap ini pembelajaran tidak lagi menggumalan alat peraga tatapi lebih banyak menggunakan simbol abstrak (misalnya angka, dan bahasa). Pada tahap ini diharapkan anak talah mengalami proses mengkonstrus dan merekonsstruksi pengetahuan baru dihubungkan dengan pengalaman atau pengetahuan sebelumnya.

    (c) Tahap Ko-konstruksi Pembelajaran pada tahap ini merupakan kegiatan pemantapan agar anak mengalami proses adaptasi kognitif. Terdapat dua proses yang terjasi pada tahap ini yaitu proses yang mengarah kepada evaluasi dan proses yang mengarah kepada asesmen. Kedua duanya menyatu dalam proses pembelajaran. Evaluasi dalam model ini dimaknai sebagai upaya untuk melihat perkembangan yang terjadi pada anak tunagrahita sebagai hasil belajar. Sementara asesmen dimaknai sebagai upaya untuk melihat hambatan belajar yang dialami oleh anak pada saat mengikuti proses pembelajaran. Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang model pembelajaran anak tunagrahita melalui pendekatan konseling dapat dilihat pada model visual pada bagan di bawah ini.










    Model Pembelajaran Anak Tunagrahita Melalui Pendekatan Konseling
    F. Dampak Penerapan Model Pembelajaran Melalui Pendekatan Konseling Terhadap Perkembangan Anak Tunagrahita dan Terhadap Guru







    1. Dampak Terhadap Perkembangan Anak
    Dampak positif yang ditimbulkan dari penerapan model ini terhadap pekembangan anak tunagrahita (pada subjek penelitian) adalah (a) Pembelajaran kelihatan menjadi menyenangkan bagi anak dan memunculkan rasa percaya diri, (b) Terjadi proses akomodasi kognitif antara pengalaman/pengetahuan sebelumnya dengan konsep yang baru diajarkan, (3) Anak menunjukkan motivasi belajar lebih tinggi daripada sebelumnya, ditandai oleh munculnya perseverence, yaitu ketika waktu belajar sudah habis, anak-anak masih semangat untuk terus melakukan aktivitas, (4) Tumbuh rasa percaya diri pada diri anak yang ditandai oleh keberanian berbicara dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada guru pada saat pembelajaran.
    2. Dampak Terhadap Guru Penerapan model pembelajaran ini berdampak kepada sikap dan keterampilan guru dalam pembelajaran anak tunagrahita sesbagai berikut (a) Tumbuh kesadaran pada guru akan pentingnya asesmen dan pentingnya analisis kurikulum sebagai langkah untuk melakukan penyesuain kurikulum dengan hamabatan belaajr dan perkembangan anak tunagrahita, (b) Guru menjadi terampil dalam melakukan asesmen tentang pekembangan anak tunagrahita, baik asesmen perkembangan vertikal maupun asesmen perkembangan horizontal, ( c) Pemahaman guru tentang perkembangan anak tunagrahita menjadi lebih baik, (d) Guru menjadi terampil dalam melakukan penyesuaian isi kurikulum dengan hambatan belajara dan perkembangan anak, (e) Guru menjadi lebih ekpresif ketika berinteraksi dengan anak, lebih terampil dalam melihat keberhasilan yang dicapai oleh anak, dan lebih sering memberikan pengakuan dan penghargaan kepada anak, (f) Guru menjadi terbiasa bekerja dalam tim. Dampak dari penerapan model pembelajaran ini terhadap guru seperti tersebut dijelaskan di atas, dapat dirumuskan menjadi kompetensi yang harus dimiliki oleh guru dalam penerapan model pembelajaran anak tunagrahita melalui pendektan konseling di tempat lain.






    PUSTAKA RUJUKAN
    Alimin, Zaenal (1993) Study on CignitiveProcess of Incomplete Pictures Recognition in Normal and Mentally Retarded Children. Master Thesis University of Tsukuba : TsukubaAstati (1999), Program Layanan Dasar Bimbingan dan Konseling Dalam Meningkatkan Kesiapan Kerja Anak Tunagrahita Ringan.Studi Kolaboratif Model Bimbingan Ekologis Pada Siswa SMLB Tunagrahita Ringan di SPLB-C YPLB Bandung. Thesis PPS IKIP: Bandung.
