Buku Tamu



Anda adalah pengunjung ke
View My Stats

Silakan isi
  • Buku Tamu Saya
  • Lihat Buku Tamu




  • Jika anda meninggalkan pesan atau mengajukan pertanyaan yang memerlukan respon,
    respon saya dapat anda baca di
  • Comment




  • Google

    Daftar Isi

  • KESULITAN BELAJAR DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN
  • REORIENTASI PENDIDIKAN KHUSUS/PLB (SPECIAL EDUCATION) KE PENDIDIKAN KEBUTUHAN KHUSUS (SPECIAL NEEDS EDUCATION) USAHA MENCAPAI PENDIDIKAN UNTUK SEMUA
  • Program Master Pendidikan Kebutuhan Khusus SPS
  • MENJANGKAU ANAK-ANAK YANG TERABAIKAN MELALUI PENDEKATAN INKLUSIF DALAM PENDIDIKAN
  • PEMBELAJARAN ANAK BERBAKAT
  • VYGOTSKY IN THE CLASSROOM: MEDIATED LETERACY INTRUCTION AND INTERVENTION
  • SUBJECTIVE PERCEPTIONS OF STRESS & COPING BY MOTHERS OF CHILDREN WITH INTELLECTUAL DISABILITY A NEEDS ASSESSMENT
  • Anak Penyandang Autisme dan Pendidikannya
  • Pendidikan Inklusif Ketika Hanya Ada Sedikit Sumber
  • Orientasi Ulang Pendidikan Tunagrahita dari Pendekatan Formal ke Pendekatan Fungsional
  • Definisi dan Ruang Lingkup Praktek Konseling Rehabilitasi
  • Landasan Filosofis Konseling Rehabilitasi
  • Pertimbangan-pertimbangan dalam Intervensi Konseling Rehabilitasi: Faktor Personal
  • Pertimbangan-pertimbangan dalam Intervensi Konseling Rehabilitasi: Faktor Lingkungan
  • Pertimbangan-pertimbangan dalam Intervensi Konseling Rehabilitasi: Hakikat Kecacatan
  • Bahasa dan Ketunagrahitaan
  • Pernyataan Salamanca
  • HAMBATAN BELAJAR DAN HAMBATAN PERKEMBANGAN PADA ANAK-ANAK TUNAGRAHITA
  • SUBJECTIVE PERCEPTIONS OF STRESS & COPING BY MOTHERS OF CHILDREN WITH INTELLECTUAL DISABILITY A NEED ASSESSMENT
  • HAMBATAN BELAJAR DAN HAMBATAN PERKEMBANGAN PADA ANAK YANG MENGALAMI KEHILANGAN FUNGSI PENDENGARAN
  • MEMAHAMI PERKEMBANGAN,HAMBATAN PERKEMBANGAN DAN HAMBATAN BELAJAR PADA ANAK
  • Orientasi Pendidikan Kebutuhan Khusus
  • PEMAHAMAN KONSEP PENDIDIKAN KEBUTUHAN KHUSUS DAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
  • THE EFFECTS OF PRECISION TEACHING TECHNIQUES AND FUNTIONAL COMMUNICATION TRAINING ON BEHAVIOR PROBLEM FOR 12-YEAR OLD MALE WITH AUTISM
  • Daftar Cek Perkembangan Bahasa Anak Tunagrahita
  • Perkembangan Kognitif Anak Tunagrahita Menurut Teori Piaget
  • Program Master Pendidikan Kebutuhan Khusus
  • Pengajaran Bahasa Bagi Anak Tunagrahita
  • MODEL PEMBELAJARAN ANAK TUNAGRAHITA MELALUI PENDEKATAN KONSELING




  • Jumat, 30 April 2010

    KESULITAN BELAJAR DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN

    Zaenal Alimin
    Prodi Pendidikan Kebutuhan Khusus
    Sekolah Pascasarjana UPI
    Email: alimin@upi.edu

    A.Pendahuluan

    Kesulitan belajar merupakan bidang yang sangat luas, dan sangat komplek untuk dipelajari, karena menyangkut sekurang-kurangnya aspek psikologis, neurologis, pendidikan dan aspek kehidupan sosial anak dalam keluarga/ masyarakat. Setiap disiplin ilmu memiliki cara pandang yang berebeda dalam memahami dan menjelaskan fenomena kesulitan belajar yang dialami oleh seorang anak.

    Tulisan singkat ini berusaha untuk melihat fenomena kesulitan belajar yang dialami oleh seorang anak dari sudut pandang pendidikan. Ilmu pendidikan berpendirian bahwa semua anak miliki perbedaan dalam perkembangan yang dialami, kemampuan yang dimiliki, dan hambatan yang dihadapi. Akan tetapi ilmu pendidikan juga berpendirian bahwa meskipun setiap anak mempunyai perpedaan-perbedaan, mereka tetap sama yaitu sebagai seorang anak. Oleh karena itu jika kita berhadapan dengan seorang arang anak, yang pertama harus dilihat, ia adalah seorang anak, bukan label kesulitannya semata-mata yang dilihat. Dengan kata lain pendidikan melihat anak dari sudut pandang yang positif, dan selalu melihat adanya harapan bahwa anak akan dapat berkembang secara optimal sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Sudut pandang seperti inilah yang mendorong para pendidik untuk bersikap optimis dan tidak pernah menyerah.

    Pendidikan memposisikan anak sebagai pusat aktivitas dalam pembelajaran. Ketika pembelajaran dilakukan maka pertimbangan pertama yang diperhitungkan adalah apa yang menjadi hambatan belajar dan kebuhan anak. Apabila hal itu dapat diketahui maka aktivitas pendidikan akan dipusatkan kepada apa yang dibutuhkan oleh seorang anak, bukan pada apa yang diingikan oleh orang lain. Pendirian seperti itu menganggap bahwa fungsi pendidikan antara lain untuk memfasitilasi agar anak berkembang menjadi dirinya sendiri secara optimal sejalan dengan potensi yang dimilikinya.


    Setiap anak yang mengalami kesulitan belajar, akan menunjukkan fenomena yang beragam (heterogen), akan tetapi untuk memudahkan dalam memahami keragaman fenomenan itu, kesulitan belajar dapat dikategorikan menjadi dua bagian yaitu kesulitan belajar yang bersifat internal yang disebut learning disability dan kesulitan belajar yang bersifat eksternal berkaitan dengan factor lingkungan yang disebut dengan learning problem.

    B.Memahami Kesulitan Belajar Seorang Anak

    1. Kesulitan Belajar Internal (Learning Disabilities)

    Kesulitan belajar yang bersifat internal berkaitan dengan kelainan sentral pada funsi otak. Disiplin ilmu pendidikan tidak mempunyai kompentensi untuk menjelaskan bagaimana kelianan fungsi otak terjadi. Hal yang penting untuk dipahami adalah fenomena-fenomena apa yang muncul dan berhubungan langsung dengan aktivitas belajar sorang anak.

    Ketika seorang anak belajar memerlukan kemampuan dalam persepsi (perception), baik pendengaran, penglihatan, taktual dan kinestetik, kemampuan mengingat (memory), proses kognitf (cognitive prcsess) dan perhatian (attention). Kemampuan-kemampuan tersebut bersifat internal di dalam otak. Proses belajar akan mengalami hambatan/kesulitan apabila kemampuan-kemampuan tersebut mengalami gangguan. Apabila ada seorang anak yang mengalami kesulitan pada keempat aspek seperti itu ada kemungkinan anak tersebut mengalai kesulitan belajar yang bersigfat internal (learning disability)
    a. Persepsi
    Persepsi diperlukan dalam belajar utuk menganalisis informasi yang diterima. Misalnya, seorang anak diperlihatkan bentuk /h/ dan /n/. atau angka /6/ dengan /9/. Anak yang persepsi penglihatannya baik, akan dapat membedakannya. Sedangkan anak yang mengalami ganguan persepsi akan sangat sulit untuk menemukan karakter yang membedakan kedua bentuk tersebut. Dapat dibayangkan betapa sulitnya bagi seorang anak yang mengalami hambatan seperti ini untuk belajar membaca.

    Dalam hal pesepsi pendengaran, misalnya seorang anak diminta untuk mendengakan kata /paku/ /palu/ /batu/ dan /bola/ Kemudian ditanyakan kepada anak tersebut, kata mana yang bunyi akhirnya tidak sama. Anak yang kemampuan persepsinya baik dapat menemukan perbedaan itu, tetapi anak yang mengalami gangguan pesepsi, sangat sulit untuk membedakannya. Kesulitan dalam perspsi pendengaran, berpengaruh lansung kepada kemapuan berbahasa (khususnya membaca).

    b. Mengingat (Memory)

    Mengingat (memory) adalah kemampuan untuk menyimpan informasi dan pengalaman yang pernah dipelajari pada masa lalu dan dapat dimunculkan kembali jika diperlukan. Kemampuan mengingat ini mempunyai dua tingkatan yaitu ingatan jangka pendek (short term memory) dan ingatan jangka panjang (long term memory).

    Jika seorang guru memperlihatkan gambar-gambar kepada seorang anak seperi: gambar buku, baju, roti, bola, dan topi, dalam beberapa detik. Setelah itu anak ditanya gambar apa saja yang dilihat. Anak yang ingatannya baik akan dapat menyebutkan kembali gambar-gambar itu dengan mudah, akan tetapi anak-anak yang mengalami kesulitan dalam mengingat tidak dapat menyebutkannya kebali.

    Mengingat sesuatu, baik yang dilihat maupun yang didengar dalam tempo yang sangat singkat, disebut ingatan jangka pendek (short term memory). Belajar sangat erat hubungannya dengan ingatan jangka pendek. Anak yang mengalami kesulitan dalam ingatan jangka pendek akan sangat sulit untuk menyimpan informasi atau pengalaman belajar dalam ingatan jangka panjang.

    Apa bila seorang anak ditanya oleh gurunya, “Pada libur semester lalu kamu pergi kemana”? anak yang kemampuan mengingatnya baik akan dapat menjelaskan segala sesuatu yang dialaminya ketika libur dengan tepat. Tetai anak yang mengalami hambatan dalam mengingat akan mengalai kesulitan untuk mengungkapkan kembali apa yang pernah dialaminya. Kemampuan mengingat sesuatu yang sudah ada jarak waktu (lama) dan dapat mengungkapkan kemabali pada saat yang diperlukan, disebut dengan kemampuan ingatan jangka panjang (long term memory). Orang dapat memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari, antara lain karena dapat menggunakan pengetahuan dan pengalaman yang pernah dipelajarinya yang disimpan dalam ingatan jangka panjang.

    Proses belajar akan sangat sulit dan tidak efektif apabila seorang anak mengalami hambatan dalam kemampuan mengingat baik pada ingatan jangka pendek maupun pada ingatan jangka panjang.

    c. Proses Kognitif (Cognitive Process)

    Ketika seorang anak sedang belajar, misalnya belajar konsep bilangan maka diperlukan kemampuan untuk menghubungkan pengertian antara lambang (simbul) bilangan dengan kuantitas objek. Misalnya lima rumah mempunyai hubungan dengan simbul bilangan /5/. Dua buah rumah mempunyai hubungan dengan simbul /2/. Apabila dua rumah dikelompokkan dengan lima rumah, anak dapat memahami bahwa akan menjadi lebih banyak rumah, yaitu tujuh /7/ rumah.

    Contoh lain, ketika seorang ibu memperlihatkan kepada anaknya empat buah lingkaran yang ukurannya berbeda-beda (besar, sedang, kecil, kecil sekali). Kemudian anak diminta untuk mengurutkan lingkran itu secara sistematis dari yang kecil ke yang besar atau sebaliknya. Untuk dapat melakukan tugas itu diperlukan kemampuan untuk mengubungkan karakteristik antara lingkiran yang satu demgam yang lain dan dapat membedakan ukurannya.

    Dari dua contoh di atas, belajar itu pertama, memerlukan kemampuan untuk mengubah sesutu yang kongret ke dalam symbol yang abstrak. Seperiti misalnya dua rumah (kongkret) dapat diubah dan diwakili oleh symbol /2/ dalam bentuk yang abstrak. Bunyi diubah menjadi simbul grafem (alphabet). Aktivitas seperti ini dinamakan proses reprsentasi mental (mewakilkan objek ke dalam sibol). Proses seperti ini membuat belajar menjadi sangat efektif. Kedua, belajar memerlukan kemampuan untuk menganalisis seperti misalnya membedakan objek, menemukan atribut yang sama dari objek, sehingga dapat mengelompokkannya, melihat hubungan antara objek yang satu dengan yang lain (logika dan penalaran). Proses seperti ini dinamakan proses kognitif (terbentuknya pengertian dalam pikiran). Anak yang mengalami kesuliatan dalam proses kognitif akan sangat sulit untuk memahami sesuatu dan tidak akan terbentuk sebuah pengertian.

    d. Perhatian (Attention)

    Perhatian (attention) adalah kemampuan seorang anak dalam memilih stimulus (perangsang) tertentu, mana yang menurutnya penting dan mana yang tidak penting. Apabila seorang anak berhadapan dengan beberapa stimulus secara bersamaan, ia memilih salah satu diantaranya, sehingga ia memusatkan perhatian hanya kepada stimulus yang dililihnya.

    Perhatian (attention) sangat penting bagi seorang anak untuk dapat belajar. Hampir tidak mungkin proses belajar akan terjadi pada seorang anak apabila memiliki kesulitan untuk memperhatikan objek atau kegiatan yang sedang dipelajarinya. Anak yang tidak dapat memilih stimulus mana yang penting, akan memberikan respon kepada semua stimulus dengan intensitas yang sama. Oleh karena itu anak seperti ini tidak bisa focus hanya pada satu objek atau kegiatan, tetapi perhatiannya tertuju kepada semua objek yang sedang dihadapi (inattention).
    2. Kesulitan Belajar Berkenaan dengan Faktor Lingkungan (Eksternal)
    Kesulitan belajar yang bersifat eksternal (learning problem), sangat terkait dengan dua situasi. Pertama, situasi di luar dan sebelum sekolah. Kedua, terkait dengan situasi di sekolah.
    a. Situasi di Luar dan Sebelum Sekolah
    Aktivitas anak di rumah berpengaruh terhadap perkembangannya. Apabila lingkungan rumah memberi peluang yang cukup bagi seorang anak untuk mendapatkan pengalaman belajar seperti mendengarkan orang tuanya membacakan dongeng, terbiasa menjawab pertanyaan dari ceritera yang telah didengarnya, mulai mengenal buku, dibiasakan untuk mengemukakan secara lisan apa yang diinginkan kepada orang tuanya, dan ada kesempatan untuk melakukan eksplorasi lingkungan, sehingga memungkinkan seorang anak memiliki keteampilan pra-akademik.

