Buku Tamu



Anda adalah pengunjung ke
View My Stats

Silakan isi
  • Buku Tamu Saya
  • Lihat Buku Tamu




  • Jika anda meninggalkan pesan atau mengajukan pertanyaan yang memerlukan respon,
    respon saya dapat anda baca di
  • Comment




  • Google

    Daftar Isi

  • KESULITAN BELAJAR DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN
  • REORIENTASI PENDIDIKAN KHUSUS/PLB (SPECIAL EDUCATION) KE PENDIDIKAN KEBUTUHAN KHUSUS (SPECIAL NEEDS EDUCATION) USAHA MENCAPAI PENDIDIKAN UNTUK SEMUA
  • Program Master Pendidikan Kebutuhan Khusus SPS
  • MENJANGKAU ANAK-ANAK YANG TERABAIKAN MELALUI PENDEKATAN INKLUSIF DALAM PENDIDIKAN
  • PEMBELAJARAN ANAK BERBAKAT
  • VYGOTSKY IN THE CLASSROOM: MEDIATED LETERACY INTRUCTION AND INTERVENTION
  • SUBJECTIVE PERCEPTIONS OF STRESS & COPING BY MOTHERS OF CHILDREN WITH INTELLECTUAL DISABILITY A NEEDS ASSESSMENT
  • Anak Penyandang Autisme dan Pendidikannya
  • Pendidikan Inklusif Ketika Hanya Ada Sedikit Sumber
  • Orientasi Ulang Pendidikan Tunagrahita dari Pendekatan Formal ke Pendekatan Fungsional
  • Definisi dan Ruang Lingkup Praktek Konseling Rehabilitasi
  • Landasan Filosofis Konseling Rehabilitasi
  • Pertimbangan-pertimbangan dalam Intervensi Konseling Rehabilitasi: Faktor Personal
  • Pertimbangan-pertimbangan dalam Intervensi Konseling Rehabilitasi: Faktor Lingkungan
  • Pertimbangan-pertimbangan dalam Intervensi Konseling Rehabilitasi: Hakikat Kecacatan
  • Bahasa dan Ketunagrahitaan
  • Pernyataan Salamanca
  • HAMBATAN BELAJAR DAN HAMBATAN PERKEMBANGAN PADA ANAK-ANAK TUNAGRAHITA
  • SUBJECTIVE PERCEPTIONS OF STRESS & COPING BY MOTHERS OF CHILDREN WITH INTELLECTUAL DISABILITY A NEED ASSESSMENT
  • HAMBATAN BELAJAR DAN HAMBATAN PERKEMBANGAN PADA ANAK YANG MENGALAMI KEHILANGAN FUNGSI PENDENGARAN
  • MEMAHAMI PERKEMBANGAN,HAMBATAN PERKEMBANGAN DAN HAMBATAN BELAJAR PADA ANAK
  • Orientasi Pendidikan Kebutuhan Khusus
  • PEMAHAMAN KONSEP PENDIDIKAN KEBUTUHAN KHUSUS DAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
  • THE EFFECTS OF PRECISION TEACHING TECHNIQUES AND FUNTIONAL COMMUNICATION TRAINING ON BEHAVIOR PROBLEM FOR 12-YEAR OLD MALE WITH AUTISM
  • Daftar Cek Perkembangan Bahasa Anak Tunagrahita
  • Perkembangan Kognitif Anak Tunagrahita Menurut Teori Piaget
  • Program Master Pendidikan Kebutuhan Khusus
  • Pengajaran Bahasa Bagi Anak Tunagrahita
  • MODEL PEMBELAJARAN ANAK TUNAGRAHITA MELALUI PENDEKATAN KONSELING




  • Minggu, 30 Maret 2008

    SUBJECTIVE PERCEPTIONS OF STRESS & COPING BY MATHERS OF CHILDREN WITH INTELLECTUAL DISABILITY A NEED ASSESSMENT

    Frances Hill
    Rona Newmark
    And
    Lesley Le Grange
    University of Stellenbosch

    Diterjemahkan oleh: Zaenal Alimin
    Program Studi Pendidikan Kebutuhan Khusus
    Sekolah Pascasarjana Uniersitas Pendidikan Indonesia
    Bandung

    Abstrak
    Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengekplorasi coping strategy yang dilakukan oleh 12 ibu dari anak tunagrahita. Penelitian ini merupakan bagian dari analisis kebutuhan kualitas hidup individu yang mengalami ketunagrahitaan pada level perkembangan yang berbeda. Partisipan penelitian ini diminta untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam angket yang sudah divalidasi. Setelah itu partisipan diminta untuk mejawab pertanyaan-pertanyaan wawancara semi tersruktur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengalaman dan perasaan partisipan dalam menghadapi anaknya yang tunagrahita meliputi: orang tua merasa marah, khawatir dan takut akan masa depan anaknya, takut anak ditolak oleh lingkungan, memiliki rasa bersalah, sedih, tetapi juga ada yang senang dan bangga. Dalam menghadapi kenyataan bahwa anak-anaknya tunagrahita, partisipan melakukan tindakan (coping strategy) yaitu mencoba berpikiran bijaksana, mencoba mencari dukukangan sosial dan emosi, ada juga yang menerima dengan pasrah. Kesimpulan penelitian ini menunjukkan, sukar bagi orang tua untuk bisa menerima keadaan anaknya yang tunagrahita tanpa bantuan para profesional, orang tua membutuhkan dorongan semangat untuk memberdayakan diri mereka.
    Akhir-akhir ini layanan bagi individu yang mengalami ketunagrahitaan dilandasi oleh HAM. Layanan bagi mereka tidak lagi bersipat institusional di panti tetapi dikembalikan kepada orang tua atau disebut dengan program de-institusionalisai. Oleh karena itu orang yang paling bertanggung jawab dalam penanganan anak tunagrahita berada di tangan orang tua, secara lebih khusus adalah ayah dan ibu.
    Sehubungan dengan itu penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang kualitas hidup anak atau individu tunagrahita yang berada di lingakungan keluarganya, dengan meng-asesmen perasaan orang tua dalam menghadapi anaknya yang tunagrahita dan coping strategy yang mereka gunakan.


    Pendekatan Penelitian
    Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama penelitain kuantitatif dan tahap kedua penelitian kualitatif. Dalam penelitian ini terlebih dahulu dibentuk pilot group yang beraggotakan 4 orang partisipan dari orang tua anak tunagrahita di sekolah yang sama. Kelompok ini merupakan kelompok uji coba instrumen penelitian, yang menelaah sesitivitas bahasa yang digunakan, relevansi dari pertanyaan-pertanyaan yang digunakan dalan angket dengan konstek budaya. Berdasarkan uji coba inilah lahir isntrumen penelitian yang dianggap valid.
    12 orang partisipan (orang tua anak tunagrahita) diminta untuk menjawab dua angket. Pertama, angket tentang QRS (Questionnaires on Resources and Stress), yang meliputi 51 pertanyaan benar salah yang fokus pada bagaimana perasaan orang tua memiliki anak tunagrahita. Angket kedua tentang mengungkapkan coping strategy yang digunakan oleh oang tua dalam menghadapi anaknya yang tunagrahita, yang disebur WC-R (Way Coping-Rivised), terdiri dari 46 butir dalam bentuk skala Likert. Pertanyaan-pertanyaan pada skala ini mengungkap coping strategy yang dipilih oleh orang tua. yaitu a) practical coping b) wishful thinking c) stoicism d) seeking emotional social support dan e) passive acceptance.
    Hasil Penelitian
    Data biografi menunjukkan bahwa rentang usia partisipan antara 36-37 tahun. 10 dari 12 partisipan menyatakan bahwa anaknya yang tunagrahita memiliki saudara kandung yang tinggal berama di rumah. Sementra 2 partisipan lainnya menyatakan bahwa anaknya adalah satus-atunya (anak tunggal). 11 dari 12 partisipan mempunyai pasangan. Afiliasi agama dari partisipan mayoritas,10 parisipan beragama kristen dan 2 orang muslim. Status pekerjaan dari partisipan adalah 6 partisipan bekerja full time, 2 partisipan bekerja part time, 3 orang sebagai ibu rumah tangga dan satu orang bekerja wirausaha bersama suaminya. Dilihat dari bahasa yang digunakan, 4 orang berbahasa Inggris, pengguna bahasa Afrika 5 orang dan penggunan bahasa Ingris dan Afrika 3 orang.
    Hasil analisis kuantitatif dari QSR menunjukkan bahwa tidak semua perasaan orang tua yang bersifat unik dapat terungkap, hanya aspek-aspek yang bersifat umum saja yang dapat diketahui. Oleh karena itu data yang bersifat khas dan unik dari tiap partisipan tiungkap oleh instrumen yang kedua yaitu WC-R, yang berbentuk wawancara terstruktur. Pearasaan orang tua yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut:
    Khawatir akan masa depan anaknya yang tunagrahita
    Orang tua merasa kesulitan memahami kemampuan anaknya yang terbatas
    Anak tunagrahita dianggap bukan sebagai masalah dalam keluaraga
    Orang tua sering merasa khwatir tetapi tidak sampai depsresi.
    Setelah menganalisis dua macam angket secara terpisah, maka dilakukan perbandingan analisis antara angket QSR dengan WC-R pada setiap partisipan. Data hasil analisis perbandingan dapat dijelaskan bebagai berikut:
    Orang tua (ibu) menganggap bahwa dialah orang yang paling utama dalam mengasuh anaknya yang tunagrahita, setelah anak aga besar perlu mendapat bantuan dari ayahnya
    Terdapat perhatian yang kontinues terhadap perkembangan anak tunagrahita dari orang tauanya
    Persepsi ibu terhadap masa depan anaknya yang tunagrahita
    Perasaan Ibu tentang anaknya yang tunagrahita untuk masuk seekolah reguler atau sekolah khusus
    Ada pengaruh finansial dari kehadiran anak tunagrahita terhadap keluarga
    Ibu membutuhkan waktu lebih banyak untuk membantu anaknya yang tunagrahita
    Pengalaman ibu ketika pertama kali didiagnosa sebagai anak tunagrahita
    Tingkat penerimaan ibu terhadap anaknya yang tunagrahita
    Dampak dari memiliki anak taunagrahita terhadapa nilai kehidupan dan ada dampak dari keyakinan agama si ibu dalam mempersepsi anak tunagrahita.
    Berikut ini adalah coping strategy yang dilakukan orang tua anak tunagrahita:
    Kerlibatan ibu dengan anak tunagrahita memberikan rasa kontrol
    Bekerja sama dengan profesional (guru/dokter) untuk memperoleh informasi atau dukungan emosional
    Dukungan dari orang tua anak tunagrahita lainnya
    Ada kepedulian dari satu orang tua kepada orang tua lainya ketika misalnya ada orang tua yang masuk rumah sakit, maka anaknya yang tunagrahita diurus oleh orang tua lain.
    Keterlibatan ayah dalam mengasuh anak tunagrahita menjadi sangat berarti ketika ibu sedang bekerja
    Dukungan keluarga besar (extended family) tidak terlalu berarti dalam mengasuh anak tunagrahita
    Berpasrah diri pada realitas yang dihadapi bahwa anaknya tunagrahita
    Perasaan humor
    Sering membicarakan anaknya dengan orang lain
    Kesimpulan
    Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perasaan orang tua dalam hal ibu dari anak tunagrahita dan mengetahui coping strategy yang digunakan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas hidup anak tunagrahita dengan meng-asesmen kebutuhan-kebutuhan dari orang yang mengasuh anak tunagrahita (ibu anak tunagrahita). Kebutuhan seorang ibu anak tunagrahita didefinisikan dalam dua kategori, pertama perasaan seorang ibu yang memiliki anak tunagrahita, kedua strategi yang digunakan agar coping dengan anaknya yang tunagrahita.
    Penelitian ini bersifat eksploratif untuk kepentingan penelitain lebih lanjut dalam rangka memperbaiki kualitas hidup anak tunagrahita pada masa yang akan datang. Untuk dapat melakukan generalisasi dari penelitian ini, diperlukan ukuran sampel yang lebih besar.

    Label: ,

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google
  • Kembali ke Halaman Depan
  • Label:

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google
  • Kembali ke Halaman Depan
  • Minggu, 16 Maret 2008

    HAMBATAN BELAJAR DAN HAMBATAN PERKEMBANGAN PADA ANAK YANG MENGALAMI KEHILANGAN FUNGSI PENDENGARAN

    Oleh: Zaenal Alimin

    1. Pendahuluan
    Kehilangan fungsi pendengaran yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah tunarungu, dapat dijelaskan melalui dua perspektif yang berbeda. Pertama, merujuk kepada model pendekatan patologis atau pendekatan medis. Pendekatan ini menjelaskan bahwa seorang individu tunarungu dipandang sebagai individu yang tidak utuh. Keutuhan sebagai individu hanya bisa dicapai apabila individu tersebut dapat mendengar dengan cara menyembuhkannya. Kedua, umumnya dikenal sebagai model pendektan sosial atau pendekatan kultural. Model ini menjelaskan bahwa tunarungu bukan merupakan kekurangan (deficiency) tetapi sebuah perbedaan (a diffrence) sebagai bagian dari kondisi kemanusiaan yang secara sosial, emosional, intektual dan akademik berkembang secara individual.
    Konseptualisasi dari model sosial atau kultural dalam memahami tunarungu dengan memahami bahwa tidak ada yang disebut dengan dunia tunarungu dan dunia yang bukan tunarungu (mendengar), tetapi hanya ada satu dunia yaitu dunia orang yang mendengar dan yang tunarungu dimana kedua belah pihak eksis dan berinteraksi dalam dunian yang sama (daily basis). Pembahasan dalam modul ini sudah jelas yaitu menggunakan pendekatan sosial atau pendekatan kultural, tetapi harus disadari bahwa individu yang tunarungu akan mengalami hambatan dalam berinteraksi dengan lingkungan.
    Jika kita percaya dan perpegang pada pendekaan sosial dan pendektan kultural bahwa tunarungan bukan merupkan deficiency tetapi dipandang sebagai sebuah perpedaan, maka sesunguhnya tidak lagi relevan apabila kita memahami tunarungu dengan mengidentifikasi karakteristiknya, karena identifikasi terhadap karakteristik merupakan kepanjangan dari pendekatan patologis dan medis. Menjadi sangat relevan jika dalam memahmi tunarungu lebih melihat akibat atau dampak dari kehilangan fungsi pendengaran terhadap perkembangan secara keseluruhan.
    Ada alasan-alasan mengapa dampak atau akibat dari kehilangan fungsi penglihatan lebih penting untuk dipahami daripada karakteristik, dapat dijelaskan sebagai berikut: (a) Karakteristik menggambarkan sifat yang permanen dan melekat, berlaku untuk semua individu yang mengalai tunarungu, padalah seorang tunarungu adalah seorang individu yang memiliki aspek-aspek psikologis, sosial dan kultural yang berbeda-beda secara individual sama halnya seperti individu yang bukan tunarungu (mendengar), (b) dampak lebih menggambarkan dan mengakui eksistensi individu tunarungu, karena tidak semua individu yang mengalai tunarungu mengalami dampak yang sama.
    Meskipun dampak dari kehilangan fungsi pendengaran itu bisa bersifat individual, tetapi masih dapat juga dibuat kategorisasi yang bersifat fleksibel, misalnya dampak kehilangan fungsi pendenganran terhadap perkebangan fungsi kognitif, tetapi tidak semua individu tunarungan akan mengalami dampak yang sama pada aspek tersebut. Individu yang satu mungkin mengalaminya tetapi individu yang lain tidak.
    Oleh karena itu uraian dan analisis tentang tunarungu yang dikemukakan pada modul ini lebih mengedepankan pendiririan yang didasari oleh pendektan sosial dan kultural bukan pendekatan patologis atau mdis.