    Alberto, Paul A; Anne C Troutman (1986), Applied Behavior Analysis for Teachers. Merrill Publishing Company: Columbus.
    Astati, (1999),Program Layanan Dasar Bimbingan dan Konseling dalam Meningkatkan Kesiapan Kerja Anak Tunagrahita Ringan.Tesis PPS IKIP Bandung : Bandung.Baine.D (1986), Curricula Used with Handicapped Students in Developing Countries: Issues and Recommendation. UNESCO: Paris.Browning.L Philip (1974), Mental Retardation: Rehabilitation and Counseling. Charles Thomas: Illinois.Bruininks. R.H (1989), Dimension of Community Adjusment Among Young Adult with Intellectual Disability. Association of Scientific Study of Mental Deficiency. 8, 435-448. Baine, D (1988) Curricula Used with Handicapped Students in developing Countries :Issues and Recommendation. UNESCO : Paris.
    Beirne-Smith, Mary (2002), Mental Retaradation. Merrill Prentice Hall: Columbus, Ohio.
    Burtiham (1999) Program Bimbingan Perkembangan dalam Membantu Kemandiri-an Belajar Siswa Tunanetra di Tingkat Dasar SLBNA Bandung. Tesis PPS IKIP Bandung : Bandung.Capuzzi, David & Douglas. R. Gross (1996), Counseling and Psychotherapy: Theories and Intervention. Prentice Hall: Ohio.
    Capuzzi, David (1995) Counseling and Psychotherapy : Theories and Interven tion. Englewood Cliffs : Ney York.Dahlan M.D. (1985), Beberapa Pendekatan dalam Penyuluhan. CV Diponegoro: Bandung.Dahlan. M.D. Ed (1984), Model -Model Mengajar. CV Diponegoro: Bandung.
    Dahlan M. D. (1988) Posisi Bimbingan dan Penyuluhan dalam Kerangka Ilmu Pendidikan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Pendidikan Pada FIP IKIP Bandung.
    Das, J. P, (1979) Remedial Training and Mental Reterdation. Paper Presented at The Seventh Conggerss of AISSMD :New Delhi.
    Elliot, John (1998), Action Research for educational Change. Open University Press: Philadelpia
    Fraenkel. Jack. R & Norman. E. Wallen (1993), How to Design and Evaluate Research in Education. NcGraw-Hill Inc: New York. Gigson, Robert. L and Marianne Mitchell (1995), Introduction to Counseling and Guidance. Merril, an imprint of Prentice Hall: Englewood Cliffs, New Jersey.
    Gow, L. P, J. Balla dan E. Butterfield (1988) The Relative Efficacy of Cognitive and Behavioral Approaches to Intruction in Promoting Adaptive Capacity. American Journal of Mental Deficiency, 90, 259-265.
    Hopkin, David (2003), A Teacher’s Guide to Classroom Action Research. Open University Press: Philadelphia.
    Ivey, A & Concalves (1988) Developmental Therapy : Integrating Developmental Process Into Clinical Practice. Journal of Counseling and Development, 66, 406-413Johnsen, Berit.H and Miriam ,D. Skorten (2001), Education- Special Needs Education An Introduction. Unifub forlag: Oslo.Kartadinata, Sunaryo (1996), Kerangka kerja bimbingan dan konseling dalam pendidikan: Pendekatan Ekologis sebagai suatu alternatif. Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Pendindikan pada Jurusan PPB IKIP Bandung: Bandung.
    Kartadinata, Sunaryo (1996) Kerangka KerjaBimbingan dan Konseling dalam Pendidikan: Pendekatan Ekologis Sebagai Suatu Alternatif. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru besar Bimbingam Penyuluhan FIP IKIP Bandung.