    Keterampilan pra-akademik merupakan prasyarat untuk belajar secara akademik. Keteramilan anak dalam mendengarkan misalnya merupakan prasyarat untuk belajar membaca. Anak yang memiliki keterampilan mendengarkan dengan baik, tidak akan mengalami kesulitan dalam belajar membaca. Sebaliknya anak yang tidak memilki keterampilan mendengarkan dengan baik, akan mengalami hambatan ketika belajar membaca. Anak yang memiliki keterampilan pra-akademik akan lebih cepat dalam belajar secara akademik di sekolah dasar, dan cenderung memiliki rasa pecaya diri dan motivasi yang lebih baik dibanding dengan yang tidak (Solyster, 2004).

    Sering ditemukan anak yang mengalami masalah dalam belajar (learning problem) di Sekolah Dasar terkait dengan tidak dikuasainya keterampilan pra-akademik. Tidak jarang anak seperti ini memiliki penghargaan diri yang rendah, dan memiliki perasaan bahwa sekolah bukan tempat yang menyenangkan. Akibat yang mungkin muncul adalah anak mengalami kesulitan dalam perilaku.

    b. Situasi di Sekolah

    Proses belajar di sekolah terkait dengan elemen kurikulum, dan metode pembelajaran. Sekolah-sekolah kita pada umumnya sangat kuat perpatokan pada pencapaian target kurikulum dengan muatan yang sangat banyak. Oleh karena itu ada kecenderungan bagi guru untuk selalu mengukur keberhasilan program pembelajaran itu dilihat dari tercapainya target kurikulum. Namun ada kenyataan lain, yang hampir luput dari perhatian guru yaitu kurangnya kesempatan untuk mengecek apakah setiap anak sudah sampai pada tingkat pemahaman konsep? Data inilah yang tidak banyak diketahui oleh guru, sehingga jika ada anak yang ternyata belum tuntas dalam memahami satu konsep pada topic tertentu sementara pembelajaran terus melangkah ke topik berikutnya yang lebih tinggi, maka sudah dapat dipastikan anak akan mengalami kesulitan untuk memhami topic yang baru itu.

    Apabila situasi seperti ini berlangsung terus menerus, maka akan ada anak yang mengalami kesulitan yang bersifat kumulatif. Hal seperti ini sering terjadi pada pelajaran matematika dan bahasa. Sebagai contoh, seorang anak kelas satu Sekolah Dasar belum tuntas dalam memahami konsep bilangan, pada saat itu guru sudah melangkah ke topic tentang penjumlahan, maka sudah dapat dipastikan akan mengalami ksesuliatan dalam penjumlahan. Jika konsep penjumlahan belum dikuasai tetapi pembelajaran sudah melangkah ke topic tentang pengurangan, demikian seterusnya. Anak tidak pernah memahami konsep dengan tuntas. Masalah belajar seperti ini (learning problems) sangat banyak ditemukan di sekolah-sekolah kita.

    3. Mengenali Kesulitan Belajar Pada Anak

    Kesulitan belajar yang bersifat internal (learning disability) dan kesulitan belajar yang bersifat eksternal (learning problem) menunjukkan gejala yang hampir sama yaitu adanya kesulitan dalam belajar membaca/menulis, kesulitan dalam belajar matematika dan adanya kesulitan dalam perilaku. Oleh karena itu untuk mengenal adanya kesuliatan belajar dapat dilakukan dengan mencari kaitan antara keterampilan akademik (membaca/menulis dan matematika) dengan keterampilan pra-akademik (kesadaran linguistik dan keteampilan proses kognitif dasar) melalui proses asesmen.

    a. Menemukan Hubungan antara Kesadaran Linguistik dengan Kesulitan
    Membaca.

    Kesadaran linguistik adalah keterampilan seorang anak dalam mempersepsi bunyi fonem, morfem, sematik dan sintaksis. Anak yang mempunyai kesadaran lnguistik dengan baik, tidak akan mengalami kesulitan dalam belajar membaca. Oleh kaarena itu jika ditemukan ada anak yang mengalami kesulitan membaca, langkah pertama yang perlu diketahui adalah dalam hal apa anak tersebut mengalami kesulitan. Apakah dalam mengenal huruf, menggabungkan dua huruf menjadi suku kata (peleburan bunyi), menggabungkan suku kata menjadi kata atau kesulitan dalam menyusun kata dalam kalimat.

    Setelah kesulitan membaca anak dapat diketahui, langkah berikutnya adalah mengecek keterampilan pra-akademik (kesadaran linguistik). Apabila ternyata aspek kesadaran linguistik belum dikuasai maka intervensi dari kesulitan membaca ini dilakukan agar anak memiliki kesadaran linguistic sebagai prasyarat untuk dapat belajar membaca.

    b. Menemukan Hubungan antara Keterampilan Proses Kognitif Dasar dengan
    Matematika

    Keterampilan proses kognitif dasar sangat erat kaitannya dengan keterampilan belajar matematika. Anak yang telah memiliki keterampilan proses kognitif dasar akan lebih mudah untuk belajar matematika, dan sebaliknya. Keterampilan kognitif dasar meliputi: keterampilan dalam mengelompokkan objek menurut atribut tertentu, keterampilan mengurutkan objek menurut besar/kecil atau panjang pendek, korespondensi, dan kemampuan dalam konservasi.

    Langkah yang harus dilakukan adalah, pertama mengetahui dalam hal apa anak mengalami kesulitan matematika. Apakah pada konsep bilangan, nilai tempat, algoritma, fakta dasar. Setelah diketaui dan diperoleh yang jelas tentang kesulitan matematika yang dialami, langkah berikutnya adalah mengecek apakah anak telah memiliki kemampuan dalam proses kognitif dasar. Abila ditemukan ada aspek proes psikologi dasar yang belum dikuasai, maka intervensi pembelajaran dilakukan pada aspek itu, sebagai prasyarat untuk bias belajar matematika



    C. Pembelajaran Pada Anak yang Mengalami Kesulitan Belajar.

    Dalam melakukan intervensi pada anak yang mengalami kesulitan belajar harus selalu dimulai dengan melakukan asesmen. Asesmen dilakukan untuk mengetahui pada aspek apa anak itu mengalai kesulitan, apa saja yang sudah dikuasi pada saat ini, apakah kesulitan itu terkait dengan keterampilan pra-akademik.

    Apabila proses asesmen sudah dilakukan dan diperoleh data yang akurat tentang kesulitan belajar anak, langkah berikutnya adalah menyusun program intervensi dan melakukan proses pembelajaran. Terdapat empat langkah pembelajaran yang bersifat hirarkis yaitu: (1) Pembelajaran pada tahap kongkret, (2) Pembelajaran pada tahap semi kongkret, (3) Pembelajaran pada tahap semi asbtak dan (4) Pembelajaran pada tahap absrtak.

    Melalui keempat tahapan belajar yang sangat sistematis seperti itu diharapkan anak yang mengalami kesulitan belajar dapat menguasai konsep dan prinsip secara tuntas dari yang dipelajarinya. Melalui proses pembelajaran seperti ini secara kognitif anak belajar secara reversal yaitu memahami konsep abstrak melalui proses yang kongkret dan mengkongkretkan konsep yang abstrak. Apabila anak sudah bias berpikir bolak balik dari kongkret ke abstrak dan dari abstrak ke kongkret, berarti konsep sudah dapat dikuasai dengan tuntas, dan anak sudah bias dibawa ke topic lain yang lebih tinggi (ada di atasnya).

    Kesalahan yang sangat fatal jika melakukan pembelajaran pada anak yang mengalami kesulitan belajar langsung pada tahap abstrak. Hal seperti ini sering dijumpai di sekolah-sekolah kita, dimana guru mengajar tanpa menggunakan media/alat peraga untuk mengkongkretkan konsep yang abstrak. Guru lebih banyak berbicara ketimbang mengajak anak untuk melakukan tindakan secara kongkret. Kenyataannya anak lebih banayak diajarkan untuk menghapal fakta bukan untuk memahami konsep dan prinsip.

    Apabila anak yang mengalami kesulitan belajar dapat berhasil dalam memahami konsep dan prinsif dengan tuntas, anak merasakan sebuah pengalam sukses dalam belajar, yang sebelumnya mengalami kegagalan dami kegagalan. Pengalaman sukses ini diharapkan akan berdapak lansung kepada timbulnya rasa penghargaan diri, kepercayaan diri dan motivasi untuk belajar. Pengalaman sukses bagi seorang anak apalagi anak yang mengalami kesulitan belajar sangat penting, oleh sebab itu situasi belajar harus diciptakan sedemikian rupa agar setiap keberhasilan dalam belajar betapapun kecilnya harus dapat diketahui dan dirasakan oleh anak, termasuk anak yang mengalami kesulitan belajar

    Label:

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google
  • Kembali ke Halaman Depan
  • REORIENTASI PENDIDIKAN KHUSUS/PLB (SPECIAL EDUCATION) KE PENDIDIKAN KEBUTUHAN KHUSUS (SPECIAL NEEDS EUCATION) USAHA MENCAPAI PENDIDIKAN UNTUK SEMUA

    Zaenal Alimin
    Program Studi Pendidikan Kebutuhan Khusus SPS UPI
    Email: alimin@upi.edu