    2. Konsep dan Definisi
    Untuk mendiskusikan dan mengembangkan program pendidikan bagi individu yang mengalami kehilangan fungsi pendengaran (tunarungu), perlu dipahami secara lebih jelas tentang konsep dan definisinya.
    a. Terminologi
    Terdapat istilah-istilah yang perlu dipahami secara lebih jelas, dalam bahasa Inggis terdapat istilah hearing impairment, istilah ini menggambarkan adanya kerusakan atau gangguan secara fisik. Akibat dari adanya kerusakan itu akan mengakibatkan gannguan pada fungsi pendengaran. Anak mengalami kesulitan untuk memperoleh dan mengaolah informasi yang bersifat auditif, sehingga dapat menimbulkan hambatan dalam melakukan interaksi dan komunikasi secara verbal. Dengan kata lain anak mengalmi disability dalam berkomunikasi akibat dari kehilangan fungsi pendengaran (impairment)
    Istilah hearing impairment diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi istilah tunarungu, yang di dalamnnya terkandung dua katagori yaitu yang disebut dengan deaf dan hard of hearing (Moores, 201). Istilah deaf menggambarkan kondisi kehilangan pendenganran yang berat, sementra istilah hard of hearing menggambarkan keadaan individu yang bersangkutan masih memilki sisa pendengaran.
    Deaf atau dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi istilah tuli yang dapat didefinisikan sebagai berikut : ketunarunguan (hearing impaiment) yang begitu berat dimana anak mengalami ketidakmampuan dalam memproses informasi linguistik melalui pemdengaran, dengan atau tanpa pengerasan suara yang sangat mempengaruhi dalam mengikuti pendidikan (Moores, 2001). Istilah hard of hearing adalah tunarung (hearing impairment) yang masih memiliki sisa pendengaran apakah bersifat permanen atau fluktuasi, memiliki kemungkinan untuk bisa berkomunikasi secara verbal. Meskipun demikian tetap mempengaruhi anak tersebut dalam mengikuti pendidikan (Moores, 2001).

    b.Definisi yang Berhubungan dengan Usia Saat Ketunarunguan Diperoleh
    Sesesorang menjadi tunarungu mungkin diperoleh sejak lahir atau mungkin pula diperoleh setelah lahir. Pada bagian ini akan dijelaskan beberapa istilah yang berhubungan dengan kejadian tunarungu dihubungkan dengan usia anak yang bersangkutan.
    Prelingual deafness istilah yang digunakan untuk menjelaskan kondisi seseorang dimana ketunarunguan diperoleh sejak lahir, atau terjadi sebelum anak dapat berbicara. Sementara itu istilah post lingual deafness adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan kondisi seseorang yang mengalami ketunarunguan pada saat terjadinya atau bersamaan dengan perkembangan bahasa. Dengan demikian maka semua bayi yang baru lahir adalah prelinguistic. Seorang bayi yang baru lahir mungkin prelingual hearing atau mungkin prelingual deaf. Sementara itu istilah post lingual deaf child menjelaskan tentang anak yang mendenga menjadi tunarungu, dan istilah post lingual hearing menjelaskna keadaan anak yang tunarungu menjadi mendengar setelah dilakukan operasi cochlear implants (Moores, 2001)
    Para pendidik saat ini masih banyak yang membatasi ketunarunguan hanya dilihat dari prelingual hearing loss 90 dB atau lebih, meskipun ada juga yang menggunakan rentang ketunarunguan yang lebih inklusif yaitu antra 70-75 dB ke bawah. Secara umum ini berarti bahwa sebagian para pendidik cenderung untuk mengelompokkan anak tunarungu dari 70-90 df dikategorikan sebagai tunarungu berat (deaf), sementra itu sebagian pendidik cenderung mengelompokkan anak tunarungu tersebut sebagai hard of hearing.

    3. Dampak Tunarungu (Hearing Impairment) Terhadap Perkembangan
    Kehilangan fungsi pendengaran akan memiliki dampak terhadap perkembangan anak secara keseluruhan. Untuk memahami apa yang terjadi pada perkembangan anak jika anak mengalami kehilangan fungsi penglihaan.

    a. Dampak Tunarungu terhadap Perkembangan Motorik
    Anak tunarungu yang tidak memiliki kecacatan lain dapat mencapai tugas-tugas perkemabngan motorik (early major motor milestones), seperti duduk, merangkak, berdiri dengan tanpa bantuan, dan berjalan sama seperti yang terjadi pada anak yang mendengar (Preisler, 1995). Namun demikian, beberapa hasil penelitain menunjukkan bahwa anak tunarungu memiliki kesulitan dalam hal kesimbangan dan koordinasi gerak umum, dalam menyelesaikan tugas-tugas yang memerlukan kecepatan serta gerakan-gerakan yang kompleks (Ittyerah & Sharma, 1997).
    Jika dibandingkan dengan anak-anak yang mendengar, anak tunarungu pada usia 6-10 tidak begitu terampil dalam melakukan gerakan koordinasi dinamik, seperti misalnya berjalan mundur-maju pada papan yang sempit, loncat dan lompat. Anak tunarungu juga tidak begitu terampil dalam koordinsi visual motorik seperiti dalam merenda tali sepatu pada papan berlubang-lubang.
    Ada alasan yang dapat menjelaskan temuan-temuan penelitian tersebut bahwa isyarat pendengaran (auditory cue) dapat memfasilitasi anak yang mendengar dalam memberi respon. Alasan ini dikuatkan oleh Savelberg (1991) dalam dua penelitian yang ia lakukan. Penelitian pertama menunjukkan bahwa anak tunaraungu berusia antra 10-13 tahun melakukan banyak kesalahan dibanding dengan anak mendengar dalam menangkap bola yang dilemparkan kepadanya dari posisi 90 derajat atau lebih diluar lantang pandang, meskipun diberi tanda secara visual. Akan tetapi ketika bola diproyeksikan dari mesin yang mengeluarkan bunyi 20 dB yang dapat didengar oleh anak yang mendengar. Sangat menarik, ketika bola dilemparkan lurus dari depan, anak yang mendengar dapat menagkap lebih bnyak bola. Pada penelitian kedua mengeksplorasi apakah isyarat auditori dapat menjelaskan penampilan yang lebih baik pada anak yang mendengar. Anak harus menekan tombol oleh kedua tangan dalam merespon stimulus visual yang diikuti oleh munculnya bunyi yang berukuran 15 dB. Anak tunarungu memerlukan lebih banyak waktu untuk menekan tombol. Hal ini membuktikan bahwa kekurangan dalam informasi auditori dapat mempengaruhi gerak menjadi lebih lambat pada anak tunarungu.

    b. Dampak Tunarungu terhadap Perkembangan Perseptual
    Anak tunanetra dan tunarungu merupakan contoh ideal untuk mengetes hipotesis tentang kompensasi sensori (sensory-compensation), idenya adalah bahwa kehilangan salah satu pengindaraan dapat dikompensasikan kepada pengindaraan lain yang masih ada dengan cara meningkatkan sensori yang masih ada. Penelitian Savelsberg (1991) menunjukkan bahwa ketika tersedia isyarat penglihatan dan pendengaran, anak yang mendengar memberi respon lebih cepat dan lebih akurat dari pada anak tunarungu. Diduga karena signal auditori menyediakan informasi tambahan yang tidak terdapat secara visual.
    Hasil penelitian (Quittner, 1994) menunjukkan bahwa pendengaran dapat mempengaruhi mekanisme visual (visual mechanisms). Pada penelitian ini ditemukan bahwa anak tunarungu berat usia 9-13 tahun yang telah mendapat operasi cochlea menunjukkan performen sama seperti anak mendengar dalam mnerjakan tugas-tugas yang memerlukan pemusatan perhatian secara visual (visual attention taks), seperti tugas menekan tombol kapan saja ketika muncul angka 9 pada layor monitor kompuer setelah angka 1. Sementra itu anak tunarungu yang tidak mendapat operasi cochlea, melakukan lebih banyak kesalahan. Temuan penelitian Savelsberg (1991) hasil penelitian Quittner (1994) menunjukkan bahwa akses terhadap suara dapat meningkatkan kemampuan visual anak. Akan tetapi terdapat beberapa bukti hasil penelitian yang menjelaskan bahwa pengalaman juga dapat mempengarauhi kemampuan perseptual pada anak tunarungu.
    Secara khusus terdapat sebuah bukti bahwa anak tunaraungu yang belajar isyarat ternyata dapat meningkatkan kemampuan visual. Bellugi (1990) menemukan bahwa anak tunarungu yang diperkenalkan kepada isyarat, lebih baik dalam mengenal apa yang sedang dihadapai di bawah pencahanyaan dan kondisi orientasi ruang yang berbeda-beda, dibandingkan dengan tunarungu yang tidak diperkenalkan kepada isyarat. Kompensasi perseptual tidak terjasi secara otomatis, tetapi harus melalui latihan-latihan yang intensif. Terdapat dua faktor yang dapat menjelaskan temuan ini. Pertama, anak tunarungu sejak usia dini akan memusatkan perhatian kepada apa yang dihadapinya untuk memahami apa yang sedang terjadi, sedangkan anak yang mendengar tidak selalu fokus terhadap apa yang dihadapinya karena mereka dapat menerima informasi melalui saluran auditori. Kedua, belajar bahasa isyarat sejak usia dini dapat meningkatkan keterampilan visual spatia. Hal ini didukung oleh Emmorey (1993) yang menemukan bahwa tunarungu dewasa yang belajar isyarat memiliki imajinasi visual lebih baik daripada orang dewasa yang awas dan mendengar.
    Tampaknya tidak ada bukti yang dapat dijadikan alasan untuk menerima hipotesis kompensasi sensoris (sensory compensation-hypotesis). Akan tetapi terdapat bukti yang cukup untuk menjelaskan bahwa ketunarunguan dapat mempengaruhi persepsi, sebagai konsekuensi dari tidak bisa mendengar dan hasil belajar bahasa isyarat sebagai hasil belajar bahasa yang bersifat visual-spatial.

    c. Dampak Tunarungu terhadap Perkembangan Fungsi Kognitif
    Telah banyak usaha dan perhataian dipusatkan untuk memahami bagaimana individu yang menalami tunarungu berpikir dan memahami sesuatu. Untuk mendiskusikan hal ini dapat ditelusuri melalui kontroversi tentang peranan bahasa dalam perkembangan kognitif. Bertahun-tahun para psikolog dan ahli filsafat berdebat tentang apakah bahasa dan berpikir saling berhubungan atau tidak.
    Terdapat dua posisi pendapat yang saling bertentangan dalam menjelaskan hubungan antara bahasa dan berpikir yaitu Waston (1913) dan Chomsky (1975). Wastson mengusulkan bahwa proses berpikir adalah benara-benar merupakan kebiasaan gerak (motor habit) pada pangkal tengorokan. Dalam pandangan ini berpikir, terutama berpikir verbal dan berbicara adalah merupakan proses yang sama. Di pihak lain, Chomsky menjelaskan bahwa bahasa adalah bentuk yang terpisah dari kognitif dan berkembang secara independen. Menurut Chomsky, struktur bahasa terdapat pada otak yang dibawa sejak lahir dan membekali anak pengalaman berbahasa, kemudian bahasa akan berkembang.
    Kedua pandangan yang saling bertentangan itu mengundang banyak kritik. Akhli lain berpendapat bahwa berpikir dan bahasa saling berkaitan, namun demikian tidak ada kesepakan tentang bagaimana proses hubunngan itu terjadi, secara spesifik dipertanyakan apakah berpikir menentukan perkembangan bahasa (Piaget, 1967) atau sebaliknya apakah bahasa menentukan berpikir (Sapir, 1912 dalam Madelbaum, 1958). Di antara kedua pendapat itu, Vygotsky (1962) mengusulkan dan mengambil jalan tengah yaitu bahwa bahasa dan berpikir saling mempengaaruhi satu sama lain.
    Piaget (1967) menjelaskan bahwa inteligensi adalah tergantung kepada tindakan anak di dalam lingkungan dan betanggungjawab atas akibat dari tindakannya. Melalui cara seperti ini, anak mengkonstruksi pemahaman/pengertian tentang lingkungan yang tercermin dalam inteligensi. Bahasa pada anak menurut Piaget, tergantung kepada struktur inteligensi. Jadi apabila pengetahuan atau kogonisi berkembang, maka bahasa anak akan berkembang yang menggambarkan adanya perubahan dalam pemahaman. Dalam pandangan ini dijelaskan bahwa bahasa mencerminkan berpikir, meskipun Piaget mengakui bahwa perolehan bahasa memungkinkan pemisahan berpikir dari tindakan.
    Caroll, 1956 menjelaskan bahwa persepsi dan pengertian tentang dunia tergantung pada bahasa. Jika bahasa anak dianggap yang sudah diperoleh dianggap berasal dari atribut dari sebuag fenomena, atau ekspresi sebuah konsep, mereka akan mengalami dan memiliki pengertian tentang atribut atau konsep itu. Apabila atribut atau konsep itu tidak diekspresikan dalam bahasa akan tidak akan memiliki pengertian tentang atribut atau konsep.
    Menurut Vygotsky, berpikir dan bahasa pada awalnya terpisah dan berkembang secara paralel sampai kira-kira usia 2 tahun. Pada saat itu berpikir dan bahasa mulai bersatu dan saling mempengaruhi satu sama lain, yang pada akhirnya bahasa dapat digunakan untuk berpikir dan pikiran akan tercernin dalam bahasa. Dengan kata lain, hubungan antara berpikir dan bahasa mengarah kepada arah yang sama. Pandangan ini melahirkan banyak penelitian yang dilakukan dalam bidang ini.
    Penelitian pada anak tunarungu memberikan jalan keluar untuk memahami hubungan antara bahasa dan kognisi. Jika anak tunaraungu dianggap tidak memiliki bahasa, dan jika bahasa sebagai prerekuisit dari kognisi, maka kemampuan maka anak tunarungu tidak akan bisa bisa berpikir. Sebaliknya, jika bahasa tergantung kepada kognisi maka pengetahua dan pemahaman anak tunarungan seharusnya sama seperti anak yang mendengar.
    Semua memisalkan bahwa anak tunarungu tidak meiliki bahasa. Akan tetapi, tidak ada pandangan teoritis yang mensyaratkan bahwa bahasa adalah bahas lisan. Saat ini sudah diterima secara luar bahwa bahasa isyarat adalah bahasanya orang-orang tunarungu. Oleh karaena itu meskipun orang-orang tunarungu tidak bisa berbahasan secara lisan, mereka dapat menggunakan bahasa isyarat yang ekuivalen dengan bahasa yang digunakan oleh orang-orang yang mendengar. Seorang tunarungu yang dapat berkomunikasi dengan menggunakan bahasa isyarat tidak bisa dikatakan bahwa mereka tidak memiliki bahasa. Berdasarkan alasan ini, penelitian tentang perkembangan kognitif pada anak tunarungu menjadi tidak akan memuaskan dengan cara menghubungkan antara bahasa dan kognisi.

    1) Pengertian Anak Tunarungu Tentang Objek
    Berdasarkan hasil obeservasi terahadap anak tunarungu yang orang tuanya tunarungu (deaf child with deaf parent/dcDP), anak tunarungu yang orang tuanya mendengar (deaf child with hearing parent/dcHP) dan anak yang mendengar dengan orangtuanya tunarungu (hearing child with deaf parent/hcDP). Hasil observasi menunjukan bahwa anak tunarungu dan anak yang mendengar mempunyai pengertian yang sama tentang objek dan mempunyai pengertian yang sama tentang bagaimana objek itu harus digunakan, meskipun terdapat beberapa perbedaan yang berkenaan dengan pengalaman interaksi dengan orang tuanya dan kemampuan dalam berbahasa serta akibat dari tidak dapat mendengar suara.
    Selain itu ada hal yang anak tunarungu tidak akan mengetahuinya, paling tidak dalam cara mengetahunya seperti yang terjadi pada anak yang mendengar, seperti misalnya bunyi kokok ayam jantan dan bunyi letusan balon.