    Lewis. D. (1989), Assessing Post-School Effects of Special Education for Youth with mental Retardation Throught Economic Analysis. International Association for Scientific Study of Mental Deficiency. 8, 425-447.Marsha Well & Bruce Joyce ( 1978 ) Personal Model of Teaching Prentice-Hall INC : New Jersey
    Marsha Well & Bruce Joyce (1978) Social Model Teaching. Prentice Hall INC : New Jersey.
    Marsha Well & Bruce Joyce (1978) Information Proccessing Model o Teaching. Prentice-Hall INC : New Jersey.
    McLoughlin. James.A & Rana. B. Lewis (1986), Assessing Special Students. Merrill Publishing Company: Columbus.
    McNiff, Jean (1995), Action Research Prinsiple and Practice. Routlege: New York
    Moleong, Lexy (1993), M McNiff, Jean (1995), Action Research Prinsiple and Practice. Routlege: New York etodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya : Bandung.Natawidjaja, Rochman (1997), Penelitia Tindakan (Action Research). IKIP Bandung: BandungNatawidjaja, Rochman (1997), Konsep dasar Penelitian Tindakan. IKIP Bandung Natawidjaja,Rochman (1997, Pokok-Pokok Pikiran Mengenai Penelitian Kelas. IKIP BandungNatawidjaja, Rochman (1984 )Tingkat Penerapan Bimbingan dalam Proses Belajar MengajarDihubungkan dengan Kepedulian Guru dan Sikap Siswa Terhadap Bimbingan. Desetasi PPS IKIP BandungNeely. M (1982), Counseling and Guidance Practice with Special Education Straudents. The Dorsey Press: Illnois. Noffke, Susan E ; Robert B. Stevenson (1995), Educational Action Research, Becoming Practically Critical. Teahers College Columbia University: New York. Nung Muhadjir (1996), Metodologi Penelitian Kualitatif. Rake Sarasih: YogyakartaRicardson S.A; H. Koller and M. Katz (1989), Job-Histories in Open Employment of Young Adult with Mental Retardation. American Journal on Mental Retardation. 92,6,449-456.
    Robert, P. Ingalls (1987) Mentel Retardation The Changing Out Look. John Wiley and Sons : New York.Semiawan, Conny. R. (1999), Pendidikan Tinggi : Peningkatan Kemampuan Manusia Sepanjang Hayat Seoptimal Mungkin. Grasindo: JakartaSmith, Mary Beirne ; Richard F. Ittenbach; James R. Patton (2002), Mental Retardation. Merrill Prentice Hall: New Jersey.Stone,. Gerald . L (1986), Counseling Psychology Perspective and Function. Brook/Cole Publishing Company: Calofornia. Suhaeri HN & Edi Purwanto (1996), Bimbingan Konseling Anak Luar Biasa. Proyek Pendidikan Tenaga Guru Ditjen Dikti. Depdikbud: Jakarta.
    Sellin, Donald F (1979), Mental Retardation Nature, Needs, and Advocay. Allyn and Bacon, Inc: Boston.
    Skjorten, D. Miriam (2001), Education-Special Needs Education An Intoduction. Unfub forlag: Oslo. .
    Lauria, (1961) The role of Speech in The Reguration of Normal and Abnormal Behavior. Perganon : London.
    Lauria (1961) Higher Cortical Function in Man. Basic Book : New York.
    Payne, James.S (1981), Mental Retardation. Charles Merrill Publishing Company: Columbus.
    Philip, L. Browing (1974) Mental Retardation : Rehabilitation and Counseling. Charles Thomas : Illionis. Vigostsky,Lev (1978), Mind in Society : The Development of Higher Psychologial Process.Harvard University Press : Cambrige. Tuckman, Bruce. W (1973), Conducting Educational Research. Harcourt Brace: New York
    Zigler, (1969) Developmental v.s Defference Theories and The Problem of Motivation. American Journal of mental Deficiency, 73, 536-555.