    A. Pendahuluan

    Saat ini sedang terjadi proses tranformasi pemikiran dari konsep pendidikan khusus/PLB (special education) ke konsep pendidikan kebutuhan khusus (special needs education). Terdapat perbedaan orientasi antara pendidikan khusus/PLB dengan pendidikan kebutuhna khusus. Konsep pendidikan kebutuhan khusus saat ini dipandang sebagai sebuah pemikiran yang bersifat holistik, anak dipandang sebagai individu yang utuh, setiap anak memiliki hambatan untuk berkembang dan hambatan dalam belajar yang bervaraiasi. Oleh karena itu menurut paham ini pembelajaran seharusnya perpusat pada anak untuk membantu menghilangkan hambatan belajar dan hambatan perkembangan, sehingga kebutuhan belajar setiap anak dapat dipenuhi.
    Konsep yang sangat ideal seperti itu mendapat respon positif dari semua kalangan, ada usaha-usaha para praktisi pendidikan di lapangan mulai mencoba mempraktekan prinsip-prisip pendidikan yang dapat mengakomodasi kebutuhan setiap anak. Namun demikian konsep tentang pendidikan kebutuhan khusus dan inklusi harus secara terus menerus diperkenalkan kepada para pendidik dan calon pendidik, agar pemahaman tentang pendikan inklusif semakin dipahami dan dan diterima.
    Pada tulisan ini dijelaskan perbedaan paradigma pendidikan khusus/PLB (special education) dengan paradigma pendidikan kebutuhan khusus (special needs educaation), diharakan para pembaca terutama para guru dan mahasiswa calon guru memperoleh pemahaman yang jelas tentang dasar pemikiran yang berada dibelakang paradigma pendidikan kebutuhan khusus. Pada gilirannya diharapkan para pembaca memliki pendirian bahwa setiap anak itu beragam, keragaman itu sebuah kenyataan yang harus diterima dan dikelola dalam pembelajaran. Selain itu para pembaca –para guru dan mahasiswa calon guru- diharapkan tidak lagi berpikir bahwa anak-anak di dalam kelas itu homogen dan diperlakukan dengan cara yang sama.
    B. Perubahan Paradigma : Dari Pendidikan Khusus/PLB (Special Education) ke Pendidikan Kebutuhan Khusus (Special Needs Education)
    1. Paradigma Pendidikan Khusus/PLB (Special Education)
    Perkembangan sejarah pendidikan bagi anak penyandang cacat yang disebut Pendidikan Luar Biasa/Pendidikan khusus (sebagai terjemahan dari Special Education), selama beberapa dekade telah mengalami banyak perubahan. Perubahan itu dipengaruhi oleh sikap dan kesadaran masyarakat terhadap anak penyandang cacat dan pendidikannya, metodologi dan perubahan konsep yang digunakan.
    Di dalam konsep special education (PLB/Pendidikan Khusus) dan dalam sistem pendidikan segregasi, anak penyandang cacat dilihat dari aspek karakteristik kecacatannya (labeling), sebagai dasar dalam memberikan layanan pendidikan, sehingga setiap kecacatan harus diberikan layanan pendidikan yang khusus yang berbeda dari kecacatan lainnya (dalam prakteknya terdapat sekolah khusus/ Sekolah Luar Biasa untuk anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, dan tunadaksa). Layanan yang terpisah dari pendidikan biasa. pendidikan seperti ini disebut dengan sistem pendidikan segregasi. Oleh karena itu terdapat dikotomi antara pendidikan khusus/Pendidikan Luar Biasa/ Sekolah Luar Biasa dengan pendidikan biasa/ sekolah biasa, dianggap dua hal yang sama sekali berbeda. Dengan kata lain fokus utama dari Special Education/ PLB adalah label kecacatan bukan anak sebagai indvidu yang unik. Cara berpikir seperti ini didasari oleh sebuah pendekatan yang disebut medical model
    Dalam paradigma medical model, pendidikan khusus/PLB (special education) layanan pendidikan pada anak penyandang cacat didasarkan pada label kecacatan secara segregasi (sekolah khusus/SLB) dan layanan pendidikan integrasi. Layanan pendidikan segregasi yaitu layanan pendidikan yang diberikan pada satu jenis kecacatan tertentu dalam bentuk sekolah khusus seperti sekolah khlusus untuk anak tunanetra, sekolah khusus untuk anak tunarungu, dst. Sementara itu, layanan pendidikan yang dianggap lebih maju yaitu anak-anak yang menyandang kecacatan layanan pendidikannya di satukan dengan anak bukan penyandang cacat di sekolah biasa, dengan syarat anak-anak penyandang cacat dapat diterima di sekolah biasa apabila dapat mengikuti ketentuan yang beralaku bagi anak-anak bukan penyandang cacat.
    2. Paradigma Pendidikan Kebutuhan Khusus (Special Needs Education)
    Dalam konsep pendidikan kebutuhan khusus semua anak termasuk anak penyandang cacat dipandang sebagai individu yang unik. Setiap individu anak memiliki perbedaan dalam perkembangan dan memiliki kebutuhan khusus yang berbeda pula. Anak-anak penyandang cacat memiliki hambatan perkembangan dan hambatan belajar akibat dari kecacatan yang dimilinya.Oleh karena itu fokus utama dari pendidikan kebutuhan khusus adalah hambatan belajar dan kebutuhan anak secara individual (Miriam, 2001). Pendidikan kebutuhan khusus (special needs education) memamdang anak termasuk anak penyandang cacat sebagai individu yang khas dan utuh, keragaman dan perbedaan individu sangat dihormati. Pendekatan yang digunakan dalam pendidikan kebutuhan khusus adalah social model
    Konsep pendidikan kebutuhan khusus (special needs education) melihat kebutuhan anak dari spektrum yang sangat luas, yaitu bahwa setiap anak memiliki kebutuhan yang bersifat khusus, oleh karena itu anak berkebtuhan khusus meliputi dua kategori yaitu anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementara (temporary special needs) dan anak kebutuhan khusus yang bersifat menetap (permanently special needs).
    Anak berkebutuhan khusus temporer/sementra (temporary special needs) adalah anak-anak yang mengalami hambatan akibat dari faktor-faktor lingkungan seperti: (1) anak mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri akibat sering menerima kekerasan dalam rumah tangga, (2) mengalami kesulitan konsentrasi karena sering diperlakukan kasar oleh orang tuanya, (3) mengalami kesulitan kumulatif dalam membaca dan berhitung akibat kekeliruan guru dalam mengajar atau (4) anak-anak yang mengalami trauma akibat dari bencana alam yang mereka alami. Anak- anak sepeti ini memerlukan bantuan khusus untuk mengatasi hambatan-hambatan yang dialaminya. Apabila mereka tidak mendapatkan layanan pendidikan yang tepat sesuai dengan kebutuhannya, tidak mustahil hambatan-hambatan tersebut akan menjadi permanent.
    Anak berkebutuhan khusus yang bersifat permanen (permanently special needs) adalah anak-anak yang mengalami hambatan dan kebutuhan khusus akibat dari kecacatan tertentu, misalnya kebutuhan khusus akibat dari kehilangan fungsi penglihatan, kehilangan fungsi pendengaran, perkembangan kecerdasan/kognitif yang rendah, ganggauan fungsi gerak/motorik dsb.
    Anak berkebutuhan khusus baik yang bersifat temporer maupun yang bersifat permanen memerlukan layanan pendidikan yang disesuaikan dengan hambatan belajar dan kebutuhan-kebutuhannya. Bidang studi yang membahas tentang penyesuaian pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus adalah pendidikan kebutuhan khusus (Special Needs Education). Oleh sebab itu cakupan wilayah pendidikan kebutuhan khusus menjadi sangat luas karena tidak dianalogikan dengan lokasi atau tempat layanan yang bersifat khusus (sekolah khusus/sekolah luar biasa seperti pada konsep pendidikn khusus/PLB (special education), tetapi lebih bersifat fungsional yaitu layanan pendidikan bagi semua anak yang membutuhkan layanan khusus akan pendidikan (special educational needs) di manapun mereka berada baik di sekolah biasa, di sekolah khusus, di rumah (home schooling), di rumah sakit (bagi anak yang rawat inap sangat lama dan meningalkan sekolah), maupun mungkin di lembaga-lembaga perawatan anak. Anak-anak dengan diagnosis yang sama (misalnya : tunanetra atau tunagrahita), dalam para digma pendidikan khusus/luar biasa dilayani dengan cara yang sama berdasarkan berdasarkan label kecacatannya. Sekarang disadari bahwa anak dengan diagnosis medis yang sama ternyata dapat belajar dengan cara yang jauh berbeda. Dengan kata lain, mereka dapat mempunyai kebutuhan pendidikan (special educational needs) yang berbeda-beda (Miriam, 2001).
    Diagnosis seperti yang dilakukan pada masa lalu menyebabkan anak-anak diberi label ketunaan yang mengakibatkan gurunya memfokuskan aktivitas layanan pendidikan pada keterbatasan yang disebabkan oleh kecacatanya. Ini mengakibatkan guru tidak menyadari potensi yang ada pada diri anak. Pemberian label dan layanan pendidikan yang terlalu dispesialisasikan menyebabkan banyak guru khusus kehilangan pemahaman yang holistic tentang anak dan, tidak menggunakan pendekatan holistic dalam pembelajaran. Ini mengakibatkan timbulnya anemia pendidikan dan menghambat pengayaan
    Perlu dipahami perbedaan istilah pendidikan kebutuhan khusus (special needs education) dengan istilah kebutuhan khusus akan pendidikan (special educational needs). Seperti telah disebut sebelumnya bahwa pendidikan kebutuhan khusus (special needs education) adalah disiplin ilmu yang membahas tentang layanan pendidikan yang disesuiakan bagi semua anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan pekembangan akibat dari kebutuhan khusus tertertu baik yang bersifat temporer maupun yang besifat permanen. Sementara itu istilah kebutuhan khusus akan pendidikan (special educational needs) adalah kebutuhan, hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang dialami oleh seorang anak secara individual.
    Sejauh ini telah terjadi pergeseran atau pergerakan dalam cara berpikir dari pemahaman yang didasarkan pada pengelompokkan anak menurut identitas atau label kecacatan tertentu (medical model) menuju ke arah pemahaman anak secara holisstik dan melihat anak sebagai individu yang unik (social model). Untuk melihat proses pergeseran cara pandang seperti itu dapat dilihat pada bagan 1. berikut ini:






    Bagan 1 : Pergerakan Dari Pendidikan Kusus/PLB ke Pendidikan Kebutuhan Khusus
    Paradigma pendidikan kebutuhan khusus melihat individu anak dari sudut pandang yang lebih holistik yaitu melihat anak dari kebutuhan, hambatan belajar dan hambatan perkembangannya secara individual bukan dari label kecacatan yang dialami. Konsekuensi dari cara pandang ini melahirkan gagasan bahwa anak-anak penyandang cacat seharusnya dilayani pendidikannya bersama-sama dengan anak pada umumnya di sekolah biasa yang terdekat dengan tempat tinggalnya.
    Layanan pendididikan seperti itu dinamakan pendidikan inklusif yang bersifat responsive dan disesuiakan. Hal ini dirumuskan dalam Forum Pendidikan Dunia di Dakar (Dakar World Education Furum, April 2000). Rumusan akhir dari forum itu adalah: Tantangan utama yang diahadapi adalah menjamin visi pendidikan untuk semua yang luas sebagai konsep yang bersifat inklusif yang tercermin dari kebijakan nasional setiap negara dan pemerintah tentang kebijakan pendidikan. Pendidikan untuk semua harus mengambil tanggung jawab tentang kebutuhan golongan miskin dan tidak beruntung, termasuk, pekerja anak, anak-anak di daerah pedesaan yang terpencil, anak dari budaya-bahasa minoritas, anak/remaja di daerah konflik, remaja yang terinfekti HIV dan AIDS, dan anak-anak yang memerlukan kebutuhan khusus akan pendidikan (termasuk penyandang cacat).
    a. Inklusi Pendekatan Perkembangan dalam Pendidikan
    Pendidikan inklusif sebagai sebuah pendekatan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan dan belajar semua anak, remaja dan orang dewasa yang difokuskan secara spesifik kepada mereka yang rawan dan rapuh, terpinggirkan dan terabaikan. Prinsip pendidikan inklusif di adopsi dari Konferensi Salamca tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus (UNESCO, 1994) dan di ulang kembali pada Forum Pendidikan Dunia di Dakar (2000).
    Pendidikan inklusif mempunyai arti bahwa sekolah harus mengakomodasi semua anak tanpa mempedulikan keadaan fisik, intelektual, sosial, emosi, bahasa, atau kondisi-kondisi lain, termsuk anak-anak penyandang cacat anak-anak berbakat (gifted children), pekerja anak dan anak jalanan, anak di daerah terpencil, anak-anak dari kelompok etnik dan bahasa minoritas dan anak-anak yang tidak beruntung dan terpinggirkan dari kelompok masyarakat (Salamanca Statement, 1994).
    Persoalan pokok dalam pendidikan inklusif adalah hak azasi manusia (HAM) dalam pendidikan yang dinyatakan dalam deklarasi universal tentang hak azasi manusia (Universal Declaratation of Human Right, 1948). Hal yang lebih khusus dan sangat penting adalah hak anak untuk tidak didiskriminasikan yang dinyatakan dalan Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on theRight of the Child, UN, 1989). Sebagai konsekuensi logis dari hak-hak anak ini adalah bahwa semua anak (all children) mempunyai hak untuk menerima pendidikan yang ramah yang tidak diskriminatif dalam hal kecacatan (disability), kelompok etnik (ethnicity)), agama (religion), bahasa (language), jenis kelamin (gender), kemampuan (capability) dan sebagainya.
    Sementara itu terdapat alasan-alasan penting seperti alasan ekonomi, sosial, dan politik untuk mencari kebijakan dan pendektan pendidikan yang berifat inklusif. Ini berarti bahwa pendidikan harus memimbulkan perkembangan personal, membangun hubungan di antara individu, kelompok dan bangsa. Salamanca Statement and framework for Action, (1994) menjelaskan bahwa sekolah regular yang beorientasi inklusif adalah cara yang paling efektif untuk mengatasi diskriminasi, menciptakan masyarakat yang ramah, membangun masyarakat inklusif dan mencapai cita-cita pendidikan untuk semua.
    Pengaruh perkembangan politk terhadap keberagaman budaya dan meluasnya pemahaman tentang demokrasi telah menguatkan peran pendidikan dalam soialisai poltik dan memfasilitasi keaktifan warga negara dalam berdemokrasi. Pendidikan, disamping harus merespon keberagaman talenta indivual, pendidikan juga harus menghadapi rentang latar belakang budaya yang luas dari kelompok yang akan membentuk masyarakat (society). Pendidikan harus memikul tugas berat untiuk mengarahkan keberagaman menjadi sebuah konstribusi konsruktif terhadap pemahaman bersama antara individu dengan kelompok. Sebuah kebijakan pendidikan harus mampu mempertemukan pluralisme dan memungkinkan setiap orang menemukan tempatnya di dalam masyarakat. Komisi International tentang Pendidikan untuk abab 21, mengingatkan kebijakan pendidikan harus secara memadai bersifat diversifikasi dan harus dirancang agar tidak menjadi penyebabkan terjadinya eklusi sosial, dan sekolah-sekolah harus mendorong keinginan individu untuk hidup secara bersama/ to live together (UNESCO, 1996).
    Dari penjelasan itu terkandung makna adanya pengakuan tehadap konsep pendidikan dasar yang luas, yang meliputi: pemberian akses yang sangat luas dan mempromosikan kesamaan, memfokuskan kepada belajar, memperluas cara dan lingkup pendidikan, meningkatkan peran lingkungan untuk kepentingan belajar, dan memperkuat kemitraan (UNESCO, 1990).
    Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa pendidikan inklusif adalah sebagai strategi untuk mencapai tujuan pendidikan untuk semua (education for all). Pendidikan inklusif bertujuan untuk membangun konsep yang koheren dan kerangka kebijakan yang kontekstual dengan kondisi lingkungan sehingga tersedia akses dan kesamaan dalam pendidikan dasar untuk semua anak, dan apa yang terkandung dalam pendidikan sehingga kebutuhan-kebutuhan pendidikan yang beragam dapat direspon dan dipenuhi di dalam jalur utama pendidikan (pendidikan biasa), baik pada jalur pendidikan formal maupun pendidikan non-formal.
    b. Memahami Konsep Pendidikan Inklusif
    Inklusi dipandang sebagai sebuah proses dalam merespon kebutuhan yang beragam dari semua anak melalui peningkatan partisipasi dalam belajar, budaya dan masyarakat, dan mengurangi eklusivitas di dalam dan dari pendidikan (Booth, 1996). Pendidikan inklusif mencakup perubahan dan modifikasi dalam isi, pendekatan-pendekatan, struktur dan strategi yang dapat mengakomodasi kebutuhan semua anak seseuai dengan kelompok usianya. Pendidikan inklusif dalam pelaksanaannya merupakan tanggung jawab dari system pendidikan biasa untuk mendidik semua anak (UNESCO, 1994).
    Pendidikan inklusif sangat peduli dalam memberikan respon tepat terhadap spektrum kebutuhan belajar yang luas baik dalam setting pendidikan formal maupun pendidikan non-formal. Pendidikan inklusif adalah sebuah pendektan yang melihat bagaimana mengubah system pendidikan agar dapat merespon keberagaman peeserta didik. Tujuannya adalah agar guru dan siswa keduanya memungkinkan merasa nyaman dalam keberagaman dan melihat keragaman sebagai tantangan dan pengayaan dalam lingkungan belajar, keberagaman bukan sebagai masalah.
    Untuk memperoleh pemahaman yang jelas tentang konsep penddidikan inklusif, diperlukan definisi yang jelas, disepakati dan diterima oleh banyak pihak secara internasional. Jika pendidikan inklusif didefinisikan secara sempit atau hanya didasarkan pada pandangan bahwa anak sebagai masalah, maka pendidikan inklusif akan menjadi tidak cocok. Definisi tentang pendidikan inklusif akan terus berubah secara pelan-pelan sebagai refleksi dari apa yang terjadi dalam prakteknya, dalam kenyataan, dan bahkan harus terus berubah jika pendidikan inklusif ingin tetap memiliki respon yang bernilai nyata dalam mengahdapi tantangan pendidikan dan hak azasi manusia.
    Meskipun definsi tentang pendidikan inklusif itu bersifat progresif dan terus berubah, tetapi diperlukan kejelasan konsep yang terkandung didalamnya, karena banyak orang menganggap bahwa pendidikan inkludif sebagai versi lain dari pendidikan khusus/PLB (special esucation). Konsep yang mendasari pendidian inklusif sangat berbeda dengan konsep yang mendasari pendikan khusus (special education). Inklusi atau pendidikan inklusif adalah bukan istilah lain dari pendidikan khusus. Konsep pendidikan inklusif mempunyai banyak kesamaan dengan konsep yang mendasari pendidikan untuk semua (education for all) dan konsep tentang perbaikan sekolah (schools improvement).
    Definisi pendidikan inklusif yang diterima oleh banyak pihak adalah definisi yang diangkat dari seminar tentang pendidikan inklusif yang diselenggarakan di Agra India, yang disetujui oleh 55 partisipan dari 23 negara. Dari hasil seminar itu pendidikan inklusif didefinisikan sebagai berikut:
    • Lebih luas dari pada pendidikan formal, tetapi mencakup rumah, masyarakat, non-formal dan system informal
    • Menghargai bahwa semua anak dapat belajar
    • Memungkinkan struktur, sistem dan metodologi memenuhi kebutuhan-kebutuhan semua anak
    • Mengakui dan menghargai bahwa setiap anak memiliki perbedaan-perbedaan dalam usia, jenis kelamin, etnik, bahasa, kecacatan, status sosial ekonomi, potensi dan kemampuan
    • Merupakan proses dinamis yang secara evolusi terus berkembang sejalan dengan konteks budaya
    • Merupakan strategi untuk memajukan dan mewujudkan masyarakat inklusif. (Seminar on Inclusive Education Agra India, 1998).
    Definisi yang dikutif di atas menggambarkan sebuah model pendidikan inklusif yang mendasarkan konsep-konsep tentang: anak, system pendidikan, keragaman dan diskriminasi, proses memajukan inklusi, dan konsep tentang sumber daya. Secara terperinci dapat dijelaskan sebagai berikut:
    1) Konsep tentang anak
    • Hak semua anak untuk memperoleh pendidikan di dalam masyarakatnya sendiri
    • Semua anak dapat belajar dan anak dapat mengalami kesulitan dalam belajar
    • Semua anak membutuhkan dukungan dalam belajar
    • Pembelajar berpusat pada anak menguntungkan semua anak