    2) Pengertian Tunaraungu Tentang Dirinya dan Orang Lain
    Telah dijelaskan bahwa anak tunarungu mempunyai pengertian tentang objek sama seperti anak mendengar. Akan tetapi apakah anak tunarungu memahami bahwa mereka dapat berbagi minat dengan orang lain dan orang lain dapat berbagi dengan dirinya? Preisler (1995) dalam penelitian longitudinal mencatat bahwa dua orang anak tunarungu yang orang tuanya tunarungu (cdDP) diobservasi pada usia 9 bulan menunjukkan mereka mengkoordinasikan perhatiannya kepada orang tuanya dengan perhatiannya kepada objek. Sebagai contoh seorang anak tunarungu melihat sebuah benda yang ditunjuk oleh ibunya dan melihat ibunya ketika anak sedang bermain dengan mainannya. Jelas sekali bahwa anak ini dapat memahami orang lain sebagai communicaative partners.
    Pada usia 4 tahun anak yang mendengar mengerti bahwa orang lain mempunyai pikiraran, keyakinan dan perasaan yang berbeda dengan dirinya (Lewis & Mitchell, 1994). Kemampuan seperti ini berkembang melalui percakapan dengan orang lain terutama dengan keluaraganya. Akan tetapi jika ini dianggap sebgai kasus dan anak tunarungu memeliki akses yang terbatas untuk melakukan percakapan dengan orang lain, maka seharusnya tunarungu tidak memiliki pengertian tentang orang lain. Akan tetapi andaikata orang tuanya juga tunarungu dan anak memiliki akses terhadap percakapan dengan menggunakan bahasa isyarat sejak usia dini, maka pengertian anak tanarungu tentang pikiran oranga lain akan berkembang.
    Beberapa hasil studi menunjukkan bahwa anak tunarungu yang memeilki pengalaman terbatas dalam melakukan percakapan memiliki kesulitan dalam tugas-tugas yang berkaitan dengan memahami pikiran orang lain. Peterson & Siegel (1995) melakukan eksperimen tentang Sally-Anne False Bilief padan 26 anak tunarungu berusia 8-13 tahun yang memiliki tingkat kecerdasan rata-rata. 24 orang dari jumlah itu memeliki orang tua yang mendengar dan di sekolah menggunakan bahasa isyarat dan bahasa lisan secara bersamaan, tetapi mereka tidak memiliki pengalaman penggunaan isyarat sejak kecil. 83 % anak tunarungu tidak berhasil menunjukkan lokasi yang tepat dalam menjawab pertanyaan : Di mana Sally mencari kelerengnya? Hanya 2 orang anak tunarungu yang berhasil dalam mengerjakan tugas ini yaitu anak tunaarungu yang orang tua mereka juga tunaraungu (cdPD), kedua anak ini menggunakan bahasa isyarat sejak usia dini dengan keluarganya.
    Pengertian anak tunarungu tentang orang lain sama seperti anak pada umumnya, jika anak tunaraungu memiliki kesempatan yang memadai kepada percakapan dengan keluarganya. Percakapan biasa terjadi dengan bahasa lisan dan atau dengan isyarat. Anak-anak tunarungan yang memiliki akses kepada percakapan dengan keluaraganya sejak usia dini (anak tunarungu yang orang tuanya tunarungu, dalam percakapan menggunakan bahasa isyarat) memiliki pemahaman terhadap orang lain sama seperti anak yang mendengar.
    Hal lain yang perlu dipahmi adalah tentang bagaimana anak tunarungu memahami dirinya sendiri, apakah mereka melihat dirinya sebagai tunaraungu? Untuk menjawab pertanyaan ini Martinez & Silvestre (1995) mewawancarai anak tunarungu yang bersekolah di sekolah biasa yang menggunakan bahasa lisan, dan anak yang mendengar. Usia dari dua kelompok ini berkisar antara 12-17 tahun. Mereka ditanya dengan pertanyaan ”Siapa Saya?” Hampir tidak ada perbedaan antara jawaban yang diberikan oleh anak tunarungu dengan jawaban yang diberikan oleh anak yang mendengar dalam menjelaskan dirinya. Jawaban yang diberikan anak-anak tunarungu seperti misalnya: saya suka main bola, badan saya gemuk, saya tidak suka makanan pedas, saya suka tidur siang dsb. Tidak ada seorang pun anak tunarungu yang mengatakan bahwa dirinya tidak bisa mendengar.
    Timbul pertanyaan yang menarik bagaimana anak-anak tunrungu berpikir bahwa dirinya tidak bisa mendengar? Gregory, Smith, & Wells (1997) mewawancari 25 orang anak tunarungu berusia 7-11 tahun, yang dalam kehidupannya menggunakan bahasa isyarat dan bahasa lisan. Hasil wawancara ini sangat menarik, tidak semua anak tunarungu dapat menjawab pertanyaan: Apa artinya tulis? Jawaban yang muncul adalah ”Isyarat”, ”tidak mendengar” . Dan apa artinya mendengar? Jawaban yang diberikan anak antara lain: ”berbicara”, ”tidak dapat memberi isyarat”. Jawaban-jawaban yang diberikan oleh hampir semua anak tunarungu yang berjumlah 25 orang menunjukkan bahwa mereka dapat memahami artinya tuli dan dapat membedakannya dengan mendengar.

    3) Anak Tunarungu dalam Berpikir Abstrak
    Dengan mendasarkan pada teori Piaget, Furth (1973) menjelaskan bahwa keterlambatan perkembangan kognitif pada anak tunarungu bukan disebabkan oleh rendahnya kecerdasan dan atau kurangnya keterampilan linguistik, tetapi lebih karena kurangnya latihan dan pengalaman. Furth (1973) melaporkan bahwa sebagian anak tunarungu dapat berpikir logika simbolik dan permutasi meskipun memiliki keterbatasan dalam keterampilan bahasa, sementara sebagian lagi tidak dapat melakukannya. Sebagian anak tunaraungu dapat perpikir logika yang bersifat abstrak. Tunarungu itu sendiri tidak menghalangi kapabilitas berpikir abstrak. Namun demikian kita masih memerlukan penjelasan mengapa sebagian anak tunarungu dapat berpikir abstrak sementara sebagian lainnya mengalami kesulitan untuk melakukannya?
    Untuk menjawab pertanyaan itu, Cole & Scribner (1974) melaporkan bahwa remaja dan orang dewasa (bukan tunarungu) yang hanya menerima sedikit pendidikan formal menunjukkan kemampuan berpikir abstrak yang rendah dibandingkan dengan remaja dan orang dewasa dari latarbelakang budaya yang sama tetapi memerima pendidikan formal lebih banyak, menunjukkan kemampuan berpikir abstrak cukup baik. Hal ini mengandung arti bahwa perkembangan kemampuan berpikir abstrak adalah fungsi dari pendidikan formal.
    Namun demikian seorang remaja tunarungu yang memiliki kecerdasan rata-rata yang mengikuti pendidikan formal, prestasi belajar yang dicapainya sering kali rendah. Hal ini dapat diparalelkan dengan apa yang dikemukakan oleh Cole & Scribner, yaitu bahwa baik remaja tunarungu maupun remaja yang mendengar tetapi tidak mampu berpikir abstrak sama-sama tidak dapat memperoleh keuntungan dari pendidikan formal.
    Sepertinya remaja tunarungu tidak memperoleh keuntungan dari pendidikan formal yang diikutinya, atau dapat dikatakan bahwa kedua kelompok dianggap tidak mengalami pendidikan formal yang memadai.
    Gregory (1995) mewawancari remaja tunarungu, hasilnya menunjukkan bahwa 19 orang dapat menjawab pertanyaan yang memerlukan jawaban yang kompleks, 11 orang memahami pertanyaan-pertanyaan yang kompleks, 10 orang lainnya tidak menjawab dengan benar, oleh karena itu tidak digunakan, dan 4 orang tidak berhasil diwawancarai karena keterampilan berkomukasinya tidak memadai. Hasil wawancara Gregory menyimpulkan bahwa kemampuan berpikir abstrak pada tunarungu bukan karena faktor bahasa, melainkan disebabkan oleh tiga hal yaitu: (a) kesulitan tunarungu untuk mengakses kurikulum pendidikan formal karena ketiadaan sistem konunikasi untuk berbagi, (b) keterbatasan perkembangan keterampilan membaca dan menulis, akibatnya kehilangan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan berpikir melalui media ini, (c) keterbatasan akses untuk medanpatkan informasi yang diperoleh secara langsung, seperti mendengarkan percakapan orang lain, menonton televisi dsb.

    4) Menerima dan Menyimpan Informasi
    Kenyataan bahwa anak-anak tunarungu memiliki akses yang terbatas kepada bahasa lisan, oleh karena itu muncul pertanyaan bagaimana mereka menangkap informas. Ada dugaan atau hipotes yang menyatakan bahwa anak-anak tunarungu akan sangat baik dalam menangkap informasi yang bersifat visual daripada menagkap informasi yang bersifat verval. Untuk menjelaskan dan menganalisis pernyataan itu kita dapat melihat seberapa baik tunarungu dapat mengingat informasi.
    Sejumlah studi menunjukkan bahwa ketika tugas-tugas yang diberikan kepada anak tunarungu melibatkan proeses visual anak tunarungu dapat mengingat (recalle) lebih banyak atau sekurang-kurangnya sama seperti anak-anak yang mendengar. Akan tetapi ketika proses verbal dihadirkan, anak tunarungu dapat mengingat informasi lebih sedikit daripada anak yang mendengar. Selanjutnya, karena terdapat perbedaan antara modalitas pendengaran dengan modalitas penglihatan, dapat pahami jika anak-anak tunaraungu lebih menguasai informasi yang bersifat spasial daripada yang bersifat temporal (Arnold & Murray, 1998).
    Das & Ojile (1995) melkukan studi untuk melihat bagaimana anak tuanrungu memproses informasi. Dalam studi ini dibandingkan antra anak tunarungu dengan anak yang mendengar yang berusia antara 9-15 tahun dalam menyelesaikan empat tugas yaitu: verbal successive task (mengerjakan tugas verbal secara berurutan), verbal simultaneous task (mengerjakan tugas berval secara bersaan), non-verbal successive task (mengerjakan tugas non-verbal secara berurutan) dan non-verbal simultaneous task (mengerjakan tugas non-verbal secara bersamaan). Anak-anak tunarungu ternyata lebih baik dalam mengerjaaka tugas-tugas non-verbal baik yag berurutan (succsessive maupun simultaneous) dibanding dengan anak yang mendengar pada usia yang sama. Sementra itu anak-anak yang mendengar sedikit lebih baik dalam mengerjakan tugas-tugas yang bersifat verbal (baik yang successive maupun yang simultaeous).
    Tugas-tugas atau informasi yang bersifat verbal selalu harus successive atau sequential , sedangakan informasi visual sering lebih bersifat spatial daripada sequenstial, oleh karena itu pengalaman anak tunaraungu dengan anak yang mendengar berbeda. Akan tetapi beberapa anak tunarungu memperoleh bahasa secara lisan dan sebagian lagi memperoleh bahasa isyarat (yang bersifat spatial dan visual) yang juga memberikan pengalaman kepada anak tunarungu dalam memperoleh informasi secara berutan (sequence). Oleh karena itu timbul pertanyaan menarik apakah penggunaan verbal coding oleh anak tunarungu berhubungan dengan kecakapam mereka dalam berbahasa.
    Ketika kita pertama kali diperlihatkan kepada informasi baru yang harus diingat, informasi itu akan masuk ke ingatan jangka pendek. Agar informasi itu dapat diingat diperlukan proses yang sisebut rehearsal (pengulangan). Proeses rehearsal sebuah informasi sangat memungkinkan dengan melabel secara verbal, tanda, atau membayangkan. Anak yang mendengar sejak usia 7-8 tahun, ketika diminta untuk mengingat dan harus mengasilkan sebuah urutan seperti urutan gambar objek, balok-balok berwarna, ternyata dapat melakukan proses rehearsal secara spontan, sedangkan anak-anak tunarungu tidak dapat melalkukan rehearsal secara spontan sampai usia 10-13 tahun. Pendapat ini didukung oleh Bebko (1998) yang menjelaskan bahwa semakin lama anak tuanrungu memperoleh latihan berbahasa, apakah oral atau isyarat, semakin menjadi spontan dalam proses rehearsal.
    Walaupun anak tunarungu tidak sebaik anak yang mendengar dalam mengerjakan tugas-tugas verbal, anak tunaraungu masih dapat mengkodekan informasi verbal sekalipun tidak terlalu berhasil. Hal ini memimbulan pertanyaan, apakah anak tunarungu mengkodekan informasi verbal sama seperti yang terjadi pada anak yang mendengar hanya mungkin kurang efisien saja, atau apakah anak tunarungu menggunakan strategi yang berbeda.
    Baddeley (1986) menjelaskan bahwa ketika informasi verbal sedang diingat, label dari informasi itu disimpan di phonological store (penyimpanan bunyi bahasa) dan agar tetap berada di sana dan terpelihara, terjadi apa yang disebut dengan articulatory rehearsal loop (proses pengulangan). Campbell & Wright (1990) mengeksplorasi apakah anak tunarungu yang terlatih secara oral menyimpan informasi secara ponologis dengan cara melihat? Jiak kemampuan mereka untuk mengingat pasangan gambar dipengaruhi oleh apakah sajak (kemiripan bunyi) atau tidak? Jika anak tunaraungu menyimpan nama-nama di dalam ingatanya secara ponologi, seharusnya sajak (kemiripan bunyi dari objek) akan membantu dalam mengingat.
    Dalam sebuah penelitian Campbell & Wright (1990) membuat dua kelompok anak tunarungu yang rata-rata berusia antara 10-14,5 tahun dan kelompok anak yang mendengar yang berusia rata-rata 8 tahun. Mereka diperlihatkan kepada 6 pasangan gambar yang memiliki kemiripan bunyi dan tulisan (misalnya dalam bahasa Inggris BOX-FOX ), pasangan gambar yang mirip ucapannya tetapi beda tulisan (HAIR-BEAR), pasangan kata yang memiliki arti sama (CUP-SAUCER ) atau pasangan kata yang dibuat secara acak (LAMP-BOOK). Anak-anak ditunjukkan pada satu gambar dari gambar yang berpasangan dan harus melilih pasangannya yang akan menjadi enam pasang gambar. Semua anak dapat mencapai skor tertingi ketika mencari pasangan gambar yang memiliki arti sematik yang berkaiatan. Akan tetapi meskipun anak yang mendengar mengerjakan tugas dengan baik ketika memasangkan gambar yang memiliki kemiripan bunyi daripada pasangan gambar yang dibuat secara acak, tetapi pada anak tunarungu tidak ada perbedaan. Hal ini membuktikan dengan jelas bahwa anak-anak tunarungu tidak menggunakan bunyi/suara dalam mengingat nama-nama kartu gambar sebagai cara untuk mengingat, sedangkan anak-anak yang mendengar menggunakannya.
    Telah terbukti bahwa anak-anak tuanrungu tidak menyimpan/mengingat nama-nama gambar secara ponologis, namun demikina Campbell & Wight (1990) melakukan eksplorasi tentang apakah anak tunarungu menggunakan articulatory rehearsal loop dalam mengingat. Articulatory rehersal loop memiliki kapasitas waktu terbatas kira-kira sekitar 2 detik, sehingga akan lebih banyak nama-nama dapat diingat-ingat dan jika kata-katanya mengandung sedikit suku kata sebab mengucapkan kata-kata yang panjang memerlukan waktu lebih lama.
    Anak tunarungu remaja berusia 12-17 tahun dan dua kelompok anak yang mendengar berusia 6-11 tahun dan 13-14 tahun, diberi tugas untuk mengingat susunan dari 4 atau 6 gambar secara berurutan, baik memilih dari satu pak yang terdiri dari 10 gambar maupun menyusun gambar secara berurutan dari kiri ke kanan sambil menyebutkan nama gambar, seperi: 1-kursi, 2- kelinci, 3-ambulan. Anak tunarungu usia 12-17 tahun sama seperti anak mendengar usia 6-11 tahun dalam mengingat dimana kedua kelompok ini dapat mengingat sedikit gambar yang memiliki nama/kata yang lebih panjang, ketika kata/nama gambar itu harus disebutkan. Temuan dari eksperimen ini membuktikan bahwa anak tunarungu menggunakan articulatory loop ketika mereka diminta untuk mengunakan bahasa dalam mengingat tetapi mereka cenderung tidak menyimpaan informasi secara ponologis. Tidak mengherankan jika anak tunarungu berat hanya memiliki sedikit akses kepada bunyi- bunyi kata.
    Membaca bibir membekali anak tunarungu dengan informasi ponologis, meskipun modalitasnya berbeda dari anak yang mendengar dan tidak memberikan informasi sebanyak bahasa lisan. Dalam sistem ini isyarat tangan mendekati gerak bibir digunakan untuk membedakan fonem yang tidak bisa dibedakan secara visual. Jadi, isyarat bicara menyediakan informasi fonologis yang tidak dimiliki oleh anak-anak tunarungu.
    Pada bagian ini telah dibahas tentang perkembangan kognitif anak tunarungu dari sejumlah perspektif. Sementara itu sejumlah studi telah menunjukkan bahwa keterampilan kognitif anak tunarungu sebagai kelompok berbeda dari anak-anak yang mendengar. Hal yang menaarik adalah meskipun hampir pada semua kasus menunjukkan bahwa anak-anak tunaraungu menunjukkan keterlambatan dalam perkembangan kognitifnya, akan tetapi tidak semua anak tunarungu mengalami keterlambatan itu. Kita melihat dalam situasi yang bervariasi bahwa jika anak tunarungu memiliki akses kepada lingkungan informasi sebagai hasil dari berbagi sistem komunikasi, anak tunarungu menunjukkan performen sama seperti anak yang mendengar. Terdapat implikasi yang jelas terhadap pendidikan bagi anak tunarungu, khususnya dalam kertersediaan bahasa yang dapat mereka peroleh dan melalui bahasa mereka dapat berbagi pengetahuan dan informasi kepada orang lain.

    d. Perkembangan Komunikasi
    Studi tentang komunikasi pada anak-anak tunarungu berperan sangat signifikan dalam perkembangan. Kita telah melihat bahwa perkembangan kognitif anak-anak tunarungu yang orang tuanya yang juga tunarungu (cdDP) perkembangan kognitifnya relatif sama seperti anak-anak yang mendengar dari pada anak-anak tunarungu yang orang tuanya mendengar (cdPH). Hal ini sangat menarik dan timbul pertanyaan bagaimana komunikasi berkembang pada anak tunarungu, baik pada cdPH (children deaf hearing parents) maupun pada cdPD (children deaf parents deaf).