    RIWAYAT HIDUP
    Zaenal Alimin dilahirkan di Garut pada tanggal 24 Maret 1959, dari pasangan Ibu Eni Sukraeni dan Bapak Zaenal Arifin. Lahir dan dibesasrkan di lingkungan keluarga guru yang sederhana. Nenek, Ayah, kaka-kakanya berprofesi sebagai guru, mungkin karerna pengaruh lingkungan, sejak kecil bercita-cita ingin menjadi guru. Pada tahung 1986 menikah dengan Tati Mulayati, berasal dari Sumedang, yang juga berprofesi sebagai guru di sebuah SMK di kota Bandung. Dari hasil perkawinannya dikaruniai tiga orang anak, yaitu Gea Fardias Mu’min, Mohamad Magian dan Nadia A. Daniswara. Pada saat ini bertemapt tinggal di Jl.Cibogo Atas no 15 A Kelurahan Sukawarna Kecamatan Sukajadi kota Bandung. Sekolah Dasar diselesaikan di Cikajang Garut pada tahun 1972, Sekolah Menengah Pertama di tempat yang sama lulus pada tahun 1974 dan Pada tahung 1977 menyelesaikan pendidikan SMEA Negeri di Garu. Ketika belajar di SMEA merasa kehilangan semangat karena tidak cocok dengan keinginan, yang sejak kecil bercita-cita menjadi guru. Pada tahun 1978 melanjutkan pendidikan ke IKIP Bandung dan memilih jurusan Pendidikan Luara Biasa, specialisasi pendidikan anak tunagrahita. Di kampus yang sejuk dan asri inilah gairah dan semangat belajar kembali muncul, merasakan adanya kenyamanan dalam belajar dan bidang yang dipelajari cocok sekali dengan cita-cita sejak kecil yaitu ingin menjasi guru. Oleh karena itu sejak semester 3 sampai dengan menyelesaikan S1 pada tahun 1983 mendapat beasiswa dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pada tahun 1984 diangkat menjadi PNS di lingkungan FIP IKIP Bandung sebagai asisten dosen di jurusan PLB. Pada tahun 1990 mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan program master special education, specialisai perkembangan kognitif anak tunagrahita di Tsukuba University Japan, dengan beasiswa dari Departeman Pendidikan Pemerintah Jepang (Mombusho), diselesaikan pada tahun 1993. Setelah kembali dari Jepang, diberi tugas tambahan oleh ketua jurusan untuk merintis dan mengembangkan labolatorium Pendidikan Luar Biasa, yang selanjutnya berkembang menjadi PUSAT PENGEMBANGAN ANAK. Tugas ini dilaksanakan sampai bulan Mei 2006. Di tempat inilah penulis belajar secara empirik tentang pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus termasuk anak-anak penyandang cacat, dan berusaha mengebangkan diri dalam membangun profesi. Di tempat ini pula penulis merasa bahwa pendidikan berkebutuhan khusus merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupannya. Pada tahun 1998 melajutkan pendidikan ke program S3 di PPS UPI, mengambil program studi Bimbingan Konseling dengan kajian individual konseling anak tunagrahita, yang diwujudkan dalam bentuk disertasi ini. Pendidikan S3 ditempuh dalam jangka waktu lama, karena pada saat yang bersaan terlibat dalam banyak kegiatan, antara lain: (1) Pada tahun 2002/2003, menjadi anggaota tim pengembang Sistem Pembinaan Tenaga Kependidikan PLB (SPTK PLB) direktorat ketenagaan Ditjen Dikti (2) Pada tahun 2004 menjadi anggota tim pengembang kemitraan perguruan tinggi direktorat ketenagaan Ditjen Dikti (3) Pada tahun 2005 menjadi anggota tim pengembang sistem asesmem kurikulum berbasis kompetensi, direktorat ketenagaan Ditjen dikti (4) Pada thun 2006 menjadi anggota tim pengembang pendidikan profesi PLB, direktorat ketenagaan Ditjeb dikti.