    2) Konsep tentang Sistem Pendidikan dan Sekolah
    • Pendidikan lebih luas dari pada pendidikan formal di sekolah (formal schooling)
    • Fleksibel, sistem pendidikan bersifat responsif
    • Lingkunngan pendidikan ramah terhadap anak
    • Perbaikan mutu sekolah dan sekolah yang efektif
    • Pendekatan yang menyeluruh dan kolaborasi dengan mitra kerja

    3) Konsep tentang Keberagaman dan Diskriminasi
    • Menghilangkan diskriminasi dan pengucilan (exclusion)
    • Memandang keragaman sebagai sumber daya, bukan sebagai masalah
    • Pendidikan inklusif menyiapkan siswa yang dapat menghargai perbedaan-perbeaan.

    4) Konssep tentang Proses Memajukan Inklusi
    • Mengidentifikasi dan mengatasi hambatan dalam inklusi
    • Meningkatkan partisipasi nyata dari semua pihak
    • Kolaborasi dan kemitraan
    • Metodologi partisipatori, penelitian tindakan dan kolaboratif inkuiri

    5) Konsep tentang Sumberdaya
    • Memanfaatkan sumber daya loakal yang tersedia (local resources)
    • Mendistribusikan sumber daya yang tersedia
    • Memandang manusia ( anak, orang tua, guru, kelompok orang yang termarginal kan dsb) sebagai sumberdaya kunci
    • Suberdaya yang tepat di sekolah dan masyarakat dibutuhkan untuk anak-anak yang berbeda. Sebagai contoh Braille, alat-alat bantuan (assistive divice)

    C. Fungsi Pendidikan Kebutuhan Khusus
    Pendidikan kebutuhan khusus sebagai disiplin ilmu mempunyai tiga fungsi yaitu: (1) Fungsi preventif, (2) Fungsi kompensasai, (3) Fungsi intervensi,
    1. Fungsi Preventif
    Fungsi preventif adalah upaya pencegahan agar tidak muncul hambatan belajar dan hambatan perkembangan akibat dari kebutuhan khusus tertentu. Hambatan belajar pada anak dapat disebabkan oleh tiga faktor yaitu: (a) akibat faktor lingkungan. Seorang anak dapat mengalami hambatan belajar karena bisa disebabkan oleh kurikulum yang terlalu padat, kesalahan guru dalam mengajar, anak yang terpaksa harus bekerja mencari nafkah, trauma karena bencana alam/perang, anak yang diperlakukan kasar di rumah dsb. Fungsi preventif pendidikan kebutuhan khusus adalah mencegah agar faktor-faktor lingkungan tidak menyebabkan munculnya hambatan belajar, (b) akibat faktor dari dalam diri anak itu sendiri. Misalnya seorang anak yang kehilangan fungsi penglihatan atau kehilangan fungsi pendengaran yang dibawa sejak lahir, kondisi seperti itu dipandang sebagai hambatan belajar yang berasal dari dalam diri anak itu sendiri. Fungsi preventif pendidikan kebutuhan khusus dalam hubungannya dengan kondisi seperti ini adalah mencegah agar kehilangan fungsi penglihatan atau pendengaran itu tidak berdampak buruk dan lebih luas kepada aspek-aspek perkembangan dan kepribadian anak, (c) interaksi antara faktor lingkungan dan faktor dari dalam diri anak. Misalnya seorang anak yang kehilangan fungsi pendengaran dan secara bersamaan anak ini hidup dalam lingkungan keluarga yang tidak memberikan kasih sayang yang cukup, sehingga anak ini mengalami hambatan belajar yang disebabkan oleh faktor dirinya sendiri (kehilangan fungsi pendengaran) dan akibat faktor eksternal lingkungan.
    Fungsi preventif pendidikan kebutuhan khusus dalam konteks seperti ini adalah melokalisir dampak dari kehilangan fungsi pendengaran dan secara bersamaan menciptakan lingkungnan yang dapat memenuhi kebutuhan anak akan kasih sayang yang mungkin tidak diperoleh di lingkungan keluarganya.
    2. Fungsi Intervensi
    Kata intervensi dapat diartikan sebagai upaya menangani hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang sudah terjadi pada diri anak. Misalnya seorang anak mengalami gangguan dalam perkembangan kecerdasan/kognitif sehingga ia mengalami kesulitan dalam belajar secara akademik. Fungsi intervensi pendidikan kebutuhan khusus adalah upaya menangani anak agar dapat mencapai perkembangan optimum sejalan dengan potensi yang dimilikinya.
    Contoh lain, seorang anak yang mengalami gangguan dalam perkembangan motorik (misalnya: cerebral palsy). Akibat dari gangguan motorik ini anak dapat mengalami kesulitan dalam bergerak dan mobilitas, sehingga akitivitasnya sangat terbatas. Fungsi intervensi pendidikan kebutuhan khusus dalam konteks ini adalah menciptakan lingkungan yang memungkin anak dapat belajar secara efektif, sehingga dapat mencapai perkembangan optimum sejalan dengan potensi yang dimilikinya.
    Dengan kata lain fungsi intervensi tidak dimaksudkan supaya anak yang mengalami kehilangan fungsi pendengaran agar dapat mendengar, tetapi dalam keadaan tidak dapat mendengar mereka tetap dapat belajar, bekerja dan hidup secara wajar bersama dengan orang lain dalam lingkungannya. Inilah yang disebut dengan coping, artinya anak dapat berkembang optimum dengan kondisi yang dimilikinya.
    3. Fungsi Kompensasi
    Pengertian kompensasi dalam kontek pendididikan kebutuhan khusus diartikan sebagai upaya pendidikan untuk menggantikan fungsi yang hilang atau mengalami hambatan dengan fungsi yang lain. Seorang anak yang kehilangan fungsi penglihatan akan sangat kesulitan untuk belajar atau bekerja jika berhubungan dengan penggunaan fungsi penglihatan. Oleh karena itu kehilangan fungsi penglihatan dapat dialihkan/dikompensasikan kepada fungsi lain misalnya perabaan dan pendengaran. Salah satu bentuk kompensasi pada orang yang kehilangan penglihatan adalah pengunaan tulisan braille. Seorang tunanetra akan dapat membaca dan menulis dengan menggunakan fungsi perabaan.
    Seorang yang kehilangan fungsi pendengaran akan mengalami kesulitan dalam perkembangan keteramilan berbahasa, dan oleh sebab itu akan terjadi hambatan dalam interaksi dan komunikasi. Bentuk kompensasi dari adanya hambatan dalam interaksi dan komunikasi pada orang yang kehilangan fungsi pendengaran adalah pengunaan bahasa isyarat. Dalam berkomunikasi dengan menggunakan bahasa isyarat fungsi penglihatan sangat berperan sebagai kompensasi dari fungsi pendengaran
    Contoh lain jika di sekolah ada seorang anak yang mengalami hambatan dalam penggunaan fungsi motorik, ia akan sangat mengalami kesulitan dalam hal menulis. Ketika misalnya anak tersebut akan mengikuti ujian maka dapat dilakukan tindakan kompensasi dengan tidak mengikuti ujian secara tertulis melainkan dengan ujian lisan. Dalam hal aktivitas belajar, anak itu tidak dituntut untuk mencatat apa yang mereka pelajari tetapi dapat menggunakan cara lain misalnya menggunakan tape recorder atau apa yang akan dijelaskan oleh guru diberikan dalam bentuk teks.
    Melalui upaya kompensasi, anak akan tetap dapat mengikuti akitivtas belajar seperti yang dilakukan oleh anak lainya dengan cara-cara yang dimodifikasi dan diseuiakan dengan mengganti fungsi yang hilang/ tidak berkembang dengan fungsi lainnya yang masih utuh.
    D. Konsep Anak Berkebutuhan Khusus (Children with Special Needs)
    Istilah anak berkebutuhan khusus memiliki cakupan yang sangat luas. Dalam paradigma pendidikan kebutuhan khusus keberagaman anak sangat dihargai. Setiap anak memiliki latar belakang kehidupan budaya dan perkembangan yang berbeda-beda, dan oleh kaarena itu setiap anak dimungkinkan akan memiliki kebutuhan khusus serta hambatan belajar yang berbeda beda pula, sehingga setiap anak sesungguhnya memerlukan layanan pendidikan yang disesuiakan sejalan dengan hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing anak Anak berkebutuhan khusus dapat diartikan sebagai seorang anak yang memerlukan pendidikan yang disesuiakan dengan hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing anak secara individual.
    Cakupan konsep anak berkebutuhan khusus dapat dikategorikan menjadi dua kelompok besar yaitu anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementra (temporer) dan anak berkebutuhan khusus yang besifat menetap (permanent).
    1. Anak Berkebutuhan Khusus Bersifat Sementra (Temporer)
    Anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementara (temporer) adalah anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan disebabkan oleh faktor-faktor eksternal. Misalnya anak yang yang mengalami gangguan emosi karena trauma akibat diperekosa sehingga anak ini tidak dapat belajar. Pengalaman traumatis seperti itu bersifat sementra tetapi apabila anak ini tidak memperoleh intervensi yang tepat boleh jadi akan menjadi permanent. Anak seperti ini memerlukan layanan pendidikan kebutuhan khusus, yaitu pendidikan yang disesuikan dengan hambatan yang dialaminya tetapi anak ini tidak perlu dilayani di sekolah khusus. Di sekolah biasa banyak sekali anak-anak yang mempunyai kebutuhan khusus yang berssifat temporer, dan oleh karena itu mereka memerlukan pendidikan yang disesuiakan yang disebut pendidikan kebutuhan khusus.
    Contoh lain, anak baru masuk Kls I Sekolah Dasar yang mengalami kehidupan dua bahasa. Di rumah anak berkomunikasi dalam bahasa ibunya (contoh bahasa: Sunda, Jawa, Bali atau Madura dsb), akan tetapi ketika belajar di sekolah terutama ketika belajar membaca permulaan, mengunakan bahasa Indonesia. Kondisi seperti ini dapat menyebabkan munculnya kesulitan dalam belajar membaca permulaan dalam bahasa Indonesia. Anak seperti ini pun dapat dikategorikan sebagai anak berkebutuhan khusus sementra (temporer), dan oleh karena itu ia memerlukan layanan pendidikan yang disesuikan (pendidikan kebutuhan khusus). Apabila hambatan belajar membaca seeperti itu tidak mendapatkan intervensi yang tepat boleh jadi anak ini akan menjadi anak berkebutuhan khusus permanent.
    2. Anak Berkebutuhan Khusus yang Bersifat Menetap (Permanen)
    Anak berkebutuhan khusus yang bersifat permanen adalah anak-anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang bersifat internal dan akibat langsung dari kondisi kecacatan, yaitu seperti anak yang kehilangan fungsi penglihatan, pendengaran, gannguan perkembangan kecerdasan dan kognisi, gannguan gerak (motorik), gannguan iteraksi-komunikasi, gannguan emosi, social dan tingkah laku. Dengan kata lain anak berkebutuhan khusus yang bersifat permanent sama artinya dengan anak penyandang kecacatan.
    Istilah anak berkebutuhan khusus bukan merupakan terjemahan atau kata lain dari anak penyandang cacat, tetapi anak berkebutuhan khusus mencakup spektrum yang luas yaitu meliputi anak berkebutuhan khusus temporer dan anak berkebutuhan khusus permanent (penyandang cacat). Oleh karena itu apabila menyebut anak berkebutuhan khusus selalu harus diikuti ungkapan termasuk anak penyandang cacat. Jadi anak penyandang cacat merupakan bagian atau anggota dari anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu konsekuensi logisnya adalah lingkup garapan pendidikan kebutuhan khusus menjadi sangat luas, berbeda dengan lingkup garapan pendidikan khusus yang hanya menyangkut anak penyandang cacat.
    3. Penggunaan Bahasa dan Terminologi dalam Konteks Pendidikan Kebutuhan Khusus
    a. Penggunaan Bahasa
    Untuk memahami sesuatu dengan benar dan jelas harus dimulai dengan penggunaan bahasa yang benar dan jelas pula sejalan dengan paradigma yang digunakan. Perubahan paradigma yang terjadi membawa implikasi pada penggunaan bahasa (istilah atau terminologi). Istilah atau terminologi yang digunakan diyakini akan mempunyai pengaruh dalam cara kita berpikir dan memandang sesuatu. Orang-orang yang mempunyai perbedaan dan menyimpang dari orang kebanyakan (dalam hal tertentu) sering digunakan istilah atau bahasa tertentu yang dapat menggambarkannya. Akan tetapi cara seperti ini sering mengarah kepada pemberian label atau stigma yang tidak tepat kepada orang-orang yang dianggap berbeda dari orang kebanyakan (penyandang cacat).
    Label atau stigama atau istilah yang digunakan untuk menggambarkan orang yang menyandang kecacatan, sering menimbulkan kesulitan dan menimbulkan masalah yaitu bahwa semua orang penyandang cacat dianggap sama. Ekpresi seperti buta, dileksia, tuli, autisme, mengandung makna bahwa kita menganggap setiap kelompok itu bersifat homogen. Akan tetapi dalam kenyataannya, orang-orang yang dikelompokkan menjadi satu kelompok menurut label tertentu itu mempunyai perbedaan-perbedaan yang sangat besar atara satu individu dengan individu lainnya.
    Dalam konsteks Pendidikan Kebutuhan Kebutuhan Khusus sangat dihindari cara menggambarkan kondisi individu bedasarkan label atau stigma yang didasarkan atas pengelompokkan kecacatan (disability). Oleh karena itu cara yang digunakan adalah dengan berpatokan pada prinsip melihat individu sebagai manusia, baru kemudian melihat kecacatannya. Manakala kita berhadapan dengan kenyataan kecacatan tertentu, akan sangat bijaksana apabila kita mengatakan a person with disability atau person who has disability dari pada mengatakan a disabled person (penyandang cacat dari pada orang cacat). Dengan mengatakan penyandang cacat (pereson who..... or person with) terkandung makna bahwa kecacatan merupakan sebuah ciri atau karakteristik kemanusian dari seseorang, dan sama halnya seperti kita mengatakan orang yang berambut putih, orang yang berkulit hitam dsb.Kita masih sering mendengar ada orang mengatakan: Ani adalah anak down syndorome. Dalam kenyataanya Ani juga adalah anak yang bermata sifit dan lucu, berambut ikal, memiliki dua saudara dan down syndrome. Jadi sangat manusiawi dan realistis jika kita melihat individu anak sebagai anak lebih dahulu baru kemudian melihat bahwa setiap anak memiliki karakteristik kemanusiaan yang bebeda-beda.
    Hal lain yang sering menimbulkan kesulitan dalam menggambarkan penyandang cacat adalah penggunaan istilah penderita atau istilah korban, misalnya penderita tunarungu, penderita down syndrome, penderita autisme dsb. Seorang yang mengalami tunarungu dan dalam berkomunikasi mengunakan bahasa isyarat, ia buka sesorang yang menderita akibat tunarungu yang kemudian menggunakan bahasa isyarat. Aka tetapi penggunaan bahasa isyarat merupakan altearnataif atau kompensasi dalam komunikasi.
    Sebagai seorang guru seharusnya menghindari penggunaan kata-kata yang bersifat offensive kepada siswa-siswanya seperti: Kamu tuli, atau guru mengatakan “Hei kamu Freddy yang buta” . Adalah juga bersifat offensive dalam menggunakan kata normal sebagai cara dalam membandingkan individu penyandang cacat dan yang tidak. Misalnya kita mengatakan: “anak yang berkesulitan belajar dibandingkan dengan anak normal.” Akan sangat tepat apabila dikatakan : ”anak yang berkesulitan belajar dibandingkan dengan anak yang tidak mengalami kesulitan belajar”. Penggunaan istilah normal dan tidak normal menjadi tidak relevan atau tidak sejalan dengan konsep pendidikan kebutuhan khusus.
    b. Terminologi
    Terdapat beberapa terminologi yang perlu dipahami dengan jelas dalam kaitannya dengan pendidikan kebutuhan khusus, yaitu istilah impairment, disabilities, dan istilah handicaps. Ketiga istilah tersebut sering dipertukarkan dalam penggunaannya sehari-hari.
    Istilah impairment didefinisikan sebagai kehilangan, kerusakan atau ketidaklengkapan dari aspek psikologis, fisiologis atau ketidak lengkapan/kerusakan struktur anatomi. Hal seperti itu biasanya merujuk kepada kondisi kondisi yang bersifat medis atau kondisi organis (Foreman, 2001; Lewis, 1997), seperti rabun dekat, cerebral palsy, spina bifida, down syndrome, atau tuli.
    Sementara itu disabilities (ketidakmampuan) adalah keterbatasan atau hambatan yang dialami oleh seorang individu sebagai akibat dari impairment (kerusakan) tertentu. Sebagai contoh: karena kerusakan (impairment) spina bifida, seorang anak mengalami kesulitan atau hambatan untuk berjalan tanpa bantuan calipers atau crutches. Kerusakan pada fungsi pendengaran (hearing impairment), mengakibatkan seorang individu mengalami kesulitan atau hambatan utnuk berkomunilasi dengan menggunakan bahasa seacara verbal (Foreman, 2001).
    Istilah handicaps diartikan sebagai ketidak beruntungan (disadvantage) pada seorang individu sebagai akibat dari impairment (kerusakan) atau disability (ketidakmampuan) yang membatasi atau mengahambat seseorang dalam menjalankan peranannya (tergantung kepada jenis kelainan, usia, dan faktor social budaya) secara sosial. Handicaps tidak hanya akan dialami oleh orang yang mengalami impairment atau disability, akan tetapi dapat pula dialami oleh semua orang, jika orang tersebut tidak dapat melakukan peranannya secara sosial.
    Sebagai contoh seseorang yang tidak bisa berbahasa asing (Inggris, atau Mandarin atau bashasa asing lainnya) akan mengalami handicaps jika harus melakukan aktivitas yang berhubungan dengan salah satu bahasa asing tsb. Contoh lain, seorang yang mengalami tunanetra tidak mengalami handicaps untuk membaca tulisan awas ketika orang tersebut sudah menguasai teknologi computer. Sebaliknaya seorang yang bukan tunanetra yang tidak memilki keterampilan dalam menggunakan komputer akan mengalami handicaps jika harus mengerjakan sebuah pekerjaan yang menggunakan komputer. Dari penjelasan itu dapat disimpulkan bahwa impairment yang dialami oleh seorang individu dapat dipastikan akan mengakibatkan munculnya disability. Akan tetapi impairment dan disability tidak selalu menyebabkan timbulnya handicaps. Seorang yang mengalami kerusakan fungsi pendengaran (person with hearing impairment), akan kehilangan kemampuannya antara lain dalam berbahasa secara verbal. Kehilangan kemampuan bicara secara verbal akibat kerusakan fungsi pendengaran dikatakan sebagai disability. Namun demikian disability yang dialaminya itu kemudian dapat dikompen-sasikan dengan mengunakan bahasa isyarat atau komunikasi total sehingga meskipun ia mengalai disability dalam berbicara tetapi secara sosial masih dapat berkomunikasi dengan orang lain dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Maka orang ini tidak mengalami handicaps.
    Dipihak lain apabila kita menghubungkan kondisi individu yang mengalami kecacatan tertentu, misalnya kehilangan fungsi pendengaran (person with hearing impairment) dengan pendidikan dan belajar, maka individu itu akan mengalami hambatan dalam belajar (barier to learning), sebagai akibat dari impairment dan disability yang dialaminya. Hambatan belajar yang dialami oleh setiap individu akan sangat beragam meskipun mengalami impairment dan disability yang sama. Sebagai contoh ada dua orang anak yang berusia sama mengalami gangguan perkembangan kecerdasan (children with developmental disability) atau dalam istilah bahasa Indonesia disebut tunagarahita. Kedua anak ini dikelompokkan kedalam kategori tunagrahita ringan. Akan tetapi ternyata kedua anak ini memiliki hambatan belajar yang berbeda. Anak yang satu mengalami hambatan dalam belajar memahami konsep bilangan tetapi sudah mulai bisa membaca, mengurus diri dan dapat berkomuniskasi dengan orang lain. Sementara anak yang kedua mengalami hambatan dalam memahami simbul grafem (huruf alphabet) dan oleh karena itu belum bisa membaca, masih belum bisa mengurus diri, dan belum bisa duduk tenang. Dalam konsep pendidikan kebutuhan khusus, layanan pendidikan selalu didasarkan pada hambatan belajar yang dialami oleh anak secara individual, bukan didasarkan pada label dan karakteristik dari disability yang bersifat kelompok.
    Hambatan belajar yang dialami oleh seorang individu memberikan gambaran kepada guru tentang bantuan apa yang seharusnya diberikan kepada anak tersebut. Ketika seorang guru mulai berpikir tentang pemberian bantuan (program pembelajaran) yang seharusnya diberikan kepada anak yang bersangkutan, pada saat itu sesungguhnya guru telah menemukan apa yang disebut dengan kebutuhan belajar anak (Special Educational Needs).