    1) Anak tunarungu dan Orang Tuanya Membangun Perhatian Bersama
    Salah satu prasyarat untuk berkomunikasi adalah keterlibatan individu-individu tehadap satu objek yang sama. Telah dibahas bahwa anak tunarungu yang orang tuanya tunarungu (cdPD) terlibat dalam komunikasi dengan orang tuanya sejak tahun-tahun pertama, sementara anak-anak tunarungu yang orangtuanya mendengar (cdPH), baru terjadi komunikasi pada tahun-tahun kedua (Meadow-Orlans & Spencer, 1996; Preisler, 1995).
    Seperti halnya bayi yang mendengar, bayi tunarungu mulai menunjukkan minat terhadap objek sejak umur 4-5 bulan. Ketika hal ini terjadi, seorng ibu yang tunarungu membiarkan dan hanya melihat anaknya, sambil menunggu anaknya itu melihat kepadanya sebelum memberi isyarat apaun. Oleh karena itu mengapa orang tua yang tunarungu tidak banyak meberikan isyarat kepada bayinya. Sebaliknya, orang tua yang mendengar sering mengganggu bayinya yang tunarungu ketika bayinya sedang melihat-lihat objek dengan cara mengarahkan perhatian atau memberi komentra terhadap objek yang sedang dilihat oleh anaknya.
    Keadaan seperti itu sesuai dengan studi yang dilakukan oleh Spencer (1992), ia mengobservasi bayi tunarungu usia 12-13 bulan. Pada studi ini, bayi duduk di depan ibunya yang mendengar maupun yang tunarungu di dalam ruangan yang tersedia beberapa objek. Bayi tunarungu melihat-lihat objek yang ada di sekitar ruangan seperti juga anak yang mendengar ketika berhadapan dengan banyak objek. Ketika bayi tunarungu melihat sebuah objek, orang tuanya yang tunarungu duduk diam saja sampai bayinya berbalik dan melihat kepada nya. Sebaliknya, orang tua yang mendengar berusaha/mencoba mengarahkan perhatian anaknya atau mengatakan sesuatu tentang objek, sementara anak masih memperhatikan objek.
    Orang tua yang mendengar berbicara kepada anaknya yang mendengar tentang apa yang sedang dilakukan oleh anak. Hal ini sangat jelas merupakan strategi yang efektif, karena anak secara simultan dapat melihat objek dan mendengar nama dari objek itu. Dengan demikian memungkinkan terjadinya pertautan antara objek dengan label nama objek itu. Bagi anak yang tunarungu tidak dapat menghubungkan objek dan mengenal nama objek itu secara bersamaan. Bagi anak tunarungu apapun yang dikomunikasikan oleh orang tuanya tentang sesuatu objek, harus membagi perhatiannya kepada objek yang sedang diperhatikan kemudian kepada isyarat atau gerak bibir orang tuanya yang mengakatan sesuatu tentang objek itu. Oleh karena itu tidak terjadi pertautan antara objek dengan nama objek itu secara simultan.
    Pada orang tua yang tunarungu terjadi apa yang disebut bracketing yaitu ketika orang tua menunjuk pada sebuah objek yang sedang diperhatikan oleh anaknya yang tunarungu, orang tua memberi nama objek itu dengan isyarat dan menunjuk kembali pada objek itu. Aktivitas lainnya yang dilakukan yaitu orang tua yang tunarungu memberi nama objek dengan isyarat, menunjuk kepada objek, dan kembali menamai objek itu. Cara yang dilakukan oleh orang tua tunarungu terhadap anaknya yang tunarungu seperti itu sangat memungkinkan terjadinya pertautan secara simultan antara objek dengan isyarat tentang objek. Hal seperti ini sama seperti yang terjadi pada orang tua yang mendengar ketika mengatakan nama objek pada saat anaknya yang mendengar sedang memperhatikan objek itu. Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa anak tunaraungu yang orang tuanya juga tunarungu memiliki perkembangan kognitaif yang relatif sama dengan anak yang mendengar.
    Terdapat perbedaan yang jelas antara orang tua yang tunarungu dengan orang tua yang mendengar dalam merarik perhataian anaknya yang tunarungu kepada orang tuanya. Orang tua yang tunarungu sering mengambil inisiatif untuk menarik perhatiaan anaknya yang tunarungu dengan cara melihat langsung anaknya. Jika cara ini tidak berhasil orangtua yang tunarungu melambaikan tangan pada daerah lantang pandang, dan jika nasih belum berhasil juga, orang tua melakukan kontak secara fisik, seperti menyentuh tangan atau pundak anak. Orangtua yang mendengar tidak melakukan hal seperti yang dilakukan oleh orang tua yang tunarungu untuk menarik perhatian anaknya yang tunaraungu. Orang tua yang mendengar lebih banyak menggunakan bahasa verbal untuk menarik perhatian anaknya yang tunarungu (Koester, Karkoswski & traci, 1998).
    Orang tua yang mendengar dan orang tua yang tunarungu juga berbeda dalam frekuesni untuk memperoleh perhatian anaknya yang tunarung. Harris dan Mohay (1997) mengobservasi bayi tunarungu berusia 18 bulan yang orang tuanya tunarungu (cdPD) dan bayi tunarungu yang orang tuanya mendengar (cdPH) ketika sedang bermain dengan ibunya. Orang tua yang tunarungu melakukan banyak usaha untuk mendapatkan perhatian anaknya yang tunarungu daripa orang tua yang mendengar pada rentang waktau 10 menit ketika orang tua dan anaknya bermain secara bebas. Orang tua yang tunarungu berjumlah 5 orang sukses mendapatkan perhatian anaknya sekurang-kurangnya 3 kali selama 10 menit, sedangkan orang tua yang mendengar yang berjumlah 5 orang hanya 1 orang saja yang berhasil mendapatkan perhataian anaknya yang tunarungu lebih dari tiga kali dalam waktu 10 menit.
    Sangat jelas terdapat perbedaan antara orang tua anak tunarungu yang juga tunaarungu dengan orang tua anak tunarungu yang mendengar dalam hal membangun perhatian besama dengan anaknya yang tunarungu. Perbedaan ini sangat terkait dengan pengalaman yang dimiliki oleh orang tua yang tunarungu dalam berkomunikasi dengan orang tunarungu lainnya dengan menggunakan bahasa isyarat. Jelas sekali bahwa orang tua yang mendengar tidak memiliki pengalaman dalam penggunaan bahasa isyarat dan tidak dapat menyediakan bahasa yang aksesibel bagi anaknya yang tunarungu.
    Kita semua mengetahui bahwa anak yang mendengar sudah dapat berkomunkasi sebelum mereka dapat berbicara dan oleh karena itu timbul pertanyaan menarik tentang apakah anak tunarungu yang orang tuanya mendengar dapar berkomunikasi atau tidak sebelum mereka memperoleh bahasa verbal.

    2) Penggunaan Isyarat Tangan (gesture) Dalam Berkomunikasi dengan Orang Tua
    Anak tunaraungu yang orang tuanya mendengar diperkenalkan kepada bahasa lisan dan menggunakannya isyarat tangan (gesture) untuk berkomunikasi dengan orang tuanya dirumah dan kadang-kadang isyarat ini disebut sebagai isyarat rumah (home sign).
    Anak yang mendengar juga menggunakan isyarat tangan (gestur) dalam berkomunikasi, tetapi cenderung terus menurun frekuensi penggunaannya sejalan dengan berkembangnya kemampuan berbicara. Sebagai perbandingan, ketika anak tunarungu yang orang tuanya mendengar (cdPH) tumbuh menjdi lebih tingi usianya, isyarat tangan (gesture) terus berkembang, dan malah mulai mengkombinasikannya dengan isyarat baru yang ditemukannya (Meadow, 1995). Isayarat (gesture) ini digunakan utnuk menyampaikan masksud kepada aorang lain.
    Lebih dari dua dekade Goldin-Meadow (1996) mengobservasi 10 anak tunarungu Amerika yang orang tuanya mendengar dalam berkomunikasi dengan menggunakan bahasa lisan. Obsevasi dilakukan ketika anak-anak tunaarungu mulai berusia 1,5 dan 4 tahun dan diambil gambarnya melalui vidio pada situasi-situasi tertentu. Hasil observasi menununjukkan bahwa anak tunarungu ini memunculkan tiga tipe isyarat (gesture) yang berbeda yaitu: deictic gesture, digunakan utntuk menununjuk objek tertentu misalnya orang atau lokasi; iconic gesture (seperti pantomin) digunakan untuk menyampaikan satu pengertian kepada orang lain dan marker gesture, yaitu isyarat yang lazim digunakan oleh orang yang mendengar sepeti menggelengkan dan menganggukkan kepala sebagai tanda tidak setuju dan setuju, menunjukkan jari ke atas untuk menyampaikan keinginan agar orang lain menunggu.
    Isyarat yang dihasilkan oleh anak-anak tunarungu cenderung stabil dalam waktu lama. Seorang anak tunarungu diobservasi selam dua tahu mulai usia 2 tahun 10 bulan samapai usia 4 tahun 10 bulan dalam menggunakan isyarat (gesture), menghasilkan 190 gesture yang berbeda-beda dan 109 dari jumlah itu digunakan lebih dari satu kali. Pada perkembangan selanjutnya, anak tunarungu dalam menggunakan gesture menjadi lebih menetap (satu gesture yang mempunyai arti tertentu terus digunakan berulang ulang) dan menjadi perbendaharaan gesture anak tersebut (Goldin-Meadow, 1994).
    Anak tunarungu dalam menghasilkan gesture bersifat sekuensial, menurut tataurut tertentu. Misalnya, menununjuk satu objek mungkin diikuti oleh karakteristik khusus dalam menyampaikan satu tindakan atau atribut dari objek. Sangat menarik bahwa kombinasi ini mencerminkan relasi semantik seperti pada anak yang mendegar ketika mengucapkan dua kata yang mengandung urutan. Ini menunjukkan bahwa sistem isyarat (gestural system) pada anak tunarungu memiliki sturktur sintaktik yang sejajar dengan bahasa yang digunakan oleh orang yang mendengar (Goldin-Meadow, 1994).
    Tampaknya sangat jelas bahwa anak-anak tunarungu menciptakan system gesture atau homesign untuk berkomunukasi yang mirip dengan bahasa. Namun demikian gesture akan menjadi alat komunikasi yang menyerupai bahasa jika hanya digunakan sebagai satu-satunya cara untuk berkomunikasi. Jadi, anak tunarungu yang orang tuanya mendenngar (cdHP) mengembangkan bahasa isyarat dirumah (homesign) yang akan menjadi bahasa yang menyerupai bahasa yang digunakan oleh orang yang mendengar. Secara lebih jelas, orang tua anak tunarungu yang berkomunikasi melalui bahasa lisan, mengunakag gesture untuk menyertai bahasa yang digunakannya, akibatnya isyarat yang digunakan oleh orang tua tidak menunjukkan ciri-ciri bahasa. Sementara itu gesture yang digunakan oleh anak tunarungu memiliki ciri sebagai bahasa.
    Orang tua anak tunarungu yang mendengar disamping menggunakan gesture juga menggunakan bahasa lisan (bicara) kepada anaknya, dan dapat belajar dan menggunakan bahasa isyarat. Sama halnya orang tuan anak tunarungu yang tunarungu akan menggunakan bahasa isyarat dengan anaknya yang tunarungu.

    3) Apakah Belajar Isyarat pada anak Tunaraungu Seperti Belajar Bicara pada
    Anak yang Mendengar

    Jika bahasa isyarat diterima sebagai sebuah bahasa maka seharusnya memiliki aspek fonologi, morfologi, semantik dan sintaksis. Timbul pertanyaan, apakah perolehan bahasa yang bersifat visual-manual berbeda dengan perolehan bahasa oral? Pada bagian ini akan dibahas tentang perbedaan karakteristik bahasa, termasuk mengoceh (babbling), usia permulaan dalam berbahasa, perkembangan kosa-kata, penggunaan kata majemuk, negasi dan private speech.
    Mengoceh (babbling) ditandai oleh produksi elemen-elemen fonetik bahasa oranng dewasa yang secara sistematis digabungkan menjadi suku kata yang tidak punya arti atau referensi. Anak-anak tunarungu sangat terlambat dalam mengoceh (babbling) secara vokal. Akan tetapi Pettito & Marentette (1991) melaporkan bahwa bay tunarungu yang orang tuanya tunarungu (cdPD) mengoceh pada tahun pertama. Dua ana anak taunak tunaraungu yang orang tuanya tunarungu (cdPD) dan tiga anak yang mendengar yang orang tuanya mendegar (hcHP) diambil gambar vidio pada usia 10, 12 dan 14 bulan. Ank tunarungu menghasilkan 9 kali mengoceh seperti halnya anak yang mendengar, dan semua anak menghasilkan jumlah yang sama dalam berkomunikasi dengan mengunakan gesture , seperti mengangkat tangan ketika ingin dipangku.
    Demikian pula, Meicer & Willerman (1995) melaporkan bahwa proporsi gesture yang dihasilkan oleh 3 orang anak tunarungu yang orang tuanya tunarungu (cdPD) dan anak 2 orang anak mendengar yang orang tuanya mendengar (hcHP) yang berusia 7-15 bulan adalah sama. Data ini membuktikan bawha kapasitas bagas mendasari perolehan baik isyarat maupun bahasa lisan. Meicer & Willerman (1995), menjelaskan bahwa manual dan vocal babbling mencerminkan perkembangan motorik yang diorganisasikan secara ritmik.
    Anak yang mendengar menghasilkan bahasa bahasa pertama kali pada usia 11-14 bulan, memiliki 10-50 kata pada usia 15-19 bulan dan mulai mengkombinasikan kata-kata pada usia 18-22 bulan. Pettito & Marentette (1991) melaporkan bahwa dua anak tunarungu yang mereka obsevasi mulai menghasilkan isyarat pada usia 11 bulan, umur yang sama seperti anak yang mendengar mulai menghasilkan kata pertama kali. Schlesinger & Meadow (1972) mengobervasi perkembangan anak tunarungu perempuan sejak usia 8 bulan sampai 22 bulan. Orang tua anak ini juga tunarungu dan menggunakan American Sign Language (ASL) dalam berkomunikasi. Anak tunarungu ini pertama kali dapat memahami isyarat pada usia 10 bulan. Pada usia 14 bulan mulai dapat membuat kombinasi isyararat (misalnya selamat tidur), dan pada usia 19,5 bulan sudah memiliki 142 isyarat dan sudah mengenal 14 huruf alfabet secara manual. Hasil observasi ini menjelaskan bahwa peroleh bahasa isyarat pada anak tunarungu ini berkembang lebih dahulu dibandinglan dengan perkembangan bicara pada anak yang mendengar.
    Sebagai bahan pembanding, Harris (1992) mengobservasi 4 orang anak tunarungu yang orang tuanya tunarungu (cdPD). Hasil observasi ini menunjukkan beberapa anak tunarungu lebih lambat dalam perolehan bahasa isyarat. Harris menemukan bahwa perbedaan usia dalam perolehan bahasa isyarat dan jumlah kosakata bahasa isyarat yang dikuasai pertama kasli. Sebagai contoh Harris mencatat bahwa pada usia 2 tahun hanya 1 orang dari 4 anak tunarungu yang dilaporkan oleh orang tuanya menggunakan bahasa isyarat yang bervariasi dalam jumlah yang banyak. Ibu dari anak tunarungu lainnya melaporkan bahwa anaknya hanya menggunakan bahasa isyarat dengan jumlah yang sedikit. Sementara 2 anak tunarungu lainya melaporkan bahwa anaknya belum menggunakan isyarat. Dalam obervasi yang dilakukan selam 20 menit terhadap ke 4 orang anak ini menghasilkan 16, 7, 1 dan 0 isyarat. Di lain pihak Harris mengobservasi anak yang mendengar pada usia yang sama selama 20 menit, hasilnya menunjukkan bahwa anak yang paling aktif berbicara menghasilkan 77 kata yang berbeda-beda dan anak yang paling tidak aktif dalam berbicara menghasilkan 9 kata yang berbea-beda. Dengan kata lain anak tunarungu yang menggunakan kata-kata isyarat pada periode waktu yang sama lebih sedikit menghasilkan isyarat kata dibandingkan dengan anak yang mendengar yang paling tidak aktif berbcara sekalipun.
    Temuan Harris sangat menarik karena dapat menunjukkan bukti yang jelas tentang variasi usia dalam perolehan isayarat dan kosa-kata pada anak tunaraungu. Telah kita lihat bahwa anak tunarungu meneripu sedikit input baik kuantitas maupun kompleksitas dibandingkan dengan anak yang mendengar. Akan tetapi menurut Harris imput data bukan segala-galanya. Ada data lain yang dapat dijelaskan yaitu seorang ibu anak tunarungu memperkenalkan 101 isyarat yang diambil dari bahasa lisan ketika anaknya berusia 16 bulan tetpi pada usia 24 bulan, anak ini hanya dapat menghasilkan 1 isyarat. Ibu anak ini ternyata salah menerapkan strategi dalam memperkenalkan isyarat dalam mempertautkan sebuah isyarat dengan objek yang dimaksud sehingga dapat dimengerti.
    Tampak jelas dari studi ini bahwa perkembangan awal bahasa isyarat pada anak-anak tunarungu sama seperti perkembangan awal bahasa lisan pada anak-anak yang mendengar. Tidak ada kesimpulan yang mantap dan meyakinkan bahwa anak tunarungu berkembang lebih awal atau lebih terlambat dibandingkan anak yang mendengar dalam hal perkembangan bahasa.