    Bersamaan dengan itu, dari bulan Januari-Maret 2003 dalam rangka mengembangkan pendidikan inklusif di indonesia, diberi tugas oleh Rektor UPI sebagai guest researcher di Oslo University Norway, sebagai realisasi kerja sama antara UPI dengan Oslo University untuk mengembangkan program magister (S2) Pendidikan Kebutuhan Khusus di PPS UPI. Pada tahun 2005 sampai saat ini, disamping masih berstatus sebagai mahasiswa S3, diberi tugas sebagai sekretaris program studi Pendidikan Kebutuhan Khusus di SPS UPI. Ada beberapa karya ilmiah yang dihasilkan baik dalam bentuk buku, artikel yang diterbitkan dalam jurnal maupun makalah yang disampaikan dalam seminar sebagai berikut:Karya Ilmiah dalam Bentuk Buku.1. Penelitian bagi Guru Pendidikan luar Biasa 1997, diterbitkan oleh Dierktorat jenderal Pendidikan Tinggi Jakarta.2. Pendidikan Anak Berbakat Penyandang Cacat 1998, diterbitkan oleh oleh Dierktorat jenderal Pendidikan Tinggi Jakarta.3. Pembelajaran Individual Bagi Anak Tunagrahita 2005, diterbitkan oleh oleh Dierktorat jenderal Pendidikan Tinggi Jakarta.4. Asesmen Keterampilan Membaca dan Menulis Siswa Sekolah Dasar Kls IV-VI, 2005 diterbitkan oleh Ganesha Opeation Bandung.5. Asesmen Keterampilan Aritmatika Siswa Sekolah Dasar Kls IV-VI 2005, diterbitkan oleh Ganesha Opeation Bandung.Karya Ilmiah dalam Bentuk Artikel Dalam Jurnal1. Role and Activities of The Center for Chid Development, Departement of Special Education at Univaersity of Education. Bulletin of Disability science Vol.27, 2003, University of Tsukuba.
    2. Reorientasi Pemahaman Konsep Special Education ke konsep Special Needs Education dan Implikasinya Terhadap Layanan pendidikan. Jurnal Asesmen dan intervensi Anak berkebutuhan Khusus Vol.3, 20043. Hambatan Belajar Pada Anak dengan Down’s Syndrome. Jurnal Asesmen dan intervensi Anak berkebutuhan Khusus Vol.4, 20054. Cognitive Processes of Incomplete Figures Recognition in Children With Mental Retardation. Bulletin of Special Education Vol. 17, 1993.Karya Ilmiah Hasil Penelitian1. Model Pembelajaran bagi Anak Learning Disabled di Sekolah dasar. Hibah bersaing Dikti 1996-1997.2. Dampak Kurikulum Bermuatan Akademik Di Taman Kanak Kanak Terhadap Perkembangan Kognitif Anak. Lembaga Penelitian UPI Bandung.3. Efektivitas Penggunaan Teknik Berlapis Berulang dalam Perkuliahan Ortopedagogik Anak Tunagrahita. Due-Like 2001-2002.Karya Ilmiah dalam Bentuk Makalah1. Hambatan Belajar Pada Anak dengan Down’s Syndrome dan Imlpikasinya Terhadap Layanan Pendidikan. Disampaika dalam seminar KID di Bandung, 20042. Pendidikan Inklusif bagi Anak Usia Dini. Disampaikan dalam seminar ECCD-RC di Yogyakarta, 20063. Children with Learning Disabities in Primary Schools. Disampaikan dalam seminar Perkumpulan orang tua dan guru SD Al Biruni Bandung, 2006.4. Trasition from Integration to Inclusion In West Java Province. Internataional Symposium on Inclusive Education, sponsored by UNESCO and Braillo Norway, Bukittinggi 2005
    5. Combining Inclusion and CLCC for Developing School Friendly Child in West Java province. Internataional Symposium on Inclusive Education, sponsored by UNESCO and Braillo Norway, Bukittinggi 2005.Dalam pengabdiannya sebagai Pegwai Negeri Sipil di lingkungan UPI, penulis memperoleh piagam pengahrgaan dari Presiden Republik Indonesia dan dari Rektor UPI yaitu:



    Label:

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google
  • Kembali ke Halaman Depan