    Sumber Bacaan

    Alimin, Zaenal (2004) Reorientasi Pemahaman Konsep Pendidikan Khusus Ke Pendidikan Kebutuhan Khusus dan Implikasinya terhadap Layanan Pendidikan. Jurnal Asesmen dan Intervensi Anak Berkebutuhan Khusus. Vol.3 No 1 (52-63)
    Foreman, Phil (2002), Integration and Inclusion In Action. Mc Person Printing Group: Australia.
    Johsen, Berit and Skjorten D. Miriam, (2001) Education, Special Needs Education an Introduction. Unifub Porlag: Oslo
    Lewis, Vicky (2003), Development and Disability. Blckwell Publishing Company: Padstow, Cornwall.
    Stubbs, Sue (2002) Inclusive Education: Where there are few resources. The Atlas Alliance: Gronland , Oslo.

    Label:

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google
  • Kembali ke Halaman Depan
  • Selasa, 23 Maret 2010

    Program Master Pendidikan Kebutuhan Khusus SPS

    Ahsan Romadlon Junaidi
    Guru SLB Pembina Malang Jawa Timur

    Usaha untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas bagi semua anak telah menjadi kesadaran masyarakat dunia. Usaha ini didasarkan pada hak anak untuk memperoleh pendidikan yang layak. Untuk mencapai tujuan pendidikan untuk semua, strategi yang dipilih adalah dengan menyelenggarakan sistem pendidikan yang inklusif. Hal ini dikarenakan pendidikan inklusif memberi kesempatan yang sangat luas bagi semua anak untuk memperoleh pendidikan di sekolah yang terdekat dengan tempat tinggalnya, termasuk di dalamnya anak yang mempunyai kebutuhan khusus. Salahsatu implikasi dari usaha menuju pendidikan inklusif adalah pergeseran pelaksanaan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dari sistem pendidikan segregatif menuju sistem pendidikan inklusif.
    Di Indonesia, di tahun 2000-an program untuk mengembangkan sekolah yang inklusif mulai dilakukan. Untuk mendukung pergerakan menuju pendidikan inklusif, salahsatunya adalah dengan dibukanya program master pendidikan kebutuhan khusus di UPI Bandung. Program master ini dibuka untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia untuk mendukung pergerakan menuju pendidikan inklusif. Guru-guru SLB mendapat prioritas untuk terlibat menjadi mahasiswa dalam program master pendidikan kebutuhan khusus. Tahun 2005 ini, angkatan pertama mahasiswa program master pendidikan kebutuhan khusus telah menyelesaikan masa studinya.
    Penulis, yang merupakan salah satu mahasiswa angkatan pertama, dalam kesempatan ini ingin menyampaikan pandangan tentang keberadaan program master pendidikan kebutuhan khusus ini. Pertanyaan yang yang hendak dijawab berkaitan dengan keberadaan program master pendidikan kebutuhan khusus di UPI dalam perspektif mahasiswa, adalah: (1) bagaimana pergeseran pemahaman tentang pendidikan luar biasa (pendidikan kebutuhan khusus) yang dialami mahasiswa?; (2) bagaimana pendapat mahasiswa tentang kontribusi program master terhadap pekerjaan mereka?; (3) bagaimana pendapat mahasiswa tentang program master dalam konteks gerakan menuju pendidikan inklusif di Indonesia?;
    Untuk menjawab ketiga pertanyaan tersebut, penulis melakukan wawancara dengan empat mahasiswa angkatan 2003. Dua mahasiswa (#1, #3) mempunyai pengalaman mengajar sebagai guru SLB kurang dari lima tahun, dua mahasiswa lainnya (#2, #4) mempunyai pengalaman mengajar sebagai guru SLB selama sepuluh tahun lebih. Informasi yang diperoleh dideskripsikan sebagai berikut.