    4) Perolehan Bahasa Lisan Pada Anak Tunarungu
    Jumlah atau banyaknya bahasa lisan yang dapat diperoleh oleh anak tunarungu tergantung kepada banyak faktor. Sebagai contoh, seberapa banyak mereka dapar mendengar, apakah yang mereka dengar itu jelas atau tidak terdistorsi, seberapa banyak mereka menggunakan sisa pendengarannya, apakah orang dewasa di sekitar mereka berbicara kepada anak tunarungu dengan jelas.
    Anak tunarungu biasanya dapat menggunakan sisa pendengaran jika sisa pendengarannya kurang dari 60 dB. Kehilangan pendengaran pada level ini memungkinkan anak tunaraungu mampu membedakan bunyi bahasa meskipun kemampuan ini mungkin didasarkan pada tanda akustik yang berbeda. Akan tetapi orang tua anak tunarungu tidak membantu anak seperti yang seharusnya. Banyak sekali percakapan dilakukan ketika anak tunarungu tidak sedang memperhatikan kepada orang tuanya dan orang tua cenderung memberikan fakta-fakta dan jawaban daripada menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang menghendaki jawaban yang jelas. Hal seperti ini juga dilakukan oleh guru-guru di sekolah (Wood, 1981).
    Bayi tunaraungu biasanya mulai membuat vokalisasi sama seperti bayi yang mendengar tetapi muulai berbeda pada akhir tahun pertama. Dari kira-kira usia 7 bulan anak yang mendengar mulai mengoceh, menghasilkan pengulangan bunyi suku-kata konsonan-vokal seperti ”dadada”. Akan tetapi produksi vokalisasi seperti itu pada anak tunarungu berkembang terlambat (Spencer, 1993), akan tetapi baru akan muncul secara bertahap pada pada tahun-tahun berikutnya. Oller & Eiler (1988) melaporkan bahwa rentang usia anak tunarungu dalam memproduksi Syllabic babbling muncul antara usia 11-25 bulan, sementara pada anak yang mendengar terjadi pada uisia antara 6-10 bulan. Pada penelitian longitudinal pada 94 anak yang mendengar dan 37 anak tunarungu, Oller & Eiler (1994) melaporkan bahwa produksi syllabic babbling pada anak yang mendengar terjasi pada usia antara 3-10 bulan, sementra pada anak tunarungu terjadi pada usia antara 11-49 bulan.
    Bagi anak taunarungu perolehan kata-kata merupana ususan yang sangat sulit. Hanya anak-anak tunarungu yang sangat cerdas akan dapat memiliki sebanyak 200 kata pada usia 4-5 tahun. Pada usia itu, anak yang mendengar akan memiliki sebanyak 2000 kata. Jelas sekali bahwa pemahaman anak tunarungu terhadap bahasa lisan sangat terbatas. Bishop (1983) melaorkan bahwa anak tunarungu yang berusia 8-12 tahun pemahaman bahasa lisannya lebih rendah dari anak yang mendengar yang berusia 4 tahun. Mereka juga mengalami kesulitan dalam memahami arti dari apa yang didengar.
    Sebuah studi yang dilakukan oleh Gregory & Mogford (1981) memberikan informasi yang sangaat berguna perolehan bahasa pada anak tunarungu. Mereka melaporkan bahwa 6 dari 8 anak tunarungu mulai mengucapkan kata pada usia 16 bulan, sementara anak yang mendengara mulai mengucapkan kata pada usia 11 bulan. Tidak mengherankan bahwa semakin bertat derajat ketunarunguan yang dialami anak, maka pemunculan kata yang dapat diucapkan akan dicapai pada usia yang lebih tua. Anak tuanrungu berat berusia 4 tahun dapat mengucapkan kurang dari 10 kata. Rate atau kecepatan dalam memperoleh kata yang dapat diucapkan berbeda antara anak tunarungu dengan anak yang mendengar. Anak yang mendengar memerlukan waktu satu bulan untuk menguasai 1-10 kata, sementra anak tunarungu memerlukan waktu 7 bulan untuk jumlah kata yang sama. Bagi anak tunarungu peningkatan kecepatan dalam perolehan kata-kata adalah sekitar 10 kata per bulan, sementara pada anak yang mendengar rata-rata 50 kata perbulan.
    Anak tunarungu dan anak yang mendengar mulai dapat menggabungkan kata-kata ketika sudah mencapai kosa-kata kurang lebih 50 kata pada usia 30 bulan bagi anak tunarungu, dan 18 bulan pada anak yang mendengar. Hal ini diikuti oleh kecepatan peningkatan kosa-kata pada anak yang mendengar tetapi tidak terjadi pada anak tunarungu.
    Kata-kata pendek apa yang diperoleh anak tunarungu pertama kali? Gregory & Mogford melaporkan bahwa pada ukuran jumlah kosa-kata 50 dan 100 kata pada anak tunarungu dibandingkan dengan anak yang mendengar, memiliki lebih sedikit nama-nama objek dan peristiwa dan lebih banyak kata yang digunakan dalam hubungan sosial, seperti ”terima kasih” atau kata yang menyatakan afektif/perasaan seperti ”Auw”. Pada ukuran kosa kata 50 kata, anak tunarungu memiliki lebih banyak kata untuk menggambarakan tindakan dan pada ukuran kosa-kata 100 kata, anak tunaarungu memiliki lebih banyak kata yang menggambarkan atribut dari objek.


    Jelas sekali bahwa banyak anak tunarungu yang orang tuanya hanya menggunakan pendekatan oral, paling tidak pada tahun-tahun pertama, akan gagal untuk mengembangkan keterampilan oral. Gregory (1995) menemukan bahwa bahasa yang dilpilh oleh 82 tunarungu deewasa dimana orang tuanya hanya menggunakan bahasa linsan ketika mereka berusia 6 tahun adalah Brithis Sing Language 31 orang, Sign Support Language 13 orang, Bahasa Inggris Lisan 30 orang dan 8 orang memiliki keterampilan bahasa yang sangat terbatas. Bahasa yang dipilih berhubungan dengan kehilangan pendegaran. Sebgai contoh anak tunarungu yang mengalami kehilangan pendenngaran lebih darai 50% memililih Brithis Sign Language dan kurang dari 10% memilih bahasa Inggris Lisan. Menarik sekali, meskipun pada tahap permulaan para orang tua menggunakan bahasa oral, tetapi ketika anaknya mencapai usia para orang tua menggunakan isyarat ketika berkomunikasi dengan anak-anaknya.

    Sangat jelas bahwa anak-anak tunarungu berat menghadapi kesulitan dalam memperoleh bahsa lisan. Akan tetapi, terdapat beberapa bukti bahwa keterampilan bahasa lisan anak-anak tunarungu akan menjadi baik jika sejak awak diperkenalkan juga kepada isyarat. Notoya, Suzuki & Furukawa (1994) melakukan studi terhadap 2 orang anak tunarungu Jepang yang orang tuanya mendengar (dcHP). 2 anak ini mengikuti program latihan multi sensori termasuk isyarat berdasarkan bahasa jepang lisan, latihan auditori, membaca bibir, dan bahasa tulis sejak selama 2 samapi 14 bulan. Orang tuanya juga belajar isyarat berdasarkan bahasa Jepang. Anak-anak yang berumur 18 bulan dapat menguasai 50 isyarat, dan anak-anak yang berusia 30 bulan dapat mengucapkan 50 kata yang berbeda. Akan tetapi pada usia 42 bulan mereka menguasi 550 isyarat dan kata yang berbeda sekaligus. Jadi, pada usia 3,5 tahun bahasa oral dapat dicapai bersamaam dengan bahasa isyarat.
    Temuan ini membuktikan bahwa memperkenalkan isyarat yang didasarkan pada bahasa lisan sejak usia dini kepada anak tunarungu dapat memfasilitasi anak tunarungu dalam perolehan bahasa lisan. Pada usia 5 tahun kedua anak tunaraungu Jepang ini memiliki keterampilan membaca lebih maju dari pada anak yang mendengar. Temuan ini menjadi sangat menarik karena biasanya anak tunarungu sering mengalami hambatan dalam belajar membaca.

    5) Keterampilan Membaca dan Menulis pada Anak Tunarungu
    Banyak anak tunarungu memiliki hambatan dalam belajara membaca. Conrad (1979), menemukan bahwa hanya 5 dari 220 orang anak tanarungu berat yang berusia 15-16,5 tahun yang diteliti selama 2 tahun memililiki keterampilan membaca (reading age) sejalan dengan usianya yaitu 15 tahun, selebihnya 215 orang memiliki hambatan/ksulitan belajar membaca. Lebih dari 50 % anak tunaraungu yang sudah tamat sekolah memiliki keterampilan membaca (reading age) di bawah 7 tahun 10 bulan. Tidak mengherankan bahwa kesulitan membaca pada anak-anak tunarungu sebagai akibat dari kehilangan pendengaran.
    Banyak anak tunaraungu memperoleh pendidikan dengan menggunakan bahasa lisan. Kelly (1995) melaporkan bahwa anak tunarungu yang rata-rata berusia 18 tahun, memiliki keterampilan membaca (memahami isi bacaan) setara dengan anak uisa 10 tahun, hanya 3% dari jumlah anak tunarungu yang diteliti memiliki keterampilan membaca (memahami bacaan) setara dengan usianya. Gregory (1995) melaporkan bahwa hanya 32 % dari 82 anak tunarungu dapat membaca dan memahami isinya, 25% dari 82 orang dianggap buta huruf, karena hanya dapat membaca kata atau sama sekali tidak dapat membaca. Timbul pertanyaan mengapa membaca begitu sulit bagi anak-anak tunarungu?
    Sebuah penelitian longitudinal yang dilakukan oleh Goswami & Bryant (1990) menunjukkan bahwa terdapat hubunngan yang sangat kuat antara kedadaran tentang bunyi bahasa (Phonological awareness) sebelum belajar membaca dengan kemampuan membaca lebih lanjut. Anak tuanrungu memiliki kesadaran bunyi (phonological awareness) yang rendah jadi sangat logis apabila mereka meiliki kesulitan dalam belajar membaca.
    Harris & Beech (1998) meneliti tentang kesadaran fonologi (Phonological awareness) anak tunarungu yang berusia 4-6 tahun dan anak mendengar usia 5 tahun. Semua anak tersebut baik yang mendengar maupun anak tunarungu baru belajara membaca permulaan. Anak-anak diperlihatkan kepada gambar objek, misalnya boneka, kemudian disebutkan atau diisyaratkan oleh tester. Jika anak menyebutkan atau mengisyaratkan denngan benar



    Label:

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google
  • Kembali ke Halaman Depan
  • Minggu, 09 Maret 2008

    MEMAHAMI PERKEMBANGAN,HAMBATAN PERKEMBANGAN DAN HAMBATAN BELAJAR PADA ANAK

    Oleh
    Zaenal Alimin
    Program Studi Pendidkan Kebutuhan Khusus
    Sekolah Pascasarjan UPI


    A. Perkembangan Anak

    Makna perkembangan pada seorang anak adalah terjadinya perubahan yang besifat terus nenerus dari keadaan sederhana ke keadaan yang lebih lengkap, lebih komleks dan lebih berdiferensiasi (Berk, 2003). Jadi berbicara soal perkembangan anak yang dibicarakan adalah perubahan. Pertanyaannya adalah perubahan apa saja yang terjadi pada diri seorang anak dalam proses perkembangan ? Untuk menjawab pertanyaan itu maka perlu dipahami tentang aspek-aspek perkembangan.

    1. Aspek-Aspek Perkembangan
    Perkembangan fisik yaitu perubahan dalam ukuran tubuh, proporsi anggotata badan, tampang, dan perubahan dalam fungsi-fungsi dari sistem tubuh seperti perkembangan otak, persepsi dan gerak (motorik), serta kesehatan.
    Perkembangan kognitif yaitu perubahan yang bervariasi dalam proses berpikir dalam kecerdasan termasuk didalamnya rentang perhatian, daya ingat, kemampuan belajar, pemecahan masalah, imajinasi, kreativitas, dan keunikan dalam menyatakan sesuatu dengan mengunakan bahasa.
    Perkembangan sosial-emosional yaitu perkembangan berkomunikasi secara emosional, memahami diri sendiri, kemampuan untuk memahami perasaan orang lain, pengetahuan tentang orang lain, keterampilan dalam berhubungan dengan orang lain, menjalin persabatan, dan pengertian tentang moral.

    Harus dipahami dengan sungguh sungguh bahwa ketiga aspek perkembangan itu merupakan satu kesatuan yang utuh (terpadu), tidak terpisahkan satu sama lain. Setiap aspek perkembangan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh aspek lainnya. Sebagai contoh perkembangan fisik seorang anak seperti meraih, duduk, merangkak, dan berjalan sangat mempengaruh terhadap perkembangan kognitif anak yaitu dalam memahami lingkungan sekitar di mana ia berada. Ketika seorang anak mencapai tingkat perkembangan tertentu dalam berpikifr (kognitif) dan lebih terampil dalam bertindak, maka akan mendapat respon dan stimulasi lebih banyak dari orang dewasa, seperti dalam melakukan permaianan, percakapan dan berkomunikasi sehingga anak dapat mencapai keterampilan baru (aspek sosial-emosional). Hal seperti ini memperkaya pengalaman dan pada gilirannya dapat mendorong berkembangnya semua aspek perkembangan secara menyeluruh. Dengan kata lain perkembangan itu tidak terjadi secara sendiri-sendiri.

    2. Periode Perkembangan
    Para peneliti biasanya membagi segmen perkembangan anak ke dalam lima periode (Berk, 2003). Ketika anak mencapai perkembangan pada periode tertentu maka akan dipereroleh kemampuan dan pengalaman sosial-emosional yang baru.
    Periode pra-lahir : sejak masa konsepsi sampai lahir. Pada periode ini terjadi perubahan yang paling cepat.
    Periode masa bayi dan kanak-kanak: Sejak lahir sampai usia 2 tahun. Pada periode ini terjadi perubahan badan dan pertumbuhan otak yang dramatis, mendukung terjadinya saling berhubungan antara kemampuan gerak, persepsi, kapasitas kecerdasan, bahasa dan terjadi untuk pertama kali berinteraksi secara akrab dengan orang lain. Masa bayi dihabiskan pada tahun pertama sedanga masa kanak-anak dihabiskan pada tahun kedua.
    Periode awal masa anak : dari usia 2 tahun sampai 6 tahun. Pada periode ini ukuran badan menjadi lebih tinggi, keterampilan motorik menjadi lebih luwes, mulai dapat mengontrol diri sendiri dan dapat memenuhi menjadi lebih luas. Pada masa ini anak mulai bermain dengan membentuk kelompok teman sebaya.
    Periode masa anak-anak: dari usia 6 sampai 11 tahun. Pada masa ini anak belajar tentang dunianya lebih luas dan mulai dapat menguasai tanggung jawab, mulai memahami aturan, mulai menguasai proes berpikir logis, mulai menguasai keterampilan baca tulis, dan lebih maju dalam memahami diri sendiri, dan pertemanan.
    Periode masa remaja: dari usia 11-20 tahun. Periode ini adalah jembatan antara masa anak-anak dengan masa dewasa. Terjadi kematangan seksual, berpikir menjadi lebih abstrak dan idealistik.

    3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan
    Untuk melihat faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan seorang anak, maka muncul pertanyaan: apakah perkembangan itu prasyarat untuk bisa belajar atau perkembangan itu hasil dari proses belajar ? Pertanyaan itu bisa dijawab ya, bahwa perkembangan itu prasyarat untuk bisa belajar. Artinya jika seorang anak belajar perlu didasari oleh kesiapan (kematangan) yang dicapai dalam perkembangan. Misalnya seorang anak tidak mungkin akan bisa belajar bahasa dan bicara jika belum mencapai kesiapan (kematangan), meskipun lingkungan diciptakan sedemikian rupa agar anak dapat belajar bahasa dan bicara. Sebaliknya, pertanyaan itu bisa dijawab ya bahwa perkembangan itu adalah hasil belajar. Artinya perubahan yang terjadi pada diri seorang anak diperoleh melaui proses interaksi dengan lingkungannya. Misalnya meskipun setiap anak memiliki potensi untuk belajar bahasa dan bicara dan telah mencapai kematangan untuk siap belajar, tetapi anak tersebut sama sekali tidak mendapatkan rangsangan dari luar (lingkungan) untuk belajar, maka anak itu tidak akan memperoleh keterampilan berbahasa.
    Oleh karena itu terdapat hubungan timbal balik atau saling mempenagruhi antara proses belajar dalam lingkungan dengan kematangan perkembangan. Dengan kata lain pada saat tetentu belajar ditentukan oleh kematangan perkembangan, tetapi pada saat yang lain perkembangan adalah hasil dari proses belajar. Konsekuensi dari keadaan ini maka jika seorang anak mengalami hambatan dalam mencapai kematangan perkembangan karena ada gangguan pada aspek fisik atau kognitif atau sosial-emosional maka dapat dipastikan akan mengalami hambatan belajar, dan anak yang mengalami hambatan belajar akan mengalami hamabtan perkembangan. Anak yang mengalami hambatan belajar dan atau hambatan perkembangan, memerlukan layanan khusus dalam pendidikan dan disebut anak berkebutuhan khusus.

    B. Hambatan Perkembangan-Hambatan Belajar Anak Berkebutuhan
    Khusus

    1. Konsep Anak Berkebutuhan Khusus (Children with Special Needs)
    Istilah anak berkebutuhan khusus memiliki cakupan yang sangat luas. Dalam paradigma pendidikan kebutuhan khusus keberagaman anak sangat dihargai. Setiap anak memiliki latar belakang kehidupan budaya dan perkembangan yang berbeda-beda, dan oleh kaarena itu setiap anak dimungkinkan akan memiliki kebutuhan khusus serta hambatan belajar yang berbeda beda pula, sehingga setiap anak sesungguhnya memerlukan layanan pendidikan yang disesuiakan sejalan dengan hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing anak. Anak berkebutuhan khusus dapat diartikan sebagai seorang anak yang memerlukan pendidikan yang disesuiakan dengan hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing anak secara individual.
    Cakupan konsep anak berkebutuhan khusus dapat dikategorikan menjadi dua kelompok besar yaitu anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementra (temporer) dan anak berkebutuhan khusus yang besifat menetap (permanent).

    a. Anak Berkebutuhan Khusus Bersifat Sementra (Temporer)
    Anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementara (temporer) adalah anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan disebabkan oleh faktor-faktor eksternal. Misalnya anak yang yang mengalami gangguan emosi karena trauma akibat diperekosa sehingga anak ini tidak dapat belajar. Pengalaman traumatis seperti itu bersifat sementra tetapi apabila anak ini tidak memperoleh intervensi yang tepat boleh jadi akan menjadi permanent. Anak seperti ini memerlukan layanan pendidikan kebutuhan khusus, yaitu pendidikan yang disesuikan dengan hambatan yang dialaminya tetapi anak ini tidak perlu dilayani di sekolah khusus. Di sekolah biasa banyak sekali anak-anak yang mempunyai kebutuhan khusus yang bersifat temporer, dan oleh karena itu mereka memerlukan pendidikan yang disesuiakan yang disebut pendidikan kebutuhan khusus.
    Contoh lain, anak baru masuk Kls I Sekolah Dasar yang mengalami kehidupan dua bahasa. Di rumah anak berkomunikasi dalam bahasa ibunya (contoh bahasa: Sunda, Jawa, Bali atau Madura dsb), akan tetapi ketika belajar di sekolah terutama ketika belajar membaca permulaan, mengunakan bahasa Indonesia. Kondisi seperti ini dapat menyebabkan munculnya kesulitan dalam belajar membaca permulaan dalam bahasa Indonesia. Anak seperti ini pun dapat dikategorikan sebagai anak berkebutuhan khusus sementra (temporer), dan oleh karena itu ia memerlukan layanan pendidikan yang disesuikan (pendidikan kebutuhan khusus). Apabila hambatan belajar membaca seeperti itu tidak mendapatkan intervensi yang tepat boleh jadi anak ini akan menjadi anak berkebutuhan khusus permanent.

    b. Anak Berkebutuhan Khusus yang Bersifat Menetap (Permanen)
    Anak berkebutuhan khusus yang bersifat permanen adalah anak-anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang bersifat internal dan akibat langsung dari kondisi kecacatan, yaitu seperti anak yang kehilangan fungsi penglihatan, pendengaran, gannguan perkembangan kecerdasan dan kognisi, gannguan gerak (motorik), gannguan iteraksi-komunikasi, gannguan emosi, sosial dan tingkah laku. Dengan kata lain anak berkebutuhan khusus yang bersifat permanent sama artinya dengan anak penyandang kecacatan.
    Istilah anak berkebutuhan khusus bukan merupakan terjemahan atau kata lain dari anak penyandang cacat, tetapi anak berkebutuhan khusus mencakup spektrum yang luas yaitu meliputi anak berkebutuhan khusus temporer dan anak berkebutuhan khusus permanent (penyandang cacat). Oleh karena itu apabila menyebut anak berkebutuhan khusus selalu harus diikuti ungkapan termasuk anak penyandang cacat. Jadi anak penyandang cacat merupakan bagian atau anggota dari anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu konsekuensi logisnya adalah lingkup garapan pendidikan kebutuhan khusus menjadi sangat luas, berbeda dengan lingkup garapan pendidikan khusus yang hanya menyangkut anak penyandang cacat.

    2. Memahami Hambatan Belajar dan Hambatan Perkembangan
    a. Pengertian Hambatan Belajar
    Dalam paradigma pendidikan khusus/PLB, label kecacatan dan karakteristiknya lebih menonjol dan dijadikan patokan dalam memberikan layanan pendidikan dan intervensi. Anak yang memiliki kecacatan tertentu dipandang sebagai kelompok yang memiliki karakteristik yang sama. Cara pandang seperti ini menghilangkan eksistensi anak sebagai individu. Anak-anak yang didiagnosis sebagai anak penyandang cacat tertentu (misalnya tunanetra) diperlakukan dalam pembelajaran dengan cara yang sama berdasarkan label kecacatannya. Cara pandang seperti ini lebih mengedepankan aspek identitas kecacatan yang dimiliki dari pada aspek individu anak sebagai manusia.
    Dalam konsep pendidikan khusus/PLB (special education) lebih banyak menggunakan diagnosis untuk menentukan label kecacatan. Berdasarkan label itulah layanan pendidikan diberikan dengan cara yang sama pada semua anak yang memiliki label kecacatan yang sama, dan tidak memperimbangkan aspek-aspek lingkungan dan faktor-faktor dalam diri anak. Sebagai contoh jika hasil diagnosis menunjukkan bahwa seorang anak dikategorikan sebagai anak autisme, maka semua anak autisme akan diperlakukan dengan cara dan pendekatan yang sama berdasarkan label dan karakteristik nya.
    Dalam paradigma pendidikan kebutuhan khusus (special needs education), anak yang mempunyai kebutuhan khusus baik yang bersifat temporer maupun yang bersifat permanent akan berdampak langsung kepada proses belajar, dalam bentuk hambatan untuk melakukan kegiatan belajar (barrier to learning and development). Hambatan belajar dan hambatan perkembangan dapat muncul dalam banyak bentuk, untuk mengetahui dengan jelas hambatan belajar, hambatan perkembangan dan kebutuhan yang dialami oleh seorang anak sebagai akibat dari kebutuhan khusus tertentu/kecacatan tertentu, dilakukan dengan mengunakan asesmen.
    Hasil asesmen akan memberikan gambaran yang jelas mengenai hambatan belajar setiap anak. Berdasarkan data hasil asesmen itulah pembelajaran akan dilakukan. Tidak akan terjadi dua orang anak yang mempunyai kebutuhan khusus/kecacatan yang sama, memiliki hambantan belajar, hambatan perkembangan dan kebutuhan yang persis sama. Oleh karena itu pendidikan kebutuhan khusus difokuskan untuk membantu menghilangkan atau sekurang-kurangnya meminimalkan hambatan belajar dan hambatan perkembangan sebagai akibat dari kondisi yang dialami oleh setiap anak secara individual. Inilah yang disebut dengan pembelajaran yang berpusat kepada anak (child center approach).
    Dalam perspektif pendidikan kebutuhan khusus diyakini bahwa ada faktor-faktor lain yang sangat penting untuk dipertimbangkan yaitu faktor lingkungan, termasuk sikap terhadap anak pada umumnya dan terhadap anak tertentu karena lingkungan yang tidak responsive, kurang stimulasi, pemahaman guru dan kesalahpahaman guru akan proses pembelajaran, isi, pendekatan pembelajaran dan materi pembelajaran dapat memimbulkan hambatan belajar dan hambatan perkembangan.
    Selain faktor lingkungan, hal lain yang juga sangat penting untuk dipertimbangkan adalah faktor-faktor pada diri anak, seperti rasa ingin tahu, motivasi, inisiatif, interaksi/komunikasi, kompetensi sosial, kreativitas, temperamen, gaya belajar dan kemampuan potensial. Pendidikan kebutuhan khusus memandang anak sangat komprehensif dan memandang anak sebagai anak, bukan memandang anak berdasarkan label yang diberikan. Berdasarkan penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa hambatan belajar dapat terjadi juga pada anak yang tidak memiliki kecacatan. Dengan pandangan yang luas seperti ini, akan meningkatkan pemahaman kita tentang keunikan setiap individu anak.
    Konsep hambatan belajar dan hambatan perkembangan sangat penting untuk dipahami karena hambatan belajar dapat muncul di setiap kelas dan pada setiap anak. Semua anak mempunyai kemungkinan yang sama untuk mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan. Pendidikan kebutuhan khusus menekankan pada upaya untuk membantu anak menghilangkan atau sekurang-kurangnya mengurangi hambatan belajar dan hambatan perkembangan sebagai akibat dari kondisi tertentu, agar anak dapat mencapai perkembangan optimum. Oleh karena itu Hambatan belajar baik pada anak-anak berkebutuhan khusus maupun pada anak pada umumnya dapat diartikan sebagai sesuatu yang menghentikan atau memperlambatm, merintangi laju kemajuan belajar seorang anak akibat dari faktor yang ada pada diri anak itu sendiri maupun karena faktor yang terjadi diluar diri anak (lingkungan).

    b.Penyebab Munculnya Hambatan Belajar
    Hambatan belajar yang dialami oleh setiap anak bisa disebabkan oleh (1) faktor internal pada diri anak itu sendiri, (2) faktor ekternal di luar diri anak dan, (3) faktor internal dan eksternal.

    1) Faktor Internal
    Hambatan belajar bisa terjadi akibat adanya kerusakan secara fisik pada diri anak (impairment), misalnya kehilangan fungsi penglihatan, pendengaran, dan gangguan pada pada gerak motorik, serta anak yang mengalami hambatan perkembangan intelektual. Keadaan impairment seperti itu menimbulkan kesulitan atau ketidakmampuan tertentu (disability), sehingga merintangi anak untuk belajar. Sebagai contoh, anak yang kehilangan fungsi penglihatan (anak tunanetra) memiiki keterbatasan dalam belajar yang berhubungan dengan informasi visual. Mereka harus mengubah informsi visual ke dalam bentuk informasi auditif, taktual atau kinestetik, tetapi tidak semua informasi visual dapat diubah ke dalam bentuk auditif, taktual dan kinestetik. Oleh karena itu pemahaman anak tunanetra terhadap informasi visual sangat terbatas dan tidak utuh dibandingkan anak awas.
    Anak yang kehilangan fungsi pendengaran (tunarungu) mengalami kesulitan untuk belajar sesuatu yang berhubungan dengan informasi auditif, sehingga mereka sulit memahami konsep yang bersifat verbal. Padahal banyak sekali konsep-konsep yang harus dipahami dengan menggunakan bahasa secara abstrak.
    Anak yang mengalami gangguan perkembangan intelektual (anak tunagrahita) mengalami kesulitan untuk memahami konsep abstrak yang dipelajarinya karena keterbatasan dalam menglah informasi secara kognitif. Anak-anak seperti ini bisanya mengalami kesulitan untuk memahami konsep dan prinsip dari apa yang dipelajarinya. Padahal sesungguhnya belajar lebih banyak berhubungan dengan penguasaan konsep dan prinsipkah. Hambatan belajar yang bersifat internal lainnya adalah gangguan perhatian dan hiperaktifitas, gangguan tiingkah laku, dan gangguan interaksi dan komunikasi.

    2) Faktor Eksternal
    Hambatan belajar pada seorang anak bisa disebabkan oleh faktor-faktor di luar diri anak itu sendiri. Anak mengalami kesulitan-kesulitan tertentu untuk belajar karena eksternal misalnya, anak sering mendapat perlakuan kasar, sering diolok-olok, tidak pernak dihargai, sering melihat kedua orang tuanya bertengkar dsb. Keadsaan seperti ini dapat menimbulakan kehilangan kepercayaan diri, sulit untuk memusatkan perhatian,cemas, gelisah, takut yang tidak beralasan dsb.
    Bentuk-bentuk hambatan belajar yang dapat teridentifikasi akibat dari keadaan seperti itu misalnya, anak tidak memiliki keberaian untuk bertanya mesikipun ada yang ingin ia tanyakan kepada gurnya, tidak bisa menyatakan bahwa dia tidak mengerti sesuatu karena takut, tidak dapat mengikuti intruksi, tidak dapat mengemukakan pendapat atau keinginan secara lisan karena tidak berani. Anak-anak seperti ini tidak mungkin dapat belajar dengan benar.
    Faktor eksternal lainnya yang dapat menjadi hambatan belajar bagi seorang anak seperti, pengalaman belajar di kelas yang sangat keras dan sangant kompetitif, pengalaman belajar di kelas yang terlalu mudah, sehingga tidak ada tantangan untuk belajar lebih lanjut, pembelajaran yang tidak sesuai dengan gaya belajar anak, kurikulum yang tidak sesuai dengan kebutuhan anak secara personal , dan ketidaktersediaan sumber belajar dan media pembelajaran.

    3. Faktor Internal dan Eksternal
    Hambatan belajar bisa terjaidi karena komibinasi antara faktor intenal dan faktor eksternal. Misalnya seorang anak yang mengalami gangguan perkemabngan intelektual (internal) belajar pada lingkungan kelas yang keras dan kompetip (eksternal). Sudah dapat dipastikan bahwa hambatan bejar yang dialami oleh anak ini akan berakibat lebih buruk pada perkembangan hasil belajar anak. Anak menghadapi dua hambatan bejar secara bersamaan.














    Referensi

    Alimin, Zaenal (2004) Reorientasi Pemahaman Konsep Pendidikan Khusus Ke Pendidikan Kebutuhan Khusus dan Implikasinya terhadap Layanan Pendidikan. Jurnal Asesmen dan Intervensi Anak Berkebutuhan Khusus. Vol.3 No 1 (52-63)

    Foreman, Phil (2002), Integration and Inclusion In Action. Mc Person Printing Group: Australia.

    Hauschild, AT & Watterdal, TM (2006) Kompendium: Perjanjian, Hukum dan
    Peraturan Menjamin Semua anak Memperoleh Kesamaan Hak untuk
    Kualitas Pendidikan dalam Cara Inkluisif. IDP Norway: Jakarta

    International Symposium (2005) Inclusion and Removal Barrier to Learning, Partisipation and development. Departeman Pebdidikan Nasional: Jakarta


    Johsen, Berit and Skjorten D. Miriam, (2001) Education, Special Needs Education an Intoduction. Unifub Porlag: Oslo


    Lewis, Vicky (2003), Development and Disability. Blckwell Publishing Company: Padstow, Cornwall.