    Pergeseran Pemahaman
    Pergeseran pemahaman tentang bendidikan kebutuhan khusus yang dialami mahasiswa dideskripsikan sebagai berikut.
    #1: Aku dulu memahami bahawa anak berkebutuhan khusus itu sekolahnya hanya di SLB, secara segregatif. Sekarang ini aku memahami bahwa sebaiknya anak berkebutuhan khusus bersekolah di sekolah yang inklusif, di sekolah reguler.
    #2: Pergeseran pengetahuan ini (pendidikan kebutuhan khusus) sudah saya rasakan setelah saya ikut program Level. Sebelumnya saya memahami bahwa anak luar biasa itu hanya yang ada di SLB dan bersekolah di SLB. Setelah Level, saya memahami bahwa ALB (anak luar biasa) dapat belajar di sekolah umum. Dengan cara ini masih ada masalah. Setelah mengikuti program master di UPI saya memahami tidak hanya ALB tetapi juga ABK (anak berkebutuhan khusus). Saya memahami bahwa kalau ABK ini sekolah di sekolah reguler sejak dini maka harus ada guru khusus, misalnya untuk mengenalkan braille bagi anak tunanetra. Kalau tidak sejak dini, maka ABK perlu dipersiapkan dulu di SLB atau di pusat sumber. Hal ini juga tergantung jenis kecacatannya. Misalnya tuna netra perlu dipersiapkan dengan Braille, tuna rungu dipersiapkan dengan lips reading.
    #3: Sebelum mengikuti program master, PLB (pendidikan luar biasa) terlihat sangat sempit, berkutat pada SLB, panti, dan BLK (balai latihan kerja). Setelah mengikuti program master, saya pahami ternyata untuk memandirikan ALB /ABK tidak cukup dengan mendidik/melatih mereka dengan cara yang segregatif. Kemandirian ABKdapat terpenuhi ketika lingkungan (masyarakat) menganggap ABK sebagai bagian dari masyarakat. Bukan saja ABK yang harus menyesuaikan dengan lingkungan, tetapi lingkungan juga harus menyesuaikan dengan ABK.
    #4: pergeseran yang aku alami tidak terlalu banyak, sebelumnya aku sudah mendapatkan pengalaman, dan menyaksikan di Norway. Di program master ini pemahaman saya tentang pendidikan kebutuhan khusus menjadi lebih mendalam dan luas. Sekarang saya memahami langkah-langkah yang sistematik dalam membantu ABK.
    Berdasarkan deskripsi dari keempat mahasiswa di atas, dapat diketahui pergeseran pemahaman yang mereka alami adalah sebagai berikut. Pertama, sistem pendidikan, dari sistem pendidikan segregatif menuju sistem pendidikan inklusif. Kedua, penyelenggara pendidikan kebutuhan khusus, dari lembaga khusus (SLB, Panti, BLK) menuju lembaga umum (reguler). Ketiga, peserta didik, dari konsep ALB (anak luar biasa atau anak cacat) menuju ABK (anak berkebutuhan khusus). Keempat, fungsi SLB, dari sekolah khusus menuju pusat sumber. Kelima, peran guru SLB, dari guru khusus di SLB menjadi guru khusus di sekolah reguler. Keenam, proses penyesuaian, dari ABK yang harus menyesuaikan dengan lingkungan (masyarakat) menuju lingkungan (masyarakat) juga harus menyesuaikan dengan ABK. Ketujuh, bantuan kepada ABK, dari bantuan yang kurang sistematis menuju bantuan yang lebih sistematis.
    Kontribusi terhadap Pekerjaan
    Pekerjaan yang dimiliki mahasiswa program master pendidikan kebutuhan khusus angkatan 2003, dari 15 mahasiswa, hanya satu yang tidak menjadi guru di SLB. Satu mahasiswa tersebut bekerja sebagai pengawas di dinas pendidikan kabupaten. Pekerjaan yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah profesi guru. Berikut deskripsi pendapat keempat informan tentang kontribusi program master pendidikan kebutuhan khusus UPI Bandung terhadap pekerjaan mereka sebagai guru.

    #1: aku menjadi mengetahui konsep-konsep untuk meningkatkan pendidikan bagi ABK, misalanya intervensi dini. Lebih detilnya, bagaimana melaksanakan belum aku dapat, harus belajar sendiri.
    #2: aku lebih mengetahui bagaimana seharusnya pengajaran yang sesuai untuk ABK, misalnya sejak awal penerimaan siswa dibutuhkan asesmen, dibutuhkannya modifikasi kurikulum. Apa yang saya butuhkan terpenuhi di program master ini. Secara pengalaman aku sudah punya, yang aku butuhkan dari program master ini adalah teori. Aku sudah mengajar di SLB selama 21 tahun.
    #3: dalam konteks pekerjaan saya sebagai guru, dimana sistemnya masih segregatif seperti sekarang ini, manfaat yang saya peroleh setelah mengikuti program master adalah menyelenggarakan pengajaran pada kelas yang menjadi tanggungjawab saya secara lebih individual. Artinya, bagaimana setiap ABK yang berada dalam kelas saya dapat terlayani sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Sambil berjalan, saya akan mengembangkan ke sekolah (SD) reguler, tentang pendidikan/pengajaran ABK yang secara alamiah sudah ada di sekolah reguler tersebut. Pengembangan ini akan saya lakukan meskipun tidak ada tugas secara formal dari lembaga. Ini merupakan tugas saya sebagai guru, guru tidak hanya pengajar, guru adalah pendidik. Ini adalah tugas kehidupan seorang guru.
    #4: Saya menjadi percaya diri karena menjadi lebih tahu tentang pendidikan kebutuhan khusus. Karena saya bertugas di SLB yang menjadi center, dengan pengalaman di program master ini, saya ingin mengembangkan center (pusat sumber).
    Berdasarkan deskripsi tentang kontribusi mengikuti program master pendidikan kebutuhan khusus di UPI Bandung terhadap pekerjaan mahasiswa di atas, dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, mereka mendapatkan teori atau konsep pendidikan kebutuhan khusus yang menjadi dasar mereka menjalankan pekerjaan mereka sebagai guru. Kedua, lebih tehnis, mereka juga mendapat pengetahuan tentang intervensi dini, modifikasi kurikulum, asesmen, dan pengajaran individual. Pengetahuan-pengetahuan ini akan mereka gunakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan bagi ABK. Ketiga, mereka menjadi percaya diri dalam menjalankan profesi mereka sebagai guru. Keempat, mereka mendapat pencerahan tentang pendidikan inklusif, dan menyadari bahwa mengusahakan pendidikan agar lebih inklusif merupakan “tugas kehidupan” seorang guru.
    Program Master dan Pergerakan Menuju Pendidikan Inklusif
    Gerakan menuju pendidikan inklusif merupakan upaya inovasi dalam sistem pendidikan di Indonesia, terutama untuk mensukseskan program wajib belajar sembilan tahun. Salah satunya, dalam konteks inilah program master pendidikan kebutuhan khusus UPI Bandung mempunyai peranan. Berikut akan dideskripsikan pendapat mahasiswa tentang program master pendidikan kebutuhan khusus dalam konteks gerakan nasional untuk menuju pendidikan inklusif.

    #1: Di program master ini aku mengetahui konsep-konsep pendidikan inklusif, tetapi pengetahuan untuk menerapkan pendidikan inklusif masih sangat kurang.

    #2: Program master ini memberi dukungan pada usaha mewujudkan pendidikan inklusif. Pengetahuan yang utuh dan menyeluruh tentang pendidikan inklusif yang diperoleh dari program master akan membantu nantinya mencari solusi-solusi di lapangan. Dengan status kita sebagai magister pendidikan kebutuhan khusus, suara kita akan lebih didengar, dibandingkan kita hanya semata-mata sebagai guru. Dengan lulus dari program master ini kita dianggap sebagai expert atau ahli dibidang pendidikan kebutuhan khusus.

    #3: Saya menyadari, program master ini, merupakan satu partikel, dari banyak partikel lain dalam pergerakan menuju pendidikan inklusif di Indonesia. Program master ini mempersiapkan SDM (sumberdaya manusia) sebagai pionir-pionir untuk menyebarluaskan konsep pendidikan inklusif ke seantero Indonesia.
    Tantangan besar menuju pendidikan inklusif adalah keragaman budaya Indonesia, karenanya dibutuhkan setrategi yang tepat dalam setiap budaya. Program master ini yang berada dalam konteks budaya Indonesia, lebih bisa menyadari tantangan budaya ini. Lebih lanjut menyadari pula strategi apa yang sebaiknya digunakan, yaitu dengan pendekatan bottom-up.
    #4: Program master ini, mempercepat pergerakan menuju pendidikan inklusif. Hambatan usaha menuju pendidikan inklusif adalah sistem pendidikan yang kompetitif, sehingga ABK tidak terperhatikan. Dengan SDM yang telah disiapkan di program master ini, proses sosialisasi, penyadaran dan membangun jaringan kerja untuk mewujudkan sekolah yang inklusif, dapat lebih dipercepat.
    Berdasarkan deskripsi tersebut, daiketahui bahwa program master pendidikan kebutuhan khusus di UPI Bandung berperan mempersiapkan SDM dari yang nantinya tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Pionir-pionir yang telah dipersiapkan ini akan menyebarluaskan dan mengkampanyekan pendidikan inklusif. Dengan demikian dalam konteks nasional gerakan wajib belajar sembilan tahun, yang salah satu strateginya adalah dengan pendidikan inklusif, program master pendidikan kebutuhan khusus di UPI Bandung mengambil peranan yang sangat penting.
    Posisi penting ini dilihat dari dua hal. Pertama, sebaran mahasiswa yang hampir merata di seluruh wilayah Indonesia. Kedua, pendidikan kebutuhan khusus sebagai brand atau merek dari program master ini, membuka cakrawala pengetahuan tentang anak-anak yang selama ini terpingggirkan dalam sistem pendidikan yang segregatif. Pengkajian secara akademis tentang anak berkebutuhan khusus, membawa pencerahan tentang kelompok anak yang selama ini kurang mendapat akses pendidikan. Karena pada dasarnya gerakan nasional wajib belajar sembilan tahun adalah usaha nasional untuk memberikan hak pendidikan kepada semua anak, termasuk anak berkebutuhan khusus.

    Sebagai kesimpulan, program master pendidikan kebutuhan khusus UPI Bandung - dalam perspektif mahasiswa, dilihat dalam tiga hal. Pertama, program master ini membawa pergeseran pemahaman pada diri mahasiswa tentang pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dari sistem pendidikan segregatif menuju sistem pendidikan inklusif. Kedua, program master ini memberikan kontribusi terhadap pekerjaan mahasiswa sebagai guru. Kontribusi ini jenisnya beragam sesuai dengan pengalaman kerja dan posisi yang sudah mereka miliki. Ketiga, program master ini memberi dukungan untuk mensukseskan gerakan nasional wajib belajar sembilan tahun. Dukungan ini melalui penyebaran pionir-pionir penggerak menuju pendidikan inklusif, terutama bagi anak berkebutuhan khusus.

    Label:

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google
  • Kembali ke Halaman Depan
  • MENJANGKAU ANAK-ANAK YANG TERABAIKAN MELALUI PENDEKATAN INKLUSIF DALAM PENDIDIKAN

    Oleh :
    Zaeanal Alimin
    Program Studi pendidikan Kebutuhan Khusus
    Sekolah Pascasarajana UPI