    Stubbs, Sue (2002) Inclusive Education: Where there are few resources. The
    Atlas

    UNESCO (2003) Overcoming Exclusion through Inclusive Approach in Education
    A Challenge and A Vision. Division for Early Childhood and Inclusive
    Education: Paris


    Label:

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google
  • Kembali ke Halaman Depan
  • Selasa, 04 Maret 2008

    ORIENTASI PENDIDIKAN KEBUTUHAN KHUSUS

    Oleh : Zaenal Alimin

    A. Tujuan
    Setelah selesai mempelajari unit 1 ini, anda diharapkan akan dapat :
    Memahami perbedaan paradigma pendidikan khusus dan pendidikan kebutuhan khusus
    Memahami konsep anak berkebutuhan khusus
    Menjelaskan konsep hambatan belajar dan hamabatan perkembangan
    Mengenal dan memahami terminologi yang digunakan dalam konteks Pendidikan Kebutuhan Khusus
    B. Pokok Bahasan
    Untuk mencapai tujuan-tujuan di atas, akan diuraikan pokok-pokok bahasan sebagai berikut:
    Paradigma pendidikan khusus dan pendidikan kebutuhan khusus
    Konsep anak Luar Biasa dan Konsep Anak berkebutuhan khusus
    Hambatan belajar dan hambatan perkembangan.
    Terminologi yang Digunakan dalam Konteks Pendidikan kebutuhan Khusus
    C. Intisari Bacaan
    1.Perubahan Paradigma : Dari Pendidikan Khusus (Special Education) Ke
    Pendidikan Kebutuhan Khusus (Special Needs Education)
    a. Pendidikan Khusus/PLB (Special Education)
    Perkembangan sejarah pendidikan bagi anak penyandang cacat yang yang disebut Pendidikan Luar Biasa (sebagai terjemahan dari Special Education), selama beberapa dekade telah mengalami banyak perubahan. Perubahan itu dipengaruhi oleh sikap dan kesadaran masyarakat terhadap anak penyandang cacat dan pendidikanya, metodologi dan perubahan konsep yang digunakan.
    Sejarah menunjukkan bahwa selama berabad abab di semua Negara di dunia, individu yang keadaannya berbeda dari kebanyakan indivividu pada umumnya (menyandang kecacatan), kehadirannya ditolak oleh masyarakat. Hal ini disebabkan oleh adanya anggapan anggota kelompok yang terlalu lemah (penyanang cacat) tidak mungkin dapat berkontribusi terhadap kelompoknya. Mereka yang berbeda karena menyandang kecacatan disingkirkan, tidak mendapatkan kasih sayang dan kontak sosial yang bermakna, keberadaan penyandang cacat tidak diakui oleh masyarakatnya.
    Di masa lalu, ketidaktahuan orang tua dan masyarakat mengenai hakekat dan penyebab kecacatan menimbulkan rasa takut dan perasaan bersalah, sehingga berkembang macam-macam kepercayaan dan tahayul. Misalnya seorang ibu yang melahirkan anak penyandanc cacat merupakan hukuman baginya atas dosa-dosa nenek moyangnya. Oleh sebab itu di masa lalu, anak-anak penyandang cacat sering disembunyikan oleh orang tuanya, sebab memiliki anak penyandang cacat merupakan aib keluarga.
    Peradaban manusia terus berkembang, pemahaman dan pengetahuan barus mengajarkan kepada manusia bahwa setiap orang memiliki hak yang sama untuk hidup. Pandangan seperti inilah yang berhasil menyelamatkan kehidupan anak-anak penyandang cacat. Menyelatkan hidup anak-anak penyandang cacat menjadi penting karena dipandang sebagai symbol dari sebuah peradaban yang lebih maju dari sari suatu bangsa, meskipun anak-anak penyandang cacat memerlukan perhatgian ekstra (Miriam, 2001). Pandangan orang tua dan masyarakat yang menganggap bahwa memelihara dan membesarkan anak merupakan investsi agar kelak anak dapat membalas jasa orang tuanya menjadi tidak dominan.
    Anak penyandang cacat mulai diakui keberadaannya, dan oleh sebab itu mulai bediri sekolah-sekolah khusus, rumah-rumah perawatan, dan panti social yang secara khusus mendidik dan merawat anak penyandang cacat. Mereka yang menyandang kecacatan dipandang memiliki karakteristik yang bebeda dari orang kebanyakan, sehingga dalam pendidikannya mereka memerlukan penekatan dan metode khusus sesuai dengan karakteristiknya. Oleh sebab itu pendidikan anak-anak penyandang cacat harus dipisahkan (di sekolah khusus) dari pendidikan anak-anak lainnya. Konsep pendidikan sepeti inilah yang disebut dengan Special Education (di Indonesia diterjemahkan menjadi Pendidikan Luar Biasa atau Pendidikan Khusus), yang melahirkan system sekolah segregasi (Sekolah Luar Biasa).
    Di dalam konsep special education (PLB/Pendidikan Khusus) dan system pendidikan segregasi, anak penyandang cacat dilihat dari aspek karakteristik kecacatannya (labeling), sebagai dasar dalam memberikan layanan pendidikan, sehingga setiap kecacatan harus diberikan layanan pendidikan yang khusus yang berbeda dari kecacatan lainnya (dalam prakteknya terdapat sekolah khusus/ Sekolah Luar Biasa untuk anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, dan tunadaksa). Oleh karena itu terdapat dikotomi antara pendidikan khusus/Pendidikan Luar Biasa/ Sekolah Luar Biasa dengan pendidikan biada/ sekolah biasa, dianggap dua hal yang sama sekali berbeda. Dengan kata lain fokus utama dari Special Education adalah label kecacatan bukan anak sebagai indvidu yang unik.
    b. Pendidikan Kebutuhan Khusus (Special Needs Education)
    Dalam konsep pendidikan kebutuhan khusus semua anak termasuk anak penyandang cacat dipandang sebagai individu yang unik. Setiap individu anak memiliki perbedaan dalam perkembangan dan memiliki kebutuhan khusus yang berbeda pula. Anak-anak penyandang cacat memiliki hambatan perkembangan dan hambatan belajar akibat dari kecacatan yang dimilinya.Oleh karena itu fokus utama dari pendidikan kebutuhan khusus adalah hambatan belajar dan kebutuhan anak secara individual (Miriam, 2001). Pendidikan kebutuhan khusus (special needs education) memamdang anak termasuk anak penyandang cacat sebagai individu yang khas dan utuh, keragaman dan perbedaan individu sangat dihormati.
    Konsep pendidikan kebutuhan khusus (special needs education) melihat kebutuhan anak dari spektrum yang sangat luas, yaitu bahwa setiap anak memiliki kebutuhan yang bersifat khusus, oleh karena itu anak berkebtuhan khsus meliputi dua kategori yaitu anak berkebutuhan khusu yang bersifat sementara (temporary special needs) dan anak kebutuhan khusus yang bersifat menetap (permanently special needs).
    Anak berkebutuhan khusus temporer/sementra (temporary special needs) adalah anak-anak yang mengalami hambatan akibat dari faktor-faktor lingkungan seperti: (1) anak mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri akibat sering menerima kekerasan dalam rumah tangga, (2) mengalami kesulitan konsentrasi karena sering diperlakukan kasar oleh orang tuanya, (3) mengalami kesulitan kumulatif dalam membaca dan berhitung akibat kekeliruan guru dalam mengajar atau (4) anak-anak yang mengalami trauma akibat dari bencana alam yang mereka alami. Anak- anak sepeti ini memerlukan bantuan khusus untuk mengatasi hambatan-hambatan yang dialaminya. Apabila mereka tidak mendapatkan layanan pendidikan yang tepat sesuai dengan kebuuhannya, tidak mustahil hambatan-hambatan tersebut akan menjadi permanent.
    Anak berkebutuhan khusus yang bersifat permanen (permanently special needs) adalah anak-anak yang mengalami hambatan dan kebutuhan khusus akibat dari kecacatan tertentu, misalnya kebutuhan khusus akibat dari kehilangan fungsi penglihatan, kehilangan fungsi pendengaran, perkembangan kecerdasan/kognitif yang rendah, ganggauan fungsi gerak/motorik dsb.
    Anak berkebutuhan khusus baik yang bersifat temporer maupun yang bersifat permanen memerlukan layanan pendidikan yang disesuaikan dengan hamabatan belajar dan kebutuhan-kebutuhannya. Bidang studi yang mebahas tentang penyesuaian pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus adalah pendidikan kebutuhan khusus (Special Needs Education). Oleh sebab itu cakupan wilayah pendidikan kebutuhan khusus menjadi sangat luas karena tidak dianalogikan dengan lokasi atau tempat layanan yang bersifat khusus (sekolah khusus/sekolah luar biasa seperti pada konsep pendidikn khusus/PLB (special education), tetapi lebih bersifat fungsional yaitu layanan pendidikan bagi semua anak yang membutuhkan layanan khusus akan pendidikan (special educational needs) di manapun mereka berada baik di sekolah biasa, di sekolah khusus, di rumah (home schooling), di rumah sakit (bagi anak yang rawat inap sangat lama dan meningalkan sekolah), maupun mungkin di lembaga-lembaga perawatan anak. Anak-anak dengan diagnosis yang sama (misalnya : tunanetra atau tunagrahita), dalam para digma pendidikan khusus/luar biasa dilayani dengan cara yang sama berdasarkan berdasarkan label kecacatannya. Sekarang disadari bahwa anak dengan diagnosis medis yang sama ternyata dapat belajar dengan cara yang jauh berbeda. Dengan kata lain, mereka dapat mempunyai kebutuhan pendidikan (special educational needs) yang berbeda-beda (Miriam, 2001).
    Diagnosis seperti yang dilakukan pada masa lalu menyebabkan anak-anak diberi label ketunaan yang mengakibatkan gurunya memfokuskan aktivitas layanan pendidikan pada keterbatasan yang disebabkan oleh kecacatanya. Ini mengakibatkan guru tidak menyadari potensi yang ada pada diri anak. Pemberian label dan layanan pendidikan yang terlalu dispesialisasikan menyebabkan banyak guru khusus kehilangan pemahaman yang holistic tentang anak dan, tidak mengunakan pendekatan holistic dalam pembelajaran. Ini mengakibatkan timbulnya anemia pendidikan dan menghambat pengayaan
    Perlu dipahami perbedaan istilah pendidikan kebutuhan khusus (special needs education) dengan istilah kebutuhan khusus akan pendidikan (special educational needs). Seperti telah disebut sebelunya bahwa pendidikan kebutuhan khusus (special needs education) adalah disiplin ilmu yang membahas tentang layanan pendidikan yang disesuiakan bagi semua anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan pekembangan akibat dari kebutuhan khusus tertertu baik yang bersifat temporer maupun yang besifat permanen. Sementara itu istilah kebutuhan khusus akan pendidikan (special educational needs) adalah kebutuhan, hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang dialami oleh seorang anak secara individual.
    Sejauh ini telah terjadi pergeseran atau pergerakan dalam cara berpikir dari pemahaman yang didasarkan pada pengelompokkan anak menurut identitas atau lebel kecacatan tertentu menuju ke arah pemahaman anak secara holisstik dan melihat anak sebagai individu yang unik. Untuk melihat proses pergeseran cara pandang seperti itu dapat dilihat pada bagan 1.1 berikut ini.




    \
    Bagan 1.1: Pergerakan Dari Pendidikan Kusus/PLB ke Pendidikan Kebutuhan Khusus

    Pendidikan kebutuhan khusus sebagai disiplin ilmu mempunyai tiga fungsi yaitu: (1) Fungsi preventif, (2) Fungsi kompensasai, (3) Fungsi intervensi,
    1) Fungsi Preventif
    Fungsi preventif adalah upaya pencegahan agar tidak muncul hambatan belajar dan hambatan perkembangan akibat dari kebutuhan khusus tertentu. Hambatan belajar pada anak dapat disebabkan oleh tiga faktor yaitu: (a) akibat faktor lingkungan. Seorang anak dapat mengalami hambatan belajar karena bisa disebabkan oleh kurikulum yang terlalu padat, kesalahan guru dalam mengajar, anak yang terpaksa harus bekerja mencari nafkah, trauma karena bencana alam/perang, anak yang diperlakukan kasar di rumah dsb.
    Fungsi preventif pendidikan kebutuhan khusus adalah mencagah agar faktor-faktor lingkungan tidak menyebabkan munculnya hambatan belajar, (b) akibat faktor dari dalam diri anak itu sendiri. Misalnya seorang anak yang kehilangan fungsi penglihatan atau kehilangan fungsi pendengan yang dibawa sejak lahir, kondisi seperti itu dipnadang sebagai hambatan belajar yang berasal dari dalam diri anak itu sendiri. Fungsi preventif pendidikan kebutuhan khusus dalam hubungannya dengan kondisi seperti ini adalah mencegah agar kehilangan fungsi penglihatan atau pendenganran itu tidak berdampak buruk dan lebih luas kepada asapek-aspek perkembangan dan kepribadian anak, (c) interaksi antara factor lingkungan dan factor dari dalam diri anak. Misalnya seorang anak yang kehilangan fungsi pendengaran dan secara bersamaan anak ini hidup dalam lingkungan keluarga yang tidak memberikan kasih sayang yang cukup, sehingga anak ini mengalami hambatan belajar yang disebabkan oleh faktor dirinya sendiri (kehilangan fungsi pendengaran) dan akibat factor eksternal lingkungan.
    Fungsi preventif pendidikan kebutuhan khusus dalam konteks seperti ini adalah melokalisir dampak dari kehilangan fungsi pendengaran dan secara bersamaan menciptakan lingkungnan yang dapat mememenuhi kebutuhan anak akan kasih sayang yang tidak diperoleh di lingkungan keluaganya.
    2) Fungsi Intervensi
    Kata intervensi dapat diartikan sebagai upaya menangani hambatan belajar dan hambatatan perkembangan yang sudah terjadi pada diri anak. Misalnya seorang anak mengalami gannguan dalam perkembangan kecerdasan/kognitif sehingga ia mengalami kesulitan dalam belajar secara akademik. Fungsi intervensi pendidikan kebutuhan khusus adalah upaya menangani anak agar dapat mencapai perkembangan optimum sejalan dengan potensi yang dimilikinya.
    Contoh lain, seorang anak yang mengalami ganguan dalam perkembangan motorik (misalnya: cerebral palsy). Akibat dari gangguan motorik ini anak dapat mengalami kesulitan dalam bergerak dan mobilitas, sehingga akitivitasnya sangat terbatas. Fungsi intervensi pendidikan kebutuhan khusus dalam konteks ini adalah menciptakan lingkungan yang memungkin anak dapat belajar secara efektif, sehingga dapat mencapai perkembangan optimum sejalan dengan potensi yang dimilikinya.
    Dengan kata lain fungsi intervensi tidak dimaksudkan misalnya anak yang mengalami kehilangan fungsi pendengaran agar dapat mendengar, tetapi dalam keadaan tidak dapat mendengar mereka tetap dapat belajar, bekerja dan hidup secara wajar bersama dengan orang lain dalam lingkungannya. Inilah yang disebut dengan coping, artinya anak dapat berkembang optimum dengan kondisi yang dimilikinya.
    3) Fungsi Kompensasi
    Pengertian kompensasi dalam kontek pendididikan kebutuhan khusus diartikan sebagai upaya pendidikan untuk menggantikan fungsi yang hilang atau mengalami hambatan dengan fungsi yang lain. Seorang anak yang kehilangan fungsi penglihatan akan sangat kesulitan untuk belajar atau bekerja jika berhubungan dengan penggunaan fungsi penglihatan. Oleh karena itu kehilangan fungsi penglihatan dapat dialihkan/dikompensasikan kepada fungsi lain misalnya perabaan dan pendengaran. Salah satu bentuk kompensasi pada orang yang kehilangan penglihatan adalah pengunaan tulisan braile. Seorang tunanetra akan dapat membaca dan menulis dengan menggunakan fungsi perabaan.
    Seorang yang kehilangan fungsi pendengaran akan mengalami kesulitan dalam perkembangan keteramilan berbahasa, dan oleh sebab itu akan terjadi hambatan dalam interaksi dan komunikasi. Bentuk kompensasi dari adanya hambatan dalam interaksi dan komunikasi pada orang yang kehilangan fungsi pendengaran adalah pengunaan bahasa isyarat. Dalam berkomunikasi dengan menggunakan bahasa isyarat fungsi penglihatan sangat berperan sebagai kompensasi dari fungsi pendengaran
    Contoh lain jika di sekolah ada seorang anak yang mengalami hambatan dalam penggunaan fungsi motorik, ia akan sangat mengalami kesulitan dalam hal menulis. Ketika misalnya anak tersebut akan mengikuti ujian maka dapat dilakukan tindakan kompensasi dengan tidak mengikuti ujian secara tertulis tetapi dengan ujian lisan. Dalam hal aktivitas belajar, anak itu tidak dituntut untuk mencatat apa yang mereka pelajari tetapi dapat menggunakan cara lain misalnya menggunakan tape recorder atau apa yang akan dijelaskan oleh guru diberikan dalam bentuk teks.
    Melalui upaya kompensasi, anak akan tetap dapat mengikuti akitivtas belajar seperti yang dilakukan oleh anak lainya dengan cara-cara yang dimodifikasi dan diseuiakan dengan mengganti fungsi yang hilang/ tidak berkembang dengan fungsi lainnya yang masih utuh..
    2. Anak Berkebutuhan Khusus (Children with Special Needs)
    Istilah anak berkebutuhan khusus memiliki cakupan yang sangat luas. Dalam paradigma pendidikan kebutuhan khusus keberagaman anak sangat dihargai. Setiap anak memiliki latar belakang kehidupan budaya dan perkembangan yang berbeda-beda, dan oleh kaarena itu setiap anak dimungkinkan akan memiliki kebutuhan khusus serta hambatan belajar yang berbeda beda pula, sehingga setiap anak sesungguhnya memerlukan layanan pendidikan yang disesuiakan sejalan dengan hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing anak Anak berkebutuhan khusus dapat diartikan sebagai seorang anak yang memerlukan pendidikan yang disesuiakan dengan hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing anak secara individual.
    Cakupan konsep anak berkebutuhan khusus dapat dikategorikan menjadi dua kelompok besar yaitu anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementra (temporer) dan anak berkebutuhan khusus yang besifat menetap (permanent).


    a) Anak Berkebutuhan Khusus Bersifat Sementra (Temporer)
    Anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementara (temporer) adalah anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan disebabkan oleh faktor-faktor eksternal. Misalnya anak yang yang mengalami gangguan emosi karena trauma akibat diperekosa sehingga anak ini tidak dapat belajar. Pengalaman traumatis seperti itu bersifat sementra tetapi apabila anak ini tidak memperoleh intervensi yang tepat boleh jadi akan menjadi permanent. Anak seperti ini memerlukan layanan pendidikan kebutuhan khusus, yaitu pendidikan yang disesuikan dengan hambatan yang dialaminya tetapi anak ini tidak perlu dilayani di sekolah khusus. Di sekolah biasa banyak sekali anak-anak yang mempunyai kebutuhan khusus yang berssifat temporer, dan oleh karena itu mereka memerlukan pendidikan yang disesuiakan yang disebut pendidikan kebutuhan khusus.
    Contoh lain, anak baru masuk Kls I Sekolah Dasar yang megalami kehidupan dua bahasa. Di rumah anak berkomunikasi dalam bahasa ibunya (contoh bahasa: Sunda, Jawa, Bali Madura dsb), akan tetapi ketika belajar di sekolah terutama ketika belajar membaca permulaan, mengunakan bahasa Indonesia. Kondisi seperti ini dapat menyebabkan munculnya kesulitan dalam belajar membaca permulaan dalam bahasa Indonesia. Anak seperti ini pun dapat dikategorikan sebagai anak berkebutuhan khusus sementra (temporer), dan oleh karena itu ia memerlukan layanan pendidikan yang disesuikan (pendidikan kebutuhan khusus). Apabila hambatan belajar membaca seeperti itu tidak mendapatkan intervensi yang tepat boleh jadi anak ini akan menjadi anak berkebutuhan khusus permanent.
    b) Anak Berkebutuhan Khusus yang Bersifat Menetap (Permanen)
    Anak berkebutuhan khusus yang bersifat permanen adalah anak-anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang bersifat internal dan akibat langsung dari kondisi kecacatan, yaitu seperti anak yang kehilangan fungsi penglihatan, pendengaran, gannguan perkembangan kecerdasan dan kognisi, gannguan gerak (motorik), gannguan iteraksi-komunikasi, gannguan emosi, social dan tingkah laku. Dengan kata lain anak berkebutuhan khusus yang bersifat permanent sama artinya dengan anak penyandang kecacatan.
    Istilah anak berkebutuhan khusus bukan merupakan terjemahan atau kata lain dari anak penyandang cacat, tetapi anak berkebutuhan khusus mencakup spektrum yang luas yaitu meliputi anak berkebutuhan khusus temporer dan anak berkebutuhan khusus permanent (penyandang cacat). Oleh karena itu apabila menyebut anak berkebutuhan khusus selalu harus diikuti ungkapan termasuk anak penyandang cacat. Jadi anak penyandang cacat merupakan bagian atau anggota dari anak berkebutuhan khusus. Oleh karaena itu konsekuensi logisnya adalah lingkup garapan pendidikan kebutuhan khusus menjadi sangat luas, berbeda dengan lingkup garapan pendidikan khusus yang hanya menyangkut anak penyandang cacat.