    A. Pendahuluan
    Pendidikan inklusif sebagai sebuah pendekatan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan dan belajar bagi semua anak, remaja dan orang dewasa yang difokuskan secara spesifik kepada mereka yang rawan dan rapuh, terpinggirkan dan terabaikan. Prinsip pendidikan inklusif di adopsi dari Konferensi Salamca tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus (UNESCO, 1994) dan di ulang kembali pada Forum Pendidikan Dunia di Dakar (2000).
    Pendidikan inklusif mempunyai arti bahwa sekolah harus mengakomodasi semua anak tanpa mempedulikan keadaan fisik, intelektual, sosial, emosi, bahasa, atau kondisi-kondisi lain, termsuk anak-anak penyandang cacat anak-anak berbakat (gifted children), pekerja anak dan anak jalanan, anak di daerah terpencil, anak-anak dari kelompok etnik dan bahasa minoritas dan anak-anak yang tidak beruntung dan terpinggirkan dari kelompok masyarakat (Salamanca Statement, 1994).
    Persoalan pokok dalam pendidikan inklusif adalah hak azasi manusi (HAM) dalam pendidikan yang dinyatakan dalam deklarasi universal tentang hak azasi manusia (Universal Declaratation of Human Right, 1948). Hal yang lebih khusus dan sangat penting adalah hak anak untuk tidak didiskriminasikan yang dinyatakan dalan Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Right of the Child, UN, 1989). Sebagai konsekuensi logis dari hak-hak anak ini adalah bahwa semua anak (all children) mempunyai hak untuk menerima pendidikan yang ramah yang tidak diskriminaatif dalam hal kecacatan (disability), kelompok etnik (ethnicity)), agama (religion), bahasa (language), jenis kelamin (gender), kemampuan (capability) dan sebagainya.
    Sementara itu terdapat alasan-alasan penting seperti alasan ekonomi, sosial, dan politik untuk mencari kebijakan dan pendektan pendidikan yang berifat inklusif. Ini berarti bahwa pendidikan harus memimbulkan perkembangan personal, membangun hubungan di antara individu, kelompok dan bangsa. Salamanca Statement and framework for Action, (1994) menjelaskan bahwa sekolah regular yang beorientasi inklusif adalah cara yang paling efektif untuk mengatasi diskriminasi, menciptakan masyarakat yang ramah, membangun masyarakat inklusif dan mencapai cita-cita pendidikan untuk semua.
    Pengaruh perkembangan politk terhadap keberagaman budaya dan meluasnya pemahaman tentang demokrasi telah menguatkan peran pendidikan dalam soialisai poltik dan memfasilitasi keaktifan warga negara dalam berdemokrasi. Pendidikan, di samping harus merespon keberagaman talenta indivual, pendidikan juga harus menghadapi rentang latar belakang budaya yang luas dari kelompok yang akan membentuk masyarakat (society). Pendidikan harus memikul tugas berat untiuk mengarahkan keberagaman menjadi sebuah konstribusi konsruktif terhadap pemahaman bersama antara individu dengan kelompok. Sebuah kebijakan pendidikan harus mampu mempertemukan pluralisme dan memungkinkan setiap orang menemukan tempatnya di dalam masyarakat. Komisi International tentang Pendidikan untuk abab 21, mengingatkan kebijakan pendidikan harus secara memadai bersifat diversifikasi dan harus dirancang agar tidak menjadi penyebabkan terjadinya eklusi sosial, dan sekolah-sekolah harus mendorong keinginan individu untuk hidup secara bersama-to live together- (UNESCO, 1996).
    Dari penjelasan itu terkandung makna adanya pengakuan tehadap konsep pendidikan dasar yang luas, yang meliputi: pemberian akses yang sangat luas dan mempromosikan kesamaan, memfokuskan kepada belajar, memperluas cara dan lingkup pendidikan, meningkatkan peran lingkungan untuk kepentingan belajar, dan memperkuat kemitraan (UNESCO, 1990).
    Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa pendidikan inklusif adalah sebagai strategi untuk mencapai tujuan pendidikan untuk semua (education for all). Pendidikan inklusif bertujuan untuk membangun konsep yang koheren dan kerangka kebijakan yang kontekstual dengan kondisi lingkungan sehingga tersedia akses dan kesamaan dalam pendidikan dasar untuk semua anak, dan apa yang terkandung dalam pendidikan sehingga kebutuhan-kebutuhan pendidikan yang beragam dapat direspon dan dipenuhi di dalam jalur utama pendidikan (pendidikan biasa), baik pada jalur pendidikan formal maupun pendidikan non-formal.
    A. Memahami Konsep Pendidikan Inklusif
    Inklusi dipandang sebagai sebuah proses dalam merespon kebutuhan yang beragam dari semua anak melalui peningkatan partisipasi dalam belajar, budaya dan masyarakat, dan mengurangi eklusivitas di dalam dan dari pendidikan (Booth, 1996). Pendidikan inklusif mencakup perubahan dan modifikasi dalam isi, pendekatan-pendekatan, struktur dan strategi yang dapat mengakomodasi kebutuhan semua anak seseuai dengan kelompok usianya. Pendidikan inklusif dalam pelaksanaannya merupakan tanggung jawab dari system pendidikan biasa untuk mendidik semua anak (UNESCO, 1994).
    Pendidikan inklusif sangat peduli dalam memberikan respon tepat terhadap spektrum kebutuhan belajar yang luas baik dalam setting pendidikan formal maupun pendidikan non-formal. Pendidikan inklusif adalah sebuah pendektan yang melihat bagaimana mengubah system pendidikan agar dapat merespon keberagaman peeserta didik. Tujuannya adalah agar guru dan siswa keduanya memungkinkan merasa nyaman dalam keberagaman dan melihat keragaman sebagai tantangan dan pengayaan dalam lingkungan belajar, keberagaman bukan sebagai masalah.
    Untuk memperoleh pemahaman yang jelas tentang konsep penddidikan inklusif, diperlukan definisi yang jelas, disepakati dan diterima oleh banyak pihak secara internasional. Jika pendidikan inklusif didefinisikan secara sempit atau hanya didasarkan pada pandangan bahwa anak sebagai masalah, maka pendidikan inklusif akan menjadi tidak cocok. Definisi tentang pendidikan inklusif akan terus berubah secara pelan-pelan sebagai refleksi dari apa yang terjadi dalam prakteknya, dalam kenyataan, dan bahkan harus terus berubah jika pendidikan inklusif ingin tetap memiliki respon yang bernilai nyata dalam mengahdapi tantangan pendidikan dan hak azasi manusia.
    Meskipun definsi tentang pendidikan inklusif itu bersifat progresif dan terus berubah, tetapi diperlukan kejelasan konsep yang terkandung didalamnya, karena banyak orang menganggap bahwa pendidikan inkludif sebagai versi lain dari pendidikan khusus/PLB (special esucation). Konsep yang mendasari pendidian inklusif sangat berbeda dengan konsep yang mendasari pendikan khusus (special education). Inklusi atau pendidikan inklusif adalah bukan istilah lain dari pendidikan khusus. Konsep pendidikan inklusif mempunyai banyak kesamaan dengan konsep yang mendasari pendidikan untuk semua (education for all) dan konsep tentang perbaikan sekolah (schools improvement).
    Definisi pendidikan inklusif yang diterima oleh banyak pihak adalah definisi yang diangkat dari seminar tentang pendidikan inklusif yang diselenggarakan di Agra India, yang disetujui oleh 55 partisipan dari 23 negara. Dari hasil seminar itu pendidikan inklusif didefinisikan sebagai berikut:
    • Lebih luas dari pada pendidikan formal, tetapi mencakup rumah, masyarakat, non-formal dan system informal
    • Menghargai bahwa semua anak dapat belajar
    • Memungkinkan struktur, sistem dan metodologi memenuhi kebutuhan-kebutuhan semua anak
    • Mengakui dan menghargai bahwa setiap anak memiliki perbedaan-perbedaan dalam usia, jenis kelamin, etnik, bahasa, kecacatan, status sosial ekonomi, potensi dan kemampuan
    • Merupakan proses dinamis yang secara evolusi terus berkembang sejalan dengan konteks budaya
    • Merupakan strategi untuk memajukan dan mewujudkan masyarakat inklusif. (Seminar on Inclusive Education Agra India, 1998).
    Definisi yang dikutif di atas menggambarkan sebuah model pendidikan inklusif yang mendasarkan konsep-konsep tentang: anak, system pendidikan, keragaman dan diskriminasi, proses memajukan inklusi, dan konsep tentang sumber daya. Secara terperinci dapat dijelaskan sebagai berikut:
    1. Konsep tentang Anak
    • Hak semua anak untuk memperoleh pendidikan di dalam masyarakatnya sendiri
    • Semua anak dapat belajar dan siapapun dapat mengalami kesulitan dalam belajar
    • Semua anak membutuhkan dukungan dalam belajar
    • Pembelajar berpusat pada anak menguntungkan semua anak
    • Keberagaman dan terima dan dihargai
    2. Konsep tentang Sistem Pendidikan dan Sekolah
    • Pendidikan lebih luas dari pada pendidikan formal di sekolah (formal schooling)
    • Fleksibel dan sistem pendidikan bersifat responsif
    • Lingkunngan pendidikan ramah terhadap anak
    • Sistem mengakomodasi setiap anak yang beragam bukan anak menyesuaian dengan sisitem
    • Kolaboratif antar mitra dan bukan kompetitif

    3. Konsep tentang Keberagaman dan Diskriminasi
    • Menghilangkan diskriminasi dan pengucilan (exclusion)
    • Memandang keragaman sebagai sumber daya, bukan sebagai masalah
    • Pendidikan inklusif menyiapkan siswa menjadi toleran dan menghargai perbedaan-perbeaan.

    4. Konsep tentang Sumberdaya
    • Memanfaatkan sumber daya loakal yang tersedia (local resources)
    • Mendistribusikan sumber daya yang tersedia
    • Memandang manusia ( anak, orang tua, guru, kelompok orang yang termarginal kan dsb) sebagai sumberdaya kunci
    • Suberdaya yang tepat di sekolah dan masyarakat dibutuhkan untuk anak-anak yang berbeda. Sebagai contoh Braille, alat-alat bantuan (assistive divice)

    B. Faktor-Faktor yang Melatarbelakangi Munculnya Konsep Pendidikan Inklusif
    Munculnya gagasan tentang pendidikan inklusif dilatarbelakangi oleh dua faktor utama yaitu adanya gerakan yang disebut schools improvement dan didorong oleh pemikiran yang berkembang dalam bidang special needs eductation. Kedua factor tersebut dalam realitasnya terjadi melalui: (1) Lobi-lobi yang dilakukan oleh para aktivis seperti organisasi penyandang cacat, kelompok-kelopok orang tua, dan kelompok-kelompok yang mendorong anak perempuan untuk memperoleh akses ke pendidikan, (2) Adanya pandangan yang menganggap bahwa program sekolah khusus dan sekolah terpadu tidak berhasil, (3) Adanya desakan yang sangat kuat terhadap sekolah agar peduli terhadap kenyataan bahwa ada sekian banyak anak yang terpinggirkan dan tidak mendapatkan akses ke pendidikan, seperti pengungsi, orang yang terinfeksi HIV/AIDS, anak-anak dari keluarga miskin, dan situasi konflik, (4) Adanya keberhasilan program-program yang dilaksanakan oleh masyarakat dalam pemberantasan buta huruf dan keberhasilan program rehabilitasi berbasis masyarakat (Community Based Rehabilitation), dalam membantu mengembangkan para penyandang cacact, (5) Banyaknya contoh-contoh keberhasilan dalam praktek inklusif dalam rentang budaya dan konteks social tertentu.
    1. Schools Improvement
    a) Gerakan Schools Improvement di Negara Selatan (Negara Berkembang)
    Salah satu aspek dari gerakan Schools improvement atau perbaikan mutu sekolah adalah mempromosikan pendidikan dasar untuk semua, yaitu memberi kesempatan kepada semua anak untuk belajar pendidikan dasar di sekolah (meningkatkan akses). Akan tetapi jika hanya sekedar memberi kesempatan kepada anak untuk mendapatkan pendidikan di sekolah adalah tindakan yang membuang-buang waktu, tenaga dan sumber daya saja kecuali apa yang terjadi di sekolah bermanfaat, relevan dangan masyarakat, efektif dan cocok dengan kebutuhan anak. Dengan kata lain pendidikan harus berkualitas
    Jika pendidikan tidak bermakna bagi anak dan masyarakat (berkualitas), maka kemudian anak bisa jadi bakal keluar dari sekolah (droping out), orang tua dan masyarakat tidak memprioritaskan pendidikan untuk anak-anak mereka. Sangat banyak sekolah di Negara berkembang yang berkualitas rendah. Oleh karena itu yang dimaksud schools improvement adalah upaya untuk memperbaiki mutu sekolah untuk semua anak (for all childen). Masalah-masalah yang mempengaruhi sekolah, berkaitan erat dengan kemiskinan dan diskriminasi yang berlansung dalam jangka waktu lama yang antara lain meliputi: utang pemerintah, pengaruh penjajahan, pengaruh penyesuaian kebijakan struktural, dan konplik horizontal di dalam masyarakat.
    Kenyataan seperti itu mendorong munculnya inisiatif sebagai respon untuk mencari jalan ke luar dari masalah-masalah seperti itu. Salah satu gerakan perbaikan mutu sekolah dialakukan oleh organisasi non pemerintah di Inggris yang disebut Save the Children, meluncurkan program yang diberi nama Responsive School Systems yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) Bersifat inklusif, yang merespon terhadap kebutuhan semua anak di masyarakat, (2) Mengupayakan adanya sumber-sumber daya yang cocok dengan keperluan dan memadai, (3) Mengembangkan pendidikan berkualitas yang ditandai adanya relevansi antara pendidikan dengan kehidupan masyarakat dan memberikan respon terhadap perkembangan kebutuhan setiap anak. Contoh upaya yang dilakukan dalam rangka schools improvement yang sedang terjadi di Negara-negra selatan (Negara berkembang) dapat dilihat pada bagan 1.6 sebagai berikut:
    Upaya yang Dilakukan dalam Schools Improvemant
    Masalah-Masalah Solusi-solusi

    Pembelajaran yang buruk: terlalu ketat, mutu pelatihan guru yang buruk, tidak responsive terhadap kebutuhan anak

    Anak pasif-tidak didorong belajar secara akrif, Jumlah murid sangat banyak dalam satu kelas. Banyak anak yang dropout

    Membaca permulaan dan keterampilan dasar tidak diajarkan dengan memadai


    Sekolah tidak relevan dengan kehidupan dalam masyarakat-tidak berhubungan dengan tantangan kehidupan


    Sistem yang kaku dan tidak tepat sebagai warisan penjajah dan tekanan dari Negara donor

    Tidak dapat merespon terhadap tekanan-tekan yang mutakhir; konflik, situasi pengungsi, gap antara kaya-miskin
    Kekurangan fasilitas fisik; Gedung, alat-alat, dan sanitasi yang buruk
    Memberikan dukungan kepada guru menjadi reflekstif dan aktif: pelataihan guru ditempat kerja (di sekolah)

    Mengembangkan jalinan yang kuat antara sekolah dan masyarakat, menggunakan metode partisipatori dalam pembelajaran.

    Memperkenalkan metodologi pembelajaran berpusat pada anak dan belajar aktif. Melibatkan anak dalam memecahkan masalah

    Menciptakan system yang fleksibel yang dapat beradaptasi terhadap perubahan dengan dukungan jaringan yang luas. Menyesuaikan system kepada anak bukan anak kepada system.

    Belajar dari dari keberhasilan pendidikan non/in formal, merancang kurikulum sesuai dengan kebutuhan masyarakat dengan membuka kesempatan yang luas.
    Melibatkan masyarakat, LSM local dan pemerintah dalam pengadaan infrastuktur yang memadai.


    b) Schools Improvement di Negara Utara (Negara Maju)
    Di negara-negara maju di belahan utara, sekolah juga berubah dan berkembang serta sering mengalami konflik dalam mengahdapi tekanan-tekanan yang dapat menimbulkan pengucilan (eklusi) pada siswa-siswanya, beban kurikulum yang berlebihan, guru yang tertekan dan siswa yang buruk prestasi belajaranya. Selain itu ada peningkatan tantangan berkenaan dengan keberagaman kebutuhan siswa yang luas, siswa yang berasal dari bahasa yang berbeda, dan etnik minoritas dan anak-anak pengungsi setra termasuk anak-anak penyandang cacat yang bervariasi.
    Meskipun sekolah-sekolah di negara maju di belahan utara sering mengeluhkan juga tentang kekurangan sumber daya, tetapi tidak dapat dibandingkan dengan kondisi-kondisi yang terjadi di negara miskin di belahan selatan, yang berarti kekurangan sumberdaya berkaitan dengan makanan, air bersih, perlindungan dan peralatan. Tetapi
    baik di negara maju di utara maupun di negara miskin di belahan selatan sesunguhnya memiliki masalah bersama berkenaan dengan inklusi dan ekslusi.
    Dalam upaya schools improvement, di Negara maju terutama di Inggris, diperkenalkan sebuah projek yang disebut Improving the quality of Education for All (IQEA) sebagai reformasi terhadap kondisi di masa lalu. Proyek ini mempunyai prinsif-prinsif sebagai berikut: (a) Mengembangkan visi sekolah kemitraan, (b) Melihat tekanan dari luar sebagai peluang, (c) Menciptakan kondisi agar semua anak belajar, (c) Mengembangkan perangkat untuk melakukan kemitraan dan pemberdayaan individu-individu dan kelompok (d) Evaluasi dan monitoring dijadikan tanggung jawab bersama.
    c) Implikasi dari Schools Improvement terhadap Pendidikan Inklusif
    Penjelasan di atas tentang masalah-malah pendidikan terutama pendidikan dasar yang dihadapi baik oleh Negara-negara di belah selatan (kelompok Negara berkembang) maupun negra-negara di belahan utara (kelompok Negara maju), dan solusi-solusi yang dilakukannya dapat menciptakan lingkungan dan kondisi-kondisi yang diperlukan untuk mencapai keberhasilan dalam pendidikan inklusif. Ini disebabkan bahwa dalam kenyataannya, sebuah sekolah tidak baik untuk semua anak, apalagi untuk anak penyandang cacat dan anak-anak yang termarginalkan.
    Oleh sebab itu inklusi bukan sekedar memasukan anak penyandang cacat ke dalam system yang kaku seperti yang ada sekarang, dan bukan persoalan mengadaptasikan anak ke dalam system, akan tetapi persoalan mengadaptasikan system yang ada kepada semua anak. Dalam perspektif pendidkan inklusif yang dipandang sebagai masalah adalah system (kurikulum, guru, lingkungan) bukan anak. Oleh karena itu system yang harus disesuaikan dengan keragaman anak, yaitu perhatian guru harus berpusat pada anak, kurikulum harus menjadi fleksibel, masyarakat.dan orang tua harus terlibat




    2. Pengaruh Pendidikan Kebutuhan Khusus
    a) Pendidikan Kebutuhan Khusus di Negara Maju
    Istilah pendidikan butuhan khusus (special needs education) dan kebutuhan khusus akan pendidikan (special educational needs) sering digunakan tetapi kadang-kadang tidak begitu jelas. Di Negara-negara maju di belahan utara, istilah tersbut sudah digunakan sejak tahu 70-an. Laporan Warnock pada tahun 1978 menekankan bahwa 20% dari jumlah anak usia sekolah memiliki kebutuhan khusus sementra pada aspek terntu selama mereka belajar di sekolah dan mereka itu berada di sekolah biasa.
    Laporan Warnock juga menekankan pentingnya memahami anak yang mempunyai kebutuhan khusus akan pendidikan (children with special educational needs) ketimbang istilah anak penyandang cacat (Stubbs, 2002). Sesungguhnya hal ini merupakan gerakan yang positif, karena ini merupakan perubahan focus perhatian dari karakteristik fisik anak (disability) ke kebutuhan pendidikan yang mereka alami. UNESCO pada awalnya menggunakan istilah kebutuhan khusus akan pendidikan (special educational needs) untuk menggambarkan anak-anak penyandang cacat, tetapi dalam pernyataan Salamnca, istilah tersebut dikembalikan kepada pengertian seperti yang dimaksud pada laporan Warnock, yaitu bukan hanya menggambangkan penyandang cacat tetapi untuk menggambarkan semua anak yang memiliki kebutuhan yang diakibatkan oleh adanya hambatan dalam belajar.
    Berkenaan dengan anak-anak penyandang cacat, istilah kebutuhan khusus (special needs) kadang-kadang membingungkan. Kebanyakan anak penyandang cacat lebih memerlukan alat-alat bantu (assistie divice) dan lingkungan yang aksesibel atau bantuan tertentu dan peralatan untuk membantu mereka agar mempunyai akses kepada kurikulum sekolah biasa, tetapi mereka sesungguhnya tidak mempunyai hambatan yang nyata dalam belajar. Akan tetapi di lain pihak banyak anak yang bukan penyandang cacat tetapi mengalami hambatan dalam belajar. Oleh sebab itu disadari atau tidak semua orang pada situasi tertentu dan pada waktu tertentu bisa mengalami hambatan belajar dan memiliki (special needs education) dan kebutuhan khusus akan pendidikan (special educational needs) istilah yang cakupannya luas, termasuk didalamnya penyandang cacat (children with disability).
    b) Pendidikan Kebutuhan Khusus di Negara Berkembang
    Kebijakan dan paktek pendidikan bagi anak penyandang cacat di Negara-negara bekembang dibelahan selatan banyak diimpor dari Negara maju atau merupakan kehendak dari Negara-negara pemberi bantuan (utang), atau diperkenalkan oleh elit yang mempunyai ikatan dengan Negara maju tertentu dan meniru apa yang dilakukan secara paktis di negara maju.
    Meskipun kebijakan dan praktek pendidkan anak penyandang cacat yang ditiru dari negra maju maksudnya baik, tetapi hasilnya bisa menjadi malapetaka karena : (1) mencabut anak penyandang cacat dari jalur sekolah biasa dan dari masyaraktnya, (2) Terjadi pelabelan melalui tes psikologi yang berasal dari negara maju yang tidak mempunyai nilai tranferabilitas kultural, (3) Sekolah khusus sering menjadi semacam tempat pembuangan anak yang tidak memiliki fasilitas yang cukup dan tidak memiliki guru yang terlatih dengan baik, (3) Menciptakan sekolah elit yang melayani sekelompok kecil anak (4) Merusak system pendukung lokal dan menggnantinya dengan system yang tidak tepat.
    Kenyataan seperti dijelaskan di atas menjadi pendorong munculnya pemikiran dan kesadaran baru tentang pentingnya pendidikan yang berkualitas yang dapat menjangkau semua anak dalam satu system pendidikan yang sama.
    c) Pengaruh Gerakan Pendidikan Kebutuhan Khusus terhadap Inklusi
    Harus diakui bahwa banyak pelopor dan pejuang inklusi atau pendidikan inklusif adalah pendukung pendidikan kebutuhan khusus yang tangguh. Secara pelahan-lahan mereka mulai menyadari bahwa pendidikan khusus memiliki keterbatasan. Akan tetapi banyak pelajaran yang baik yang dapat diambil dari praktek pendidikan kebutuhan khsusus yang berkualitas, yaitu (1) Pembelajaran kreatif yang berpusat pada anak
    merespon gaya dan kebutuhan belajar secara individual, (2) Pendekatan holistic terhadap anak dengan memperhatikan semua area perkembanngan, (3) Hubungan yang erat antara keluarga dan sekolah, dan keterlibatan orang secara aktif terhadap pendidikan anaknya di sekolah, (3) Pengembangan teknologi yang spesifik memfasilitasi akses terhadap pendidikan dan membantu mengatasi hambatan belajar.
    Nilai-nilai positif yang terkandung dalam pendidikan kebutuhan khusus bersesuaian dengan nilai-nilai yang terkandung dalam gerakan schools improvement. Selain itu keakhlian khusus dalam pendidikan kebutuhan khusus memungkinkan anak penyandang cacat untuk memiliki akses terhadap kurikulum atau keahlian dalam mengembangkan keterampilan dasar belajar adalah sangat penting dalam mengembangkan pendidikan inklusif bagi semua.
    Dalam konteks pendidikan inklusif peranan para profesional pendidikan kebutuhan khusus berubah menjadi nara sumber (resources person) yang memfokuskan tugasnya kepada upaya menghilangkan hambatan yang ada di dalam system, agar dapat diadaptasikan kebutuhan belajar semua anak dapat dipenuhi


    C. Relevansi Konsep Pendidikan Inklusif dengan Masalah Pendidikan Dasar di Indonesia

    Pendidikan dasar di Indonesia saat ini menghadapi dua tantangan besar. Pertama tantangan berkenaan dengan partisipasi dan kedua tantangan yang berkenaan dengan mutu proses pembelajaran.

    1. Tantangan Tekait Partisipasi
    a) Masih adanya diskriminasi pada kelompok anak tertentu
    Kenyataan menunjukan bahwa terdapat sejumlah anak yang tidak beruntung, mungkin karena miskin, ras minoritas, agama minoritas, suku, budaya, bahasa, dan kecacatan. Mereka terbaikan tidak memperoleh kesempatan untuk ikut serta dan memperoleh keuntungan dari pendidikan karena ada penolakan
    b) Jumlah anak putus sekolah relatif masih tinggi. Anak mengalami putus sekolah bukan hanya alasan ekonomi tetapi juga ada kaitannya dengan tidak terpenuhinya kebutuhan belajar anak yang bersankutan.
    c) Masih sangat banyak anak-anak cacat (berkebutuhan khusus) yang belum memiliki akses ke dalam pendidikan, baru sekitar 7% dari populasi anak-anak cacat yang tertampung dalam pendidikan.
    d) Masih banyak anak-anak di daerah terpencil dan suku terasing yang tidak terjangkau oleh pendidikan dasar.

    2. Tatangan terkait Mutu Proses Pembelajaran
    a) Kurikulum, pembelaran dan penilaian masih belum ramah terhadap kebutuhan anak
    b) Prosess pembelajaran belum memperhatikan keberagaman siswa secara individual tetapi lebih menekankan penyelesaian program
    c) Proses pembelajaran sangat kompetitif, hanya menguntungkan para pemenang, tetapi tidak menguntungkan bagi yang kalah kompetisi (pecundang). Seharusnya semua anak jadi pemenang
    d) Ada kecenderungan anak-anak terpisahkan dari komunitasnya. Sekolah tidak relevan dengan tantangan hidup yang sebenarnya
    e) Sistem yang kaku dan keseragaman menjadi acuan utama. Keberagman siswa terabaikan
    f) Anak pasif tidak didorong untuk belajar aktif dan pembelajaran tidak responsif terhadap terhadap hambatan belajar dan kebutuhan anak
    Gagasan pendidikan iklusif seperti telah dijelaskan, tampaknya sangat relevan untuk menjangkau semua anak yang masih terabaikan dan secara bersamaan dapat meningkatkan mutu proses pembelajaran. Dengan kata lain pendidikan inklusif merupakan strategi untuk mencapai cita-cita bahwa pendidikan itu untuk semua (education for all).


    D. Mengembangkan Pendidikan Inklusif ke Depan
    Untuk mengembangkan pendidikan inklusif perlu dipertimbangkan beberapa pertanyaan sebagai berikut:
    1. Kebijakan apa saja yang mendukung dan sekaligus bertentangan dengan
    penyelenggaraan pendidikan inklusif?
    2. Hambatan apa saja yang dihadapi saat ini pada tingkat kebijakan yang dapat
    merintangi pelaksanaan pendidikan inklusif dan bagaimana masalah itu dapat dihindari?
    3. Bagaimana kita dapat membuat kerangka panduan untuk mengarahkan dan
    memfasilitasi terlaksananya pendidikan inklusif yang dapat diikuti?
    4. Bagaimana mekanisme monitoring dirumuskan ke dalam perncanaan untuk mencapai tujuan yang realistik?
    Diperlukan sekolah percontohan sebagai pusat studi untuk mempelajari keberhasilan pelaksanaan pendidikan inklusif yang dapat memberikan informasi mengenai tahapan perkembangan pendidikan inklusif pada sekolah percontohan tersbut Keberhasilan dari percontohan tersebut dapat dijadikan referensi dalam mengemabngkan sekolah lainnya.
    Untuk mengukur apakah sekolah percontohan telah berada pada jalur yang tepat dalam pendidikan inklusif dapat dilihat dengan kriteria sebagai berikut:
    1. Semua siswa berpartisipasi dalam semua mata pelajaran
    2. Pembelajaran direncanakan untuk memenuhi kebutuhan semua anaikulum
    3. Kurikulum yang dikembangkan mencermintka adanya penghargaan terhadadap perbedaan
    4. Selama proses pembelajaran semua anak berpaatipasi
    5. Menggunakan strategi pembelajaran yang bervaraiasi
    6. Semua siswa mengalami keberhasilan di dalam belajar
    7. Kurikulum dikembangkan terkait dengan budaya masayarakat lokal
    8. Hambatan belajar dilihat sebagai kesempatan untuk mengembangkan proses pembelajaran
    Sumber Bacaan

    Alimin, Z (2004) Reorientasi Pemahaman Konsep Pendidikan Khusus Ke Pendidikan Kebutuhan Khusus dan Implikasinya terhadap Layanan Pendidikan. Jurnal Asesmen dan Intervensi Anak Berkebutuhan Khusus. Vol.3 No 1 (52-63)
    Bisshop.D.V,M. (1996). Cognotive Neurospychology and developmental disorders: Uncomfortable bedffelows. Quarterly Journal of Experimental Psychology, 50,899-923
    Bower,T,G.R, (1979). Toward a unitary theory of development .In E.B. Thomas (ed), Original of the Infant’s Social Responsiveness, Hillsdale, New Jersey : Erlbaum.
    Burlingham,D. (1979). To be blind in a sighted word, Psychoanalytic Study of The Child, 34,5-30
    Delendo,J. Hugher& Dote-Kwan,J. (1998) . A close look at the cognitive play of pre schoolers with viisual impairments in the home. Exceptional Children,64,451-462
    Dunlea,A. (1989), Vision and the emergence of meaning. Cambridge: Cambridge University Press
    Foreman, Phil (2002), Integration and Inclusion In Action. Mc Person Printing Group: Australia
    Fraiberg,S. (1997), Insights from the Blind. London:souvenir Press
    Johsen, Berit and Skjorten D. Miriam, (2001) Education, Special Needs Education an Intoduction. Unifub Porlag: Oslo
    Landau,B (1999). Knowledge and it expression in the blind child. In D.P. Keating & H. Rosen, Constructivist Perspective on developmental Psychopatology and atypical Development; London Erarbaum
    Lewis, Vicky (2003), Development and Disability. Blckwell Publishing Company: Padstow, Cornwall.
    Lowenfeld, B, (1948). Effects of blindness of the cognitive functions of children, Newvous Child,7,45-54
    Millar,S. (1997). Reading without Vision, In V Lewis & G. Collis, Blindness and Psychological Development in Young Children, Leicerter BPS Books
    Pring, L. (1988). The ”reverse-generation” effect: A comparison of memory performance between blind and sighted children. British Journal of Psychology.
    Pring,L, & Mulkeren. (1992). Memory in blind and sighted children, Eroupean review of Appliede Psychology, 42,243-248
    Presisler, G.M. (1997), Social and emotional development of blind children: A Longitudinal Study , in V., Lewis & G. Collis, Blindness and Psychological Development in Young Children. Liecester : BPS Books.
    Roger,S. J., & Puchalski, C.B. (1986). Social smiles of visual impaired infants, Journal of Visual Impairment and Blindness
    Schellingerhout, R., Smitsman,A.W,. van Gale, G.P. (1997). Exploration of surface-fexture in conginentally blind infants, Child: care, health and Development, 23,247-264
    Schneekloth, L.H. (1989). Play environment for visually impaired children, Journal of visual Impairment and Blindness, 83, 196-201
    Stubbs, Sue (2002) Inclusive Education: Where there are few resources. The Atlas Alliance: Gronland , Oslo.
    Troster, H., & Brambring, M. (1992). Early social-emotional development in blind infants, Child: Care, Health and Development, 18,207-227
    Workmen, S.H. (1986). Teacher ”Verbalizations and the social interaction of blind preschooler. Journal of Visual Impairment and Blindness, 80.532-534

    Label:

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google
  • Kembali ke Halaman Depan