    ORIENTASI BIDANG GARAPAN PENDIDIKAN KEBUTUHAN KHUSUS





















    Bagan 1. 2: Anak Berkebutuhan Khusus dan Pendidikan Kebutuhan Khusus

    3. Hambatan Belajar dan Hambatan Perkembangan
    Dalam paradigma pendidikan khusus/PLB, label kecacatan dan karakteristiknya lebih menonjol dan dijadikan patokan dalam memberikan layanan pendidikan dan intervensi. Anak yang memiliki kecacatan tertu dipandang sebagai kelompok yang memiliki karakteristik yang sama. Cara pandang seperti ini menghilangkan eksistensi anak sebagai individu. . Anak-anak yang didiagnosis sebagai anak penyandang cacat tertentu (misalnya tunanetra) diperlakukan dalam pembelajaran dengan cara yang sama berdasarkan label kecacatannya. Cara pandang seperti ini lebih mengedepankan aspek identitas kecacatan yang dimiliki daripada aspek individu anak sebagai manusia.
    Dalam konsep pendidikan khusus/PLB (special education) lebih banyak menggunakan diagnosis untuk menentukan label kecacatan. Berdasarkan label itulah layanan pendidikan diberikan dengan cara yang sama pada semua anak yang memiliki label kecacatan yang sama, dan tidak memperimbangkan aspek-aspek lingungan dan faktor-faktor dalam diri anak. Sebagai contoh jika hasil diagnosis menunjukkan bahwa seorang anak dikategorikan sebagai anak autisme, maka semua anak autisme akan diperlakukan dengan cara dan pendekatan yang sama berdasarkan label dan karakteristik nya.
    Dalam paradigma pendidikan kebutuhan khusus (special needs education), anak yang mempunyai kebutuhan khusus baik yang bersifat temporer maupun yang bersifat permanent akan berdampak langsung kepada proses belajar, dalam bentuk hambatan untuk melakukan kegiatan belajar (barrier to learning and development). Hambatan belajar dan hambatan perkembangan dapat muncul dalam banyak bentuk.untuk mengetahui dengan jelas hambatan belajar, hambatan perkembangan dan kebutuhan yang dialami oleh seorang anak sebagai akibat dari kebutuhan khusus tertentu/kecacatan tertentu, dilakukan dengan mengunakan asesmen.
    Hasil asesmen akan memberikan gambaran yang jelas mengenai hambatan belajar setiap anak. Berdasarkan data hasil assessment itulah pembelajaran akan dilakukan. Tidak akan terjadi dua orang anak yang mempunyai kebutuhan khusus/kecacatan yang sama, memiliki hambantan belajar, hambatan perkembangan dan kebutuhan yang persis sama. Oleh kaarena itu pendidikan kebutuhan khusus difokuskan untuk membantu menghilangkan atau sekurang-kurangnya meminimalkan hambtan belajar dan hambatan perkembangan sebagai akibat dari kondisi yang dialami oleh setiap anak secara individual. Inilah yang disebut dengan pembelajaran yang berpusat kepada anak (child center approach).
    Dalam perspektif pendidikan kebutuhan khusus diyakini bahwa ada faktor-faktor lain yang sangat penting untuk dipertimbangkan yaitu faktor lingkungan, termasuk sikap terhadap anak pada umumnya dan terhadap anak tertentu karena lingkungan yang tidak responsive, kurang stimulasi, pemahaman guru dan kesalahpahaman guru akan proses pembelajaran, isi, pendekatan pembelajaran dan materi pembelajaran dapat memimbulkan hambatan belajar dan hambatan perkembangan.
    Selain faktor lingkungan, hal lain yang juga sangat penting untuk dipertimbangkan adalah faktor-faktor pada diri anak, seperti rasa ingin tahu, motivasi, inisiatif, interaksi/komunikasi, kompetensi sosial, kreativitas, temperamen, gaya belajar dan kemampuan potensial. Pendidikan kebutuhan khusus memandang anak sangat komprehensif dan memandang anak sebagai anak, bukan memandang anak berdasarkan label yang diberikan. Berdasarkan penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa hambatan belajar dapat terjadi juga pada anak yang tidak memiliki kecacatan. Dengan pandangan yang luas seperti ini, akan meningkatkan pemahaman kita tentang keunikan setiap individu anak.
    Konsep hambatan belajar dan hambatan perkembangan sangat penting untuk dipahami karena hambatan belajar dapat muncul di setiap kelas dan pada setiap anak. Semua anak mempunyai kemungkinan yang sama untuk mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan. Pendidikan kebutuhan khusus menekankan pada upaya untuk membantu anak menghilangkan atau sekurang-kurangnya mengurangi hambatan belajar dan hambatan perkembangan sebagai akibat dari kondisi tertentu, agar anak dapat mencapai perkembangan optimum.


    4. Penggunaan Bahasa danTerminologi dalam Konteks Pendidikan Kebutuhan
    Khusus
    a. Penggunaan Bahasa
    Untuk memahami sesuatu dengan benar dan jelas harus dimulai dengan penggunaan bahsa terminology yang benar dan jelas pula sejalan dengan paradigma yang digunakan. Perubahan paradigma yang terjadi membawa implikasi pada pengunaan bahasa (istilah atau terminology). Istilah atau terminologi yang digunakan diyakini akan mempunyai pengaruh dalam cara kita berpikir dan memandang sesuatu. Orang-orang yang mempunyai perbedaan dan menyimpang dari norma (dalam hal tertentu) sering digunakan gunakan istilah atau bahasa tertentu yang dapat menggambarkannya. Akan tetapi cara seperti ini sering mengarah kepada pemberian label atau stigma yang tidak tepat kepada orang-orang yang dianggap berbeda dari orang kebanyakan (penyandang cacat).
    Label atau stigama atau istilah yang digunakan untuk menggambarkan orang yang menyandang kecacatan, sering menimbulkan kesulitan dan menimbulkan masalah yaitu bahwa semua orang penyandang cacat dianggap sama. Ekpresi seperti buta, dileksia, tuli, autisme, mengandung makna bahwa kita menganggap setiap kelompok itu bersifat homogen. Akan tetapi dalam kenyataannya, orang-orang yang dikelompokkan menjadi satu kelompok menurut label tertentu itu mempunyai perbedaan-perbedaan yang sangat besar atara satu individu dengan individu lainnya.
    Dalam konsteks Pendidikan Kebutuhan Kebutuhan Khusus sangat dihindari cara menggambarkan kondisis individu bedasarkan label atau stigma yang didasarkan atas pengelompokkan kecacatan (disability). Oleh karena itu cara yang digunakan adalah dengan berpatokan pada prinsip melihat individu sebagai manusia, baru kemudian melihat kecacatannya. Mana kala kita berhadapana degan kenyataan kecacatan tertentu, akan sangat bijaksana apabila kita mengatakan a person with disability atau person who has disability daripada mengatakan a disabled person (penyandang cacat daripada orang cacat). Dengan mengatakan penyandang cacat (pereson who..... or person with) terkandung makna bahwa kecacatan merupakan sebuah ciri atau karakteristik kemanusian dari seseorang, dan sama halnya seperti kita mengatakan orang yang berambut putih, orang yang berkulit hitam dsb.Kita masih sering mendengar ada orang mengatakan: Ani adalah anak down syndorome. Dalam kenyataanya Ani juga adalah anak yang bermata sifit dan lucu, berambut ikal, memiliki dua sodara dan down syndrome. Jadi sangat manusiawi dan realistis jika kita melihat individu anak sebagai anak lebih dahulu baru kemudian melihat bahwa setiap anak memiliki karakteristik kemanusiaan yang bebeda-beda.
    Hal lain yang sering menimbulkan kseuitan dalam menggambarkan penyandang cacat adalah penggunaan istilah penderita atau istilah korban, misalnya penderita tunarungu, penderita down syndrome, penderita autisme dsb. Seorang yang mengami tunarungu dan dalam berkomunikasi mengunakan bahasa isyarat, ia buka sesorang yang menderita akibat tunarungu yang kemudian menggunakan bahasa isyarat. Aka tetapi penggunaan bahasa isyarat merupaka altearnataif atau kompensasi dalam komunikasi.
    Sebagai seorang guru seharusnya menghindari penggunaan kata-kata yang bersifat offensive kepadata siswa-siswanya seperti: Kamu tuli, atau guru mengatakan "Hei kamu Freddy yang buta" . Adalah juga bersifat offensive dalam menggunakan kata normal sebagai cara dalam membandingkan individu penyandang cacat dan yang tidak. Misalnya kita mengatakan: anak yang berkesulitan belajar dibandingkan dengan anak normal. Akan sangat tepat apabila dikatakan : anak yang berkesulitan belajar dibandingkan dengan anak yang tidak mengalami kesulitan belajar. Penggunaan istilah normal dan tidak normal menjadi tidak relevan atau tidak sejalan dengan konsep pendidikan kebutuhan khusus.
    b. Terminologi
    Terdapat beberapa terminologi yang perlu dipahami dengan jelas dalam kaitannya dengan pendidikan kebutuhan khusus, yaitu istilah impairment, disabilities, dan istilah handicaps. Ketiga istilah tersebut sering dipertukarkan dalam penggunaannya sehari-hari.
    Istilah impairment didefinisikan sebagai kehilangan, kerusakan atau ketidaklengkapan dari aspek psikologis, fisiologis atau ketidak lengkapan/kerusakan struktur anatomi. Hal seperti itu biasanya merujuk kepada kondisi kondisi yang bersifat medis atau kondisi organis (Foreman, 2001; Lewis, 1997), seperti rabun dekat, cerebral palsy, spina bifida, down syndrome, atau tuli.
    Sementara itu disabilities (ketidakmampuan) adalah keterbatasan atau hambatan yang dialami oleh seorang individu sebagai akibat dari impairment (kerusakan) tertentu. Sebagai contoh: karena kerusakan (impairment) spina bifida, seorang anak mengalami kesulitan atau hambatan untuk berjalan tanpa bantuan calipers atau crutches. Kerusakan pada fungsi pendengaran (hearing impairment), mengakibatkan seorang individu mengalami kesulitan atau hambatan utnuk berkomunilasi dengan menggunakan bahasa seacara verbal (Foreman, 2001).
    Istilah handicaps diartikan sebagai ketidak beruntungan (disadvantage) pada seorang individu sebagai akibat dari impairment (kerusakan) atau disability (ketidakmampuan) yang membatasi atau mengahambat seseorang dalam menjalankan peranannya (tergantung kepada jenis kelamin, usia, dan factor social budaya) secara social. Handicaps tidak hanya akan dialami oleh orang yang mengalami impairment atau disability, akan tetapi dapat pula dialami oleh semua orang, jika orang tersebut tidak dapat melakukan peranannya secara sosial.
    Sebagai contoh seseorang yang tidak bisa berbahasa asing (Inggris, atau Mandarin atau bashasa asing lainnya) akan mengalami handicaps jika harus melakukan aktivitas yang berhubungan dengan salah satu bahasa asing tsb. Contoh lain, seorang yang mengalai tunanetra tidak mengalai handicaps untuk membaca tulisan awas ketika orang tersebut sudah menguasai teknologi computer. Sebaliknaya seorang yang bukan tunanetra yang tidak memilki keterampilan dalam menggunakan komputer akan mengalami handicaps jika harus mengerjakan sebuah pekerjaan yang menggunakan computer. Dari penjelasan itu dapat disimpulkan bahwa impairment yang dialami oleh seorang individu dapat dipastikan akan mengakibatkan munculnya disability. Akan tetapi impairment dan disability tidak selalu menyebabkan timbulnya handicaps. Seorang yang mengalami kerusakan fungsi penglihatan (person with hearingl impairment), akan kehilangan kemampuannya antara lain dalam berbahasa secara verbal. Kehilangan kemampuan bicara secara verbal akibat kerusakan fungsi pendengaran dikatakan sebagai disability. Namun demikian disability yang dialaminya itu kemudian dapat dikompensasikan dengan mengunakan bahasa isyarat atau komunikasi total sehingga meskipun ia mengalai disability dalam berbicara tetapi secara social masih dapat berkomunikasi dengan orang lain dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Maka orang ini tidak mengalami handicaps.
    Dipihak lain apabila kita menghubungkan kondisi individu yang mengalami kecacatan tertentu, misalnya kehilangan fungsi pendengaran (person with hearing impairment) dengan pendidikan dan belajar, maka individu itu akan mengalami hambatan dalam belajar (barier to learning), sebagai akibat dari impairment dan disability yang dialaminya. Hambatan belajar yang dialami oleh setip individu akan sangat beragam meskipun mengalami impairment dan disability yang sama. Sebagai contoh ada dua orang anak yang berusia sama mengalami gangguan perkembangan kecerdasan (children with developmental disability) atau dalam istilah bahasa Indonesia disebut tunagarahita. Kedua anak ini dikelompokkan kedalam kategori tunagrahita ringan. Akan tetapi ternyata kedua anak ini memiliki hambatan belajar yang berbeda. Anak yang satu mengalami hambatan dalam belajar memahami konsep bilangan tetapi sudah mulai bisa membaca, mengurus diri dan dapat berkomuniskasi dengan orang lain. Sementara anak yang kedua mengalami hambatan dalam memahami simbul grafen (huruf alphabet) dan oleh karena itu belum bisa membaca, masih belum bisa mengurus diri, dan belum bisa duduk tenang. Dalam konsep pendidikan kebutuhan khusus, layanan pendidikan selalu didasakan pada hambatan belajar yang dialami oleh anak secara individual, bukan didasarkan pada label dan karakteristik dari disability yang bersifat kelompok.
    Hambatan belajar yang dialami oleh seorang individu memberikan gambaran kepada guru tentang bantuan apa yang seharusnya diberikan kepada anak tersebut. Ketika sorang guru mulai berpikir tentang pemberian bantuan (program pembelajaran) yang seharusnya diberikan kepada anak yang bersangkutan, pada saat itu sesungguhnya guru telah menemukan apa yang disebut dengan kebutuhan belajar anak (Special Educational Needs).
    D. Sumber Bacaan
    Alimin, Zaenal (2004) Reorientasi Pemahaman Konsep Pendidikan Khusus Ke
    Pendidikan Kebutuhan Khusus dan Implikasinya terhadap Layanan Pendidikan.
    Jurnal Asesmen dan Intervensi Anak Berkebutuhan Khusus. Vol.3 No 1 (52-63)
    Johsen, Berit and Skjorten D. Miriam, (2001) Education, Special Needs Education an
    Intoduction. Unifub Porlag: Oslo
    Foreman, Phil (2002), Integration and Inclusion In Action. Mc Person Printing Group:
    Australia.
    Lewis, Vicky (2003), Development and Disability. Blckwell Publishing Company:
    Padstow, Cornwall.
    Stubbs, Sue (2002) Inclusive Education: Where there are few resources. The Atlas
    Alliance: Gronland , Oslo

    Label:

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google
  • Kembali ke Halaman Depan